Advertising

Sunday, 30 September 2012

[wanita-muslimah] Air Mata Mulai Tidak Terbendung Setelah Kami Mulai Berthawaf

 

Rabu 5 Februari, malam

Terkesima, adalah ungkapan yang paling tepat mengenai perasaan kebanyakan jemaah haji yang baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di Masjidil Haram, termasuk saya, dan menyaksikan Ka’bah yang berdiri dengan kokoh, anggun dan berwibawa.  Terkesima, karena sesuatu yang sangat dirindukan sekarang sudah berada di depan mata. Perasaan ini bercampur aduk dengan perasaan kurang yakin, apakah saya benar-benar sudah berada di sana, atau hanya sekedar mimpi indah.

Karena itu saya tidak menangis ketika pertama kali melihat Ka’bah seperti yang saya duga sebelumnya. Bahkan saya sudah tidak ingat membaca do’a pendek yang seharusnya dibaca ketika melihat Ka’bah, yang sudah saya hapal sebelum berangkat ke Tanah Suci.

Keharuan mulai menyelimuti perasaan ketika kami berbaur dengan lautan manusia yang dengan khusuk berpusar silih berganti tiada henti mengelilingi bangunan yang disucikan Allah SWT tersebut. Air mata mulai tidak terbendung, setelah kami mulai berthawaf dengan membaca “Bismillahi Allahhuakbar” sembari menoleh dan mengecupkan tangan ke arah Hajar Aswad. 

Ketika memulai thawaf, Kur berusaha agar kami tetap berada di dalam kelompok kami. Tetapi Kur menurut saja ketika tangannya saya tarik dan kami berthawaf sembari berpegangan tangan.

Air mata semakin deras mengalir ketika kami mulai  membaca tasbih, tahmid dan takbir yang diselingi dengan permohonan pengampunan,  dan doa bagi diri sendiri, keluarga, anak-anak, kerabat dan sahabat, termasuk mendoakan agar mereka cepat dipanggil ke Tanah Suci. Tangis saya semakin tidak tertahankan, ketika mendo’akan dan teringat  jasa  almarhum ayah dan bunda saya serta  jasa almarhum bapak dan ibu, yang menjadikan saya anak mereka ketika saya menjadi piatu saat berusia sembilan bulan dan membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan kalau bukan karena didikan mereka, mungkin saya tidak akan berada di sana saat itu.

Kami terus berthawaf  dan saya membimbing Kur melakukan putaran spiral mendekat Ka’bah sembari tetap bertasbih, bertahmid, bertakbir, beristigfar dan berdoa. Tiba-tiba seperti melewati sebuah lorong yang kosong, kami sudah berada di dinding Ka’bah. Kur segera memegangnya sembari menangis. Saya juga ikut memegang sebentar dengan air mata berlinang dan menarik tangan Kur untuk meneruskan thawaf.

Tidak lama kemudian kami berada di pinggir sebuah benda yang mirip counter sebuah bank, yang dalam bilangan detik saya sadari bahwa benda tersebut adalah Hijir Ismail. “Mah, ini Hijir Ismail” ujar saya memberi tahu Kur. Kami melewati Hijir Ismail dengan memegang pinggirannya sembari terus  bertasbih, bertahmid dan bertakbir dan berdoa.

Kami terus bergerak dan bergerak. Tiba-tiba, di sela-sela kerumunan orang di depan kami mencuat sebuah benda yang segera saya kenali sebagai Maqam Ibrahim. Kami berhenti sebentar untuk memegangnya dan kemudian meneruskan thawaf. Setelah Kur yang dengan telaten menghitung setiap putaran yang kami lakukan memberitahukan saya, bahwa kami sudah selesai melakukan tujuh putaran, kami langsung menepi, dan melakukan dua kali shalat sunat dua rakaat yang masing-masing diniatkan di depan Hijir Ismail dan depan maqam Ibrahim.

Selesai shalat kami mencari pintu masuk sumur zam-zam, yang akhirnya dapat kami temukan dengan bantuan seorang jemaah haji asal Turki. Sumur zam-zam yang disekat, yang satu khusus bagi jemaah laki-laki dan yang lain khusus bagi jemaah perempuan, terletak di bawah pelataran thawaf. Sumurnya sendiri sudah tidak kelihatan karena tertutup rapat. Airnya dipompa ke puluhan keran yang dilengkapi dengan wastafel yang terbuat dari baja tahan karat yang  memancarkan air melengkung ke atas jika kerannya ditekan. Sesuai anjuran Nabi, saya meinum air zam-zam sekenyang-kenyangnya dengan niat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang saya derita—langsung dari keran. Setelah itu saya membasahi rambut dan muka saya. Kur dan saya bertemu kembali di dekat pintu masuk jemaah perempuan. Selain langsung meminum di sana, Kur yang membawa wadah yang terbuat dari plastik, juga mengisi penuh wadah tersebut dengan air zam-zam. Dari sana kami menuju tangga yang menghubungkan Masjid dengan tempat sa’i, dan menemukan beberapa anggota rombongan kami di sana.

Setelah semua anggota rombongan lengkap, kami menuju bukit Shafa untuk memulai sa’i, pulang pergi antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Ingatan kepada hal-hal yang  baru kami alami ketika thawaf, secara tidak terasa menimbulkan perasaan diri “hebat”. Malah ketika melewati tikungan Marwah saya sempat menertawakan dalam hati seorang anggota rombongan yang terlihat agak lelah, sesuatu yang seharusnya dihindari oleh seorang yang sedang berhaji.

Tidak menunggu lama,  pada putaran ketujuh yang merupakan putaran terakhir, saya merasa perut saya mules. Perasaan mules tersebut semakin tak tertahankan ketika kami menyelesaikan putaran terakhir itu. Setelah minta bantuan seorang jemaah untuk  menggunting rambut saya sedikit sebagai pertanda bertahallul1), dengan  setengah berlari, saya diringi Kur yang agak panik melihat kondisi saya, segera menuju toilet yang jaraknya lumayan jauh dan terletak di ruangan bawah tanah, sambil berusaha untuk “bertahan” sekuat mungkin.

Ternyata saya tidak berhasil.

Tetapi peristiwa yang semula saya pikir sebagai hukuman itu, rupanya mengandung hikmah juga. Ketika membersihkan pakaian ihram saya di toilet, saya sempat melihat, seperti apa air zam-zam yang saya minum sekenyang-sekenyangnya sebelum itu, membersihkan perut saya2). Dengan mengenakan pakaian ihram yang basah, saya menemui Kur yang menunggu dengan cemas di depan pintu. Tidak lama sesudah itu saya mengalami peristiwa yang cukup menggoncangkan kami berdua, namun karena sangat pribadi, tidak mungkin saya ceritakan di sini.

Kami lalu berjalan menuju halaman depan Masjid yang sangat luas dan tidak pernah kosong oleh jemaah  itu. Seorang jemaah perempuan Indonesia yang tidak kami kenal menghampiri kami dan memberitahu dan menunjukkan tempat rombongan kami berkumpul.

Rombongan kami pulang ke pemondokan lewat tengah malam. Karena sudah bertahallul, begitu sampai saya segera mengganti pakaian ihram dengan pakaian biasa dan bersiap-siap untuk tidur.

Ketika itu jam menunjukkan pukul dua dinihari.          

--------------------

1)         Rukun umrah terdiri dari berihram, yang sudah kami lakukan di Miqat (Bandara  King Abdul Azis), thawaf, berkeliling Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan Ka’bah di sebelah kiri dan bersa’i, yaitu jalan pulang-pergi sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah. Setelah menyelesaikan semua rukun tersebut, bagi yang melaksanakan haji tamattu seperti kami melakukan tahallul dengan melepas pakaian ihram dan menggantnya dengan pakaian biasa, dan setelah itu diperbolehkan kembali melakukan hal-hal khusus yang dilarang selama berihram sampai saat berihram kembali ketika hendak berwukuf di Arafah .

2)         Setelah peristiwa itu, problem pencernaan yang saya derita selama beberapa tahun terakhir ini, sembelit dengan ukuran dan warna faeces yang tidak normal (hitam) mengalami perbaikan. Perbaikan itu berlanjut setelah saya kembali ke Tanah Air. 

 

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment