Advertising

Thursday 4 February 2010

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran -

*IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran*

*Kemis, 04 Februari 2010*

-------------------------------------------------


*WARISAN BAGI PENULIS GENERASI MUDA*

*<Apresiasi Pro A. Kohar Ibrahim, "In Memoriam HR Bandaharo" >*


Pagi ini kubaca sebuah tulisan sahabatku A. Kohar Ibrahim: berjudul

"*HR Bandaharo – Berpihak Hingga Berpulang". *Ditulis dengan langgam
santai, sederhana, berisi dan bermutu. Tulisan semacam ini, Bung Kohar,
– – – kukira, membawa fikiran kita ke masa-masa lalu penuh semangat
perjuangan, elan revolusioner dan optimisme. Cerita Bung itu, mulus dan
mencenkam, karena Bung sendiri hadir pada masa itu.


Sepertinya cerita kenangan itu biasa-biasa saja. Tetapi, esai yang
begini ini, tanpa bumbu dan tambahan, yang apa adanya, penting dibaca
oleh generasi muda. Agar para budayawan muda kita bisa sedikit menoleh
ke catatan-dokumenter 'suka-dukanya' kehidupan dan perjuangan para
jurnalis dan sastrawan LEKRA. Juga untuk sedikit berkenalan dengan tokoh
sastrawan Lekra, HR Bandaharo.


Kebetulan aku juga kenal Bung Banda. Kecuali sesekali bertemu di
Jakarta, pada tahun 1962 kami bersama Bung Jubaar Ayub, menghadiri
Konferensi Sastrawan Asia-Afrika di Cairo, Mesir. Kemudian kumpul lagi
di Medan pada Konferensi Lembaga Sastra Indonesia. Terakhir bertemu di
Bali, ketika sama-sama menghadiri Sidang Biro Pengarang Asia-Afrika.
Meskipun tidak lama kami cakap-cakap, dari sinar matanya dan
pembawaannya, entah mengapa, Bung Banda se l a l u memancarkan cahaya
penuh elan revolusioner dan optimisme. Satu lagi: Ia suka guyon!!


Namun, yang teramat penting ialah LEGASI yang ditinggalkan oleh penyair
Lekra HR Bandaharo --- Suatu warisan yang sekali-kali jangan dilupakan:
KEBERPIHAKANNYA PADA RAKYAT.

Cocok sekali kutipan dalam tulisan Bung tentang HR Bandaharo. Penyair
yang terkenal dengan baris sajaknya:


"*tak seorang berniat pulang *

*walau mati menanti"*


* * *


'Harian Batam Pos' belum kukenal betul. Bahwa pada tanggal 12 Mei 2003,
s.k tsb memuat tulisan Bung Kohar tentang HR Bandaharo, mengundang
penghargaan orang pada 'keberanian-nya'. Karena, kukira redaksinya bukan
tidak kenal pada Bung Kohar sebagai penulis Lekra. Juga pada waktu itu
pers Indonesia masih 'tabu' terhadap LEKRA.


Hal ihwal mengalami perkembangan meskipun tak disukai oleh sementara
pandangan konservatif dan 'tabu' terhadap kenyataan masa lampau. Disini
kita menyaksikan sikap mancari kebenaran dan kritis pengarang muda
seperti Asep Samboja. Mengomentari sikap pengarang Lekra a.l. HR
Bandaharo dan A. Wispi mendukung pernyataan Presiden Sukarno (Januari
1965) INDONESIA KELUAR Dari PBB, Asep Sambodja menulis (11 September
2009) mengenai HR Banharo a.l. sbb:


"/Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Goenawan Mohamad yang
mengatakan bahwa karya-karya sastrawan Lekra seperti Agam Wispi, H.R.
Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid gemanya masih hidup sampai sekarang
(lihat pengantar GM dalam buku ///Pramoedya Ananta Toer dan Sastra
Realisme Sosialis/// (2006) karya Eka Kurniawan). Kalau kita lihat apa
yang sekarang terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, nyaris
ada campur tangan Amerika. Begitu juga ketika Resolusi PBB tidak bergigi
ketika Israel menginvasi Palestina, pastilah di balik itu ada campur
tangan Amerika. /


* * *


Kiranya Bung tak berkeberatan, kukomentari tulisan Bung, dan siarkan
kembali untuk dibaca lebih banyak orang, khususnya kaum muda kita.


* * *


Harian Batam Pos 12 Mei 2003
Cybersastra.Net 18.1.2004
Facebook : 3.1.2010

*HR Bandaharo
Berpihak Hingga Berpulang
**CdB (16)
A. Kohar Ibrahim *


MUNGKIN terlalu subyektif jika saya kemukakan bahwasanya satu-satunya
penyair beberapa zaman yang sejak semula secara gamblang menyatakan
keberpihakan sampai dia berpulang ke alam baqa tak lain tak bukan adalah
HR Bandaharo. Penyair yang terkenal dengan baris sajaknya: tak seorang
berniat pulang / walau mati menanti. Yang bisa ditafsirkan kini sebagai
kekonsistenannya sebagai penyair atau penulis engage. Yang berpihak.
Kongkretnya, bagi Bandaharo sekali berpihak sejak mula teruslah berpihak
pada rakyat, pada lagu perjuangan kehidupan manusia, sampai hembusan
nafasnya yang terakhir.

Karena namanya telah masuk daftar hitam yang dibuat penguasa militer
sudah sejak awal mula berdirinya Orde Baru. Karena diberangus dan
dipenjara serta dibuang ke Pulau Buru untuk kemudian terus mengalami
penindasan selaku eks-tapol hingga mati merana di Ibukota Jakarta.
Karena upaya penggelapan sekaligus pembodohan sang penguasa zalim itu
terhadap masyarakat, termasuk generasi mudanya, maka tentulah bangsa dan
rakyat Indonesia tidak banyak lagi yang mengenal seorang penyair bernama
HR Bandaharo.
Padahal pada masanya, terutama sekali di kalangan Lekra, HR Bandaharo
adalah salah seorang penyair terkemuka. Salah seorang Angkatan Pujangga
Baru. Dengan salah satu gubahan puisinya yang terkenal dan yang secara
jelas menandakan keberpihakannya. Puisi yang diterbitkan tahun 1939 itu
berjudul Sarinah dan Aku. Dinilai sebagai sebuah puisi yang bersifat
patriotik dan bergaya realisma romantika. Seperti yang tersurat dalam
biodata kupuisinya berjudul Dosa Apa, terbitan Yayasan Inkultra Jakarta
1981.

Biodata itu sangat ringkas saja memang. Tapi penting disimak. Antara
lain menunjukkan bahwasanya HR Bandaharo kelahiran Medan tahun 1917.
Ayahnya, HR Mohammad Said adalah Konsul Muhammadiyah untuk Sumatera
Timur pada masa sebelum Perang Dunia Kedua. Ia berpendidikan menengah
Belanda MULO. Bergiat di bidang sastra sejak berumur 16 tahun.
Karya-karya tulisnya dimuat di majalah Pedoman Masyarakat Medan yang
dipimpin HAMKA dan Yunan Nasution. Ia ikut ambil bagian dalam Revolusi
Agustus '45. Kemudian menulis di beberapa surat kabar Medan. Sejumlah
kreasinya bisa ditemukan di majalah-majalah Zaman Baru, Zenith,
Kebudayaan dan lain-lain.

Tentu saja tidak hanya sedemikian itu. Baik sebagai pekerja kebudayaan
umumnya, khususnya sebagai jurnalis-penulis lagi penyair, Banda (sebutan
akrabnya) telah berjasa besar dalam mengembangkan kebudayaan bangsa dan
rakyat Indonesia. Selama beberapa zaman -- dari zaman penjajah Belanda
sampai zaman Orde Baru. Dalam Pembicaraan sekedar pengantar untuk buku
Sepuluh Sajak Berkisah (Yayasan SKBI, Amsterdam, 1986) Adam Lipsia
telah melengkapi apa-siapa-nya Hr Bandaharo. Karena dia memang kenal
benar sang penyair, sama-sama jurnalis-penulis dan penyair pula, yang
juga tergolong "orang Medan"!

Akan halnya saya sendiri, sekalipun bukan tergolong "orang Medan",
tetapi saya cukup pula mengenal Banda, sejak kepindahannya dari Medan ke
Jakarta. Terutama sekali sejak beberapa tahun saya turut serta mengelola
ruang kebudayaan HR Minggu yang dipimpinnya. Bersama Zubir AA,
Amarzan Ismail Hamid, Sutikno WS dan Bambang Sukowati Dewantara. Jika
tidak jumpa di kantor Lekra, Jalan Cidurian Cikini Raya, tentulah
seminggu sekali, tiap hari Jumat kami berkumpul di ruang redaksi.
Selaku pemimpin redaksi kebudayaan, Banda sangat memperhatikan mutu tiap
sajian yang bervariasi. Sampai pada perihal pengoreksian kesalahan tik.
Kerna, katanya, "hal itu bisa mengurangi perhatian bahkan membikin
pembaca muak." Dalam hal ini, perlu diperhatikan dari mulai kata pertama
judul artikel dan nama penulis. Karena dia sendiri memang tidak senang
kalau menyaksikan namanya disalahtuliskan. Sekalipun cuma salah
penulisan satu huruf. Misalnya yang semestinya huruf besar tapi ditulis
dengtan huruf kecil. Maka jika ditulis "Hr Bandaharo" itu keliru, yang
benar adalah "HR Bandaharo". Dalam hal penulisan nama, saya ingat, kami
pernah digrutui Pram. Kerna kerap kali menuliskan namanya dengan
menggunakan ejaan huruf "u", sedangkan yang semestinya adalah "oe".
Janganlah ditulis Pramudya Ananta Tur, melainkan: Pramoedya Ananta Toer.
Demikianlah halnya dengan nama Joebaar Ajoeb. Harus dihindari kesalahan
menulisnya, misalnya, hingga menjadi: Jubar Ajub.

Alhasil, sekalipun bukan yang tergolong orang perfeksionis, namun Banda
memiliki perhatian yang besar dalam penyajian isi bagi pembaca. Tidak
hanya itu, sebagai pekerja kebudayaan lagi nyamuk pers senior, diapun
sangat memperhatikan kawan-kawan sekerja, termasuk yang muda-muda
seperti aku dan Amarzan misalnya. Dan dia bijak sekali dalam memberikan
penilaian yang layak kepada semua yang menunaikan tugasnya dengan
bersemangat lagi dengan baik. Kerna kami menyadari, dan diapun faham
sekali, akan tugas sekaligus tanggungjawab kami untuk turut serta
memajukan kebudayaan nasional yang kerakyatan. Sekalipun upah yang kami
terima tidak seberapa, pas-pasan saja, namun kami selalu memiliki
semangat yang tinggi. Apalagi kalau mendengar ujar-ulang Banda yang
berkaitan dengan perkembangan zaman.

"Kondisi dan sarana yang kita punya sekarang ini sudah jauh lebih baik
dari yang sebelumnya," katanya, suatu kali di kantor sekaligus
percetakan PT Rakyat yang baru, terletak di Jalan Pintu Air Dua, sembari
melirik cerpenis Zubir AA yang tinggi langsing. Berkumis seperti Maxim
Gorki. Sekalipun masih muda kebanding Banda. Tapi tertua di antara kami
yang muda-muda. Dia bukan saja tukang cerpen melainkan juga tukang
kerja. Dan Banda kenal sekali Bang Zubir, kerna memang salah seorang
"anak didik"nya ketika bekerja di salah satu koran Medan. Kena lirik
Banda, dia hanya ketawa kecil hingga memamerkan dua biji giginya yang
ompong. Rupanya Banda hanya ingin mengingatkan sang cerpenis yang bahkan
sejak di Medan sudah dikenal pula sebagai "tukang kerja yang tahan lapar."

Zubir pun mengakui kebenaran konstatasi Banda itu. Kondisi dan sarana di
Pintu Air Dua itu beda sekali dengan kantor dan percetakan yang di Pintu
Besar Utara Jakarta Kota. Yang ini, selain mesin cetaknya sudah tua,
juga masih banyak digunakan sistem pembuatan judul dengan handset.
Sedang yang di Pintu Air Dua, digunakan mesin baru yang kecepatannya
saat itu sudah luar biasa: untuk mencetak oplah koran yang seratus ribu
eksemplar lebih hanya beberapa jam saja. Dan keluar sudah rapih dilipat
-- tinggal di-pak saja. Tambahan pula, selain ada ruang-ruang kantor
redaksinya yang pantas dan luas, juga ada kantin tersendiri, yang tidak
lagi bau timah ketika menyantap sajian masakan yang cukup enak.
"Ah, tak usahlah membandingkannya dengan suasana ketika di Medan!" ujar
Banda, masih melirik si tukang kerja tahan lapar namun terasa ditujukan
kepada kami semua. "Betul 'kan, Zubir? Ingat kau?"

Zubir AA hanya manggut-manggut dan mesem-mesem. Dia faham sekali. Banda
memang bukan lagi mengarang-ngarang belaka. Apa yang diutarakan benar
adanya. Dan Zubir, dan anak-anak Medan lainnya, juga membenarkan
fakta-fakta yang diungkapkan Banda. Maka dari itu, ketika lama kemudian,
Adam Lispia alias Agam Wispi memberikan data-data jejak langkah HR
Bandaharo, aku bisa meng-iya-kannya, lantaran cocok dengan apa yang
diketahui oleh anak-anak Medan lainnya seperti Zubir AA, Amarzan,
Iskandar dan yang lainnya lagi.
Agam Wispi, dalam pengantar untuk Sepuluh Sanjak Berkisah, antara lain
mengutarakan beberapa hal yang menarik. Ia mempunyai kesan, bahwa buku
sajak Sarinah dan Aku yang diterbitkan 1939 itu nafas puisinya masih
dapat dirasakan puluhan tahun kemudian seperti yang ada dalam sajak
yang ditulis di Pulau Buru (1975) Aku hadir di hari ini, tegasnya nafas
"Pujangga Baru". Begitu juga terasa pada sajaknya yang lain, berjudul
Mirakel tahun 2000. Terlalu panjang untuk disitir di sini, tapi bisa
dicoba dengan menyimak beberapa bait-baitnya saja seperti berikut:

Ayahku seumur hidupnya seorang penjuang.
Ia mati dalam keadaan papa
tak meninggalkan apa-apa
kecuali suatu cita-cita
tentang kemerdekaan, persamaan dan persaudaraa
kehidupan makmur dan keadilan
dan jaminan atas hak asasi manusia.

Hanya itu warisannya
disampaikan dengan dengus napas terakhir
dan lega ia meninggalkan dunia fana ini
Anak-anaknya akan meneruskan perjuangannya
sampai ke ujung hayat.
Lalu menyampaikan pula pada turunan mereka
cita-cita yang sama, juang yang sama.

Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan
kemakmuran dan keadilan
dan jaminan hak azasi manusia.

Itulah mimpi indah yang menyihir
memberi hidup dan melangsungkan hidup
menyalakan juang dari abad ke abad.
Warisan turun-temurun
bagi si papa dan si miskin
di dunia, di semua negeri.

Begitulah rupanya, Banda seorang penyair engage sekaligus pemimpi indah
yang turun temurun. Bahkan hingga ia meninggalkan dunia fana ini. Pada
tanggal 1 April 1993 di Jakarta. Ibukota Republik Indonesia yang gegap
gempita berhutan rimba gedung pencakar langit megah itu. Namun dimana
salah seorang penyairnya yang besar menghembuskan nafas akhirnya dalam
keadaan menderita sengsara. ***

Catatan :
CdB 16 pertama kali disiar edisi cetak & online Harian Batam Pos 12 Mei
2003. Galeri Esai Situs Sastra Nusantara « Cybersastra.Net »
18.01.2004. Facebook : 03.02.2010.


* * *

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment