Advertising

Monday, 2 July 2012

[wanita-muslimah] Hidup dalam Kemajemukan dengan Spirit Toleransi

 

 
Oleh : Estomihi H.
Tulisan Victor Silaen, "Negara Paling Toleran di Dunia?" dalam Sinar Harapan (29/5) telah mendorong Wurianto Saksomo untuk mengkritisinya melalui opini "Siapa yang Intoleran?", dalam Republika (12/06). Dan kedua tulisan itu menjadi undangan terbuka dalam memaknai toleransi dengan alamat demi kedewasaan umat yang hidup dalam kemajemukan agama.
Sejarah Perjumpaan dan Implikasinya

Realitas sosial masyarakat Jawa, sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, ditandai dengan kehidupan keagamaan yang majemuk. Kehadiran Hinduisme dan Budhisme dipahami sebagai faktor penyubur, peneguh dan menjadi daya dorong dalam mengartikulasikan konsep keyakinan religi masyarakat Jawa yang dinyatakan dalam kekuatan budaya dan politik.

Setidaknya, prosesi Waisak mewariskan kesadaran religio historis demikian dan berimplikasi politik yaitu memungsikan negara dalam menjamin kehidupan bersama demi menghadirkan kesejahteraan bagi umatnya.

Walaupun para ahli tidak sepakat mengenai sejarah awal masuknya Islam tetapi interaksi Islam dengan Jawa telah berimplikasi sangat luas. Dengan mengedepankan persamaan hak bagi setiap orang sebagai bandingan terhadap teologi kasta yang berkembang saat itu maka Islamisasi berhasil dengan segala variasi produknya. Setidaknya, cerita kemartiran Syaikh Lemah Abang dalam serat Centini atau variasi Islam di Jawa sebagaimana digagas Geertz, Woodward dapat menjadi pertimbangannya.

Sebagaimana Islamisasi Jawa, maka Kristenisasi juga dilakukan dengan motif ekonomi, perdagangan dan berdampak politik bagi tatanan Islam yang baru dibangun dan menjadi faktor pendorong bergesernya pemahaman teologi umat dari Hinduisme, Budhisme menjadi berorientasi semitis. Islam dan Kristen berjumpa dalam kultur sosial keagamaan atas warisan pertautan Hindu-Buddha di Jawa dengan religi aslinya.

Suatu perjumpaan dengan motif yang sama dan pada lahan yang sama dengan segala pergulatan sosial keagamaan. Jika kehadiran Buddha, Hindu telah menyuburkan keyakinan agama asli masyarakatnya, tetapi kehadiran Islam justru merubah tatanan sosial keagamaan yang sudah ada, demikian juga Kristenisasi. Sejauh ini, belum ditemukan catatan, apakah umat Hindu atau Buddha merasa tersinggung atas proyek Islamisasi atau Kristenisasi masa itu.

Itulah salah satu percikan sejarah perjumpaan agama-agama di Jawa (Indonesia) dengan segala implikasinya. Suatu perjumpaan yang "mendominasi" atmosfir toleransi maupun intoleransi umat beragama dan diproduksi dalam bentuk yang baru sampai masa kini.

Realitas sosial perjumpaan umat Kristen dan Islam baik dalam sejarah Islam periode awal sampai ke Indonesia, memang selalu ditandai dengan atmosfir (in)toleransi. Maka, dapat dipertimbangkan catatan Wurianto Saksomo, bahwa "toleransi sebatas hubungan kemanusiaaan, sosial kemasyarakatan. Sedangkan dari segi akidah, ada garis batas tegas sesuai petunjuk Allah dalam QS al-Kafirun, Bagimu Agamamu, bagiku agamaku"

Jika kehadiran Presiden SBY pada setiap event keagamaan, atau Wakil Ketua DPRD, Asisten III dan Prof. Hidayat sebagai kafilah Provinsi Banten yang menempati wisma keusukupan Ambon pada pelaksanaan MTQ, maka hal itu dapat disebut sebagai bagian makna toleransi. Tetapi akan berbeda makna dan implikasinya jika Presiden SBY, cukup dengan memaklumi atau merasa sedih atas kasus GKI Yasmin, Ahmadiyah. Mungkinkah itu (Negara) disebut pada tindakan toleransi atas intoleransi? Atau sebaliknya?

Darimanakah akar (in)toleransi?

Sebagai suatu tindakan yang dikaitkan pada aspek keagamaan dan mungkin dianggap sebagai tindakan suci, maka gagasan fundamental pemaknaan (in)toleransi harus didasarkan pada doktrin teologis maupun pada warisan sejarah perjumpaan dan konversi agama itu sendiri. Maka penting membaca ulang teks-teks keagamaan dengan mengedepankan otoritas makna suatu teks.

Teks berbicara pada konteks zamannya akan dapat memberi makna pada konteks zaman pembaca saat ini. Maka terjadilah pergulatan dialektis dan selanjutnya memproduksi tindakan guna menjawab kebutuhan sosialnya sebagai buah tafsir keagamaan. Implikasi imperatif pergulatan tersebut akan mendorong pembacanya untuk bertindak dalam realitas sosialnya.

Dengan tidak mengedepankan rasa curiga sebagaimana catatan "Orientalisme" Edward Said, maka penting untuk mempertimbangkan proposisi Bernard Lewis bahwa intoleransi Muslim terhadap Kristen memang bersumber dari doktrin teologis dan sejarah, dan itu harus dipahami sebagai refleksi atas konflik Muslim dengan Kristen pada periode Islam awal.

Pemerintah dan Demokrasi

Pentingnya mengemukakan sikap toleransi sebagai modal sosial beragama, didasarkan pada kesadaran akan nilai kebajikan intrinsik dengan tidak mengesampingkan betapa pentingnya memperjuangkan pelaksanaan hukum sebagai variable pendukung gagasan demokrasi serta perwujudan kebebasan beragama sebagai bagian dari hak azasi manusia.

Dalam kaitan inilah pendasaran terhadap gagasan Immanuel Kant akan peran fundamental negara dengan tatanan politik demokratis sebagai penjamin situasi sosial beragama dalam konteks adanya kebebasan setiap orang untuk menjalankan kebebasannya menurut pilihannya sendiri atas naungan hukum sebagai tanda pengakuan terhadap semua warga negara. Dengan demikian, aplikasi fungsi negara tidak dimaknai dalam bentuk adanya tirani mayoritas.

Implikasi imperatifnya, sebagaimana selalu diserukan, negara harus memberi jaminan pada pembangunan rumah ibadah dan mendukung terciptanya suasana damai dalam interaksi sosial semua umat beragama yang berbeda. Hasilnya adalah sikap toleransi sebagai suatu kesadaran terhadap keadilan untuk semua orang sebagaimana proposisi John Rawls. Dampak postif dalam suasana kondusif atas cita-cita demikian akan menciptakan atmosfir demi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan sosial.

Percikan kerukunan umat dalam pelaksanaan MTQ di Ambon harus terus dibumikan dan menjadi gerakan kultural bangsa. Dengan demikian, tindakan toleransi bukan hanya atas jaminan hukum, tetapi harus lahir dari refleksi diri umat untuk menghasilkan toleransi sebagai aspek psikologis, spirit komunitas umat demi cita-cita civil society.

Jika Victor Silaen mendasarkan opininya pada data-data adanya tindakan pelarangan pembangunan gedung gereja sebagai fakta adanya intoleransi, maka Wurianto Saksomo, telah mengopinikan perlunya interpretasi dan mencari subjek, apa yang menyebabkan tindakan intoleransi tersebut.

Kesadaran atas pembacaan opini tersebut, harus mendorong kita memproduksi dan menjadikan spirit toleransi sebagai panggilan iman dalam konteks sosial keagamaan yang majemuk.

Dengan demikian, bukan hanya pemerintah yang berperan penting. Lembaga agama, pendidikan multikultural, tokoh agama harus menjadi subjek utama dalam pencapaian toleransi. Sehingga produksi opini toleransi berikutnya akan mendorong umat untuk menguburkan sikap intoleransi. Semoga.***

Penulis adalah Sekretaris Ketua Gereja Methodist Indonesia Konperensi Tahunan Wilayah Sementara.

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment