Advertising

Friday, 3 February 2012

Re: [wanita-muslimah] Agama dan Otak Manusia

 

"Mu'iz, Abdul" wrote:
dari segi ilmu antropologi dan sosiologi maupun sejarah di kalangan akademi, maka wahyu hanya berlaku bagi kaum theist saja.
(((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((
HMNA:
Tidak ada ilmu yang netral.
Menurut apa yang difahami selama ini di kalangan akademik (tidak seluruhnya), ilmu antropologi dan sosiologi maupun sejarah dan semua ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum itu barulah netral, apabila mencuekkan wahyu sebagai parameter. Itu adalah suatu fallacy. Dengan sikap yang demikian itu menternakkan polarisasi dalam ilmu.(#) Tidak ada ilmu yang netral. Mengapa ?
 
Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Tuhan, dapat diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu:
a) Golongan yang percaya akan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya setelah Tuhan mencipta, lalu disertai tindak lanjut dengan memberikan petunjuk kepada manusia dengan menurunkan wahyu kepada manusia pilihan yang disebut Nabi, yang akan meneruskan petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan Theist.
b)  Golongan yang percaya akan adanya Tuhan hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap yang berpikir demikian itu disebut sekuler. Golongan yang kedua ini disebut dengan Deist. Adalah logis bahwa golongan ini walaupun sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum menganut sesuatu agama.
c)  Golongan yang tidak mau tahu tentang adanya Tuhan. Adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan, bukanlah sesuatu yang penting benar untuk dipikirkan, hanya membuang-buang energi saja. Golongan ini disebut dengan Agnostik. Barangkali perlu menyebut nama orang dari golongan ini, satu laki-laki dan satu perempuan yaitu: Betrand Russel dan Madam Blavatsky.
d) Golongan yang  tidak percaya akan adanya Tuhan. Golongan ini disebut dengan Atheist.
 
Netral artinya tidak memihak. Adalah kenyataan bahwa semua ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, apalagi sains termasuk kedokteran(##) adalah memihak kepada golongan [b], [c] dan [d]. Artinya apa yang dikenal selama ini dalam kalangan akademik yang bersikap sekuler (lihat [b]) bahwa ilmu itu netral, tidak memihak sebenarnya adalah pernyataan yang palsu (fallacy). Tidak ada ilmu yang netral.
-------------------
(#)
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
078. Menerobos Polarisasi Keilmuan
 
Ada nada yang sengit dari Ahmad Ali dalam tulisan kolom yang diasuhnya tanggal 28 April 1993 yang lalu. Yaitu tentang adanya tanggapan, bahwa Ahmad Ali yang pakar hukum bicara-bicara juga mengenai agama, suatu bidang di luar bidangnya. Penanggap yang menanggapi Ahmad Ali tersebut sesungguhnya mewakili mayoritas pandangan masyarakat yang masih picik, hatta dalam masyarakat ilmiyah sekalipun, dalam era keilmuan sejak zaman Renaissance hingga sekarang, yaitu era polarisasi keilmuan: pemisahan secara gamblang antara ilmu-ilmu akhirat dengan ilmu-ilmu dunia, yaitu sekularisasi keilmuan (secula = dunia). Polarisasi keilmuan itu terjadi akibat arus imbas yang bersumber dari bidang politik dan kenegaraan yang dikenal dengan scheiding tussen kerk en staat, pemisahan antara gereja dengan agama. Polarisasi keilmuan itu menghasilkan dalam budaya kita berwujudkan adanya lembaga semacam Unhas di satu pihak dengan semacam IAIN di lain pihak.
 
