Advertising

Tuesday 25 September 2012

[wanita-muslimah] Haji Mabrur: Kisah Abdullah bin al-Mubarak

 


Abdullah bin al-Mubarak* hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.

"Berapa banyak yang datang tahun ini?" tanya satu malaikat kepada malaikat lainnya.

"600.000," jawab malaikat yang ditanya.

"Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?"

"Tidak satupun"

Percakapan itu membuat Abdullah gemetar. "Apa?" aku menangis. "Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasing yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?"

"Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq." Kata malaikat yang pertama. "Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya mabrur, diterima Allah, dan seluruh dosanya telah diampuni."

Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal. Aku menyapanya dan ia keluar. " Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?" tanyaku. 

"Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?"

Kepadanya aku mengatakan namaku Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. 

Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku. Dia mengatakan: "Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit. Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. 

Tetanggaku mendadak menagis. "Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa," katanya. "Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu." 

Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. "Belanjakan ini untuk anakmu," kataku. "Inilah perjalanan hajiku."

"Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku," kata Abdullah, "dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya."

******

*Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang ulama yang wara'. Ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M.

Kisah di atas diambil dari buku Warisan Para Awliya karya Farid al-Din Attar.

* * *

Kawan-kawan anggota majelis WM yang terpelajar,
yang sudah berhaji mau pun yang belum, yang berhaji sekali atau berulang kali, izinkan saya menawarkan diskusi lebih jauh tentang thread Haji dengan varian "Haji Pengabdi Setan" (istilah Prof Ali Yaqub yang dipromosikan Ust. Chodjim di milis ini), "Haji Mabrur" atau apa pun yang terkait dengan salah satu ibadah terbesar yang pernah diperintahkan Allah kepada umat manusia ini. Sebuah diskusi yang lebih serius, datang dari argumentasi yang kokoh, dengan hati yang tenang. Saya ingin menawarkan beberapa poin untuk didiskusikan:

1. Saya tidak setuju dengan anjuran beberapa anggota milis yang ingin topik ini disudahi. Kenapa harus disudahi? Topik ini disampaikan Mas Chodjim dengan santun, tidak flaming, tidak bersifat SARA, tidak ofensif. Karena itu saya respek dengan moderator milis Mas Dwi yang tidak memberikan statement agar topik ini disudahi. Justru sekaranglah saat terbaik bagi kita sebagai bagian dari umat Islam yang terpelajar untuk mendiskusikan hal ini secara bermartabat.

2. Tidak perlulah kita saling unjuk pamor "googling saja nama saya di Internet" dan semacamnya. Siapa sih kita ini kawan-kawan? Kalau pun ada satu dua yang pernah bicara di mimbar ini di mimbar itu, menulis ini menulis itu, semuanya itu hanya berkat kemurahan Allah saja, bukan? Siapalah kita yang debu ini ingin menepuk dada bahwa saya pernah mengundang ini itu, bicara ini itu. 

Kalau kriteria "googling" itu masih penting, marilah kita bandingkan diri kita (sebagai introspeksi) dengan, misalnya, Syaikh Yusuf Estes, Islamic Personality of the Year 2012, yang mantan pendeta. 

http://www.youtube.com/watch?v=_YRV_LiHIZU&feature=related

Jangan-jangan dibandingkan "muslim baru" seperti Syaikh Estes pun kita yang muslim sejak lahir ini belum ada apa-apanya dalam mensyiarkan kemuliaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

3. Saya insya Allah yakin niat Mas Chodjim membincangkan tentang buku "Haji Pengabdi Setan" karya Prof. Ali Mustafa Yaqub, dan niat saya sendiri, adalah dalam kerangka "tawasau bil haq" (agar tidak ghuluw dalam beribadah) dan "tawasau bish shabr" (agar kita menjadi orang yang panjang sabar dalam segala hal, termasuk godaan terjerumus dalam 'egoisme orang-orang saleh'). 

Bukankah dua syarat "tawasau" di atas adalah sudah separuh dari 4 syarat agar kita tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang merugi? (QS 103: 1-3).


4. Sekarang mari kita masuk pada substansi kisah Abdullah bin al-Mubarak di atas. Bukankah kisah ini mempunyai banyak lapis makna yang bisa dinukil? Di mana salah satunya, kisah ini justru mengonfirmasi kolom Prof. Ali Yaqub "Haji Pengabdi Setan" yang saya posting sebelumnya karena Ali bin Mowaffaq sang tukang sepatu di Damaskus melakukan ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) dibandingkan Sang 'Alim Abdullah bin al-Mubarak yang melakukan haji sebagai ibadah qashirah (ibadah individual)?

Jika para pendukung (dan pelaku) Haji Berulang ini mendebat pendapat Prof Ali Yaqub, dan kini kisah hikmah Abdullah bin al-Mubarak di atas, debatlah dengan menyodorkan argumentasi lebih valid, bukan dengan keterbatasan (dan justifikasi) pemikiran kita sendiri seperti "kalau untuk sedekah, zakat, dst-nya kan sudah ada jalurnya. Manfaatkan saja kesempatan berhaji yang ada di depan mata."

5. Ini yang paling penting diingat dan menjadi rambu dalam diskusi ini: yang mas Chodjim dan saya imbau adalah mereka yang sudah (atau akan) melakukan haji BERULANG KALI, bukan haji pertama kali.

6. Pada poin no. 3 saya sebutkan istilah 'EGOISME ORANG-ORANG YANG SALEH'. Menurut saya, kolom Prof. Ali Yaqub itu masih LUNAK.
    Paling tidak dibandingkan dengan cerpen A.A. Navis "Robohnya Surau Kami" yang ditulis tahun 1956 atau hampir enam dekade lalu.
    Dalam cerpen Navis, sang tokoh yang bernama Haji Saleh dan berulangkali naik haji akhirnya masuk neraka, sambil terus mendebat Tuhan karena
    dia sudah banyak beramal qashirah.

    Dulu saat pertama kali membaca cerpen itu (saya masih murid SMA) saya "marah" kepada Navis kok bisa-bisanya dia sebagai "pengarang"
    melecehkan seorang haji seperti itu. Belakangan, saya tahu dari berbagai sumber (termasuk bertemu Navis sendiri setelah saya kuliah) bahwa
    cerpen itu justru ditulisnya SETELAH dia pulang berhaji (Konon menurut seorang anggota senior milis Rantau-Net, Pak Sjamsir Sjarif alias Mak
    Ngah yang pernah berteman dengan sang sastrawan, saat itu Navis berangkat atas biaya dinas sebagai Ketua Dinas Kesenian Sumatra Tengah/
    nama sebelum Sumatra Barat).

   Mengapa naik haji berulang kali menjadi bentuk "egoisme"?

7. Sependek pemahaman saya yang terbatas, makna QS 21: 107 bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai Rahmatan Lil 'Alamin, adalah juga
    agar kita umatnya menjadi rahmat bagi semesta, dimulai dari menjadi rahmat bagi sesama.

    Agar menjadi rahmat bagi sesama, dalam konteks haji, tidak susah memahami matematika sederhana ini, yakni jumlah jamaah haji yang 
    bisa menunaikan ibadah haji, dari seluruh negara, dengan perhitungan formulasi apa pun, adalah TERBATAS, karena menyangkut 
    sebuah lokasi fisik.

    Karena sifat TERBATAS ini (dalam konteks per negara ada kuota), maka sulitkah memahami bahwa untuk setiap orang haji yang 
    BISA menunaikan haji pada tahun tertentu (katakanlah tahun ini), maka pada prinsipnya keikutsertaan orang itu sudah MENUTUP 
    KESEMPATAN bagi calon haji lain?

    Sama sekali tidak susah untuk memahami logika sesederhana ini, bukan?

    (Jangan dulu berdalih, "tuh lihat si Ustad anu yang pengelola travel biro dst", lihat saja diri sendiri. Seandainya saya berhaji untuk kedua kali,
    maka tak perlu data valid dan metoda statistik canggih untuk membuktikan bahwa pada proses berhaji saya yang KEDUA, sudah pasti
    saya menutup jatah satu calon jamaah haji lain).

8. Sekarang bagi para pendukung dan pelaku HAJI BERULANG ("boleh saja", "apa salahnya kalau ada rezeki", dll justifikasi), marilah saya 
    himbau anda dengan sungguh-sungguh untuk melakukan "role playing", bertukar peran dengan orang lain.

    Bayangkanlah diri anda kini justru menjadi orang yang termasuk barisan antrean jamaah. Sabarkah anda menunggu satu tahun ke depan? Jika sabar, 
    sabarkah anda menunggu 2 tahun ke depan? Jika masih sabar, masihkah anda sabar menunggu 5, 6, 7, 10 tahun ke depan sementara anda
    terus mendengar, melihat, bahkan mungkin kenal kolega, kawan, yang dengan mudahnya berhaji BERULANG KALI?

    Bagaimana perasaan anda, wahai pendukung dan pelaku Haji Berulang, jika keadaan sebaliknya itu yang anda alami? Masihkah anda akan
    dengan mudahnya bilang, "boleh saja" dll dengan bermacam ragam varian jawaban?

9. Jika bagi anda contoh no. 8 masih "tidak apa-apa", baiklah anda kembali pada posisi anda sekarang sebagai pendukung dan pelaku Haji 
    Berulang, dan coba jawab dengan jujur pertanyaan saya yang terakhir ini:

    Seandainya anda kenal salah seorang calon haji di daftar tunggu yang WAFAT dalam masa penantiannya untuk berhaji (pertama kali),
    sementara jelas sekali salah satu penyebab utama almarhum/almarhumah itu menunggu giliran adalah karena jatah mereka DISABOT 
    para Haji Berulang, tidak kah kejadian semacam itu akan membuat anda menangis, menggigil, menyesali egoisme Anda yang sama sekali 
    tak menjadi RAHMAT bahkan bagi sesama muslim sendiri?

    Cobalah renungkan hal ini dengan tenang, karena "Anda" yang saya maksud bukanlah Anda invididual, melainkan "Anda kolektif" (Haji Berulang)
    yang mungkin dari 200.000 jamaah tiap tahun entah ada 100, 200, atau bahkan 1000 orang di sana.

    Bahkan kalau pun pada satu musim haji hanya ada 10 orang yang melakukan Haji Berulang, maka ke-10 orang itu jelas menutup kesempatan
    bagi 10 calon haji pertama untuk berangkat.

    Saya yakin akan muncul jawaban: Yang penting kan niat, kalau si almarhum/almarhumah sudah berniat naik haji tapi niatnya tak kesampaian,
    maka Allah pasti akan punya perhitungan sendiri atas niat baiknya itu. Bukankah Nabi sendiri mengajarkan bahwa "setiap amal itu tergantung 
    niatnya"?

    Di sinilah STANDAR GANDA kaum muslim sering berlaku. Jika untuk melindungi diri sendiri, hadis Nabi seperti itu akan sering dipakai sebagai
    tameng. Tapi tak ada keinginan untuk memahami maksud ayat Quran yang lebih tinggi tentang kehadiran Muslim sebagai rahmat lil 'alamin.

    Lha, bagaimana bisa menjadi rahmat bagi alam semesta, wong menjadi rahmat bagi sesama muslim yang kurang beruntung saja (harus ngantre
    haji) tidak bisa dicontohkan dengan baik, kok?

    Di sini, saya baru bisa paham konteks "tausiyah melalui cerpen" ROBOHNYA SURAU KAMI yang dituliskan "Ustadz" AA. Navis.

    (Sayang sekali dalam pengamatan random saya, banyak muslim yang tahu judul cerpen ini, bahkan hafal dengan baik frasa "ROBOHNYA
     SURAU KAMI" tapi belum pernah membaca cerpen bagus ini, yang sekarang sudah banyak versi pdf-nya di berbagai blog/situs, dan
    bisa diunduh gratis).

10. Jadi kalau ada imbauan, mengapa tidak sebaiknya para haji yang berangkat (meskipun sudah berulang kali) agar diterima hajinya oleh Allah,
     menjadi haji yang mabrur, tentu saya sendiri akan berdoa agar para haji yang BERLEBIHAN ini dibukakan mata hatinya oleh Allah, bahwa 
     kewajiban berhaji dalam Islam hanya SEKALI seumur hidup.

     Tidak pada tempatnya membangga-banggakan diri, saya haji pertama tahun segini saat musim ini, lalu haji berikutnya tahun segono saat musim 
     ono, dsb, padahal saudara seiman sendiri masih banyak yang kesulitan untuk berhaji (meski sudah mendaftar dan setor uang, kadang dengan
     kondisi tubuh fisik yang sudah tua renta).

Kisah hikmah dari Al 'Alim Abdullah bin al-Mubarak tentang Haji Mabrur sudah lebih dari jelas bagi orang-orang yang mau menundukkan hati dan belajar dari orang lain.

Subhanaka laa 'ilma lana, illa maa 'alam tana.

Wallahu a'lam bish showab.

Salam,

Akmal N. Basral
Cibubur






 








__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment