*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 26 April 2013**
------------------------*
*300 Kali Selama 6 tahun --- "AKSI KAMISAN" Di Depan Istana Negara . . .
Namun Presiden SBY . . . . TETAP MEMBISU!*
"*Aksi Kamisan", Menuntut Keadilan al. Utk MUNIR> *
* * *
"*Kita harus lebih takut kepada rasa takut itu sendiri, karena rasa
takut menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita". *
Itu tadi, adalah ucapan almarhum*MUNIR*, ketika ia masih ada diantara
kita. Dari penelitian dan kesaksian serta bahan-bahan sekitar pengadilan
kasus pembunuhan terhadap Munir, bisa dilihat jelas keterlibatan bahkan
pendalangan fihak aparat keamanan negara (Intel). Namun, kaum elite
penguasa terus saja berusaha keras untuk menyanggah fakta-fakta tsb.
Berusaha menjadikan pembunuhan terhadap Munir tetap tak terurus!
Fikiran dan pandangan para petinggi penguasa dewasa ini, justru
didominasi oleh seperti apa yang dinyatakan Munir: *" . . . . Rasa takut
. . . yang menghilangkan akal sehat dan kecerdasan . . . ." *
Yang berkuasa dan berwewenang negeri ini TAKUT terhadap terbongkarnya
kebenaran di sekitar kasus pembunuhan keji terhadap aktivis HAM, Munir!
Takut kebenaran akan terungkap sekitar pelanggaran HAM berat terhadap
lebih sejuta warga tidak bersalah di sekitar *"PERISTIWA 65".*Mereka
takut kebenaran terungkap di sekitar "*Perisiwa 1998"*(teror,
pemerkosaan, penjarahan, penghilangan, pemubunuhan) terhadap warga
Indonesia keturunan Tionghoa. Mereka takut terbongkarnya pelanggaran HAM
berat di sekitar *Peristiwa Tanjung Priok*, kekerasan bersenjata di
*Aceh, Timor Timur dan Papua*. Mereka takut ditegakkannya keadilan dan
hukum di negeri ini.
*Oleh karena itu AKAL SEHAT DAN KECERDESAN MEREKA TELAH HILANG!!*
* * *
Aksi Kamisan: Berdiri, Membisu, Demi Keadilan – – Itu dilakukan setiap
hari Kamis. . . sudah 6 tahun.
* * *
Dalam usaha menggugah fikiran takut para pelaku yang terlibat dan
bertanggungjawab atas negeri ini, para aktivis KAMISAN, dalam surat
surat Aksi Kamisan minggu ke 2 25 Januari 2007) menyatakan:
"/*Jika Negara berdiam, jika Negara mengelak, jika Negara terus
mengabaikan, akankah kita diam? Akankah kita merunduk? Dan tak peduli
atas segala dzalim penguasa negeri ini? */
*/Hari ini, kami segenap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM,
ingin menyentuh dan berbagi pada anda sekalian masyarakat Indonesia,
bahwa Negeri ini tak pernah memberi keadilan bagi korban pelanggaran
HAM. Senyum anda, kasih anda dan peduli anda adalah rasa terindah bagi
perjuangan kami. /*
/* * */
Dalam salah satu amnifesto, "AKSI KAMISAN" menyatakan: ///*" Kebisuan
negara dan pembisuan korban adalah halangan terbesar kenangan akan
korban. Aksi Kamisan merupakan gerilya kemanusiaan subyek korban dan
pendampingnya melawan penggelapan kebenaran."*/
/Lalu . . . Karlina Supelli - Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara - Potret Para Korban, menulis di Kompas 26
Mei 2006 /
" /*Korban dan orang miskin dianggap sebagai kelompok yang selalu diam.
Akan tetapi, persis karena itu, politik yang tidak mau bersentuhan
dengan korban dan dengan solusi bagi ketidakadilan yang mereka tanggung
telah kehilangan alasan adanya. Kini, politik negeri ini gaduh dengan
urusan koalisi, atau kesibukan melancarkan jargon "Restorasi Reformasi".
Silakan berkoalisi, dan silakan juga merestorasi reformasi. Namun,
potret para korban yang berarak diam setiap Kamis di depan Istana Negara
adalah salah satu tolok ukurnya. Mereka adalah titik berangkat mengapa
kita butuh politik. Maka, politik yang tidak mendatangi mereka dengan
tangan keadilan dapat dikatakan hanya politik para petualang bayaran.
Tidak lebih, dan tidak kuran*//g."/
* * *
Dalam rangtka memperingati 300 KAMISAN di depan Istana Negara,
*LSM**KontraS*, a.l.menulis:
". . . . sudah kurang lebih enam tahun jika demikan. Bagaimana jika
dalam waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar itu ada yang terus
berdiri di depan Istana Presiden?
Enam tahun itu mereka berdiri di depan Istana Merdeka Jakarta, membawa
payung hitam bertuliskan nama, peristiwa, tahun dari tragedi yang mereka
alami.
Enam tahun itu pula mereka berdiri mematung dengan memakai pakaian hitam
simbol keprihatinan sekaligus keteguhan. 300 Minggu yang lalu mereka
bertekad mencari anak, suami, kerabat mereka yang hilang atau dibunuh
dari culasnya sebuah kekuasaan.
Ada yang masih belum mengetahui kabar tentang sanak saudara mereka yang
diculik 15 tahun lalu, entah masih hidup atau sudah meninggalkah, sebuah
saksi atas kebiadaban zaman di akhir senjakala Orde Baru. Ada juga yang
terus menunggu jawab keadilan saat anaknya ditembak peluru aparat.
. . . .
"*Jika tidak percaya tengoklah mereka persis di depan Istana tadi akan
berdiri saat sore hari, setiap hari kamis dari mulai pukul 16.00 sampai
pukul 17.00 berdiri menerawang menahan marah yang terpendam di sela umur
yang semakin menua, memakai payung melindungi rambut mereka yang
rata-rata sudah beruban*.
"300 Minggu baik panas ataupun hujan bukan persoalan, ketika komitmen
awal mereka adalah tetap berdiri mematung menunggu kejelasan nasib
keadilan yang tersuarakan lirih, bahkan sangat lirih ketika hanya mampu
kemudian mereka tuliskan, saat teriakan sudah lelah mereka gaungkan.
. . . . .
"Dari perjalanan panjang ini, beberapa dari mereka ada yang sudah pergi
mendahului berkalang tanah, pergi dengan sesak di dada atas luka yang
digoreskan pertiwi merenggut sanak famili mereka dengan pengatas-namaan
stabilitas, ketertiban, nasionalisme, pembangunan, ataupun sederet kata
pembenaran merenggut nyawa dan hak kebebasan manusia merdeka.
"Sederet peristiwa sekadar pengingat mereka yang terus berdiri di situ
adalah beberapa korban atau keluarga korban Mei 1998, keluarga aktivis
yang hilang diculik tahun 1997-1998, peristiwa Semanggi I, Semanggi II,
keluarga aktivis HAM Munir, korban peristiwa 1965, dan beberapa kasus
pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Setidaknya Kamis sore ke-300 di depan Istana Presiden Jakarta ini
bukanlah sebuah kisah tunggal. Setiap Kamis sore pada tahun 1977,
belasan ibu bekerudung putih berhimpun di Plaza de Mayo depan Casa
Rosada, istana kepresidenan Argentina.
Mereka berjalan perlahan-lahan mengelilingi tempat tersebut. Setengah
jam berlalu, aksi ibu-ibu yang sebagian telah uzur itu pun selesai.
Pekan-pekan berikutnya, pada hari dan waktu yang sama, mereka kembali
datang ke Plaza de Mayo melakukan aktivitas serupa. Berkumpul di depan
istana adalah bentuk protes atas hilangnya anak dan anggota keluarga
mereka akibat kemelut politik di Argentina. Juga atas nama stabilitas,
junta militer di bawah Jenderal Jorge Rafael Videla yang menculik,
menyiksa, serta menghilangkan nyawa puluhan ribu warga yang dianggap
membahayakan kekuasaannya.
Setiap Kamis sore, mereka terus menggelar aksi damai di Plaza de Mayo.
Tak hanya sebulan-dua bulan, aksi yang kemudian dikenal sebagai Las
Madres Plaza de Mayo itu berjalan selama tiga puluh tahun lebih.
*Bahkan pertengahan tahun 2009 lalu, beberapa ibu dari Argentina ini
sengaja datang ke Jakarta, menguatkan korban dan keluarga korban
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang juga beberapa terdiri
dari para ibu di depan Istana Presiden Jakarta.*
Mereka tidak pernah berharap belas kasihan, mereka juga tidak tergiur
dengan kursi kekuasaan. Mereka hanya ingin menampar ingatan kita,
bahwasanya masih banyak yang belum kembali hingga kini.
Kekuasaan mengharuskan sejuta argumentasi untuk beralasan, sementara
keluarga korban penculikan dan pembantaian itu hanya ingin
pertangung-jawaban.
Saya tidak tahu, apakah setiap Kamisan ketika keluarga korban memberikan
surat cinta-nya untuk Presiden, dan Presiden enggan membalas itu karena
takut seperti hal yang sama terjadi seperti dalam cerpen "Jawaban Alina"
karya Seno Gumira Ajidarma?
. . .
Kita tidak tahu ketakutan semacam apa yang dialami Presiden untuk
menjawab dengan tegas, dan menyelesaikannya dengan tuntas. 300 Minggu
telah berlalu sementara korban dan keluarga korban masih setia mematung
di depan istana warisan Gubernur Jenderal Louden tersebut. Mereka masih
membawa payung, diam mematung dan adakalanya sambil mendekap foto
kerabat, atau anak mereka yang hilang atau meninggal tanpa kejelasan.
Sepertinya anak, suami, atau kerabat mereka yang mati karena melawan
tiran kekuasaan tadi akan berkata sama seperti Leonidas dalam medan
pertempuran Thermophylae di film "300", "Ingatlah alasan kenapa kami gugur."
Ibu-ibu yang anak-anaknya diculik dan hilang sampai sekarang itu mungkin
menganggap bahwa anaknya hanya sedang pergi kuliah atau bermain. Malam
atau esok hari akan pulang dan menari bersama. Menari, persis seperti
yang Sting dendangkan. ( Husni Effendi)
* * *
Menuyaksikan betapa "AKSI KAMISAN" tak digubris oleh Presiden SBY dan,
dan membaca tulisan *MUGIYANTO* kepada SBY, semakin orang tidak bisa
faham, *apa kiranya yang menyebabkan Presuiden SBY, baru-baru ini begitu
bangga akan situasi pemberlakuan demokrasi di Indonesia begitu bagus.
Sehingga dianjurkannya agar negeri-negeri lain belajar dari Indonesia.*
* * *
Mengakhiri tulisan ini, di muat di bawah ini sebagian dari kata hati
sahabatku Mugiyanto (25 April 2013): <huruf tebal dari penulis I.I.)
*MUGIYANTO adalah penyintas penculikan aktivis pro demokrasi 1998,
sekarang ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).*
*Penantian Harus Dihentikan!*
*Bapak Presiden SBY, berapa banyak lagi keluarga korban penghilangan
paksa harus meninggal?*
"Sebulan yang lalu, tepatnya pada Rabu, 27 Maret 2013, kami mendapatkan
kabar duka, Pak Paimin, 70 tahun, ayahanda dari salah satu korban
penghilangan paksa tahun 1997-1998, Suyat, meninggal dunia di rumahnya
di sebuah desa kecil di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Almarhum Pak
Paimin meninggal setelah 15 tahun menunggu hasil perjuangan yang
dilakukan anaknya yang lain, Suyadi dan Suyadi, dalam mencari kejelasan
tentang nasib Suyat yang diambil oleh kelompok bersenjata di kampung
sebelah pada Februari 1998.
"*Sampai ajal menjemput, Paimin masih belum mendapatkan kabar, apakah
anak yang disayanginya masih hidup atau sudah meninggal.* Dalam sebuah
wawancara dengan harian Kompas (15 September 2009), almarhum Paimin
bersama istrinya Tamiyem pernah menyampaikan harapannya:
"Nek sih waras, ayo mulih. Nek wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau
masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),"
kata Tamiyem.
"Nek dipenjara, nengdi (kalau dipenjara di mana)," tambah Paimin.
. . .
"*Pak Paimin bukan satu-satunya orang tua korban penghilangan paksa*
aktivis tahun 1997-1998 yang meninggal sebelum mereka mengetahui kabar
anak-anak mereka. Sebelumnya, ayahanda Yadin Muhidin telah meninggal di
Jakarta (2003). Ayahanda Herman Hendrawan meninggal di Bangka (2004).
Ayahanda Wiji Thukul meninggal di Solo (2006). Ayahanda Noval Alkatiri
meninggal di Jakarta (2004). Ibunda Yani Afri meninggal di Jakarta
(2012), dan terakhir Pak Paimin, ayahanda Suyat meninggal di Sragen
(2013). Mereka semua meninggal dunia akibat sakit yang kami duga
berhubungan dengan tekanan fisik dan mental akibat kehilangan
orang-orang yang mereka cintai. Tetapi yang jelas, mereka semua
meninggal sebelum bisa menikmati hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan
dan pemulihan yang menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah
untuk memenuhinya.
"Angin segar telah bertiup sejak September 2009 ketika Ketua DPR
mengirimkan surat rekomendasi hasil sidang paripurna DPR mengenai kasus
penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998 kepada
presiden. Empat rekomendasi tersebut adalah:
1) Agar presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
2) Agar presiden beserta instansi terkait mencari 13 aktivis yang masih
hilang;
3) Agar pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada
keluarga korban;
4) Agar pemerintah meratifikasi Konvensi Internasional Antipenghilangan
Paksa.
. . .
"Tidak kali ini saja harapan para korban dipupuskan oleh pejabat
pemerintah. Sebelumnya, para korban juga telah dikecewakan oleh
"permainan ping pong" Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR dengan "bola"
berkas penyelidikan dugaan berbagai pelanggaran berat HAM. Akibat
"permainan ping pong" inilah, setidaknya enam berkas kasus dugaan
pelanggaran berat HAM kini tertumpuk di meja Jaksa Agung. "Bola ping
pong" menjadi "bola panas" dan tak ada yang berani menyentuh, apalagi
menendangnya.
"Pasal 28I Ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara, khususnya
pemerintah memiliki tanggung jawab atas perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan HAM. Selanjutnya UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM pada Pasal 43 Ayat 2 disebutkan bahwa Pengadilan HAM Ad
Hoc dibentuk atas usulan DPR dengan keputusan presiden. Dengan demikian,
memang tak terbantahkan bahwa presiden-lah pemegang kunci penanganan dan
penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998.
. . .
"Menurut saya, penyelesaian secara menyeluruh tidak bisa dilakukan tanpa
memulainya dengan hal yang kecil atau sebagian. Dengan rekomendasi dari
lembaga tinggi negara yaitu DPR pada 2009, kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1997-1998 bisa menjadi awal menuju
penyelesaian menyeluruh yang akan dilakukan pemerintahan SBY sebelum
masa kerjanya habis.
Penyelesaian kasus ini sudah terlalu lama dinanti keluarga korban. Waktu
15 tahun seharusnya bisa digunakan keluarga korban secara maksimal untuk
mengembangkan diri sebagai individu dan berkontribusi pada kehidupan
sosial sebagai warga masyarakat. Hal yang sama terjadi pada tataran
negara. Seandainya berbagai kasus pelanggaran berat HAM ini telah bisa
diselesaikan secepatnya, pada awal masa reformasi, sebagai bangsa tentu
kita telah bisa maju, mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan
dalam mukadimah UUD 1945. Beban sejarah bangsa ini harus segera
diselesaikan.
". . . . harapan dan keinginan keluarga korban penghilangan paksa
aktivis 1997-1998 sebenarnya sangat sederhana.* Mereka pertama-tama,
dan terutama ingin mendapatkan kejelasan status anak-anak atau suami
mereka yang menjadi korban penghilangan paksa. Mereka telah bersiap
menerima kabar apa pun dari negara. Bila jawaban ini mereka dapatkan,
lebih dari separuh beban penderitaan mereka akan terobati.*
Penderitaan keluarga korban menjadi semakin bertambah saat melihat
mereka yang diduga pelaku penculikan aktivis ini muncul di TV-TV dan
berapi-api memberi janji-janji semu tentang keadilan dan kesejahteraan
rakyat. Penantian ini harus dihentikan. Keluarga korban berhak
mendapatkan keadilan. <Sumber : Sinar Harapan>
* * *
------------------------------------
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
0 comments:
Post a Comment