Ajaran Islam tidak mengenal polarisasi keilmuan ini. Ayat yang mula-mula diturunkan; Iqra bismirabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. Secara tidak disadari dalam kalangan ilmuwan Muslim ayat 1 S. Al'Alaq yang dikutip di atas itu, sebagian besar mereka itu hanya mengutip iqra saja. Bahwa ucap mereka itu bacalah di sini berarti bukan hanya membaca Al Quran, melainkan lebih luas maknanya, yaitu bacalah masyarakat, bacalah sejarah, bacalah alam semesta. Syukurlah bahwa para ilmuwan Muslim itu mempunyai pandangan yang seperti itu. Akan tetapi mereka itu terjerumus ke dalam polarisasi keilmuan, ilmu akhirat pada kutub yang satu dengan ilmu dunia atau ilmu sekuler pada kutub yang lain. Inilah bahayanya tidak berpikir secara nizam (sistem), tidak kaffah, atau dengan redaksional yang lebih sederhana, memotong ayat. Yaitu S.Al 'Alaq ayat 1 dipotong, iqra dipisahkan dari bismi rabbika. Iqra, bacalah, yang ditonjolkan, sedangkan bismi rabbika, atas nama Maha Pengaturmu diabaikan. Inilah pengaruh era polarisasi keilmuan yang tidak disadari oleh sebagian besar ilmuwan Muslim, yang terwakilkan oleh penanggap tulisan kolom Ahmad Ali. 
 
Ada terobosan-terobosan secara individual untuk kembali mempertautkan kedua kutub yang dirobek menjadi dua ini sejak zaman Renaissance itu. Salah seorang penerobos individual itu adalah Ahmad Ali. Beberapa orang yang sebelumnya secara individual berupaya menerobos berhasil meningkatkan upaya individual itu menjadi upaya yang melembaga, seiring dengan pembangunan Masjid Salman. Lembaga itu walaupun sifatnya masih informal, namun merupakan mitra Institut Teknologi Bandung dalam upaya penerobosan polarisasi itu.
 
Almarhum H.Fadeli Luran yang pada waktu hidupnya menjadi Ketua DPP IMMIM, suatu ketika melontarkan gagasannya, agar IMMIM meningkatkan bidang juangnya bukan sekadar mengurus masjid saja, melainkan pula sekaligus membina isi masjid. Lalu lahirlah gagasan mendirikan Pesantren Pendidikan Al Quran IMMIM, yang kemudian diwujudkan dengan berdirinya pesantren tersebut yang mengambil lokasi di Tamalanrea, mendahului lokasi Kampus Unhas Tamalanrea, yang kelihatannya sekarang ada kecenderungan dalam master plan kota ini, kawasan itu menjadi kawasan kampus.
 
Suatu waktu dalam kesempatan meninjau lokasi bakal pesantren itu akan didirikan, saya mengemukakan kepada almarhum tentang kurikulum pesantren itu kelak. Saya katakan waktu itu: "Pak Fadeli kalau tujuan kita untuk mengisi masjid dengan mendirikan pesantren, maka kurikulum pesantren ini harus dapat menghasilkan luaran yang dapat menyambung ke perguruan tinggi di bidang mana saja. Supaya kelak kalau jadi dokter, jadi insinyur, jadi ekonom, jadi pakar sosiolog, hukum dll dia tidak canggung-canggung dapat mengisi masjid, bahkan menjadi khatib sekalipun."
 
Maka berdirilah Pesantren Pendidikan Al Quran di Tamalanrea dengan kurikulum yang menerobos polarisasi keilmuan warisan Renaissance tersebut. Kurikulum pesantren IMMIM tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat mempunyai tiga baju, dua baju yang formal dan sebuah yang informal. Pesantren itu berbaju SMP dan SMA jalur formalnya ke Depdikbud, mempunyai baju Tsanawiyah dan Aliyah yang jalur formalnya ke Depag, dan baju informal kepesantrenan dengan ciri khas pesantren, pengkajian kitab kuning. Semua baju dari kedua jalur formal tersebut statusnya telah mendapat pengakuan disamakan dari Depdikbud dan Depag. Juga suatu program khusus yang fakultatif pendidikan hafizh, penghafal Al Quran.
 
Ada satu hal yang lucu dengan cerita baju di atas itu. Pernah satu waktu di dalam Masjid Syura, Drs. M.Nur Rasuly salah seorang pejabat teras di Kanwil Depdikbud mengeluh bahwa Panitia Tilawati lQuran untuk para murid SMP yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud tersebut kebobolan dan sudah terlanjur dinyatakan hasilnya. Bahwa yang juara itu adalah pesantren. Lalu saya berikan informasi bahwa panitia tidak kebobolan, oleh karena memang pesantren itu memakai salah satu baju yang dimilikinya, yaitu baju SMP yang berjalur ke Depdikbud.
 
Alhamdulillah sekarang alumni pesantren ini sudah ada tersebar ke Unhas, IKIP dan IAIN, sudah menerobos polarisasi keilmuan tersebut. Seorang alumni yang mengambil program fakultatif hafidz, jadi telah hafal Al Quran, diterima di Jurusan Accounting Fakultas Ekonomi tanpa tes. Bahkan yang sempat saya dapatkan informasinya sudah ada yang menjadi dosen tetap pada Jurusan Elektro Fakultas Teknik Unhas, dan sampai saat ini masih tetap setia pada alma maternya Pesdantren IMMIM, menjadi guru tetap, bahkan bermukim dalam kampus pesantren. Ada pula di antara yang telah menyelesaikan Fakultas Kedokteran telah menjadi dosen tetap pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas.
 
Terakhir yang juga menggembirakan adalah Pesantren IMMIM ini menjadi satu-satunya pesantren di IBT yang terpilih dalam rangka upaya Menristek Habibie dalam hal mengimpor iptek masuk pesantren, yang sesungguhnya pagi pesantren IMMIM ini sudah terjadi bersamaan dengan didirikannya. Bagi Menristek ke dalam pesantren perlu mengimpor iptek dengan tujuan memasyarakatkan iptek, hatta dalam tubuh pesantren sekalipun, untuk kepentingan pembangunan bangsa. Sedangkan bagi IMMIM bukan merupakan import iptek melainkan atas dasar filsafat pencerahan. Kita pinjam istilah yang dipakai dalam sejarah aufklaerung dengan makna seperti pada judul menerobos polarisasi keilmuan, dalam rangka aplikasi iqra bismi rabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
 
(##)
Definisi sekuler dalam ilmu kedokteran: definisi tentang mati. Orang mati apabila otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Allah sebagai Ar-Rabb yang menurunkan wahyu disimpan di luar kawasan definisi ini. Apabila ilmu pengetahuan itu dimerdekakan dari pandangan hidup modernisme yang melahirkan filsafat positivisme itu, kemudian diberi nilai Tawhid maka definisi mati itu akan berbunyi: Orang mati adalah orang yang telah dicabut atau dipisahkan ruh dari jasadnya oleh malakulmaut yang mendapat perintah dari Allah SWT, dan ini dapat dideteksi dengan tidak berfungsinya lagi otak yang bersangkutan. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Seri 241 di bawah:
*****************
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL – IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
241. Pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi
 
Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 H - 808H) atau (1332 M - 1406 M), lahir di Tunisia. Ia mencapai usia 76 tahun menurut kalender Hijriyah, atau 74 tahun menurut kalender Miladiyah. Perbedaan dua tahun itu disebabkan oleh perbedaan penanggalan sistem qamariyah (peredaran bulan mengelilingi bumi) dengan sistem syamsiyah (peredaran bumi mengelilingi matahari). Dalam satu tahun syamsiyah terdapat perbedaan 10 atau 11 hari, sehingga dalam sekitar 33 tahun syamsiyah terjadi perbedaan satu tahun.
 
Ibnu Khaldun terjun dalam gelanggang politik, menulis sejarah dan menyumbangkan pemikiran orisinel tentang filsafat sejarah, bahkan ia terkenal pula sebagai sesepuh peletak dasar ilmu pengetahuan modern dalam bidang sosiologi. Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga yang berasal dari Andalusia yang berpindah dari Sevilla ke Tunisia dalam pertengahan abad ketujuh Hijriyah. Jika asal-usulnya ditelusuri terus ke belakang, maka ia berasal dari Yaman, keturunan Ibnu Hajar.
 
Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al I'bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai timbul dan runtuhnya negara dan bangsa-bangsa.
 
Adalah suatu hal yang sangat disayangkan ialah para pakar ummat Islam dalam bidang sejarah dan sosiologi kurang berminat dalam menyimak pendekatan Ibnu Khaldun dalam Bidang Sejarah dan Sosiologi, seperti dalam judul di atas itu. Dalam ulasannya Ibnu Khaldun berangkat dari postulat yang sangat asasi yaitu iman. Ibnu Khaldun memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan.
 
Jadi sangat berbeda dengan filsafat ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat positivisme yang dilahirkan oleh pandangan hidup modernisme seperti yang dianut oleh pakar baik oleh yang bukan Muslim maupun yang Muslim yang tidak menyadari akan "penjajahan" filsafat positivisme yang mempengaruhi disiplin berpikir dalam berilmu. Sehingga jika orang memakai pendekatan yang berlandaskan iman akan mendapat cap tidak ilmiyah. Demikianlah iman diperlakukan oleh para pakar kita yang Muslim. Kalau mau mengadakan pendekatan yang ilmiyah, iman disimpan dahulu di luar kawasan disiplin ilmu yang bersangkutan. Inilah dilemma bagi para pakar kita.
 
Kita ambil perbandingan seperti misalnya dalam bidang ilmu kedokteran mengenai definisi tentang mati. Orang mati katanya apabila otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Iman ataupun nilai Tawhid disimpan di luar kawasan definisi ini. Apabila ilmu pengetahuan itu dimerdekakan dari pandangan hidup modernisme yang melahirkan filsafat positivisme itu, kemudian diberi nilai Tawhid maka definisi mati itu akan berbunyi: Orang mati adalah orang yang telah dicabut atau dipisahkan ruh dari jasadnya oleh malakulmaut yang mendapat perintah dari Allah SWT, dan ini dapat dideteksi dengan tidak berfungsinya lagi otak yang bersangkutan.
 
Berikut ini akan diberikan contoh bagaimana pendekatan Ibnu Khaldun yang berpangkal pada Ayat Qawliyah:
 
Sunnata Llahi fiy Lladziyna Khalaw min qablu wa Lan Tajida liSunnati Llahi Tabdiylan (S. Al Ahza-b, 62). Inilah SunnatuLlah pada orang-orang dahulu kala dan tiada engkau peroleh SunnatuLlah itu berubah-ubah (33:62).
 
Berdasarkan postulat dalam ayat itu bahwa SunnatuLlah yang berlaku pada orang-orang baik mengenai keadaan fisik manusia maupun dalam sejarah bangsa-bangsa yang tidak berubah-ubah itu, Ibnu Khaldun meneliti untuk dapat mengungkapkannya. Ia membagi daerah penelitiannya dalam lima daerah, yaitu daerah yang jauh ke selatan yang sangat panas, yang jauh ke utara yang sangat dingin daerah selatan yang dekat yang kurang panasnya, daerah utara yang dekat yang kurang dinginnya dan daerah pertengahan yang sedang panas dan dinginnya. Ia mendapatkan kesimpulan adanya pengaruh iklim atas keadaan fisik manusia khususnya warna kulit dan rambut. Dari warna hitam legam pada daerah yang jauh ke selatan berangsur-angsur berubah menjadi warna lebih ringan pada daerah selanjutnya hingga menjadi warna putih dan pirang pada rambut pada daerah utara yang dekat dan akhirnya menjadi bule baik pada kulit maupun rambut pada daerah yang jauh ke utara. Ia membantah pendapat yang umum pada waktu itu bahwa warna hitam itu disebabkan mereka itu adalah keturunan Ham salah seorang anak Nabi Nuh AS yang dikutuk oleh bapaknya. Hal itu dijelaskan dalam Tawrat bahwa Nabi Nuh AS melaknat puteranya yang bernama Ham itu, akan tetapi di situ tidak ada hubungannya dengan masalah warna hitam itu. Berdasarkan hasil temuannya dalam penelitian itu Ibnu Khaldun membantah teori yang berbau rasial pada waktu itu yang menghubungkan antara kutukan dengan warna kulit.
 
Andaikata Ibnu Khaldun dapat melihat negara Israel sekarang ini, ia akan bergembira melihat hasil ungkapannya itu. Orang-orang Yahudi yang berasal dari daerah panas berbeda warna kulitnya dengan yang berasal dari daerah yang beriklim dingin. Orang Yahudi yang berasal dari Ethopia berkulit hitam, sebaliknya orang Yahudi yang berasal dari Rusia berkulit putih, padahal mereka itu berasal dari Israil atau Nabi Ya'qub AS.
 
Demikian pula dari hasil penelitiaannya ia dapat mengungkapkan SunnatuLlah yang tidak berubah-ubah itu pada penduduk desa dan kota antara lain seperti berikut: orang desa lebih berani dan lebih bersemangat daripada orang kota, penduduk desa lebih dekat pada kebajikan dan lebih mudah pula menerima kebajikan daripada penduduk kota.
 
Demikianlah sekelumit keterangan tentang metodologi penelitian Ibnu Khaldun. Ia meneliti sejarah dan masyarakat tidak berangkat dari keadaan polos, ia juga tidak berangkat dari hipotesa, melainkan ia berangkat dari postulat yang diambil dari Ayat Qawliyah, ia berangkat dari iman, ia memberikan nilai Tawhid dalam ilmu pengetahuan. Alangkah eloknya jika para pakar Muslim dapat mengikuti jejak Ibnu Khaldun, sehingga dari segi filsafat, ilmu pengetahuan itu dapat memerdekakan diri dari filsafat positivisme, anak dari pandangan hidup modernisme yang agnostik itu. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
 
*** Makassar, 15 September 1996
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1996/09/241-pendekatan-ibnu-khaldun-dalam.html
 
Wassalam
HMNA
)))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))

 
----- Original Message -----
From: "Mu'iz, Abdul" <quality@posindonesia.co.id>
Sent: Saturday, February 04, 2012 5:57 AM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Agama dan Otak Manusia

ABAH HMNA wrote : Ada yang perlu dikritisi klasifikasi yang dikemukakan Pak Abd Muiz:

Pertama, yang Pak Abd Muiz kemukakan itu adalah pandangan netral bagi faham yang tidak percaya adanya wahyu (Deist). Mengapa? Karena dalam pembagian itu wahyu tidak menjadi parameter. Jadi klasifikasi yang netral netral adalah yang menjadikan wahyu sebagai parameter, yaitu agama wahyu dan agama kebudayaan.

Kedua, sudut pandang lokus atau wilayah itu bertentangan dengan pandangan bahwa kepada semua ummat manusia barat, tengah, timur semuanya diutus para
nabi dan rasul yang mendapat wahyu. Jadi sekali lagi yang netral untuk semua bangsa di timur, di tengah, di barat, di utara di selatan adalah agama wahyu dan agama kebudayaan.

Ketiga, surut pandang formalitas, itu agama Konghucu, Shinto masuk agama jenis mana: formal atau non formal ? Klasifikasi ini jadinya abu-abu, ada beberapa agama yang tidak jelas masuk yang formalitas atau non-formalitas.

Keempat, yaitu sudut pandang penyebaran, dikatakan: agama universal, disebarkan dengan sengaja dan sistematis : Kristen dan Islam. Dalam sejarah, agama Hindu dan Buda juga disebarkan dengan sengaja dan sistematis.

ABDUL MU'IZ :

Pertama : dari segi ilmu antropologi dan sosiologi maupun sejarah di kalangan akademi, maka wahyu hanya berlaku bagi kaum theist saja.

Kedua : sudut pandang lokus memang terbuka untuk dipertentangkan. Namun sudut pandang lokus lebih melihat asal usul agama tsb muncul, maka lokasi awal merupakan fakta historis yang tidak dapat dipungkiri. Bahwa kemudian suatu agama tidak hanya untuk penduduk di lokus awal kemunculan agama tsb itu adalah progress selanjutnya itu adalah dinamika sistem.

Ketiga : sudut pandang formal dan non formal tidak akan abu-abu setelah ditilik jumlah pengikut dan pengakuan oleh pemerintah, ada hak sipil yang diatur negara terkait agama yang dianut dan ada anggaran negara untuk dialokasikan memanage keperluan penganut agama sesuai APBN. Nah yang tidak dianggarkan pengembangan kebutuhan umat ber agama dan jumlahnya memang realtif sedikit itulah yang disebut agama non formal, banyak aliran kepercayaan lokal yang khas masing-masing daerah, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Keempat : dari sudut pandang penyebaran memang hanya kristen dan Islam yang punya konsep penyebaran, makanya ada aktivitas yang disebut misionaris dan zending di agama Kristen. Sedangkan di Islam ada dakwah dan tabligh. Di agama lain, Hindu dan Budha tidak ada amanat secara textual untuk menyebarkan agama atau mengajak ke Syurga bersama-sama. Bahkan Yahudi (yang satu rumpun dengan Kristen dan Islam) dikenal eksklusif tidak ada penyebaran agama Yahudi, itulah sebabnya agama Yahudi tetap minoritas tidak berkembang, bahkat untuk kawin mawin saja unat Yahudi maunya seketurunan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment