Ironi Negeri Tempe
Jumat, 27 Juli 2012 00:00 WIB
DALAM beberapa hari terakhir, tempe dan tahu mencuat menjadi isu nasional. Makanan rakyat berharga murah tetapi kaya gizi itu langka di pasaran lantaran mahalnya kedelai sebagai bahan baku.
Harga kedelai memang kian liar tak terkendali. Kenaikannya gila-gilaan, bahkan menembus Rp8.000 dari biasanya Rp5.000 per kilogram. Dengan harga bahan baku semahal itu, pengusaha tempe dan tahu memilih mogok produksi selama tiga hari mulai Rabu (25/7) hingga kemarin.
Mereka tak punya pilihan lain untuk menyatakan sikap. Segala kiat, segala cara, termasuk memperkecil ukuran tahu dan tempe, demi menyiasati mahalnya harga kedelai tak lagi ampuh untuk bertahan.
Bagi mereka, mogok produksi adalah pilihan terbaik. Efeknya pun luar biasa. Ketika tempe dan tahu absen di warung, pasar, hingga pasar swalayan, rakyat ternyata merasa sangat kehilangan.
Tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat.
Kelangkaan tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain.
Untuk urusan kedelai saja, kita tak punya kedaulatan. Kita takluk pada serbuan kedelai dari mancanegara karena produksi dalam negeri tak bisa lagi diandalkan.
Produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun.
Selama pasokan kedelai masih bergantung pada asing, selama itu pula masalah kelangkaan tempe dan tahu akan terjadi. Ironisnya, pemerintah tak memandang persoalan secara utuh. Mereka lebih suka menyikapi gejolak harga kedelai dengan cara instan, yakni menghapus bea masuk.
Itulah solusi gampangan tanpa harus pusing-pusing berpikir. Penghapusan bea masuk impor kedelai hanyalah obat sesaat yang mustahil bisa menyembuhkan akar penyakit. Khasiatnya juga tak terlalu mujarab, cuma mampu menurunkan harga sebesar Rp400 per kilogram. Kebijakan itu bahkan membuat impor kedelai kian deras membanjir dan kian ganas melindas produksi dalam negeri.
Masalah kedelai adalah masalah ketidakmampuan negeri ini mencukupi kebutuhan sendiri. Itulah persoalan pokok yang harus diselesaikan pemerintah. Tindakan nyata wajib segera dilakukan agar petani dengan senang hati menanam kedelai. Pemberian insentif dan jaminan harga kepada mereka tak bisa lagi ditawar-tawar.
Indonesia yang kini dalam situasi darurat tempe merupakan konfirmasi bahwa pengelola negeri ini sudah lama mengabaikan urusan pangan sehingga beras, gula, kedelai, jagung, sampai singkong mesti diimpor. Untuk urusan pangan dan banyak urusan lain, pemerintah sering mengeluh kesulitan. Lah, pemerintah justru hadir untuk mengurusi yang sulit kok! Disorientasi beginilah menyebabkan yang gampang pun jadi sulit.
Harga kedelai memang kian liar tak terkendali. Kenaikannya gila-gilaan, bahkan menembus Rp8.000 dari biasanya Rp5.000 per kilogram. Dengan harga bahan baku semahal itu, pengusaha tempe dan tahu memilih mogok produksi selama tiga hari mulai Rabu (25/7) hingga kemarin.
Mereka tak punya pilihan lain untuk menyatakan sikap. Segala kiat, segala cara, termasuk memperkecil ukuran tahu dan tempe, demi menyiasati mahalnya harga kedelai tak lagi ampuh untuk bertahan.
Bagi mereka, mogok produksi adalah pilihan terbaik. Efeknya pun luar biasa. Ketika tempe dan tahu absen di warung, pasar, hingga pasar swalayan, rakyat ternyata merasa sangat kehilangan.
Tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat.
Kelangkaan tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain.
Untuk urusan kedelai saja, kita tak punya kedaulatan. Kita takluk pada serbuan kedelai dari mancanegara karena produksi dalam negeri tak bisa lagi diandalkan.
Produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun.
Selama pasokan kedelai masih bergantung pada asing, selama itu pula masalah kelangkaan tempe dan tahu akan terjadi. Ironisnya, pemerintah tak memandang persoalan secara utuh. Mereka lebih suka menyikapi gejolak harga kedelai dengan cara instan, yakni menghapus bea masuk.
Itulah solusi gampangan tanpa harus pusing-pusing berpikir. Penghapusan bea masuk impor kedelai hanyalah obat sesaat yang mustahil bisa menyembuhkan akar penyakit. Khasiatnya juga tak terlalu mujarab, cuma mampu menurunkan harga sebesar Rp400 per kilogram. Kebijakan itu bahkan membuat impor kedelai kian deras membanjir dan kian ganas melindas produksi dalam negeri.
Masalah kedelai adalah masalah ketidakmampuan negeri ini mencukupi kebutuhan sendiri. Itulah persoalan pokok yang harus diselesaikan pemerintah. Tindakan nyata wajib segera dilakukan agar petani dengan senang hati menanam kedelai. Pemberian insentif dan jaminan harga kepada mereka tak bisa lagi ditawar-tawar.
Indonesia yang kini dalam situasi darurat tempe merupakan konfirmasi bahwa pengelola negeri ini sudah lama mengabaikan urusan pangan sehingga beras, gula, kedelai, jagung, sampai singkong mesti diimpor. Untuk urusan pangan dan banyak urusan lain, pemerintah sering mengeluh kesulitan. Lah, pemerintah justru hadir untuk mengurusi yang sulit kok! Disorientasi beginilah menyebabkan yang gampang pun jadi sulit.
++++++
27 Juli 2012 | BP
Pola rancang kebijakan pengembangan pembangunan Indonesia ke depan, tampaknya harus segera diperbaiki dan bila perlu diubah. Sebab apabila tidak dilakukan hal seperti itu, bangsa ini bisa anjlok pada tingkat yang paling bawah. Rakyat tidak akan mampu menjalankan kehidupan bahkan menjaga kesehatannya sendiri. Jika ini terjadi, Indonesia yang begitu kaya dengan berbagai kekayaan alam benar-benar goyah, terpuruk dan menjadi bahan tertawaan bangsa luar. Bagi para penyelenggara negara sekarang, siap-siap menjadi caci maki anak cucu kelak. Tidak ada tulah yang lebih buruk jika anak cucu justru mencaci leluhurnya sendiri.
Mogoknya para pengrajin tempe-tahu di pusat produksi di Jawa merupakan bukti bagaimana model pembangunan Indonesia sekarang sangat tidak memperhatikan sektor kecil. Industri tahu dan tempe itu terpaksa melakukan langkah demikian karena harga kedelai sekarang meningkat luar biasa tinggi jika dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya. Harga yang tercatat 8.758 rupiah bulan Juli ini dipandang sangat tinggi yang membuat produsen idak mampu berproduksi. Padahal kedua produk itu merupakan makanan rakyat Indonesia, yang murah dan mempunyai nilai gizi tinggi. Dalam keadaan normal, membeli produk itu paling mampu dijangkau rakyat Indonesia dan dilogikakan paling mampu menjaga kesehatan.
Ketergantungan
Cikal bakal dari melonjaknya harga kedelai justru karena ketergantungan Indonesia kepada bahan impor. Kekeringan yang melanda Amerika Serikat dan India menyebabkan harga kedelai dunia meningkat kuat. Inilah yang menjadi pengaruh paling kuat bagi naiknya bahan baku tempe dan tahu di Indonesia. Dalam catatan yang diberikan oleh sebuah media massa cetak, untuk tahun 2012 ini, Indonesia mengimpor 1,95 juta ton kedelai dari luar negeri sedangkan pasokan yang mampu disediakan oleh lahan di dalam negeri, sekitar 0,72 juta ton. Angka ini jelas menggambarkan bagaimana ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Jadi, sedikit saja ada persoalan yang terjadi pada produsen di luar, hal itu akan menggoyang harga di Indonesia dan selanjutnya berdampak besar kepada masyarakat. Paling tidak asupan masyarakat Indonesia akan berkurang.
Tempe dan tahu memang menjadi makanan paling terjangkau oleh masyarakat kelas menengah bawah Indonesia yang konon jumlahnya mencapai lebih dari 60 juta. Akan tetapi harus diingat bahwa tempe dan tahu juga menjadi makanan dasar bagi golongan kelas menengah atas Indonesia. Dengan begitu, terganggunya pasokan akan dua bahan makanan ini, akan ikut menganggu sebagian besar kehidupan sosial.
Meski dikatakan kenaikan harga kedelai itu disebabkan oleh kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat dan India, akan tetapi harus juga dicurigai adanya berbagai permainan para ''pemain'' internasional khususnya yang memberi pasokan kedelai kepada negara Indonesia. Secara sosiologis, seperti yang telah diutarakan di atas, produk keturunan kedelai (yaitu tahu dan tempe), merupakan keperluan pokok dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Struktur kependudukan Indonesia, kemungkinan telah terekam dan tergambarkan oleh para pemain internasional itu sehingga memungkinkan mereka melakukan tindakan yang mengutungkan kelompoknya sendiri. Dalam konteks penstrukturan, sebagian besar masyarakat Indonesia berdomisili di Pulau Jawa, dan produk turunan kedelai paling laku di wilayah itu.
Kini sebagian besar masyarakat Indonesia juga sedang melakukan aktivitas puasa di bulan Ramadhan, sehingga produk turunan kedelai sangat diperlukan di masyarakat. Kenyataan inilah yang kemungkinan bisa dipakai oleh mereka yang ingin mendapatkan keuntungan sepihak. Model-model sosial seperti ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, dan kecurigaan-kecurigaan seperti itu harus tetap dipelihara demi tujuan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Mogoknya para produsen dan perajin tempe-tahu di Jawa, secara teoretis telah membenarkan tesis Marxis dari Ernesto Laclau dan Muffe (Ritzer 2007) yang kurang lebih bisa dimengerti bahwa di zaman post modern sekarang, mustahil melihat pergolakan itu hanya ada pada kaum proletar, akan tetapi pada pihak-pihak lain yang termarginalkan. Mereka yang terpinggirkan itu bisa kelompok kulit hitam, wanita, imigran, konsumen, dan sebagainya. Melonjaknya harga kedelai di Indonesia ini tidak saja membuat para pekerja tahu-tempe kehilangan pekerjaan akan tetapi produsen dan pengrajinnya (kelompok industriawan) juga ikut menderita.
Kelompok inilah yang melakukan pemogokan untuk berproduksi bahkan memaksa rekan-rekan mereka yang masih berproduksi ikut melakukan mogok. Pemogokan ini boleh dikatakan sebagai langkah awal dari keruskan sistem yang dibuatnya. Jika produksi itu tidak aktif sampai sekitar tiga atau enam bulan, maka masyarakat para konsumen semua produk turunan tahu dan tempe akan bisa melakukan protes kepada pemerintah. Karena konsumen ini melibatkan mayoritas dari masyarakat Indonesia, dan dampaknya pada inti dari kehidupan, yaitu masalah kesehatan dan gizi, maka potensi ancamannya terhadap keberadaan pemerintah bisa berbahaya.
Kenyataan Semu
Dalam balutan globalisasi, pemerintah negara-negara berkembang sering kali tergelincir pada kenyataan-kenyataan semu dalam upaya mesejahteraan rakyat, yaitu sering berorientasi luar, asing untuk menentapkan pola pembangunannya. Ekonomi yang beroerinetasi kapitalis dan liberal tidak cocok diterapkan untuk seluruh model sosial di muka bumi ini. Kasus di Amerika Latin pada dekade tujuh puluhan yang mencoba menerapkan gaya pembangunan Amerika Serikat, tidak mampu memberikan kesejahteraan yang memuaskan kepada mereka.
Berdasarkan pertimbangan itulah kemudian, kebijakan dan arah pembangunan Indonesia harus segera ditata ulang. Pemerintah harus memahami hal ini dengan baik dan cermat. Ketergantungan impor kedelai tersebut membuktikan bahwa proyek pembangunan Indonesia kelihatan salah arah. Negara yang mayoritas rakyatnya masih jati petani, dengan lahan pertanian yang jutaan hektar luasnya, justru menjadi aneh karena menjadi pengimpor kedelai (dan beras) Artinya, prioritas pembangunan politik sudah harus segera dinomortigakan atau dinomorempatkan. Prioritas kini harus segera dialihkan pada pemenuhan keperluan pokok masyarakat, yaitu sektor pertanian. Pembangunan politik seperti pemilu yang bebas, sampai ke tingkat paling bawah (pemilihan klian dinas!), kehidupan partai politik, amandemen konstitusi, dan lain sebagainya di bidang politik, harus dicukupkan saja dulu.
Menjadi tugas pemimpin pemerintahan sekarang, termasuk pemimpin pemerintahan mendatang untuk membentuk garis-garis besar pembangunan baru di Indonesia yang harus menitikberatkan pada sektor pertanian. Meski tempe itu sesungguhnya makanan yang sangat berguna, akan tetapi sebagai sebuah kelakar, sering Indonesia dikatakan sebagai ''bangsa tempe''. Sangat lucu, apabila bangsa tempe bisa kekurangan tempe di lumbungnya sendiri.
__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment