Advertising

Friday 24 February 2012

[wanita-muslimah] Makalah DR.Muhammad dari STAIN Palangka Raya

 




PENGAKUAN TULUS  DARI PEMBEDAH
 
Makalah Bedah DR. Muhammad dari  STAIN Palangka Raya Dalam Bedah Buku: "Di Mana Bumi Dipijak Di Sana Langit Dijunjung", Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah
22 Februari 2012 di Gedung Biru Harian Kalteng Pos  Palangka Raya.
 
"Saya sebenarnya bukanlah yang terbaik apalagi ahli dalam bidang budaya. Saya ada kekhilafan diri untuk menjadi pembedah buku ini. Ketika Bapak Kusni Sulang mengontak, tanpa pikir konsekuensi akademik yang mungkin saya hadapi, saya merespon positif tawaran beliau untuk menjadi salah satu pembedah hari ini. Setelah menelaah isi buku, ada muncul rasa tidak sanggup untuk meneruskan tawaran yang sudah terlanjur direspon positif, ketika ingin merekonfirm kepada penulis, ada rasa tidak sampai hati untuk mengecewakan beliau. Atas dasar itu, apa pun yang saya sajikan pada hari ini, itulah sesungguhnya yang dapat saya tangkap dari tugas mulia yang dipercayakan kepada saya. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.
 
Mari kita mendiskusikan hasil goresan pena sang guru-guru kita dengan jiwa besar, penuh kearifan dalam menerima perbedaan, bukan sebaliknya menjadikan perbedaan sebagai sarana untuk menjatuhkan satu sama lain.
 
Membedah buah Pena sang Guru-guru
Judul...? mengapa bukan dijunjung?
Ada apa dengan budaya Dayak?
Apa yang mau ditransformasi dari budaya Dayak?
Bagaimana transformasi dilakukan menurut ide utama buku ini?
Apakah budaya dayak tidak lagi humanis, sehingga diperlukan re-humanisasi?
 
 
 
 
 
 
 
Bedah Buku
"DIMANA BUMI DIPIJAK DI SANA LANGIT DIBANGUN"
(Transformasi Sosial Pembebasan melalui Re-Humanisasi)"
 
Ada banyak hal menarik membaca buku yang kental dengan pendekatan-pendekatan ilmu sosial kritis ini ditulis oleh orang-orang yang memiliki ketertautan jiwa dengan dunia budaya dan dunia sosiologis secara bersamaan. Sulit kita bayangkan hadirnya sebuah karya racikan ide yang ditumpuk secara sistematis melalui halaman demi halaman sehingga terjadi kompilasi sejilid buku  dengan judul sebagaimana terlihat, tanpa adanya kompetensi dari pada sang penulis.
Membaca buku ini mengundang kita lebih jauh untuk melang-lang buana melakukan pengembaraan interlektual dengan mencermati, memahami dan menganalisis untaian-untaian kalimat yang dikemukakan para sang penulis. Buku ini mengajak kita, tidak saja untuk banyak bertanya, tetapi juga mengantar kita memahami nuansa budaya dalam kacamata sosiologis kritis.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan dalam buku ini sederhana, namun memerlukan jawaban yang tidak saja kritis, tetapi juga sarat dengan justifikasi empirik (data dan fakta) disekitar kehidupan uluh Kalteng dan budaya Dayak.  Pertanyaan sederhana dimaksud dijadikan starting point untuk membedah buku ini sehingga pada gilirannya dapat ditemukan benang nilai yang mendasari iede-ide sang para penulis. Kita yakin bahwa ide tentang sesuatu tidak lahir dari kehampaan makna, karena itulah buku ini sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan yang mendasarinya.
 
Buku ini banyak menggugat kondisi uluh Kalteng dan budaya Dayak, terutama kalangan generasi muda dan para pemangku kepentingan agar mereka memiliki daya kritis, konsep jati diri yang sesungguhnya, sebelum terlampau jauh menjadi masyarakat yang mapan di atas kerusakan, tenang dikepunden berapi, kehilangan orientasi, bunuh diri kolektif secara budaya (lihat hal. Ix).
Keadaan yang dialami uluh Kalteng dan budaya Dayak merupakan sebuah tragedi historis atas kebudayaan yang melanda masyarakat Dayak di tengah modernitas. Tragedi historis ini membawa impact terjadinya disintegritas historis, terporandaknya konsep diri (self concept), karakter (character) dan identitas (identity) Dayak saat ini (hal. Ix).
Sejumlah harapan diserukan kepada uluh Kalteng, terutama insan generasi muda agar mereka tidak sampai kehilangan jejak sebagai orang Dayak tidak mengenal budaya Dayak. Memiliki identitas budaya tidak berarti harus menonjolkan primordialisme, tetapi dimaksudkan untuk berpegang teguh pada identitas budaya. Identitas budaya ini merupakan wajah unik seseorang atau sekelompok masyarakat yang mencerminkan wajah jiwa dan tingkat pencapaian intelektualitas yang dikenal sebagai local wisdom (hal. xvi). 
Warning tersebut sebenarnya penuh harap agar uluh Kalteng bisa berfikir global bertindak secara lokal (think globally and act locally). Tentu yang dikehendaki adalah kemampuan untuk menfilter nilai-nilai budaya luar agar tidak tergilas oleh roda perkembangan modernitas yang secara de facto telah memberi banyak kontribusi bagi munculnya universalitas budayasme, yang kini sudah berlalu dan kita sedang berada di era post modernism.[1]
Konsep jati diri penting untuk dipegang teguh agar kita tidak kehilangan orientasi dan degradasi nilai. Kita perlu berfikir universalitas, melakukan reformasi universalitas nilai-nilai budaya moderen dengan tetap berpegang pada kearifan lokal dan partikularitas kita yang, tentu saja, memberi kontribusi positif bagi perkembangan cipta rasa dan karsa kita, selanjutnya disebut kebudayaan.[2] 
 
Buku ini, jika kita cermati secara seksama, terdiri dari tujuh bab, namun secara substantif kajian tentang grand theme terdapat pada bab satu yang terdiri dari beberapa sub yang berbeda. Sub-sub itu merupakan kontribusi pemikiran dari para sang guru yang berbeda. Oleh karena merupakan hasil kompilasi pemikiran yang berbeda, maka buku ini disebut sebagai antologi.
Sungguhpun demikian, saya ingin mengajak kita semua untuk memberikan apresiasi atas kemunculan buku antologi ini. Kita cermati sub-sub kajian dalam buku ini karena di dalamnya terdapat sejumlah pandangan dunia (world view/weltanschaung) yang merupakan hasil daya imajinasi (kreasi) pergumulan pengalaman penulis (karsa) yang memberikan tawaran kepada kita, terutama dalam melakukan transformasi sosial, liberalisasi (pembebasan) dan re-humanisasi.
 
JUDUL YANG MENGGUGAT KEMAPANAN
Judul buku ini tidak sebagaimana lazim yang kita pahami, "DI MANA BUMI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIBANGUN" bukan dijunjung. Ada satu anomali (penyimpangan) dari judul ini, yaitu penyimpangan dari pemahaman yang sudah mapan (established understanding). Apakah ini petanda bahwa para sang penulis hnedak melakukan the deconstruction on the established understanding? Anomali, bagi saya, tidak selamanya mengandung makna negatif, dalam konteks judul ini tidak ada yang perlu disalahkan.
Mengapa? Lantaran sebuah kata seperti  "dijunjung" atau "dibangun" memiliki makna tersendiri bagi sang konstruktornya. Ia dimaksdukan untuk menunjukkan arti dan makna dari suatu ide dan pemikiran sang konstruktor. Seperti halnya judul buku, semua kata yang melekat dalam nama sebuah benda -apapun namanya- tidak muncul dari ruang kehampaan, ia selalu memiliki nilai bagi konstruktornya.
Kita pun menjadi yakin tak ada sesuatu hasil cipta rasa dan karsa manusia yang bebas dari nilai (free of value). Kata ataupun istilah memiliki makna penanda (to sign) atau signal, memberikan makna dunia (meaning of the world) dari dunia imajinasi dan hasil cipta, rasa dan karsa penulis.[3]
Kata "dibangun" dalam relasinya dengan judul ini merepresentasikan makna ide penulisnya,  Goenawan Mohamad. Dia memandang tepat penggunaan kata "dibangun", bukan dijunjung baginya, membangun berarti mencipta. Mencipta arti dari membangun, sebuah kata yang menunjukkan adanya energi positif dan kreatif yang dikerahkan untuk menggerakkan kehidupan kebudayaan. Makna yang diberikan Goenawan Mohamad mewakili dalam kata itu makna kebudayaan, yaitu sebagai proses kreatif untuk aktualisasi- proses membangun sesuatu menjadi aktual, hadir, terwujud (hal. 4).
Langit dijadikan sebagai terma kiasan yang mengisyaratkan "tiadanya batas yang akan membuat proses itu berhenti (endless processes). Mengapa proses yang tidak boleh berhenti? Sebab jika manusia berhenti dalam proses membangun sama dengan membuka ruang bagi terjadinya stagnasi kebudayaan. Stagnasi kebudayaan berarti kemunduran, kemunduran berati terbelakang, terbelakng  berarti tergantung. Ketergantungan inilah yang membuat kita mengalami erosi budaya, mejadi lahan empuk bagi terjadinya imperialisme budaya dan sebgainya. Karena itu, sebagai mahluk homo creatio[4], mahluk yang berbudaya, idealnya tidak boleh berhenti dari proses budaya yang melahirkan kebudayaan. Tujuan kebudayaan[5] tidak bisa dibayangkan sebagai sebuah titik tanda selesai, melainkan terus-menerus berproses seperti halnya seorang seniman yang meraut ukiran atau membentuk puisi, ia mungkin merasa ada sesuatu yang hendak dicapai, tapi ia tak mungkin membayangkan satu titik yang tegas di mana kebudayaan akan berakhir (hal. 5).
 
 
ISI   BUKU: AN OVERVIEW 
Secara sitematis sub-sub bab dari buku yang kita bedah hari ini diawali dengan tulisan Goenawan Mohamad bertajuk "dimana bumi dipijak di sana langit dibangun". Judul tulisan ini nampaknya meng-inspire para penulis untuk dijadikan sebagai grand theme buku ini. Isi tulisan ini memberikan elaborasi tentang dinamika kebudayaan dengan praxis kehidupan manusia sebagai mahluk budaya. Budaya apapun namanya –Jawa, Bugis, Sumatera dan sebagainya- sesungguhnya tidak berasal dari sebuah substansi yang sudah hadir sejak dulu melainkan direkacipta oleh orang yang termaktub dalam budaya itu untuk mewakili tujuan dan maksud tertentu, termasuk tujuan konsolidasi identitas lambat lau menjadi sebuah budaya yang mapan, yang membedakan satu dari yang lain.
Dari sini muncul kecenderungan untuk menempatkan budaya sebagai salah satu identitas. Mengapa dikatakan identitas, oleh karena budaya sebuah istilah general, sedangkan isi dan bentuk budaya itu berbeda, seperti artefak, nyanyian, tarian, bahasa dan sebagainya. Pemakaian kata yang menunjuk pada budaya yang berbeda, misalnya budaya jawa disamping menunjukkan nama, ia juga merupakan sebuah bentuk representasi, yang berperan membentuk apa yang sebenarnya direpresentasikan. Sebuah ide tentang budaya –apapun  namanya- telah membentuk praxis kehidupan budaya di suatu ruang, dan bukan sebaliknya.
Sebagai sebuah proses yang endless, seiring dengan adanya proses kreatif lambat laun menjadi potensi yang mengguncang identitas budaya yang dianggap mapan. Dari mana ia bermula? Lembaga politik, agama, juga kapitalisme selalu mencoba menangkap apa yang diluar lembaga-lembaga itu menjadi taxonomi sehingga terjadi identifikasi dan klasifikasi. Dalam identifikasi dan kemapanan itu ternyata tidak ada himpunan yang kukuh ditiap keadaanya yang tampak stabil, di sebuah lingkungan budaya dengan identitas yang terus menerus dipertegas, selalu ada unsur yang tersingkir.  Mereka inilah yang dikategorikan  kelompok minoritas, bukan karena jumlahnya sedikit, tetapi juga karena poisinya yang tidak berada dalam jangkaun taksonomi kekuasaan yang menentukan semuanya.  
Di sinilah bermula praktek  oleh lembaga kekuasaan yang tidak saja menunjukkan ketidakadilan namun juga cacat serius karena ketidakmampuannya untuk menjerat semua. Di sini pulalah peluang bagi aktualisasi dari yang lain, yang berbeda, dan pada saat yang sama yang belum merupakan bagian dari kesatuan (hal. 14).
Dalam konteks budaya lokal, penulis buku ini meneropong adanya proses penghancuran Bangsa Dayak melalui proses genocide culture, yaitu pengaburan dalam hegemoni yang tak terkontrol yang dilakukan oleh negara,  corporate besar yang bersekuu dengan pemerintah. Kedua kekuatan ini melakukan proses reinkarnasi dalam tubuh orang Dayak dalam lembaga yang menyebut diri organisasi/lembaga yang menyebut diri Dayak.  Konsep ideologi dan pembangunan ekonomi lahir dari rahim ideologi negara, state  yang diterima oleh masyarakat Dayak.
Dalam ideologi ini, penulis mengakui adanya aktivitas revitalisasi ke-Dayak-an namun sebatas proyek yang hasilnya adalah oranment-oranment dan artefax artifisial sehingga semua gerakkan kehidupan Dayak terjebak dalam politik transaksional dalam dunia kapitalisme global yang tak terbendung. Dewan adatpun seolah sudah kehilangan jejak dari esensi yang asli. Konflik horizontal terjadi di antara sesama Dayak  sendiri yang hanya melicinkan jalan bagi sang "ratu-adil" yakni negara dan rasukan modal (hal. 19). [6]
Apa yang harus dilakukan menuju perubahan? Penulis menawarkan pemberontakan tidak dalam pengertian fisik, melainkan penguatan basis-basis, perumusan issue-issue strategis, kekuatan orang Dayak harus disuarakan, terutama perempuan, melakukan proses pembusukkan ketidakadilan,  membangun mind-set yang benar tentang budaya Dayak, dan terus menerus melakukan penulisan ulan sejarah kebudayaan Dayak yang berangkat dari grassroad dan dari voice of voiceless (suara yang tak bersuara) (hal. 20). 
 
MELAKUKAN PEMBEBASAN
Penulis dengan kemampuan filosofi menawarkan beberapa paradigma dalam melakukan gerakan pembebasan masyarakat Dayak dari genocuide culture. Ia mengungkap dua paradigma, yaitu paradigma penelitian pembebasan dan paradigma konvensional. Kedua paradigma ini memiliki perbedaan. paradigma pembebasan melihat penelitian sebagai bagian dari rakyat, mitra rakyat dalam produksi pengetahuan, berfunsgi untuk saling ingat mengingatkan tentang tantangan yang mereka hadapi, serta potensi mereka untuk merubah nasib mereka. Hasil akhir yang dituju adalah transformasi sosial menuju kondisi hidup yang manusiawi, atau transformasi sosiali melalui rehumanisasi (hal. 26).     
Meskipun paradigma penelitian pembebasan ini memiliki varian, namun secara filosofis memiliki key words yang sama, yaitu change or transformation seperti yang dimotori Gramsci  dengan traditional and intellectual organic, Foucault dengan konsep power/knowledge, Paulo Freire dengan konsep "decodification"-nya. Sejumlah paradigma pembebasan yang dikemukakan penulis pada intinya menolak asumsi filosofis yang value free, meneguhkan value laden. 
Value free sebenarnya asumsi filosofis yang dianut paradigma konvensional, yaitu proses dialektika kelembagaan dalam produksi pengetahuan, menyedot pengetahuan dari rakyat tanpa mengembalikan pengetahuan yang diperoleh dari rakyat. Hasil ikutan dari proses penelitian ini adalah promosi akademik peneliti, kenaikan status sosialnya, fee dari pemesan penelitian, serta kontrol dari negara dan modal terhadap rakyat (hal. 23-4).  
Memang bisa dipahami pola kerja paradigma penelitian konvensional yang tidak berujung pada liebarlisasi (pembebasan). Hal ini bisa dipahami karena memang paradigma ini dominasi positivisme yang mulai berkembang sejak abad ke 18. Positivisme beranggapan bahwa klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenarannya lewat metode ilmu alam (science) dan metode ini  berdasarkan pada logika ilmu alam. Setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan pada metode ilmu alam maka tidak layak disebut sebagai pengetahuan.  Jika pembebasan sebagai ranah kekuasan ilmu sosial-budaya, maka harus memakai baju metode ilmu alam.
Pandangan absolut semacam ini memiliki akar historis yang sudah panjang,  ia bukan produk yang tampak dalam empat abad terakhir melainkan sejak  zaman Galileo dan rekan-rekan sezaman-nya bahkan dielaborasi oleh Francis  Bacon di awal abad ke 17. Inti dari metode ilmiah Bacon adalah penelitian ilmiah yang dimulai dari pengumpulan data yang dapat diamati secara terbuka, disertai  dengan pengembangan hipotesis yang mengarah pada penjelasan data, selanjutnya pengujian hipotesis itu melalui eksperimen. Pembuktian secara empiris membantu memperkuat posisi  hukum ilmiah, menjadi satu tambahan  permanen dalam tubuh sains itu.
Pengetahuan teoritis yang dipakai untuk mengendalikan realita diturunkan dalam bentuk hipotesis dan instrumentasi untuk melakukan cek empiris. Dengan bantuan feed-back monitoring suatu tes empiris akan mentransferbalik falsifikasi kepada hipotesa. Ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan ini merupakan realisasi jasa besar Baconian dengan pernyataan  scientia propter potentiam, yang berarti pengetahuan teoritik mempunyai kemampuan prediktif dan dapat diterapkan  secara teknis untuk  kepentingan praktis.  Sayang sekali, absolutisme dalam memahami manusia sebagai obyek statis telah menempatkan manusia bagaikan informasi yang dapat dimanipulasi, dikontrol dan diarahkan perkembangannya.
Upaya pembebasan dominasi epistemologi dan metodologi  positivisme muncul. Wilhem Dilthey tampil untuk membedakan dua jenis metode ilmu pengetahuan yang tidak dapat saling direduksi, yaitu Geisteswissenschaften dan Naturwissenschaften, yang merujuk pada ilmu sosial budaya yang kedua merujuk pada ilmu-ilmu alam.
Dengan postulasi yang dikemukakan di atas dapat dipastikan, saya sependapat dengan sang guru-guru penulis buku bahwa paradigma konvensional tidak akan mampu membebaskan masyarakat dari perangkap jejaring realitas sosial yang melingkupinya. Mengapa? karena realitas sosial yang ingin dibebaskan, sebagaimana harapan para sang guru penulis buku ini, diciptakan berdasarkan kepentingan hegemoni dan dominasi kuasa paradigma positivisme. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa sebuah realitas sosial tak lahir dari kevakuman, melainkan membawa misi terselubung, apakah itu bernama idiologi atau kepentingan apapun jua, atau kekuasaan itu sendiri. Meskipun paradigma konvensional mengklaim diri bebas dari nilai (free of value), namun dalam kenyatannya sulit diterima dan kepentingan itu selalu terselubung atas nama apapun.
Menggoyang kemapanan yang sudah mapan sebagai akibat konstruksi realitas sosial yang didominasi oleh positivisme konvensional memerlukan kekuatan paradigmatik lain, yang dalam buku ini ditawarkan paradigma penelitia pembebasan. Di antara paradigma penelitian pembebasan itu dikemukakan dalam buku ini ala Gramsci, Paulo freire,  dan Foucault. Pembedah dapat menerima beberapa nama yang disodorkan, namun dalam konteks pengembangan horizon maka perlu diberikan elaborasi lebih detail. Elaborasi detail itu ditekankan pada satu paradigma penelitian pembebasan yang bernama  post-modernisme, sebagai antitesa dari modernisme yang mengusung metode konvensional yang kita bahas tadi. Ciri utama paradigma ini adalah emansipatoris, change and transformation.
Postmodernisme pada dasarnya adalah sebuah pandangan dunia yang mencoba meletakkan dirinya di luar paradigma konvensonal (modernisme) yang menilai modernitas dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi. Paradigma ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan modernisme dalam kehidupan manusia. Ia (modernitas) tidak saja melibatkan penyebaran hegemonis kapitalisme, industrialisme, urbanisasi dan sebagainya, tetapi juga melahirkan binnary opposition, perbedaan kaya-miskin, diskriminasi dan sebagainya. Kegagalan ini membawa konsekuensi ketidakmampuan untuk melihat hakekat manusia secara utuh. Dalam pandangan researchnya,  ia cenderung berfikir logosentrisme. Ciri paling mudah dikenali dari logosentrisme ini terletak pada aspek praksis dan keilmuan. Pada aspek praksis logosentrisme mengklaim bahwa praktek  ekonomi dan bisnis atau praktek apa saja harus berlaku universal. Pada aspek keilmuan, logosentrisme melecehkan aspek nilai (etika) dan memberangus nilai-nilai lokalitas. 
Atas dasar karakter yang dikemukakan tadi, maka secara eksplisit tepatlah istilah yang digunakan  sang para guru penulis buku ini seperti genocide culture yang menggambarkan kematian lokalitas yang diberangus oleh universalitas. Dengan adanya post-modernieme, semoga saja mampu melumerkan logosentrisme yang dihadirkan oleh budaya kosmopolitan  (modernitas)  sehingga uluh Kalteng dapat suvival melihat dan menyediakan tempat bagi survivalitas budaya lokal. Budaya lokal (budaya Dayak) sebagai hasil kreasi masyarakat Dayak harus pula mewarnai mindset hingga merembet ke perilaku Dayakness atau masyarakat Kalimantan Tengah sehingga menjadi dasar  bagi hidup  berbangsa, bernegeri dan bernegara Sayangnya, perspektif melihat melihat budaya ghetto, budaya etnik penduduk yang majemuk yang tidak tersambung satu dengan lain, terlihat dua sifat binnary opposition, agresif-defensif yang berdampak pada tidak terakomodirnya secara maksimal budaya Dayak sebagai kekayaan untuk membangun  uluh Kalteng yang beridentitas Kalteng sehingga budaya ghetto berkembang subur menjadi cermin diri dalam budaya politik di daerah ini (hal. 102).
Apabila kita hendak mengembalikan budaya Dayak sebagai sentrum bagi budaya ghetto, maka langkah transformatif yang harus dilakukan adalah melakukan gerakan pembebasan melalui paradigma penelitian pembebasan dan melakukan transformasi sosial pembebasan hingga sampai pada  rehumanisasi secara kongkrit dan sempurna.  Gerakan rehumanisasi ini dilakukan oleh mereka yang memiliki kepentingan untuk secara bersama-sama membangun dan mempertahankan lokal wisdom di tengah gencarnya universalisme budaya dan budaya ghetto. Yang tak kalah penting yang harus dimiliki oleh para tranformer itu adalah unitas dan loyalitas bahasa, unitas tujuan dan adanya komitmen pembebasan, kemampuan melepaskan uluh Kalteng dari budaya ghetto yang dianggap telah menjadi cermin politik di daerah ini. Mereka harus pula mampu menciptakan realitas sosial yang membawa masyarakat Dayak cinta budaya Dayak. Kenapa para transformer yang bervisi  pembebasan? karena seperti dikatakan tadi bahwa realitas cinta budaya Dayak atau realitas benci budaya Dayak, misalnya itu dapat dikonstruksi oleh sang aktor dengan caranya, nilainya dan kepentinganya dalam mengubah wajah kehidupan masyarakat dari yang genocide culture menjadi cinta budaya Dayak.
Apabila realitas sosial yang diciptakan, misalnya, menjauhkan masyarakat dari budaya Dayak,  maka ia akan akan melahirkan realitas sosial yang menghindari budaya Dayak,  sebaliknya,  jika sang aktor sosial menciptakan realitas cinta damai, cinta budaya Dayak, maka realitas sosial yang tercipta akan besar pengaruhnya dalam membentuk perilaku individu untuk berperilaku sama dengan warna realitas sosial yang mengikatnya, yaitu cinta budaya Dayak.  Demikian pula sebaliknya, ketika kita hendak menciptakan realitas sosial 'lupus et homo homini", maka realitas itu terpola sebagaimana realitas yang mengikatnya pula.
Jika genocuideculture dipahami berdasarkan alur penciptaan realitas sosial tadi, maka kita mesti menciptakan realitas sosial yang sarat dengan kepentingan bersama yang diikat oleh nilai keadaban publik (public civility). Mengapa harus public civility? Karena saya menangkap lebih lanjut pandangan dari penulis buku ini bahwa kehancuran suatu masyarakat atau bangsa bukan karena perbedaan atau bencana, tetapi adalah persoalan moralitas. Saya sepakat dengan statemen yang dikutip penulis dari KH. Maman Imanul Haq (2011) ini. Memang, suatu bangsa tidak akan dapat mencapai kebesaran atau kejayaan kecuali bangsa itu (pemimpin)nya masih memiliki sesuatu untuk dijadikan pedoman, dan pedoman itu mengandung dimensi moral untuk menopang sebuah budaya dan peradaban besar.    
 
DIPERLUKAN PUBLIC CIVILITY  
 
Kemajuan peradaban yang dicapai manusia harus diwarnai oleh moralitas. Relasi yang erat kemajuan masyarakat dan dimensi moral mengandaikan dua sisi yang saling melengkapi. Buah dari moral inilah yang mendorong munculnya keadabanpublik dalam kehidupan komunitas.[7]
Ketinggian dalam memahami keluhuran moral dalam budaya dan peradaban memiliki pengaruh besar dalam mengangkat martabat manusia dan membebaskan masyarakatnya dari tirani, penguasa atau mereka yang memiliki power untuk menundukkan orang lain, dan membetulkan hubungan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah serta mengarahkan pandangan masyarakatnya pada realitas semu, yang tidak didasarkan pada konstruksi public civility.[8]
Antitesis dari keadaban adalah kebiadaban. Kebiadaban merujuk pada sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan disfungsionalnya nilai moralitas. Mereka adalah pribadi dan masyarakat tidak tercerahkan, yang digambarkan dalam fenomena etnis antropologis yang kemudian disebut sebagai masyarakat primitif.[9]  Dalam tapak tilas sejarah yang populer di gurun Arabia, kita mendengarkan masyarakat jahiliyah, masyarakat yang telah memiliki kebudayaan yang tinggi secara seni dan sastera namun secara moral dan religi tidak tercerahkan sama sekali.
Mensintesisikan pembangunan (development) sosial, politik dan ekonomi dan budaya dengan moralitas dan etika secara  berimbang adalah sebuah keharusan. Karena bukti sejarah menunjukkan jatuh bangunnya kerajaan romawi disebabkan karena dimensi moralitas yang terabaikan dalam peta pembangunan. Kitapun tidak bisa juga  membangun tanah air kita ini dengan merekonstruksi adagium klasik "let's everything related to worldly matter to the king  and the here after to the pope"
 Aspek moralitas dalam pembangunan sosial, budaya dan ekonomi merupakan kunci penting dan sarana penting dalam mewujudkan gerakan transformasi sosial ekonomi yang berperadaban. Tanpa spirit nilai-nilai keadaban pembangunan dalam segala aspek hanya menjebak manusia pada munculnya ketamakan, egoisme, dan individualisme yang mencemari watak dasarnya sebagai mahluk madani dan mahluk hanief, condong pada kebenaran dan kebajikan. 
Moralitas memugar semua bentuk praktek  feodalisme, patriarkhi, monopoli dan monopsoni yang terakumulasi dalam berbagai bentuk anomali yang kita saksikan sekarang. Misalnya saja rakyat harus diungsikan dari negerinya sendiri, kekerasan terhadap rakyat yang dilakukan rakyat atas nama Tuhan demi menegakkan kebajikan dan kebenaran, korupsi yang kian menggurita, yang bertentangan dengan keadaban publik (public civility). Ini semua terjadi lantaran lemahnya penegakkan keadaban publik, dan tiadanya konsistensi untuk mengganti anomali itu dengan  sistem yang  egaliter dan berkeadilan yang bersumber dari spirit nilai-nilai etika dan moralitas publik. ***


[1]Bedakan modernisme dengan post modernise, filosofinya dan sebagainya yang oposisi biner (binnary opposition)
[2] Apa tiu kebudayaan.....??
[3] Lihat Burrel and Morgan......
[4] Istilah ini sengaja saya gunakan untuk menandai maksud ide saya tentang....
[5] Istilah budaya disamakan dengan adab, dikonstruksi dari kata budi dan daya yang biasa dipahami sebagai olah rasionalitas manusia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lihat misalnya, H. Muhammad In'am  Ehsa. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam. (Malang:UIN Maliki Press, 2011), 40. Kebudayaan menggambarkan semangat mendalam mengenai masyarakat yang ditandai dengan kemajuan mekanis dan teknologis menjadi core dari kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan direfleksikan dalam seni dan sastera serta religi sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi, seni bangunan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. J. Mark Halstead. Islamic values: a distinctive framework for moral education? Journal of Moral Education Vol. 36, No. 3, September 2007, pp. 283–296.
 
 
[6] Lihat justtifikasi dari Iwan Triyuwono,  Akuntansi:Kajian Kritis dengan ParadigmaPost-modernisme.  Frijof Capra,  The Hidden Connection. Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Yogyakarta:Jalasustra. Ritzer Georga dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Moderen. Jakarta: Kencana, 2004.  Ben Agger. Teori Sosial Kritis. Kritik, Penerapan dan Implikasi. Yogyakarta:Kreasi Wacana. 2003.
[7] J. Mark Halstead. Islamic values: a distinctive framework for moral education? Journal of Moral Education Vol. 36, No. 3, September 2007, pp. 283–296.
[8]  Fadli SJ. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. (Malang:UIN Malang Press. 2008), 27-8
[9] M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban. (Jakarta:Paramadina, 1996), xiv-xv




__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment