Advertising

Tuesday 11 May 2010

[wanita-muslimah] Re: Kiat Mengatasi Terorisme Di Tengah Kaum Muslimin

 

Mujiarto Karuk,BIsmilahirrahmanirarhiim.

Cara yang efektif untuk mencegah perbuatan2 Terorisme sudah diberitahu oleh ALLAH swt dlm kitab Bible, dan tidak ada terdapat dlm al quran.

Oleh karena itulah ulama2 Islam dari dulu sampai hari ini tetap saja bermusuhan, kemudian mengharamkan, kemudian menzolmi dan terakir membunuh(teror).

Ini peringatan ALLAH dlm Bible;

---=====================================================
Do not judge(Mengharamkan) others faith, so that GOD will not judge you. For God will judge you in the same way you judge others, and he will apply to you the same rules you apply to others.

Why,then, do you look at the speck in your brother's eye, and pay no attention
the log in your own eyes?

How dare you say to your brothers.Please let me take that speck out of your eyes, when you have a log in your own eyes? you are "Hypocrite" First take out the log from your eyes ,and then you will be able to see clearly to take the speck out the speck of your brother's eyes.

Do not judge your brother's faith, you will be not judged.

For with what judgment you judge, with the same measure, it will be measured
back to you.

Why do you judge your brother's faith? Who do you think you are to judge other,

We all stand before God's judgment hereafter. God made laws, and only God can judge people's faith.

If you act like wild animal, banning, hurting, harming and biting, watch out, then one another will destroy one completely.
Matthew 7:1

Artinya secara umum adalah; Jangan lah mengharamkan/ melarang keyakinan orang lain, anda akan diharamkan pula dengan cara yang sama.

Kenapa anda melihat dosa2 orang lain? Kenapa anda tidak perhatikan dosa2 anda sendiri?

Bagaimana anda berani berkata kpd orang lain, sebaiknya anda membersihkan dosa2 anda lebih dahulu sebelum dan anda akan dapat melihat dosa2 orang2 lain.

ALLAH yang membuat peraturan2,hanya ALLAH yang berhak menghakimi manusia, manusia tidak berhak menghukum dan mengharamkan keyakian orang lain.

Kalau manusia atau ulama2 bertindak seperti binatang liar,maka akan terjadi pembunuan2 dan penghancuran satu sama lain, akirnya semua akan musnah.
+=========================================================

Dari perintan2 ALLAH diatas itu ternyata umat yahudi dan nasrani termotivasi mereka tidak berani mengharamkan keyakinan dan agama orang lain.Mereka sangat toleransi dgn perbedaan2 dlm memahami dan menafsirkan wahyu2 ALLAH dlm Bible.Semua orang merdeka menafsirkan wahyu2 ALLAH dan mereka merdeka memilih sekte2 mana yang sesuai dgn keyakinan masing2.

Bisakah ulama2 berbuat demikian,memathui ayat2 di Bile itu?
terutama ulama2 Wahabi-salafy Fundamentalis yg suka meegakan amar makruf nahi mungkar dgn kekerasan dan paksaan atau melarang orang lain beribadah .Seperti FPI cs Menteror 500.000 muslim Ahmadiyah.

Kita semua ingin melihat Indonesia yg plural ini dapat hiup dgn damai- harmoni dan bahagia. Bukankah begitu?

salam

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Mujiarto Karuk <mkaruk@...> wrote:
>
>
>
> Oleh
> Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
>
> Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan
> pihak - pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya
> kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan
> kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling
> pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha
> serta pahala-Nya. 
>
>  
>
> Sehingga
> yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan
> dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan
> bersama, dalam lingkup ta'âwun 'alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta
> kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut
> kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.
>
>  
>
> Akar
> radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah
> muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman
> pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Oleh sebab itu, beberapa
> kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang
> pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi
> berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.
>
>  
>
> Sebelum
> menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu
> beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.
>
>  
>
> Riwayat-riwayat
> itu antara lain :
>
>
>
> A.        Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu
> 'anhu dengan orang-orang khawarij.
>
> Beliau bercerita, “Ketika orang-orang Haruriyah [1]
> melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu
> 'anhu, mereka mengisolir diri di sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu
> sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan kepada Ali
> bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali orang datang kepada Ali Radhiyallahu 'anhu
> dan mengingatkannya seraya berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya
> orang-orang Harûriyah itu akan memberontak kepada engkau". Setiap kali itu
> pula Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Biarkan mereka. Saya tidak akan
> memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan mereka pasti akan
> melakukannya!"
>
>
>
> Pada suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu
> 'anhu. Aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu'minin, tundalah shalat Zhuhur
> sampai waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan
> orang-orang Harûriyah itu.
>
> Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, “Aku mengkhawatirkan
> engkau.”
>
> Aku menjawab, “Jangan khawatir !” Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang
> yang memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.
>
>
>
> Akhirnya Ali Radhiyallahu 'anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka.
> Lalu kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir
> rambutku. Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari
> saat mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu
> adalah sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun
> yang yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka
> hitam menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah
> seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat
> bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah
> mereka pucat (karena banyak shalat malam).
>
>
>
> Aku ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, "Selamat
> datang wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau
> kenakan !"
>
>
>
> Aku menjawab, " Mengapa kalian mencela aku ? Padahal aku pernah melihat
> Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh
> lebih indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat
> al-Qur'ân kepada mereka :
>
>
>
> "Katakanlah,"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
> Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
> mengharamkan) rezeki yang baik"? [QS. Al-A’raaf (7) : 32]
>
>
>
> Mereka lalu bertanya kepadaku, “Ada perlu apa engkau datang kemari?”
>
>
>
> Aku menjawab, “Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
> wa sallam yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman
> Nabi dan sekaligus menantu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
>
> Orang-orang yang kepada merekalah al-Qur'ân turun
> langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir al-Qur'ân dibanding
> kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun yang berada di
> tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk menyampaikan
> kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan kepada mereka apa
> yang kalian katakan.
>
>
>
> Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian jangan
> melayani pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah
> berfirman:
>
>
>
> "Sebenarnya
> mereka adalah kaum yang suka bertengkar". [QS. Az-Zukhruf (43) : 58]
>
>
>
> Tetapi, kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata
> (kepada mereka), “Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya
> (maksudnya Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu)
>
>
>
> Maka aku berkata, “Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat
> Nabi dan kepada anak paman beliau?”
>
> Mereka menjawab, “Ada tiga hal.”
>
>
>
> Aku berkata, “Apa saja ketiga hal itu?”
>
>  
>
> Mereka berkata, “Pertama, karena sesungguhnya Ali
> Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan
> (agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
>
>
>
> "Tidak
> lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah". [QS. Al-An' âm
> (6) : 57, juga QS. Yusuf (12) : 40 dan 67]
>
>
>
> Aku berkata, “Ini yang pertama.”
>
>
>
> Mereka melanjutkan, “Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu 'anhu telah
> memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, begitu juga Mu'âwiyah Radhiyallahu
> 'anhu), tetapi ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil
> ghanîmah. Jika yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang kafir,
> berarti tawanannya adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu
> 'anhu adalah orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang
> dan tidak halal pula memerangi mereka.
>
>
>
> Aku berkata, “Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?”
>
>
>
> Mereka berkata, “Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya.
> Dengan demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul
> Kafirin (amirnya orang-orang kafir).
>
>
>
> Aku berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?”
>
>
>
>
>
> Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”
>
>
>
> Selanjutnya, akupun berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku
> bacakan ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur'ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat
> membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada
> kebenaran)?
>
>
>
> Mereka menjawab, “Ya.”
>
> Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali
> Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan
> agama Allah Azza wa Jalla, maka akan aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur'ân
> yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada
> manusia dalam masalah yang nilainya hanya seperempat dirham. Allah Azza wa
> Jalla telah memerintahkan manusia untuk menetapkan hukum dalam hal ini.
>
>
>
> Bukankah kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :
>
>  
>
> "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
> membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
> membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
> ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang
> yang adil di antara kamu".
> [QS. Al-Ma'idah (5) : 95]
>
>
>
> Dalam ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan
> hukum kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan
> buruan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza
> wa Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan
> putusan hukum manusia.
>
>
>
> Demi Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang
> dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah
> tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang
> lebih baik)?
>
>
>
> Mereka menjawab, “Tentu ini lebih baik.”
>
>
>
> Aku melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah
> Azza wa Jalla berfirman :
>
>
>
> "Dan
> jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
> hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum)
> dari keluarga perempuan". [an-Nisa'/4:35]
>
>
>
> Aku minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka
> perdamaian hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi
> tertumpahnya darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia
> tentang kemaluan seorang perempuan?
>
>
>
> Sudahkah jawabanku menjadikan kalian puas?
>
>
>
> Mereka menjawab, “Ya.”
>
>
>
> Selanjutnya aku berkata, “Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali
> Radhiyallahu 'anhu memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma), tetapi tidak
> melakukan penawanan dan tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) “Apakah
> kalian akan menawan ibu kalian; Aisyah Radhiyallahu 'anha ?, Apakah kalian akan
> menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau
> adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana
> kami menghalalkan wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir.
> Sebaliknya jika kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha bukan ibu
> kami, kalianpun telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
>
>
>
> "Nabi
> itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
> dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka". [QS. Al-Ahzab ( 33) :
> 6]
>
>
>
> Dengan demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan,
> silahkan coba cari jalan keluarnya.
>
>
>
> Jadi apakah jawaban dapat memuaskan kalian?
>
>
>
> Mereka menjawab, “Ya.”
>
>
>
> Aku melanjutkan, “Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu
> 'anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka
> akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi
> Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah
> dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
> kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, "Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza
> wa Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu
> 'anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, “Ini
> adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh'."[2]
>
>
>
> (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya
> Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu
> 'anhu, ternyata beliau telah menghapus kata 'Rasul Allah' dari dirinya, dan
> ternyata hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.
>
>
>
> Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian
> puas?
>
>
>
>
>
> Mereka menjawab, “Ya.”
>
>
>
> Akhirnya, ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada
> kebenaran), sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan.
> Akhirnya, dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat
> Muhajirin dan Anshar dalam peperangan".[3]
>
>
>
> Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :
>
>
>
> 1.         Khawârij
>   adalah   pencetus   lahirnya   gerakan   radikal   kaum
>
> Muslimin, yang intinya adalah takfîr (pengkafiran)
> terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.
>
>  
>
> 2.         Upaya
> pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan menguasai
> dalil.
>
>
>
> 3.         Pelaku   pembinaan,  di samping  harus   menguasai
>   dalil   dan
>
> bermanhaj salaf, juga harus dikenal sebagai orang
> yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil kemungkinan mendapat perlakuan yang
> berbahaya.
>
>  
>
> 4.         Pembinaan
>   dilakukan   dengan  penuh hikmah. Yang dimaksud
>
> penuh hikmah adalah ilmiah berdasarkan kekuatan
> hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat
> menghambat keterbukaan.
>
>
>
> 5.         Radikalisme   dan   kegiatan
>   peledakan   pada   akhir
> - akhir ini
>
> dimotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan
> mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan tindakannya meskipun salah. Mereka
> juga menguasai serta menghafalkan dalil-dalil, beberapa kaidah penting dan
> penafsiran para Ulama terkenal yang mereka fahami menurut kemauan mereka.
> Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak menguasai
> ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan dianggap angin lalu,
> meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam. Tetapi sebanarnya
> sedang menimbun api dalam sekam.
>
>
>
> 6.         Mereka  tentu  terdiri
> dari kelompok-kelompok yang berjengjang.
>
> Karena itu memerlukan penanganan terpisah menurut
> bobot masing-masing.
>
>
>
> 7.         Intisari   dari   kesimpulan
>   ini    adalah    kembali   pada manhaj
>
> Sahabat. Sebab al-Qur'ân turun langsung kepada para
> Sahabat, sehingga merekalah yang paling memahami makna-makna dan maksud-maksud
> al-Qur'ân dengan bimbingan langsung dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa
> sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, dan
> beliau adalah seorang Sahabat.
>
>  
>
>
>
> B.        Riwayat  yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin
> Shuhaib al-Faqîr.
>
> Seorang tabi'in yang berdomisili di Kufah Irak,
> negeri yang waktu itu banyak didominasi oleh berbagai aliran menyimpang, di
> antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia termakan oleh pemikiran sesat
> khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun, akhirnya Yazîd terselamatkan dari
> kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan seorang Sahabat Nabi Shallallahu
> 'alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan pemahamannya tentang al-Qur'ân kepada
> Sahabat Nabi tersebut.
>
>
>
> Riwayat ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai
> berikut:[4]
>
>
>
> Yazid al-Faqîr berkata, “Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu
> ketika kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk
> pergi haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan
> bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z
> yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan
> hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.
>
>
>
> Selanjutkan Yazîd mengatakan, “Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi)
> menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka
> Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya,
> "Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah
> Azza wa Jalla berfirman :
>
>
>
> "Ya
> Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka
> sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)".
> [QS. Ali Imrân (3) : 192]
>
>
>
> Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
>
>
>
> "Setiap
> kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke
> dalamnya". [QS. As-Sajdah (32) : 20].
>
>
>
> Jadi, apa maksud ucapanmu ini?!"
>
>
>
> Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada
> penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: "Tabi'in
> (Yazid al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'ân yang difahami
> menurut pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa
> ayat-ayat itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah
> tanpa melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang
> mulia, Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu 'anhu mengingatkan akan kesalahan
> manhaji (kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini."
> Karena itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:
>
>
>
> "Apakah engkau membaca al-Qur'ân?" Aku (Yazîd) menjawab,
> "Ya".
>
>  
>
> Jâbir Radhiyallahu 'anhu berkata lagi, "Apakah
> engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi (al-Maqam al-Mahmûd)
> yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?"
>
>
>
> Aku menjawab: "Ya".
>
>
>
> Jabir berkata, "Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa
> sallam yang karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang
> yang dikehendaki-Nya dari neraka.
>
>
>
> Selanjutnya Yazîd menceritakan, “Kemudian Jâbir Radhiyallahu 'anhu menjelaskan
> sifat pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat
> lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, “Dan masih banyak
> lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu 'anhu, yang mungkin sebagian aku lupa.
> Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok
> orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst.”
>
>
>
> Setelah Jâbir Radhiyallahu 'anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya
> Allah memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar
> terhadap ayat-ayat yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, "Kami
> kembali (ke Kufah), dan kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami,
> 'Aduhai betapa celaka kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama
> Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ?' Akhirnya, kamipun rujuk (dari
> pendapat yang salah). Demi Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang
> pun dari kami yang keluar untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang
> saja."
>
>
>
> Dari riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut :
>
>
>
> 1.         Melalui     keyakinan     terhadap     kebenaran     Sahabat   Nabi
>
> Shallallahu 'alaihi wa sallam, akhirnya Allah Azza wa
> Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr, sehingga dia selamat
> dari pemahaman sesat yang hampir menjerumaskannya ke dalam tindakan
> pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi para Ulama Rabbani, merupakan salah
> satu syarat bagi seseorang yang ingin mendapat manfaat dari bimbingan para
> Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar, dalam kondisi apapun pada umumnya,
> maupun dalam kondisi kacau pada khususnya [6].
>
>  
>
> 2.         Pembinaan
> untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila menggunakan
> hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para Sahabat.
> Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan
> tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta
> langkah-langkah mereka [7].
>
>  
>
> 3.         Dialog-dialog
> pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya lurus dan menguasai
> dalil.
>
>  
>
> 4.         Kisah
> ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash Al-Qur'ân dan Sunnah
> dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
>
>
>
> Secara keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan
> langkah-langkah berikut:
>
>
>
> 1.         Mengembalikan umat Islam pada
> pemahaman Islam yang benar
>
> sebagaimana pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu
> 'alaihi wa sallam.
>
>
>
> 2.         Pembinaan  yang  benar
>  kepada  umat Islam terutama generasi
>
> mudanya. Pembinaan ini harus melibatkan para tokoh
> yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil serta istidlâl (penggunaan dan
> penerapan dalil)nya.
>
>
>
> 3.         Bimbingan  serta  penyuluhan
>  dari pihak - pihak berkepentingan
>
> berdasarkan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi
> yang kuat yang bisa diterima sebagai kebenaran oleh semua kalangan meskipun
> tidak sependapat.
>
>
>
> 4.         Tidak  semua orang diperkenankan ikut bersuara dan
> berbicara,
>
> apalagi tanpa dalil. Sebab, hal ini tidak
> menyelesaikan masalah, justru menambah ketidakpercayaan banyak kalangan umat
> Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam sekam. Apalagi sindiran-sindiran
> keras melalui forum-forum resmi yang tidak berdasarkan dalil.
>
>
>
> Allah Azza wa Jalla berfirman :
>
>  
>
> "Dan
> apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
> mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
> Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
> kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
> Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
> mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [QS. An-Nisâ'
> (4) : 83]
>
>
>
> 5.         Memutuskan   mata   rantai
>   tumbuh   kembangnya  pembinaan
>
> radikal ala takfîri. Tokoh-tokohnya dipisahkan secara
> bijaksana dengan para obyek binaan. Masing-masing ditangani secara terpisah
> dalam wadah pembinaan tersendiri, sesuai dengan bobot masing-masing.
>
>
>
> 6.         Menjelaskan perbedaan makna
> antara jihad syar'i dengan jihad-
>
> jihad lain yang revolusioner dan tidak syar'i.
>
>  
>
>  
>
> Wallâhu
> A'lam, wa 'alaihi at-Tuklân.
>
>
>
>
>
> Marâji':
>
>
>
> 1. Fathul Bâri, Jâmi'atul Imam, Riyâdh, KSA.
>
>
>
> 2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul-Ma'rifah,
> Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
>
>
>
> 3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy,
> ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.
>
>
>
> 4. Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet.
> II, 1427 H/2006 M
>
>
>
> 5. Al-'Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan
> Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.
>
>
>
> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit
> Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
> Solo 57183 Telp. 0271-761016]
>
>
>
> ________
>
> Footnote
>
> [1]. Orang-orang Harûriyah adalah orang-orang khawârij. Dinamakan harûriyah
> karena mereka awalnya mengkonsentrasikan diri di daerah Harûra', sebuah desa
> yang terletak kurang lebih dua mil dari Kûfah.
>
>
>
> [2]. Kisah yang senada dengan ini banyak diriwayatkan dalam hadits shahîh, di
> antaranya oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîhnya. Lihat Fathul Bâri 5/303,
> Kitab Ash-Shulhi , no. 2698 dan 2699, dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, lihat
> Shahîh Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul Ma'rifah, Beirut,
> cet. III, 1417 H/1996 M, 12/348-349, dari hadits al-Barrâ' bin 'Azib, no. 4605
> dan 3/351, dari Anas, no. 4608.
>
>
>
> [3]. Riwayat ini dinukil dari Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh
> Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Ammân, Yordania, cet. I, 1420
> H/1999 M, hlm. 101-104, no. 3 di bawah sub judul: Ihtijâj ash-Shahâbah dst.
> Riwayat senada banyak dikemukakan oleh para Imam. Di antaranya terdapat dalam
> kitab Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut,
> cet. II, 1427 H/2006 M, 2/494-496, no. 2703, Kitab Qitâl Ahli al-Baghiy, Bab
> Munâzharah Ibnu Abbâs Ma'al-Harûriyyah. Imam Hâkim mengatakan, “Riwayat ini
> shahîh sesuai dengan syarat dua orang Syaikh; Imam al-Bukhâri dan Muslim,
> tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits ini. Syaikh Sâlim al-Hilâliy juga
> mengatakan, “Atsar ini shahîh.
>
>
>
> [4]. HR. Muslim, Lihat Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi, 3/50 no. 472
>
> [5]. Lihat Abu Ubaidah, Syaikh Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, al-'Irâq Fî Ahadits
> wa Atsarul-Fitan, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.
> 1/110-111.
>
>
>
> [6]. Syaikh Masyhûr, al-'Irâq, Ibid
>
>
>
> [7]. Ibid, dengan bahasa bebas.
>
>  
>
>  
>
> www.almanhaj.or.id\content\2688\slash\0.html
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment