Advertising

Saturday, 27 April 2013

[wanita-muslimah] “Kucing-kucingan” dengan Militer dan GAM

 

 
 
"Kucing-kucingan" dengan Militer dan GAM
Junaidi Hanafiah | Sabtu, 27 April 2013 - 12:04:55 WIB
: 57


(dok/antara)
Seorang anggota teroris wajah ditutup sebo hitam dikawal ketat personel Brimob turun dari pesawat saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Ac
Masyarakat selalu menjadi korban ketika ada dua kekuatan besar bertikai.

Konflik bersenjata antara Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terjadi sekitar 30 tahun, dimulai sejak 1976 sampai 2005, telah menimbulkan kerugian yang tak terhingga. Bukan hanya dari pihak TNI/Polri dan GAM, tapi juga dialami oleh jutaan warga sipil yang tidak berdosa.

Bagi sebagian besar wartawan yang tinggal dan meliput peristiwa di Aceh, pengalaman saat konflik adalah pelajaran yang sangat berharga. Mereka diuji untuk menerapkan jurnalisme damai dalam pemberitaan tentang pertikaian bersenjata di provinsi paling barat Indonesia tersebut.

Awal Maret 2010, saat Densus 88 dan polisi dari Polda Aceh mengejar belasan pria bersenjata yang diklaim sebagai teroris di pegunungan Kabupaten Aceh Besar, sejumlah wartawan yang sehari-hari meliput di Aceh merasa gerah dengan pemberitaan salah satu stasiun televisi swasta yang dinilai memperkeruh suasana damai di Aceh.

Spontan, sejumlah insan pers berpendapat jurnalisme perang tidak boleh dilaksanakan di Aceh. Ini karena jika perang kembali terjadi, masyarakat yang pernah trauma akibat konflik akan semakin menderita.

Beberapa jurnalis mengungkapkan, meliput konflik bersenjata yang terjadi di Aceh merupakan pengalaman yang sangat menegangkan dan penuh kesulitan yang tidak pernah ditemukan oleh wartawan di daerah lain di Indonesia.

"Karakteristik daerah perang membuat atmosfer kerja sangat berbeda dengan di daerah nonkonflik. Ada keterlibatan emosi, rasa kemanusiaan, nasionalisme yang biasanya bercampur aduk hingga terkadang mengaburkan netralitas seorang wartawan," ungkap jurnalis di Aceh, Hotli Simanjuntak.

Pria asal Sumatera Utara ini menyebutkan, meliput pertikaian di Aceh tidak hanya menyajikan angka korban yang tewas atau saling klaim antara kedua belah pihak, tapi penderitaan yang dialami oleh masyarakat sipil yang tak terlibat dalam konflik justru harus ditonjolkan.
 
"Namun bicara soal fakta, memang juga sangat berisiko bagi wartawan di daerah konflik, karena saya dan sejumlah rekan pernah mengalami kejadian buruk," kenangnya.

Hotli yang bekerja sebagai fotografer kantor berita asing dan wartawan tulis di koran The Jakarta Post menyebutkan, karena memberitakan fakta pembunuhan terhadap tujuh warga sipil di Kabupaten Bireun, ia dan sejumlah wartawan lainnya terpaksa melarikan diri dari Aceh karena hendak ditangkap oleh aparat TNI.

Saat itu pemerintah Indonesia baru saja memberlakukan status Darurat Militer di Aceh pada Mei 2003, terjadi pembantaian terhadap tujuh masyarakat sipil, lalu sejumlah wartawan memberitakan kejadian tersebut.
 
Sementara itu, TNI marah karena mengklaim tujuh orang tersebut adalah anggota GAM. "Akibatnya, beberapa wartawan media lokal menjalani wajib lapor, tapi saya melarikan diri keluar Aceh. Bahkan akibat berita itu, wartawan asing mulai dilarang meliput di Aceh," jelasnya.

Setelah kejadian tersebut, Hotli menceritakan apa yang dialaminya itu kepada wartawan lain di luar Aceh, hingga akhirnya Hotli berhasil dievakuasi secara diam-diam untuk menghindari kejaran militer. Peristiwa itu terjadi karena ia bersama wartawan yang lain menuliskan temuan di lapangan.

"Berdasarkan hasil investigasi kami, kasus tersebut merupakan pembantaian oleh militer terhadap sipil yang tidak bersalah," ujarnya. Para wartawan berani memberitakan kejadian itu setelah melakukan verifikasi di lapangan, berdasarkan hasil wawancara dan melihat korban yang masih anak-anak.

Keberanian untuk menuliskan berita erat kaitannya dengan kebenaran yang terkadang disembunyikan oleh pihak yang berkuasa. Yang menjadi korban selalu masyarakat sipil yang tidak terkait sama sekali.

Hotli menyebutkan dalam prinsip jurnalisme damai, masyarakat adalah pihak yang paling lemah dan yang paling dirugikan oleh kedua belah pihak yang bertikai. Sementara itu tugas wartawan adalah membela korban konflik, bukan aktor konflik. "Di setiap konflik, korban yang paling banyak jatuh pasti di pihak masyarakat yang tidak terlibat konflik," katanya lagi.

Ia menjelaskan agar wartawan mudah memasuki daerah konflik, prinsip utama adalah tidak memihak pada kedua belah pihak yang sedang bertikai, melainkan pada masyarakat yang menjadi korban. "Sehingga rakyat dapat menyampaikan keinginan mereka, dan ini diharapkan menjadi perhatian pihak yang bertikai agar menghentikan konflik," tuturnya.
   
Ekses Perang

Pengalaman meliput konflik Aceh juga pernah dialami Fakhrurradzie Gade, wartawan lokal di Aceh. Menurutnya, banyak pengetahuan yang dapat diambil dari pengalaman meliput pemberlakuan status Darurat Militer di Aceh.

"Sebagai wartawan, kita dituntut untuk menyajikan informasi secara independen dan berimbang, jujur, dan apa adanya kepada publik. Namun, penguasa darurat militer daerah membatasi ruang gerak jurnalis. Kita tidak diperkenankan mewawancarai sumber dari kalangan GAM. Jika berita kita kritis maka dianggap mendukung GAM. Begitu juga sebaliknya," sebut pria yang kerap disapa Razie Gade tersebut.

Namun, Razie yang berasal dari Kabupaten Pidie, Aceh, punya trik tersendiri agar leluasa menyuarakan kisah dan harapan rakyat korban konflik, dengan cara menyamarkan identitas.
 
"Saya juga harus menyamarkan nama narasumber untuk menyelamatkan mereka. Di lapangan, kadang-kadang liputan kita dicurigai oleh tentara atau polisi. GAM juga kerap menekan kita jika ada berita yang tidak menguntungkan mereka," sebutnya.

Saat meliput konflik Aceh, Razie pun pernah ditangkap dan diinterogasi intel Polda Aceh usai mewawancarai Teuku Kamaruzzaman, perunding GAM di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh. Semua barang miliknya digeledah, termasuk isi disket. "Saya tidak sampai dipukul, tapi setelah itu saya ketakutan, setiap kali melihat mobil berkaca gelap saya langsung teringat penangkapan tersebut," kenangnya.

Tidak hanya itu, Razie juga pernah dicari oleh tentara di Pangkoopslihkam, Lhokseumawe, setelah menulis berita TNI dan Brimob saling serang di Peudawa, Kabupaten Aceh Timur. "Itu juga dikejar-kejar oleh tentara," ungkapnya.

Razie mengaku ditangkap intel Polda Aceh karena tidak paham medan. Karena merasa kenal baik dengan beberapa perunding GAM, Razie langsung menemui perunding tersebut. "Saya tidak sadar kalau ada beberapa intel yang mengikuti saya di belakang. Selesai wawancara, saya langsung diseret ke samping hotel dan diinterogasi sambil dibentak-bentak," tuturnya.

Karena sulit menuliskan fakta yang terjadi saat itu, sejumlah wartawan mendirikan media online Acehkita. Di media itu nama wartawannya disamarkan identitasnya untuk menjaga keselamatannya. Ini karena kala itu semua informasi harus keluar dari TNI.

Mengapa memprioritaskan pemberitaan tentang masyarakat korban konflik, Razie menyebutkan, masyarakat selalu menjadi korban ketika ada dua kekuatan besar bertikai. Sementara dirinya tidak mau jadi corong GAM maupun TNI/Polri. "Prinsip kita menyuarakan korban, voicing the voiceless. Kita ingin kebenaran itu diungkap ke publik. Lagian, tugas jurnalisme adalah mengabdi pada kepentingan publik," jelas Razie.

Dalam perang, wartawan tidak boleh hanya fokus pada jumlah korban dan kerusakan fisik, melainkan harus tanggap dengan penderitaan psikologis yang ditimbulkan akibat perang.

Menghindari "Sniper"

Di Papua—daerah yang masih sering dilanda konflik hingga sekarang, wartawan ANTV Meirto Tangkepayung mengungkapkan pengalamannya setahun lalu.

"Sekarang kalo mau pi meliput semua sama-sama ee..., jang ada yang jalan sendiri-sendiri. Sniper su di mana–mana. Orang bule dan tentara saja dorang berani tembak. Jang sampe besok kita wartawan yang kena dor lagi (Sekarang kalau hendak meliput, semua harus bersama-sama, jangan ada yang jalan sendiri. Penembak jitu sudah di mana-mana. Orang bule dan tentara saja mereka berani tembak. Jangan sampai besok wartawan yang ditembak-red)," katanya.

Saat itu Kota Jayapura marak dengan aksi sniper atau penembak jitu tersembunyi. Pada pukul delapan malam saja Jayapura bak kota mati. Tak ada yang berani keluar rumah.

Terpaksalah para jurnalis keluar rumah di malam hari karena tugasnya sebagai pewarta. "Kalau ingat peristiwa itu ngeri juga. Hampir tiap hari dengar ada kasus penembakan di malam hari. Jadi kami terpaksa harus keluar malam meliput," kisah Meirto, yang diiyakan beberapa jurnalis yang lain.

Bahkan supaya aman, para wartawan di Jayapura patungan menyewa mobil untuk pergi ke tempat kejadian perkara (TKP). "Kalau pakai motor terlalu berisiko. Tapi kalau tidak ada uang, kita pakai motor. Tapi jalannya harus beriringan, jadi bisa saling baku jaga," timpal Riyanto Nay, wartawan SCTV yang juga ikut bercerita.

Kisah di atas hanya satu di antara banyak pengalaman jurnalis saat meliput di Papua. "Kalau mau ditulis mungkin bisa dibuat satu buku," kata Riyanto dan Meirto dengan santai. Saat ditanya kesulitan apa yang mereka alami sebagai seorang jurnalis di Papua, keduanya mengatakan wartawan harus netral dan menciptakan informasi yang menyejukkan.

Sayangnya, masih ada narasumber dan masyarakat yang belum mengerti kerja wartawan. Bila tidak puas dengan suatu berita, semestinya mereka punya hak jawab. Tapi terkadang mereka justru memaki-maki si wartawan, bahkan ada yang menggunakan kekerasan, keluh Riyanto.

Ia mencontohkan kasus kematian wartawan Jubi Adriyansah dan kasus penikaman terhadap wartawan Vivanews Banjir Ambarita. Kedua wartawan itu mengalami kekerasan diduga akibat pemberitaan mereka terkait dengan penguasa. (Odeodata H Julia)

Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE


.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment