Mensinergikan keyakinan agama dan sains adalah keinginan yg alamiah saja, namanya manusia membutuhkan keutuhan.
Makanya ada metafisika di sisi sains, dan mistik di sisi agama, yg menjembatani keduanya.
Jadi kalo lagi diskusi yg nyrempet2 agama dan sains, ya mau nggk mau jadi beratsss.
Di sisi metafisik, apapun yg kita bahas selalu akhirnya melibatkan dua wacana masa depan: evolutionary psychology, dan teori fractal yg tempo hari dikemukakan pak Muiz. Teknologi dan internet memungkinkan ini.
Di sisi mystic, katanya Togog lagi berangkat pulang ke wilayah Timur setelah sekian lama membentuk Barat. Di postingan terdahulu Pak Chodjim menggambarkan bagaimana negara2 maju Eropa, Amerika, Cina, Jepang akan menularkan ini. Bagi saya, Togog melambangkan reasoning atau logika, otak kiri - dan Semar intuisi/perasaan, otak kanan. Sementara Batara Guru mungkin akan menjelmakan keduanya dalam dirinya. Kemudian sekali lagi, mitos agung akan dikembalikan ke tempat yg semestinya.
Salam
Mia
Seperti yang sudah saya posting "agama adalah agama" dan "sain adalah sain" keduanya bisa saja disinergikan, tetapi jangan dicampur-aduk sehingga tidak bisa dibedakan.
Kalau dipaksakan dimixed maka lebih tepat disebut cocokologi. Apalagi sejak awal sudah diniati bahwa hipotesa dipaksa harus terbukti, kalau tidak terbukti, tidak mau jujur, tetapi dicari2 segala cara untuk terbukti. Ini bukan prinsip sains melainkan pseudo sains.
Fokus dua bidang tersebut sudah beda, kalau agama adalah untuk bahagia dunia akherat, sementara sains adalah kebenaran di dunia ini saja (mengikuti hukum alam), maka ada skope, ruang lingkupnya ya alam empiris saja dan terbukti secara nalar dan bukti lapangan yang serba empiris.
Wassalam
Abdul Mu'iz
Konon sih ada beberapa penguji tesis doktor peneliti tahajud tersebut yang kurang sepakat dengan metodologi yang dipakai. Salah satunya ya persis seperti Pak Donnie kemukakan, yaitu soal "cara mengukur ikhlas". Kalau tak salah ikhlas ini diukur dari zat-zat yang dikeluarkan otak sebagai "marker" dari kondisi positif (tidak stres). Masalahnya apakah kadar zat-zat tersebut memang benar-benar berasal dari sikap "ikhlas" ataukah dari sebab-sebab lain. Bisa saja kan, pada waktu mengerjakan tahajjud kebetulan responden sedang "happy", jadi ya kadarnya positif, atau karena bias-bias yang lain.
Lagipula, katanya ini, penelitiannya tidak menggunakan kontrol. Saya dengar begitu, tapi bagaimana maksudnya, saya tidak begitu paham. Kalau tak salah cuma ada dua kelompok, yaitu yang tahajud dan tidak tahajud. Yang tahajud ini dikarantina. Mungkin perlu ada kelompok lain yang tahajud juga tapi tidak dikarantina, atau dikarantina tapi tidak tahajud. Belum lagi soal latar belakang, pengalaman spiritual dsb dsb. Jadi variabelnya terlalu banyak untuk dikendalikan, tetapi diputuskan cukup dengan meneliti kadar-kadar itu, sudah bisa diambil kesimpulan. Toh peneliti tersebut akhirnya lulus cum laude dan kini sudah jadi profesor. Promotornya setelah itu juga membimbing beberapa promofendus lain yang juga mengangkat topik terkait agama, seperti Puasa dan kesehatan, dzikir dan kesehatan, haji, dll. yang menyangkut ritual. Promotor tersebut punya keyakinan bahwa agama dan sains itu bisa sejalan, dan ia membuktikan keyakinannya itu dari hasil penelitian para promofendus yang dibimbingnya.
Di sisi lain, ada juga dosen (dokter) yang tidak tertarik membimbing atau menguji topik-topik seperti ini, karena - ya itu tadi - terlalu banyak variabel yang harus dikendalikan. Selain itu - ini juga yang jadi pertanyaan saya - sekiranya nanti hipotesisnya tidak terbukti, "berani" tidak membuat simpulan bahwa, misal, oh ternyata tahajud tidak terbukti meningkatkan kesehatan. Dzikir ternyata tidak terlalu bermakna bagi peningkatan kesehatan, dan lain-lain simpulan yang ternyata tidak mendukung - atau minimal netral - klaim-klaim agama. Nah apakah kalau begini lantas metodologinya disalahkan, atau pembimbingnya disalahkan, karena kesimpulannya tidak sesuai "yang seharusnya" ? ... Penelitian semacam gini kan dari awal-awal sudah ada itikad bahwa hasilnya harus positif (dan kalau ada indikasi tidak positif sebaiknya jangan dilakukan supaya tidak mendegradasi martabat agama ... ). Makanya hasil penelitiannya harus "jumping conclusion" juga. Nah ini beberapa dosen ada yang kurang suka demikian, jadi mereka menghindar saja kalau topiknya sudah menyangkut agama.
Soal manfaat, yah paling tidak peneliti tersebut kan sekarang laris dengan membuka "terapi tahajud". Bukunya jadi best-seller, tapi katanya sih kalau orang pengen bener-bener sukses tahajudnya, ya harus ikut kelas terapi dia.
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, donnie ahmad <donnie.damana@...> wrote:
>
> Masalahnya menurut saya bukan pada pembuktiannya, tapi pada pertanyaan
> lanjutannya yaitu so what?
> So what gitu looh kalau terbukti /tidak?
>
> Apakah kalau terbukti akan membuat orang berlomba - lomba untuk menjadi
> sholeh dan ikhlas?
>
> Kalau nggak nggak ada, apa penelitian tersebut ada "manfaatnya"?
>
> Kalau ya, apakah orang yang ikut berlomba - lomba menjadi sholeh dan
> ikhlas, bisa dikategorikan dalam golongan orang yang sholeh dan ikhlas
> karenanya?
>
> ;D
> On Aug 22, 2012 3:06 PM, "Wikan Danar Sunindyo" <wikan.danar@...>
> wrote:
>
> > **
> >
> >
> > jadi kayaknya memang masih susah ya untuk membuktikan bahwa orang yang
> > beriman bisa "lebih superior" ketimbang orang yang tidak beriman
> > ada artikel yang menulis mengenai daging dengan penyembelihan secara
> > islam lebih sehat daripada yang disembelih dengan cara dibius
> > kalau kayak gini gimana mas donnie?
> >
> > salam,
> > --
> > Wikan
> >
> > 2012/8/21 donnie ahmad <donnie.damana@...>
> > >
> > >
> > >
> > > Mungkin saya keliru, tapi saya merasa uda Darwin miss the point. Saya
> > > sudah bilang orang yang religius akan punya kualitas hidup dan kesehatan
> > > yang lebih baik. Saya percaya orang yang menghidupkan Al Qur'an dalam
> > > kesehariannya juga punya tendensi yang sama.
> > > Saya hanya menunjukkan saja metode yang dipakai doktor tersebut dalam
> > > penelitiannya (jika memang seperti yang ditulis) akan punya fundamental
> > > flaws (secara ilmiah) untuk membuktikan klaim yang dibuat beliau. Dan
> > flaws
> > > nya minimal ada dua, pertama adanya bias seleksi, karena kelompok yang
> > > diamati tidak dirandomisasi. Jadi ada kemungkinan apa yang teramat tidak
> > > mencerminkan truth value. Kedua bagaimana mengukur kadar keikhlasan
> > secara
> > > sahih? Apakah dengan ditanya dan menjawab ikhlas kemudian bisa kita
> > kategori
> > > kan sebagai orang yang ikhlas? Atau orang yang tahajud nya paling
> > konsisten
> > > dan lama bisa dikategorikan sebagai ikhlas? Setahu saya sih yang bisa
> > > mengukur kadar keikhlasan seseorang hanya Allah semata, cmiiw.
> > >
> > > Dan yang terpenting adalah orang yang lulus disertasi doktor tidak serta
> > > merta membuktikan bahwa dia benar ;-)
> > > Apalagi kalau metode punya flaws yang mendasar. Dan ini sering saya
> > jumpai
> > > juga ketika membimbing atau menguji disertasi kandidat doktor. Toh pada
> > > akhirnya dengan segala pertimbangan, kandidat tersebut mendapat gelar
> > doktor
> > > nya. :-)
> > > Scientific rigor masih merupakan barang yang mahal dalam dunia akademik
> > di
> > > Indonesia. Bahkan di universitas - universitas besar sekalipun.
> > >
> > > Salim,
> > > :D
> >
> >
>
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment