Kamis, 02 Feb 2012 01:15 WIB
Illustrasi
Oleh : Fernando Sihotang.
Tahun 2011 lalu seorang teman saya dengan nada yang cukup emosional mengutuk sejumlah tindakan penyegelan Gereja GKI Yasmin yang akhir-akhir sering diberitakan oleh media. Dengan penuh harapan kuat agar pemerintah serius menjalankan amanat kebebasan beragama di Indonesia. Suatu ketika dalam sebuah diskusi umum, secara spontan dia sebaliknya menuntut agar kepercayaan-kepercayaan lain yang tidak diakui di Indonesia harus dibubarkan, dengan alasan mereka harus mengikuti salah satu agama yang diakui.
Sudah pasti pemahaman teman tersebut secara substansial dan fundamental berbeda dengan apa yang menjadi prinsip saya, dan mungkin kebanyakan orang yang sama dengan prinsip saya. Defenisi kebebasan beragama bagi individu seperti ini adalah kebebasan yang semu yang hanya menuntut kebebasan bagi diri atau kelompoknya, dengan menghiraukan kebebasan orang lain. Ini lah yang saya sebut dengan dilema bertoleransi. Toleransi untuk siapakah?
Dalam bentuk yang sederhana, jika berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), suatu individu atau kelompok diklasifikasikan sebagai sebuah objek pelanggaran HAM jika hak dan kebebasannya dilanggar. Pada sisi lain mereka yang menjadi subyek adalah mereka yang melakukan (commit) pelanggaran terhadap hak dan kebebasan individu atau kelompok lain. Walau demikian manusia tersebut bisa juga bertindak sebagai subyek dan obyek sekaligus.
Kita sering diberitakan banyak tuntutan dan desakan agar implementasi kebebasan beragama bukan hanya sebatas hitam diatas putih, melainkan prakteknya tidak boleh diabaikan. Sungguh prihatin melihat persaudaraan yang luntur hanya dikarenakan 'kita berbeda'. Kesedihan yang mendalam harus dirasakan oleh seorang anak sekolah yang selalu dijauhkan oleh teman-temannya karena agamanya bukan merupakan salah satu agama dari yang diakui.
Aneh kedengarannya menyaksikan orang yang menuntut kebebasannya itu justru dipertanyakan kembali komitmennya disaat ia juga melakukan hal yang sama terhadap yang lain. Praktek-praktek ini semakin mematahkan harapan akan sebuah makna universal toleransi, hanya memunculkan ambivalensi, dan bahkan makna toleransi berangsur-angsur usang.
Defenisi toleransi secara praksis yang ambivalen itu hanya dijadikan sebagai justifikasi dalam mempertahankan kehidupan beragama dan berkeyakinan yang damai tanpa diskriminasi atau pembatasan. Pembatasan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan melalui sebuah regulasi maupun dalam praktek kehidupan bersosial.
Makna toleransi yang banyak berlaku cenderung terlihat bahwa kelompok yang lebih kecil harus bersikap toleran terhadap kelompok yang mendominasi, tidak universal pemaknaannya. Kelompok minoritas dalam suatu negara, yang awalnya notabene dituntut toleran terhadap kelompok mayoritas, bisa saja bertindak sebaliknya dimana ia bertindak sebagai kelompok yang dominan dalam wilayah tertentu.
Komitmen Beragama dan Berkeyakinan yang Bebas
Pengakuan yang tidak terelakkan lagi bahwa bangsa Indonesia telah mendudukkan kebebasan beragama dalam hukum positif negara sebagai hak setiap warga negara yang harus dihargai dan dijunjungtinggi. Pengakuan tersebut dimulai tiga setengah tahun lebih awal dibandingkan pengakuan dunia yang baru kemudian terjadi pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.
Komitmen ini merupakan salah satu bukti kuat bahwa kesadaran bangsa Indonesia akan penghargaan HAM dan perwujudan Demokrasi sudah melampaui segala bentuk kepentingan sektarian pada saat itu dengan dideklarasikannya Jakarta Charter. Bangunan keberagaman kokoh yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini didasarkan pada satu logika yaitu bangsa Indonesia yang bebas dan merdeka tidak hanya diperjuangkan oleh suatu kelompok mayoritas atau minoritas tertentu, melainkan mayoritas bangsa Indonesia yang beragam itulah yang menginginkan kemerdekaan dari penjajahan. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian termaktub dalam tatanan hukum positif Indonesia.
Komunitas internasional selalu memberikan apresiasi kepada bangsa Indonesia atas komitmen warga negara untuk berdampingan satu sama lain dengan damai. Seorang advokat HAM Australia pernah sekali berkata kepada saya bahwa Indonesia patut dijadikan model bagi bangsa lain untuk hidup berdampingan (Inter-mingling) dengan damai antar-agama atau keyakinan. Keberagaman yang mulia ini merupakan kekayaan tersendiri yang jarang dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Rumah ibadah berdiri kokoh berdampingan dengan rumah ibadah lainnya.
Indonesia hingga saat ini berdiri teguh dikarenakan adanya kesinambungan antara masyarakat yang berbeda. Kesinambungan sosial itu dimunculkan oleh sebuah kesadaran akan "hidup yang saling membutuhkan" satu sama lain. Konflik sosial antara pemeluk agama yang berbeda memang akan selalu terjadi selama perbedaan itu juga masih ada. Perhatian lain juga tersirat dalam sebuah pemaknaan bahwa perbedaan itu juga yang menjadi acuan bangsa Indonesia mayoritas untuk saling belajar, memahami, dan menghargai perbedaan itu. Masih tingginya rasa persaudaraan adalah bukti kuat bahwa bangsa Indonesia belum "gagal" menjalankan komitmennya.
Komitmen dalam persaudaraan bangsa yang berbeda-beda ini terlihat disaat bencana menimpa beberapa wilayah Indonesia. Tsunami tahun 2004 adalah salah satu contoh bahwasanya tonggak keberagaman masih hidup sehat. Perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bahu-membahu memulihkan suasana, dan menjadi teman bagi mereka yang terkena musibah.
Komitmen dahulu dan saat ini bisa saja tidak akan kita temukan lagi dimasa yang akan datang. Negara memang satu-satunya pihak yang bertanggungjawab sebagai prosekutor untuk terciptanya masyarakat yang adil dan bermartabat lewat penegakan hukum dan pemenuhan HAM bagi semua, akan tetapi warganyalah yang menjadi aktor utama dalam menjaga komitmen itu.
Inter-Faith Diapraxis
Mencintai perbedaan adalah hal yang sangat sulit sifatnya untuk dilakukan, sama halnya dengan mencintai orang yang paling dibenci. Situasi yang majemuk akan selalu menjadi tantangan yang berat untuk bebas dari yang namanya konflik, karena memang konflik itu ada karena perbedaan. Kesalahan fatal jika mengatakan konflik hanya sebuah jawaban akhir dari keputusasaan, justru konflik itu sendiri menjadi sarana untuk belajar memahami mengapa kita berbeda.
Pentingnya dialog antar agama sudah menjadi keharusan bagi penyelesaian konflik sosial itu. Dialog antar umat tidaklah seharusnya dilakukan dengan mengusung perspektif teologi masing-masing. Karena semua agama memiliki dasar teologi masing-masing yang tidak akan memiliki nilai kompromis dengan teologi lain yang seyogiayanya berbeda dari dirinya.
Diapraxis adalah dialog yang mempertemukan kelompok yang berbeda untuk mencari solusi terhadap situasi sosial dan kemanusiaan yang notabene adalah tanggungjawab semua agama ditengah-tengah perbedaan kontekstual teologisnya.
Model diapraxis seperti ini sepatutnya didukung oleh masyarakat Indonesia yang dikenal dunia sebagai bangsa yang religius bahwasanya setiap agama dan keyakinan mengajarkan kasih sayang. Toleransi membutuhkan kasih sayang, bukan semata-mata hanya dimaknakan demi mempertahankan eksistensi. Ini kesempatan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh menjadi bangsa yang religius. Karena ada ungkapan to be religious, must be inter-religious.
Penulis adalah alumni DTP UNSW Sydney.
Dalam bentuk yang sederhana, jika berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), suatu individu atau kelompok diklasifikasikan sebagai sebuah objek pelanggaran HAM jika hak dan kebebasannya dilanggar. Pada sisi lain mereka yang menjadi subyek adalah mereka yang melakukan (commit) pelanggaran terhadap hak dan kebebasan individu atau kelompok lain. Walau demikian manusia tersebut bisa juga bertindak sebagai subyek dan obyek sekaligus.
Kita sering diberitakan banyak tuntutan dan desakan agar implementasi kebebasan beragama bukan hanya sebatas hitam diatas putih, melainkan prakteknya tidak boleh diabaikan. Sungguh prihatin melihat persaudaraan yang luntur hanya dikarenakan 'kita berbeda'. Kesedihan yang mendalam harus dirasakan oleh seorang anak sekolah yang selalu dijauhkan oleh teman-temannya karena agamanya bukan merupakan salah satu agama dari yang diakui.
Aneh kedengarannya menyaksikan orang yang menuntut kebebasannya itu justru dipertanyakan kembali komitmennya disaat ia juga melakukan hal yang sama terhadap yang lain. Praktek-praktek ini semakin mematahkan harapan akan sebuah makna universal toleransi, hanya memunculkan ambivalensi, dan bahkan makna toleransi berangsur-angsur usang.
Defenisi toleransi secara praksis yang ambivalen itu hanya dijadikan sebagai justifikasi dalam mempertahankan kehidupan beragama dan berkeyakinan yang damai tanpa diskriminasi atau pembatasan. Pembatasan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan melalui sebuah regulasi maupun dalam praktek kehidupan bersosial.
Makna toleransi yang banyak berlaku cenderung terlihat bahwa kelompok yang lebih kecil harus bersikap toleran terhadap kelompok yang mendominasi, tidak universal pemaknaannya. Kelompok minoritas dalam suatu negara, yang awalnya notabene dituntut toleran terhadap kelompok mayoritas, bisa saja bertindak sebaliknya dimana ia bertindak sebagai kelompok yang dominan dalam wilayah tertentu.
Komitmen Beragama dan Berkeyakinan yang Bebas
Pengakuan yang tidak terelakkan lagi bahwa bangsa Indonesia telah mendudukkan kebebasan beragama dalam hukum positif negara sebagai hak setiap warga negara yang harus dihargai dan dijunjungtinggi. Pengakuan tersebut dimulai tiga setengah tahun lebih awal dibandingkan pengakuan dunia yang baru kemudian terjadi pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.
Komitmen ini merupakan salah satu bukti kuat bahwa kesadaran bangsa Indonesia akan penghargaan HAM dan perwujudan Demokrasi sudah melampaui segala bentuk kepentingan sektarian pada saat itu dengan dideklarasikannya Jakarta Charter. Bangunan keberagaman kokoh yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini didasarkan pada satu logika yaitu bangsa Indonesia yang bebas dan merdeka tidak hanya diperjuangkan oleh suatu kelompok mayoritas atau minoritas tertentu, melainkan mayoritas bangsa Indonesia yang beragam itulah yang menginginkan kemerdekaan dari penjajahan. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian termaktub dalam tatanan hukum positif Indonesia.
Komunitas internasional selalu memberikan apresiasi kepada bangsa Indonesia atas komitmen warga negara untuk berdampingan satu sama lain dengan damai. Seorang advokat HAM Australia pernah sekali berkata kepada saya bahwa Indonesia patut dijadikan model bagi bangsa lain untuk hidup berdampingan (Inter-mingling) dengan damai antar-agama atau keyakinan. Keberagaman yang mulia ini merupakan kekayaan tersendiri yang jarang dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Rumah ibadah berdiri kokoh berdampingan dengan rumah ibadah lainnya.
Indonesia hingga saat ini berdiri teguh dikarenakan adanya kesinambungan antara masyarakat yang berbeda. Kesinambungan sosial itu dimunculkan oleh sebuah kesadaran akan "hidup yang saling membutuhkan" satu sama lain. Konflik sosial antara pemeluk agama yang berbeda memang akan selalu terjadi selama perbedaan itu juga masih ada. Perhatian lain juga tersirat dalam sebuah pemaknaan bahwa perbedaan itu juga yang menjadi acuan bangsa Indonesia mayoritas untuk saling belajar, memahami, dan menghargai perbedaan itu. Masih tingginya rasa persaudaraan adalah bukti kuat bahwa bangsa Indonesia belum "gagal" menjalankan komitmennya.
Komitmen dalam persaudaraan bangsa yang berbeda-beda ini terlihat disaat bencana menimpa beberapa wilayah Indonesia. Tsunami tahun 2004 adalah salah satu contoh bahwasanya tonggak keberagaman masih hidup sehat. Perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bahu-membahu memulihkan suasana, dan menjadi teman bagi mereka yang terkena musibah.
Komitmen dahulu dan saat ini bisa saja tidak akan kita temukan lagi dimasa yang akan datang. Negara memang satu-satunya pihak yang bertanggungjawab sebagai prosekutor untuk terciptanya masyarakat yang adil dan bermartabat lewat penegakan hukum dan pemenuhan HAM bagi semua, akan tetapi warganyalah yang menjadi aktor utama dalam menjaga komitmen itu.
Inter-Faith Diapraxis
Mencintai perbedaan adalah hal yang sangat sulit sifatnya untuk dilakukan, sama halnya dengan mencintai orang yang paling dibenci. Situasi yang majemuk akan selalu menjadi tantangan yang berat untuk bebas dari yang namanya konflik, karena memang konflik itu ada karena perbedaan. Kesalahan fatal jika mengatakan konflik hanya sebuah jawaban akhir dari keputusasaan, justru konflik itu sendiri menjadi sarana untuk belajar memahami mengapa kita berbeda.
Pentingnya dialog antar agama sudah menjadi keharusan bagi penyelesaian konflik sosial itu. Dialog antar umat tidaklah seharusnya dilakukan dengan mengusung perspektif teologi masing-masing. Karena semua agama memiliki dasar teologi masing-masing yang tidak akan memiliki nilai kompromis dengan teologi lain yang seyogiayanya berbeda dari dirinya.
Diapraxis adalah dialog yang mempertemukan kelompok yang berbeda untuk mencari solusi terhadap situasi sosial dan kemanusiaan yang notabene adalah tanggungjawab semua agama ditengah-tengah perbedaan kontekstual teologisnya.
Model diapraxis seperti ini sepatutnya didukung oleh masyarakat Indonesia yang dikenal dunia sebagai bangsa yang religius bahwasanya setiap agama dan keyakinan mengajarkan kasih sayang. Toleransi membutuhkan kasih sayang, bukan semata-mata hanya dimaknakan demi mempertahankan eksistensi. Ini kesempatan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh menjadi bangsa yang religius. Karena ada ungkapan to be religious, must be inter-religious.
Penulis adalah alumni DTP UNSW Sydney.
__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment