Assalamu'alaikum Wr. Wb bu Emy,
Ini sharing saja, bukan pertimbangan.
Ketiga anak saya (3 SMP, 5 SD, 1 SD) semuanya di sekolah Katolik di Bunda Hati Kudus, Kota Wisata, Cibubur. Tidak ada kewajiban sekolah minggu.
Untuk mengajarkan agama Islam, saya juga tidak memanggil guru ngaji. Alhamdulillah, saya ajar sendiri. Mereka anak saya sendiri kenapa malah harus orang lain yang ngajar dasar-dasar ngajinya? Kalau saya sedang tak di luar kota, minimal Magrib dan Isya shalat jamaah di rumah. Lalu ngaji dan cek hafalan Qur'an. Kalau sedang di luar kota seperti sekarang, ibunya jadi imam. Tapi kalau ibunya sedang berhalangan (seperti sekarang juga, hehehe...) dua yang terbesar bergantian jadi imam. Minimal sekali sebulan, pada week end, tahajud bareng jam 2-3 pagi, dan Dhuha.
Hasilnya sejauh ini lumayan juga. Waktu Ramadhan lalu, meski anak sulung saya ada kegiatan retreat sekolah (di kawasan Puncak) selama 3 hari (semacam i'tikaf di kita), alhamdulillah anak saya puasanya tetap jalan. Tiap sahur dibangunkan guru-gurunya yang Katolik (bersama 4 murid muslim/muslimah lain). Bahkan ketika 2 pekan lalu ketika saya ada urusan di Sumatra selama hampir 10 hari, anak sulung saya bisa Puasa Syawal.
Sedangkan anak saya yang kelas 5 SD juga dikuatkan Allah menuntaskan puasa Ramadhannya secara penuh, meski di kelas hanya berdua yang beragama Islam.
Kalau saya ingat kembali jaman saya SD dulu, rasanya puasa saya jadi "biasa saja" karena semua kawan dan guru juga puasa. Tapi anak-anak saya dalam lingkungan yang sangat menantang mereka. Dan alhamdulillah mereka bisa melakukannya dengan baik, termasuk si bungsu yang mulai latihan puasa tahun ini.
Untuk yang sulung, rencana kami setelah dia lulus SMP, insya Allah SMA-nya akan masuk sekolah negeri. Sudah cukup pengalamannya menjadi "minoritas".
Awal anak sulung saya masuk BHK, teman-teman pengajian saya "bingung". Secara berseloroh saya bilang, "daripada anak saya sekolah di sekolah Islam, tapi orang tuanya lepas tangan menyerahkan semua pendidikan agama ke guru ngaji (baik di sekolah atau diundang ke rumah), dan si ortu malah sibuk bisnis, hang out nggak jelas" (anak-anak disuruh Islami, tapi si ortu tak sinkron mencontohkan).
Yang agak serius, mungkin karena saya agak terkesan juga dengan cara ayah MH Thamrin, ya pahlawan Betawi singa podium Volksraad yang namanya ditabalkan jadi nama gang di Jakarta itu. Meski si ayah ini punya pesantren di Sawah Besar, dia sekolah MH Thamrin di Bijble School, Pasar Baru. Dan itu tahun 1900, saat anaknya baru umur 6 tahun. Dia bilang, kira-kira, "Kalau untuk pendidikan umum, saya sekolahkan anak saya pada sekolah umum. Kalau untuk pendidikan agama, saya tangani sendiri."
(Ini topik lain, saya pernah berhipotesis seandainya warga Betawi lebih mengidolakan MH Thamrin ketimbang para pendekar seperti Si Pitung atau Jampang, akankah mereka menjadi etnis yang paling visioner sekarang seperti halnya ayah MH Thamrin dulu).
Salam dari Surabaya,
Akmal N. Basral
Sore mau tanya pertimbangan bgmn sebaiknya...
Kondisi lingkungan saya mayoritas non muslim sekolah yg baik rata2 pun christian.. Jarak sekolah SD muslim utk anak masuk sd sangat jauh sekali dgn pertimbangan waktu dan fisik anak rasanya kasian kl dipaksakan.
Terus terang saya tertarik ke salah satu sekolah cristian yg hny jalan kaki dr rumah. Selain prestasi anak2nya sudah mendunia, jarak juga dekat sekali tapiyg jd beban batin adalah setiap hari minggu seluruh siswa anak diwajib kan utk sekolah minggu di gereja..
Pilihan ke 2 adalah international school yg tidak mengajarkan agama apapun, dr pihak sekolah katanya urusan agama adalah kewajiban orangtua mereka tidak mengajarkan agama di skulnya.
Prestasi anak2 tidak terlihat ª∂a̲̅ yg menonjol..
Saat ini anak saya masukan ke international school yg sehari2 menggunakan bhs inggris.
Apa yg saya pilih dr pilihan ini ??
Terima kasih para senior q
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
0 comments:
Post a Comment