Advertising

Tuesday 25 May 2010

[wanita-muslimah] Televisi Ramah Anak-Anak

 



TELEVISI
RAMAH ANAK

Oleh: Tatang Muttaqin

 

 "Putramu
bukanlah putramu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup
mereka sendiri. Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun
bersamamu mereka bukanlah milikmu". (Kahlil Gibran, Sang Nabi).

 

I.          PENDAHULUAN

Setiap anak manusia  lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature)  dan berinteraksi dengan satu lingkungan
budaya tertentu (culture). Dengan demikian, keduanya akan menentukan
proses tumbuhkembangnya (nurture). Kebudayaan cenderung mengulang-ulang
perilaku tertentu melalui proses belajar yang kemudian memunculkan adanya  kepribadian rata-rata yang merupakan ciri
khas dalam masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian dalam lingkungan
tersebut.

 

Menurut Taylor, salah satu aspek
kebudayaan adalah norma atau perilaku terpilih yang kemudian dianut oleh
sebagian besar masyarakat. Norma ini mengatur perilaku masyarakat atau menjadi
pola pengasuhan anak yang dianut masyarakat. (Koentjaraningrat, 1980). Dengan
demikian, dapat ditarik benang merah bahwa norma yang dianut oleh suatu
masyarakat berpengaruh terhadap pola pengasuhan anak dalam masyarakat tersebut.

 

Proses belajar dan tumbuhkembang
anak harus diarahkan untuk menyuburkan perkembangan kecerdasan majemuk (multiple
inteligensia). Gardner (1993) memperkenalkan tujuh kecerdasan majemuk,
yaitu: kecerdasan musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan
bunyi, nada, melodi, irama); bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak,
menari, olahraga); logical–mathematical (kemampuan menggunakan
logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah); linguistic (kemampuan
menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi,
tulisan); spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), intrapersonal
(kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri); interpersonal (kemampuan
memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain).

 

II.         MEDIA MASSA DAN PROSES TUMBUH KEMBANG
ANAK

Setiap anak
diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan
fisik, kejiwaan dan juga sosialnya. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur
yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara
sinergis. Urie Bronfenbrenner dalam Strategi Nasional PAUD Holistik-Integratif
(2008) memetakan aspek pengembangan secara komprehensif melalui teori ekologi
yang memetakan 5 sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu :

Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di
mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah
dan lingkungan sekitar tetangga.

 

Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam
keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.

 

Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh
dalam setting sosial yang berada di luar 
kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan
anak, seperti, pekerjaan orang tua dan media massa.

 

Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu
hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima,
sistem chrono yang merupakan gambaran
kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).

 

Keempat sistem
pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai
potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola
pergaulan termasuk penggunaan media massa yang koheren dan saling mendukung.

 

Dalam teori
perkembangan anak sebagaimana disampaikan Bronfenbrenner (Bappenas 2008),
tumbuh-kembang anak tidak akan terpisahkan dari kelima sistem interaksi seperti
tersebut di atas. Pada proses interaksi inilah banyak institusi yang akan
menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak.

 

Oleh karena itu,
orangtua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang
ia inginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses
sosialisasi, salah satunya yang paling berpengaruh di era global ini adalah
media massa sehingga Mc Luhan (1964) menyebutnya kehadiran medianya saja telah
membawa pesan, the medium is message.

 

Gambar Teori Model Ekologi Bronfenbrenner:  Mikro, Mezo, Exo, Makro

 

Sumber: Studi Kebijakan PAUD
yang Holistik dan Terintegrasi, 2006.

 

Media massa dipandang punya
kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga
fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi
kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan
politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga
masyarakat.

 

Secara konseptual, keberadaan
media massa dan  masyarakat perlu dilihat
secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa
membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya
sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua
landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media
massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat
nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber,
dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara
bertimbal-balik.

 

Pandangan pertama, bahwa media
membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial
dengan  teori stimulus – respons dalam
behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat
mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama:
menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan
ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas
dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa.

 

Pandangan kedua menempatkan
media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari
realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas
media dipandang sebagai bentukan makna yang berasal dari masyarakat, baik
karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat,
maupun berasal dari orientasi kultural pelaku media.

 

Dari sini media dilihat pada satu
sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/atau politik) dengan
memproduksi kultur dominan untuk pengendalian (dominasi dan hegemoni)
masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi
dan independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat. 

 

Secara teoretis, media massa memegang
peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan
teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a
powerfull tool).[1]
Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya
masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.

 

Pemetaan dampak media massa yang
cukup memadai dikemukakan oleh John T. McNelly (Zulkifli, 1996) yang dikenal
dengan McNelly's Four Position, yaitu: (1) sudut pandang nol (null
position) yang menyatakan bahwa media massa memiliki sedikit peranan atau
bahkan tidak memiliki peranan sama sekali; (2) sudut pandang antusias yang
melihat media massa memiliki peran yang besar; (3) cautions position yang
menganggap media massa memiliki peranan namun bukan sebagai elemen utama dalam
menentukan ada tidaknya perubahan; (4) sudut pandang pragmatik yang melihat
bahwa berperan atau tidaknya media massa haruslah ditempatkan secara
kontekstual.

 

Berdasarkan peta di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam skala minimal sekalipun media massa memiliki
peran. Model efek terbatas (limited
effect model) yang dianggap paling minimal dan pesimis dalam melihat efek
media massa menyatakan bahwa sekecil apapun media massa tetap memberikan efek. Ada lima jenis media masa yang dikenal sebagai
"The big five of mass media" yaitu televisi, film, radio,
majalah dan koran.

 

Televisi diyakini mempunyai pengaruh yang
sangat kuat karena mampu memadukan kekuatan audio dan visual sehingga orang
dapat melihat dan mendengar secara utuh dan menjadi lebih percaya. Apa yang
tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna. Beberapa ahli
menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang
sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi. Sedangkan efek
jangka panjang adalah berupa habituation, yaitu orang menjadi terbiasa
melakukan apa yang dilihatnya di televisi.

 

Akibatnya orang menjadi tidak peka,
permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri. Wirodono (2005) menyorot
televisi karena mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak. Wirodono
mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang
dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring, yaitu
proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak sempurna.
Padahal anak-anak yang menonton televisi tidak selalu mempunyai pengalaman
empiris sehingga gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena
virtualisasi televisi yang meloncat-loncat sehingga mengganggu konsentrasi
mereka.

 

Begitu besarnya pengaruh TV terhadap
anak-anak, sampai-sampai pendiri organisasi Action for Children Television,
Peggy Chairen (Kristanto, 2008), memperingatkan bahwa tidak banyak hal lain dalam
kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk
menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka. Garin
Nugroho (2005) menyebutkan bahwa televisi adalah refleksi ekosistem kehidupan
suatu bangsa. Besarnya pengaruh itu, kata psikolog UI Prof Dr Fawzia Aswin
Hadis (Republika, 5/6/2005), karena anak-anak memang berada pada
fase meniru. Anak-anak adalah imitator ulung, dan karena itu akan cenderung
meniru adegan yang ditonton di TV.

 

Masalahnya adalah sejauhmana dampak
tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat
khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit,
karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh
banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972
dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The Impact of
Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa
korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif
pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20
sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar
untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan langsung antara
keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh
terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh
sekalipun.

 

Barangkali, masalahnya tidak
mengkhawatirkan jika yang ditiru adalah adegan dan perilaku yang positif. Tapi,
kenyataannya, justru bukan perilaku positif yang menarik bagi anak-anak dan
menebar di layar TV. Penelitian Sri Andayani & Suranto (1997) terhadap
film-film kartun Jepang Sailor Moon, Dragon Ball dan Magic Knight Ray
Earth menunjukkan lebih banyak adegan anti sosial ketimbang adegan pro
sosial (58,4% : 41,6%). Temuan diperkuat oleh studi YKAI yang mendapati adegan
anti sosial lebih dominan (63,51 %). Bahkan adegan-adegan anti sosial pula yang
banyak didapati pada film-film kartun anak-anak yang sedang populer saat ini,
seperti Sponge Bob Square Pans dan Crayon Sincan.

 

Hal ini diperparah dengan adanya
persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat sehingga mereka
bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan
dampak negatif dari tayangan tersebut.[2]
Padahal penonton televisi sangatlah beragam, di sana terdapat anak-anak dan remaja yang
relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua
terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang
tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya sehingga banyak muncul cerita
sinetron kita yang tidak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat kita
(Tini Hadad, 1997).

 

III.        PANDANGAN MASYARAKAT TERKAIT TELEVISI DAN
ANAK

Terkait dengan terpaan media
massa, khususnya televisi, penelitian Muttaqin, dkk (2007) di empat provinsi
menunjukan fenomena berikut. Di wilayah di Propinsi DI Yogyakarta termasuk unik
karena rata-rata waktu anak menonton televisi relatif sedikit, yaitu di bawah
dua jam per hari. Fenomena ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang
kondusif dalam bentuk sosialisasi "jam belajar" di rumah yang mendorong setiap
keluarga untuk menyediakan waktu belajar, misalnya jam 18.00 – 20.00 sehingga
kesempatan untuk menonton televisi dapat dikurangi. Di samping kebijakan
pemerintah daerah, kondisi obyektif masyarakat Yogyakarta yang umumnya terdidik
menjadi lebih memiliki kesadaran yang lebih baik untuk memanfaatkan waktu anak
secara baik dan konstruktif.

 

Hal menarik lainnya adalah
keragaman pandangan orang tua terhadap tayangan televisi. Sebagian besar orang
tua berpendapat secara positif terhadap dampak acara televisi sehingga dianggap
baik dan bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku dan
keterampilan. Pandangan positif ini disebabkan kemampuan orang tua dalam
mengatur jadual dan memilih acara yang tepat untuk anak sehingga anak-anak
dapat melihat tayangan yang bermanfaat. Di samping itu, para orang tua menyatakan selalu
mendampingi anaknya ketika menonton televisi agar dapat diarahkan secara
positif dan kontruktif.

 

Meskipun demikian, sebagian
orang tua merasa khawatir dengan kehadiran dan dampak tayangan televisi.
Kekhawatiran tersebut baik yang berupa fisikal, seperti merusak mata dan
mengurangi kemampuan gerak anak karena terlalu banyak diam (pasif), juga kekhawatiran dampaknya
terhadap perilaku anak. Secara umum, para orang tua merasa terbantu oleh
tayangan televisi dalam menambah pengetahuan dan keterampilan anak tetapi
mereka khawatir dengan dampak televisi terhadap perilaku anak yang mudah
meniru. Untuk itu, para orang tua berusaha membatasi anak dalam menonton
televisi dengan cara mengalihkan dengan kegiatan lain seperti mengajak bermain,
membaca, pergi ke TPQ, dan bernyanyi. Di samping upaya pengalihan tersebut, ada
juga orang tua yang memilih "penjadwalan" dan pengaturan secara ketat waktu
anak untuk menonton seperti yang dilakukan beberapa orang tua di Daerah
Istimewa Yogyakarta.

 

Di Sumatera Barat, terpaan televisi
terhadap anak-anak relatif bervariasi, mulai dari yang hanya satu jam sampai
yang mencapai lebih dari 4 jam per hari. Meskipun lama menonton televisi sangat beragam,
namun hampir semua orang tua memiliki kekhawatiran yang sama terhadap dampak
menonton televisi terhadap anak-anak.

 

Secara umum, orang tua di Kota
Padang sepakat terhadap manfaat tayangan tertentu televisi sangat bermanfaat
dan membantu pengembangan pengetahuan dan keterampilan anak, seperti dunia
sekitar dan flora-fauna. Namun jika dikaitkan dengan sikap dan perilaku, orang
tua di Kota Padang sangat mengkhawatirkannya karena berdampak buruk sehingga
anak semakin cenderung agresif dan kasar akibat tayangan kekerasan, termasuk
kartun anak yang menampilkan kekerasan.

 

Di samping kekhawatiran terhadap
kecenderungan kekerasan anak, orang tua juga khawatir dengan maraknya
pornografi dan pornoaksi dalam tayangan televisi. Oleh karena itu, orang tua
berusaha membatasi anak-anaknya menonton televisi dengan cara mengalihkan
dengan kegiatan lain seperti mengajak bermain, membaca, mendongeng (menjujai),
dan menyuruh ikut ke TPQ. Di samping upaya pengalihan tersebut, beberapa orang
tua berusaha membuat pengaturan waktu menonton televisi atau mematikan
televisi.

 

Selanjutnya, Orangtua anak di Nusa Tenggara Barat merasakan, bahwa
media massa terutama televisi memiliki pengaruh kuat bagi tumbuh kembang anak.
Televisi memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak
karena beberapa acara televisi mampu meningkatkan daya imajinasi anak. Beberapa
film kartun dan film anak-anak menstimulasi daya imaji dan sarana penanaman
nilai-nilai sosial kepada anak.

 

Pada segi lain,
televisi juga mempengaruhi perilaku anak untuk melakukan kekerasan fisik,
mental dan bahkan seksual kepada sesama teman. Kekhawatiran orangtua terhadap
tontonan televisi ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Lombok Tengah, Irfan Dilaga. Banyak anak-anak NTB yang menjadi korban dan
pelaku kekerasan seksual. Fenomena kekerasan seksual pada anak ini, menurut Irfan Dilaga memiliki
kaitan dengan akumulasi dari acara televisi yang menyuguhkan pornografi dan erotisme
kepada anak sejak usia dini.

 

Kekhawatiran senada
juga disampaikan oleh Camat Batu Layar, Lombok Barat. Remaja di daerah
pegunungan Batu Layar karena pengaruh televisi yang mereka dapat sejak usia
dini, telah mempengaruhi perilakunya untuk bersolek layaknya artis sinetron.
Perilaku dan dandanan remaja yang sok keartisan ini rawan terjadinya
perdagangan manusia dan seks, karena daerah pegunungan Batu Layar merupakan daerah pariwisata yang
banyak dikunjungi turis asing.

 

Menurut Irfan Dilaga,
sisi negatif dari tayangan televisi tidak diikuti dengan perhatian orangtua.
Banyak anak-anak usia dini yang dibiarkan melihat televisi secara bebas tanpa
pendampingan karena orangtua disibukkan oleh pekerjaan. "Kadangkala orangtua
justru memanfaatkan televisi untuk membuat anaknya tidak rewel dan tidak minta
jajan. Sehingga orangtua tidak peduli lagi dengan acara yang ditonton asalkan
tidak rewel dan tidak minta jajan tadi," tegas Irfan.

 

Berbeda dengan di Yogyakarta,
Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, orangtua dan tokoh masyarakat di
Sulawesi Selatan meresahkan siaran televisi yang bisa diakses anak-anak secara
bebas. Apalagi kesadaran orangtua untuk membatasi dan menemani anak-anak
menonton acara televisi masih rendah. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Makassar, Anwar Pasau, di
daerah pedalaman acara televisi menjadi sarana hiburan utama. Orang di
pedalaman berusaha mengumpulkan uang untuk membeli televisi. Tanpa ada batasan
umur seluruh anggota keluarga dan para tetangga menonton acara televisi
bersama-sama.

 

Orangtua di daerah
perkotaan juga meresahkan pengaruh acara televisi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Keresahan ini disampaikan Ny. Naomi, orangtua di Taman PAUD Bina Asbar Kelurahan
Bara-Baraya. Ny. Naomi mengatakan, dengan adanya sinetron anak yang bertema
dewasa membuat perilaku anak-anak seperti orang dewasa, misalnya, anak-anak sudah tahu tentang
adegan perkosaan, pacaran, selingkuh, dan bahkan anak-anak perempuan mulai
minta peralatan kosmetik untuk bersolek. "Sinetron Candy sebenarnya sinetron yang pemainnya
anak-anak tapi perilakunya seperti orang dewasa, masa anak SD sudah pacaran,"
komentar Ny. Naomi terhadap salah satu acara televisi.

 

IV.       ANALISA DAN REKOMENDASI

Derasnya suplai televisi dan
alat elektronik pendukungnya mengakibatkan kuatnya intensitas penggunaan
televisi oleh keluarga sehingga hampir semua keluarga memiliki televisi atau
tidak kesulitan mengakses acara televisi. Di tilik dari intensitas alokasi waktu yang digunakan
untuk menonton TV, setiap daerah dan juga keluarga memiliki variasi meskipun secara
keseluruhan cukup intens (lebih dari 1 jam per hari). Intensitas penggunaan
televisi memunculkan kekhawatiran sebagian besar orang tua sehingga orang tua
berupaya untuk membatasai dengan cara melarang atau juga mengalihkan aktivitas
anak ke aktivitas lainnya. Kekhawatiran orang tua tersebut disebabkan oleh
banyaknya acara televisi yang kurang konstruktif, bahkan cenderung anti sosial.

 

Hal ini paralel dengan penelitian Andayani
& Suranto (1997) yang menunjukkan kecenderungan anak untuk menonton acara
TV yang anti sosial. Hal itu diperparah dengan adanya persaingan di antara
stasiun televisi yang semakin ketat sehingga mereka bersaing tanpa
memperhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut.

 

Hal tersebut diperparah dengan keterbatasan
kemampuan orang tua (media literacy) dalam mendampingi anak bahkan juga
ada kekurangpedulian orang sehingga kurang memperdulikan kondisi yang tengah
terjadi antara televisi dan anak-anaknya. (Tini Hadad, 1997).

 

Persaingan antar media massa juga berdampak pada perilaku kurang sehat
dari para pengelola media massa yang ditunjukkan dengan rendahnya
self-cencorship sehingga banyaknya teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Selama 2005-2006 saja, KPI telah mengeluarkan sebanyak 141 teguran, dua
diantaranya diancam dilaporkan ke Polisi.

 

Berdasarkan fenomena tersebut, setidaknya
ada dua masalah yang perlu didalami, yaitu:

 

(1)       tingginya intensitas penggunaan televisi tidak dibarengi dengan
berkembangnya budaya dan melek media (media literacy) sehingga orang tua
memiliki keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam mendampingi anaknya yang
menonton televisi.

 

Hal ini mengakibatkan perubahan perilaku
anak yang menjadi cepat dewasa secara seksual dibandingkan kematangan umur dan
mentalnya. Hal ini diperparah dengan banyaknya visualisasi kekerasan yang
gampang ditiru oleh anak sehingga berkembang perilaku agresif dan kecenderungan
melakukan kekerasan di kalangan anak-anak;

 

(2)       berbagai acara televisi menawarkan berbagai tayangan menarik ke
ruang pribadi keluarga dan anak sehingga banyak waktu yang terbuang untuk
menonton televisi yang secara bertahap memunculkan sikap malas belajar karena
tergoda tayangan televisi.

 

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut
diperlukan kebijakan yang mampu mendorong semua pihak untuk peduli (ramah)
terhadap tumbuh kembang anak. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah:

 

1.         Memperkuat sinergi Komisi Penyiaran Indonesia dan pemerintah dalam menata dan
mengatur ruang publik, khususnya program dan frekuensi televisi yang ramah anak.

 

2.         Melakukan berbagai komunikasi,
sosialisasi dan edukasi dalam meningkatkan tingkat melek media (media
literacy) orang tua sehingga mampu menyikapi kehadiran televisi secara arif
dan peduli untuk mendampingi dan membimbing anaknya ketika menonton televisi.

 

3.         Menumbuhkembangkan berbagai partisipasi
dan keswadayaan masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap media massa,
terutama televisi, misalnya melalui media wacth.

 

4.         Mendorong tumbuhnya kesadaran dan
kepatuhan para pengelola media massa.

 

Secara skematik, rumusan
kebijakan tersebut divisualisasikan dalam matriks di bawah ini :

[1]  Magic Bullet Theories yang
dikembangkan pada tahun 1920 menyatakan bahwa media mengarahkan pikiran orang
dan memiliki dampak secara instant (Baran & Davis, 2000).  Dalam
batas minimal media massa tetap berpengaruh sebagaimana dikemukakan McBride, S, et al (1980) melaui Many Voices, One World, McComb, ME & Shaw, DL (1972)
dengan The Agenda-Setting Function of the Press', McQuail, D (1987), dan Scramm, W (1964) melalui Mass Media and National Development. Besarnya kekuataan media massa saat melahirkan kekhawatiran bahwa ide-ide merupakan barang yang
lebih patal daripada senjata (Sukadental dalam Jurnal Audientia,
Vol. 1 No. 3, 1993).

[2]  Dalam
bukunya bertajuk Seni Merayu Massa, Garin Nugroho (2005) menyatakan
bahwa tahun 2002-2005, merupakan pertarungan hidup dan mati bagi industri
televisi untuk masuk lima besar utama sehingga mendapatkan kue iklan  yang sehat. Dalam posisi seperti ini jual
beli pukula tak terhindarkan sehingga masyarakatpun bisa terkena pukulan.

Matriks Televisi dan Tumbuh
Kembang Anak

 

 
Kondisi Umum

 
Permasalahan

 
Arah Kebijakan

 
Rencana Aksi
 

~        
Alokasi waktu menonton TV anak cukup beragam namun secara keseluruhan
cukup intens.
~        
Ada kekhawatiran orang tua terhadap intensitas anak dalam menonton TV.
~        
Kecenderungan anak untuk menonton acara TV yang anti sosial.
~        
Persaingan di antara stasiun televisi yang semakin ketat sehingga
mereka bersaing tanpa memperhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut.
~        
Rendahnya kepedulian orang sehingga kurang memperdulikan kondisi yang
tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya.
 

~        
Terjadinya perubahan perilaku anak menjadi lebih dewasa dari umur
sebenarnya.
~        
Terjadinya perilaku kekerasan oleh anak karena terpengaruh tontonan
televisi.
~        
Anak menjadi malas belajar karena tergoda tayangan televisi.

~      Pengaturan
ruang publik (frekuensi) TV melalui sinergi KPI dan pemerintah.
~      Meningkatkan
tingkat melek media (media literacy) orang tua sehingga mampu
mendampingi anaknya.
~      Mendorong
berkembangnya swadaya masyarakat dalam mengontrol media (media wacth).
~      Mendorong
tumbuhnya kesadaran pengelola media massa.

~       
Meningkatkan peran orangtua dalam
mendampingi anak menonton televisi.
~       
Optimalisasi UU Penyiaran.
~       
Komisi Penyiaran Indonesia memberikan
perhatian agar penyampaian berita di media televisi lebih proporsional,
sehingga gambar-gambar yang ditayangkan lebih terseleksi.
~       
Meningkatkan peran LSF dalam
melakukan sensor film, sehingga lebih memperhatikan aspek sosial dan
psikologis anak.


 

DAFTAR PUSTAKA Bappenas
(2006). Studi Kebijakan Pengembangan Anak
Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi.

Bappenas
(2008). Strategi Nasional Pengembangan
Anak Usia Dini Holistik – Integratif.

Baran,
SJ & Davis, DK (2000). Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. Canada: Wadsworth.

Becker, L. Samuel (1987). Discovering Mass CommunicationDedi Supriadi, (1997), Kontroversi tentang Dampak Kekerasan Siaran
Televisi terhadap Perilaku pemirsanya dalam Bercinta dengan Televisi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.Dominick, Joseph R. (1996). The Dynamics of Mass Communication.Gardner, Howard (1993). Multiple Intelligences: The Theory in Practice.Gertz, C (1993). The
Interpretation of Cultures: Selected Essays. London: Fontana.

Hadad, Tini (1997). Analisis Konseptual dan Kondisi Riil dalam Pertelevisian Indonesia.Kristanto, Purnawan (2008). Iklan TV Merusak Pola Konsumsi Anak.Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Aksara Baru

Sri Andayani dan Hanif Suranto, (1997). Perilaku Antisosial di Layar Kaca dalam
Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.McBride, S, et al (1980).
Many Voices, One World. Report by the
International Commission for the Study of Communication Problems. Paris: UNESCO.

McComb, ME & Shaw,
DL (1972). 'The Agenda-Setting Function of the Press', Public Opinion Quarterly 36: 176-187.

McLuhan,
M (1964). Understanding Media: The
Extensions of Man. New York: McGRaw-Hill Book Company.

McQuail, D (1987). Mass Communication Theory 2nd Edition.
Beverly Hills, CA: Sage.

Sendjaja, Sasa Djuarsa (1993). Pengantar Komunikasi.Siregar,
A (2004). Peranan Strategis Media Massa
dalam Pembangunan Jatidiri Bangsa: Antara Cita dan Realita. Jakarta: Forum
Diskusi Kebudayaan Bappenas.

Scramm,
W (1964). Mass Media and National
Development. Stanford: Stanford University Press.

Skomis (1985). Television and
Society; An Incuest and Agenda.

Sukadental,
A. 'Masyarakat Informasi dan Model Politik Komunikasi'. Jurnal Komunikasi Audientia Vol. I No.3/1993.

Trenaman, JSM &
McQuail, D (1961). Television and the
Political Image. London: Mathuen.

Wirodono, Sunardian (2006). Matikan TV-mu. Resist Book: Yogyakarta.Zulkifli, A (1996). PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia.
Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti.

[1]  Magic Bullet Theories yang
dikembangkan pada tahun 1920 menyatakan bahwa media mengarahkan pikiran orang
dan memiliki dampak secara instant (Baran & Davis, 2000).  Dalam
batas minimal media massa tetap berpengaruh sebagaimana dikemukakan McBride, S, et al (1980) melaui Many Voices, One World, McComb, ME & Shaw, DL (1972)
dengan The Agenda-Setting Function of the Press', McQuail, D (1987), dan Scramm, W (1964) melalui Mass Media and National Development. Besarnya kekuataan media massa saat melahirkan kekhawatiran bahwa ide-ide merupakan barang yang
lebih patal daripada senjata (Sukadental dalam Jurnal Audientia,
Vol. 1 No. 3, 1993).

[2]  Dalam
bukunya bertajuk Seni Merayu Massa, Garin Nugroho (2005) menyatakan
bahwa tahun 2002-2005, merupakan pertarungan hidup dan mati bagi industri
televisi untuk masuk lima besar utama sehingga mendapatkan kue iklan  yang sehat. Dalam posisi seperti ini jual
beli pukula tak terhindarkan sehingga masyarakatpun bisa terkena pukulan.

--- On Tue, 5/25/10, Tatang muttaqin <Tatangm@yahoo.com> wrote:

From: Tatang muttaqin <Tatangm@yahoo.com>
Subject: [PERSIS] Re: Dahsyatnya Gelombang Penghancur Iman dan Akhlaq
To: pemudapersis@yahoogroups.com
Cc: mkaruk@yahoo.com
Date: Tuesday, May 25, 2010, 12:03 PM

 

Mas Mujiarto dan sohibs,Terkait Televisi "penghancur iman dan akhlaq" ini, barangkali artikel saya yang baru dipublis di Jurnal Perencanaan Pembangunan Vol I/2010 ini bermanfaat.

Salam hangat,
Tatang

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment