Jumat, 01 Jun 2012 00:01 WIB
Oleh : Drs. Maringan Panjaitan, M.Si.
Berjalan tanpa arah merupakan pekerjaan yang sia-sia. Setelah 14 tahun reformasi yang ditandai dengan peralihan kekuasaan Soeharto ke BJ Habibie ternyata tidak ada perubahan yang sangat signifikan bagi bangsa ini. Reformasi yang seyogianya menjadi instrumen menggapai kehidupan yang lebih baik justru melahirkan kepahitan bagi masyarakat. Tanda-tanda atau indikator minimal keberhasilan reformasi tidak terlihat dalam setiap kebijakan pemerintah. Mengapa terjadi demikian? Atau setidaknya reformasi kita sekarang ini kehilangan arah. Ibarat sebuah kapal yang berjalan tanpa arah yang jelas.
Kita membutuhkan kejelasan arah reformasi yang diterjemahkan dalam semua kebijakan pemerintah. Reformasi seharusnya menghadirkan sesuatu yang lebih bernilai, bermakna, bagi masyarakat justru melahirkan penderitaan baru. Penderitaan bagi rakyat itu datang karena ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengelola negara ini. Kemiskinan, pengangguran, kriminal tiap hari makin merajalela. Lihat di berbagai Kota besar rasa nyaman menjadi barang yang langka. Hampir tiap hari ada perampokan, pembunuhan, jambret jalanan yang mengusik ketenangan kita. Ini merupakan bentuk kegagalan negara melindungi warganya.
Reformasi kita yang kehilangan arah sudah semakin nyata dengan tingginya kasus korupsi di negara ini. Bayangkan sampai sekarang kasus Bank Century sampai hari ini belum selesai. Belum lagi kasus–kasus korupsi yang lain. Banyak lagi kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Mereka merampok APBD dengan cara yang halus. Reformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah belum berhasil dilakukan. Korupsi masih masif dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Korupsi merupakan bentuk kegagalan refomasi hukum. Pendekatan institusional seperti mengoptimalkan lembaga-lembaga hukum, mulai dari Polri, Jaksa, Hakim, BPKP untuk memberantas korupsi menemui jalan buntu. Korupsi berjamaah tumbuh dengan suburnya. KPK yang dilahirkan melalui mekanisme politik yang diberikan hak impunitas juga mengalami kegagalan. KPK dalam pemberantasan korupsi asik terus berkutat pada prosedural penegakan hukum. KPK tidak melihat esensi dan substansi pemberantasan korupsi untuk penyelamatan negeri ini dari korupsi.
Korupsi tumbuh dan berkembang sebagai konsekuensi logis gagalnya penegakan hukum. Reformasi hukum yang digadang-gadang gagal menjawab pemerintahan yang korup. Para politisi muda seperti Nazarudin, Angie, Wa Ode terjebak kasus korupsi. Seharusnya perubahan radikal dan revolusioner lahir dari pemikiran mereka. Ini tidak, mereka justru aktor utama munculnya kasus korupsi dalam tubuh DPR. Ini sangat ironis. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang sepatutnya dijadikan sebagai agenda reformasi hukum.
Dalam bidang reformasi ekonomi kita juga mengalami kegagalan. Pembangunan berbasis masyarakat (human centered development) hanya lips service semata. Kemiskinan yang diklaim berhasil diatasi dengan angka hanya menjadi catatan statistik yang justru mengingkari realitas kemiskinan di negara ini. Penduduk miskin tiap hari bertambah karena tekanan ekonomi yang semakin berat. Konsep pemberdayaan UKM dan UMKM yang terus digalakkan terkendala dengan birokrasi yang rumit. Masyarakat ketika berhadapan dengan lembaga keuangan formil selalu ditanyakan mana agunan dan tetek bengek lainnya. Akibatnya masyarakat malas berurusan dengan Bank dan lembaga keuangan lainnya.
Orang miskin pun dilarang sakit dan sekolah karena biaya berobat dan sekolah yang sangat mahal. Hak kaum marginal ini terus diabaikan oleh pemerintah. Hampir ¾ pekerja di negara kita tidak memiliki jaminan sosial. Ini merupakan kegagalan negara dalam melindungi hak ekonomi rakyat. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan merupakan patologi ekonomi sebagai kegagalan reformasi ekonomi.
Dalam bidang reformasi hukum kita mengalami kegagalan total. Substansi penegakan hukum sudah semakin jauh dari yang kita harapkan. Hakim, Polri, Jaksa tidak jarang terlibat dalam pemerasan. Banyak rekening gendut yang dijumpai mencapai jumlah miliaran rupiah. Ini sungguh diluar pendapatan seorang perwira tinggi Polri. Bagaimana mungkin supremasi hukum bisa dilakukan dengan mental inlander seperti ini. Reformasi hukum merupakan keharusan kalau ingin menjadi bangsa yang besar.
Hukum sebagai panglima masih jauh dari harapan. Para maling sandal jepit, maling ayam, maling buat semangka dijatuhi hukuman yang tegas. Koruptor bebas berkeliaran. Banyak pengadilan tipikor yang membebaskan para koruptor. Vonis koruptor jauh dari nilai keadilan. Padahal koruptor merupakan kejahatan kemanusiaan. Dalam bidang reformasi hukum kita mengalami kegagalan yang berujung pada tingginya tetap angka korupsi. Bagaimana menciptakan tatanan hukum yang mampu menjawab aturan berbangsa dan bernegara menjadi sesuatu yang sangat langka.
Dalam bidang reformasi politik juga mengalami hal yang sama. Sekalipun sudah ada pemilihan Presiden, DPR, DPRD, Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat tidak serta merta mampu mengangkat taraf hidup rakyat. Padahal asumsi awal jika mereka dipilih langsung oleh rakyat akan semakin bertanggung jawab kepada rakyat. Yang terjadi adalah mereka lupa dengan rakyat pemilihnya. Di setiap event pilkada rakyat selalu dimobilisasi untuk menjadi pemilih. Setelah itu rakyat dilupakan.
Dari berbagai kasus korupsi yang ditangani oleh KPK tidak terhitung berapa Bupati, Walikota, Kepala Dinas yang ditahan oleh KPK karena korupsi APBD. Tingkat desentralisasi korupsi sangat tinggi. Inilah gambaran sebuah negara yang mengalami reformasi yang tidak jelas. Kita tidak siap menerima reformasi sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Pragmatisme politik terus bergejolak, demokrasi transaksional yang terjadi dalam kehidupan politik kita. Kemana arah reformasi? Tentu pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, padahal reformasi itu menentukan masa depan bangsa ini puluhan, bahkan ratusan tahun ke depan.***
Reformasi kita yang kehilangan arah sudah semakin nyata dengan tingginya kasus korupsi di negara ini. Bayangkan sampai sekarang kasus Bank Century sampai hari ini belum selesai. Belum lagi kasus–kasus korupsi yang lain. Banyak lagi kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Mereka merampok APBD dengan cara yang halus. Reformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah belum berhasil dilakukan. Korupsi masih masif dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Korupsi merupakan bentuk kegagalan refomasi hukum. Pendekatan institusional seperti mengoptimalkan lembaga-lembaga hukum, mulai dari Polri, Jaksa, Hakim, BPKP untuk memberantas korupsi menemui jalan buntu. Korupsi berjamaah tumbuh dengan suburnya. KPK yang dilahirkan melalui mekanisme politik yang diberikan hak impunitas juga mengalami kegagalan. KPK dalam pemberantasan korupsi asik terus berkutat pada prosedural penegakan hukum. KPK tidak melihat esensi dan substansi pemberantasan korupsi untuk penyelamatan negeri ini dari korupsi.
Korupsi tumbuh dan berkembang sebagai konsekuensi logis gagalnya penegakan hukum. Reformasi hukum yang digadang-gadang gagal menjawab pemerintahan yang korup. Para politisi muda seperti Nazarudin, Angie, Wa Ode terjebak kasus korupsi. Seharusnya perubahan radikal dan revolusioner lahir dari pemikiran mereka. Ini tidak, mereka justru aktor utama munculnya kasus korupsi dalam tubuh DPR. Ini sangat ironis. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang sepatutnya dijadikan sebagai agenda reformasi hukum.
Dalam bidang reformasi ekonomi kita juga mengalami kegagalan. Pembangunan berbasis masyarakat (human centered development) hanya lips service semata. Kemiskinan yang diklaim berhasil diatasi dengan angka hanya menjadi catatan statistik yang justru mengingkari realitas kemiskinan di negara ini. Penduduk miskin tiap hari bertambah karena tekanan ekonomi yang semakin berat. Konsep pemberdayaan UKM dan UMKM yang terus digalakkan terkendala dengan birokrasi yang rumit. Masyarakat ketika berhadapan dengan lembaga keuangan formil selalu ditanyakan mana agunan dan tetek bengek lainnya. Akibatnya masyarakat malas berurusan dengan Bank dan lembaga keuangan lainnya.
Orang miskin pun dilarang sakit dan sekolah karena biaya berobat dan sekolah yang sangat mahal. Hak kaum marginal ini terus diabaikan oleh pemerintah. Hampir ¾ pekerja di negara kita tidak memiliki jaminan sosial. Ini merupakan kegagalan negara dalam melindungi hak ekonomi rakyat. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan merupakan patologi ekonomi sebagai kegagalan reformasi ekonomi.
Dalam bidang reformasi hukum kita mengalami kegagalan total. Substansi penegakan hukum sudah semakin jauh dari yang kita harapkan. Hakim, Polri, Jaksa tidak jarang terlibat dalam pemerasan. Banyak rekening gendut yang dijumpai mencapai jumlah miliaran rupiah. Ini sungguh diluar pendapatan seorang perwira tinggi Polri. Bagaimana mungkin supremasi hukum bisa dilakukan dengan mental inlander seperti ini. Reformasi hukum merupakan keharusan kalau ingin menjadi bangsa yang besar.
Hukum sebagai panglima masih jauh dari harapan. Para maling sandal jepit, maling ayam, maling buat semangka dijatuhi hukuman yang tegas. Koruptor bebas berkeliaran. Banyak pengadilan tipikor yang membebaskan para koruptor. Vonis koruptor jauh dari nilai keadilan. Padahal koruptor merupakan kejahatan kemanusiaan. Dalam bidang reformasi hukum kita mengalami kegagalan yang berujung pada tingginya tetap angka korupsi. Bagaimana menciptakan tatanan hukum yang mampu menjawab aturan berbangsa dan bernegara menjadi sesuatu yang sangat langka.
Dalam bidang reformasi politik juga mengalami hal yang sama. Sekalipun sudah ada pemilihan Presiden, DPR, DPRD, Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat tidak serta merta mampu mengangkat taraf hidup rakyat. Padahal asumsi awal jika mereka dipilih langsung oleh rakyat akan semakin bertanggung jawab kepada rakyat. Yang terjadi adalah mereka lupa dengan rakyat pemilihnya. Di setiap event pilkada rakyat selalu dimobilisasi untuk menjadi pemilih. Setelah itu rakyat dilupakan.
Dari berbagai kasus korupsi yang ditangani oleh KPK tidak terhitung berapa Bupati, Walikota, Kepala Dinas yang ditahan oleh KPK karena korupsi APBD. Tingkat desentralisasi korupsi sangat tinggi. Inilah gambaran sebuah negara yang mengalami reformasi yang tidak jelas. Kita tidak siap menerima reformasi sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Pragmatisme politik terus bergejolak, demokrasi transaksional yang terjadi dalam kehidupan politik kita. Kemana arah reformasi? Tentu pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, padahal reformasi itu menentukan masa depan bangsa ini puluhan, bahkan ratusan tahun ke depan.***
Penulis adalah : WR III UHN Medan/ Kepala Lab. Politik FISIPOL
Baca Juga Artikel Berita Terkait
Selasa, 22 Mei 2012 01:48 WIB
Senin, 21 Mei 2012 00:03 WIB
__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment