"Kalau penangan annya seperti sekarang, tidak mungkin Indonesia bebas narkoba tahun 2015." Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere, mengatakan pada 2011 angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai 2,2 persen, atau setara dengan 4,2 juta orang. Dari jumlah itu, sebagian besar pecandu adalah kelompok pekerja, yakni sebanyak 70 persen, sementara kalangan pelajar mencapai 22 persen.
"Tingginya angka pada kelompok pekerja karena mereka memiliki kemampuan finansial. Karena tekanan pekerjaan, menggunakan narkoba," ujar Gories dalam peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di Makassar kemarin.
Dalam peringatan Hari Anti Narkoba itu, Wakil Presiden Boediono mengajak semua kalangan untuk berperang melawan bahaya narkoba. Kasus narkoba adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diperangi dengan total, tidak setengahsetengah, dengan komitmen penuh. "Sehingga tekad kita menjadikan Indonesia bebas narkoba pada 2015 dapat tercapai," kata Wakil Presiden saat meresmikan Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional di Baddoka, Makassar, kemarin. Boediono menuturkan, Indonesia tidak bisa bekerja sendiri dalam memberantas narkoba. Apalagi Indonesia ada di tengah pusaran jaringan narkoba internasional yang tekanannya kian kuat. "Tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang disebut business as usual. Harus lebih ofensif, lebih ambisius, lebih aktif, dan terus berinisiatif mela
kukan langkah-langkah koordinasi dan langkah strategis lainnya," ujarnya. Sementara itu, Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menilai target Indonesia bebas narkoba pada 2015 sulit tercapai, bahkan tidak mungkin.
"Total pecandu di seluruh Indonesia hampir mencapai 5 juta orang. Kalau penanganannya seperti sekarang, tidak mungkin tercapai bebas narkoba tahun 2015," kata dia saat dihubungi kemarin.
Henry berharap pemerintah berbesar hati untuk jujur dan realistis dalam membuat suatu target agar tidak membohongi diri sendiri. Menurut dia, pada 1971, pemerintah pernah berbohong dengan menyatakan Indonesia sebagai negara transit peredaran narkoba. "Padahal sebenarnya Indonesia sudah jadi negara tujuan peredaran narkoba. Akibatnya, kondisi
Indonesia sekarang semakin parah," kata dia. Henry juga menganggap pembangunan panti rehabilitasi di sejumlah provinsi oleh BNN tidak efektif dalam pemberantasan narkoba karena jumlahnya terbatas. "Tidak harus mewah, cukup mengubah satu rumah sakit atau membangun tempat kecil. Yang penting, di setiap provinsi ada," kata dia.
Panti rehabilitasi yang hanya ada di beberapa provinsi itu dinilai Henry sulit diakses oleh pecandu yang berada di provinsi lain atau pulau lain. Salah satu contohnya adalah Balai Rehabilitasi Baddoka, Makassar, yang diperuntukkan bagi pecandu di 16 provinsi di Indonesia timur.
"Bagaimana biaya mencapai ke sana? Saya dengar di panti itu juga masih harus bayar. Pokoknya program ini kurang efektiflah," kata dia.
0 comments:
Post a Comment