Rabu 5 Februari
Sambil menunggu portir memuat koper-koper kami ke atas atap mobil, kami kembali dapat pembagian nasi dan lauk di dalam boks, air kemasan dan buah-buahan dari Maktab1). Sebelumnya, paspor kami dikumpulkan untuk diserahkan dan dipegang oleh Maktab selama kami berada di Makkah. Kepada kami diberikan kartu identitas yang menunjukkan nomer maktab kami, yaitu nomer 31, alamat dan nomer telepon tempat pemondokan kami dalam tulisan dan bahasa Arab.
Begitu bus bergerak, ustadz pembimbing kami yang juga ketua kelompok kami2), mengambil megafon, lalu “membimbing” kami membaca “do’a hendak bepergian di atas kendaraan”—tentu saja dalam Bahasa Arab—dengan gaya “guru TK”. Beliau membacanya sebaris-sebaris, lalu kami mengulanginya dengan kencang. Kalau bacaan kami dianggap kurang jelas atau kurang bersemangat, beliau mengulanginya dengan lebih keras.
Sebenarnya do’a-do’a tersebut ada di buku do’a berukuran 10 x 10 cm setebal 266 halaman dari Departemen Agama yang pakai tali, yang dibagikan saat bimbingan manasik, yang saat itu tergantung di leher kami bersama tas paspor. Pertanyaan yang sering timbul kemudian dalam pikiran saya ialah, mengapa jemaah yang semua bisa baca tulis itu, tidak diminta berdo’a masing-masing saja, dengan hanya memberi tahu di halaman berapa adanya. do’a tersebut. Saya pikir cara membaca do’a seperti itu pasti lebih “afdol” karena selain bisa lebih khusuk, jemaah bisa mengetahui arti do’a tersebut, atau membaca d’oa, yang ditujukan kepada Allah yang Maha Tahu, langsung terjemahan bahasa Indonesianya. Bagaimana doa akan dikabulkan kalau yang meminta tidak tahu apa yang dimintanya? Wallahualam.
Atau mungkin saya saja yang sok “resek”.
Bus kami kemudian meluncur di jalan cukup lebar dan mulus, yang pagi itu masih sepi. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang gersang dengan bukit-bukit karang yang mencuat di kejauhan. Ada sejumlah bangunan tidak jauh dari pinggir jalan yang tidak jelas bagi saya kegunaannya.
Kami memasuki kota suci Makkah lebih kurang satu jam kemudian. Secara fisik Makkah tidak berbeda dengan kota-kota modern lainnya. Di sepanjang jalan berderet toko-toko diselingi dengan resroran, depot-depot makanan dan minuman, kantor perwakilan dagang dan tidak ketinggalan pula para PKL. Juga ada beberapa depot Pepsi Cola. Saya tidak melihat Coke, yang entah kenapa tidak populer di sana. Di jalan lalu-lalang mobil-mobil keluaran tahun terbaru, kebanyakan buatan Korea dan Jepang. Di trotoar tampak hilir mudik jemaah haji berbagai bangsa yang berjalan berkelompok-kelompok.
Setelah melewati beberapa persimpangan, bus kami berbelok ke kiri dan berhenti di depan pemondokan kloter kami, di kawasan Hafair, Makkah. Maktab atau tempat pemondokan kami itu terletak sekitar satu kilometer dari Masjidil Haram.
Rombongan kami mendapat tempat di lantai enam. Sebagaimana ditentukan pihak maktab, jemaah laki-laki dan perempuan, termasuk pasangan suami-isteri harus menempati kamar tidur terpisah. Saya dan tiga laki-laki dari regu kami bergabung dengan empat orang dari regu lain. Kur menempati kamar bersama empat orang aggota regu kami. Di maktab tersebut sudah ada satu kloter jemaah haji embarkasi Batam dan satu kloter jemaah haji embarkasi Makasar asal Parepare.
Ekspektasi sebelumnya bahwa maktab kami akan berjarak tidak lebih 500 meter dari Masjidil Haram dan regu kami yang terdiri dari empat pasang suami isteri, seorang ibu yang sudah berumur dan seorang perempuan yang belum menikah akan mendapat satu kamar, membuat saya agak “kecewa”. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. “Ente tidak sedang berpiknik, Bung!” saya membatin. “Bagaimana kalau tidak satu kilometer, tetapi tujuh kilometer seperti jemaah dari kloter-kloter lain.” Ya, jelas tidak mungkin menempatkan jemaah haji dari luar Saudi yang berjumlah lebih dari dua juta orang itu di pemondokan yang semuanya terletak di radius kurang dari 500 meter dari Masjidil Haram yang di sekelilingnya dipenuhi pertokoan dan hotel-hotel berbintang menjulang tinggi (!)
Kondisi tempat pemondokan kami sebenarnya relatif cukup baik. Setiap kamar tidur ada AC window dan kami tidur di spring-bed. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana jemaah tidur beralasan kasur tipis di lantai. Air bersih dan listrik cukup. Kamar mandi yang dilengkapi dengan water heater dan toiletnya cukup bersih, walaupun kadang-kadang harus antri karena jumlahnya tidak seimbang dengan banyaknya penghuni. Lift juga ada walaupun sesekali suka macet juga. Tiap-tiap lantai ada tempat shalat yang juga digunakan jamaah untuk ruangan makan. Di lantai satu ada mushola yang cukup luas. Lobbynya cukup luas dan ber-AC split, dan ada telepon dengan sistem pembayaran di negara penerima. Enak juga, walaupun kadang-kadang karena keasyikan ngomong, tagihan telepon di rumah jadi membengkak
Secara umum kondisi tempat-tempat pemondokan jemaah haji waktu ini memang sangat berbeda dengan kondisi 10 tahun yang lalu, di mana banyak pemondokan berupa bangunan bertingkat tinggi yang tidak dilengkapi lift dan hanya berpendingin kipas angin. Bayangkan betapa “ngos-ngosannya” naik atau turun tangga kalau dapat kamar di lantai 7 atau di atasnya dan pengapnya udara di dalam ruangan di musim haji pada tahun-tahun tertentu di mana temperatur di Saudi dapat mencapai lebih dari 50 derajat Celcius.
Selain adanya dorongan dari Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dan negara-negara asal jemaah, perbaikan-perbaikan itu juga disebabkan dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membebaskan biaya pemakaian listrik dan air selama musim haji. Di sebelah kanan tempat pemodokan kami ada sebuah restoran masakan Jawa Timur dengan pilihan menu dan rasa “ala kadarnya” milik maktab. Tetapi apa boleh buat, kami harus membeli makanan di sana karena tidak ada alternatif lainnya yang cukup dekat.
Setelah koper-koper dan bagasi kami berhasil kami temukan dan kami susun di kamar tidur, kami langsung beristirahat di tempat tidur masing-masing karena perjalanan yang kami lakukan sejak berangkat dari Asrama Haji Pondok Gede kemarin petang sangat meletihkan badan—tentu saja dengan tetap berpakaian ihram—menunggu saat keberangkatan ke Masjidil Haram guna melaksanakan umrah haji yang semula dijadwalkan ba’da (setelah waktu) ashar. Akan tetapi kemudian ditunda ke ba’da isya, karena sebelum berangkat ke Masjidil Haram, pimpinan kafilah mendapat pemberitahuan dari pertugas sektor, bahwa Masjidil Haram tidak dapat dimasuki karena sangat padat dengan jemaah. Hal itu tidak mengherankan karena kloter kami tiba hanya beberapa hari menjelang hari Tarwiyah (saat berihram untuk berhaji) sehingga jemaah sudah tumpah ruah di Makkah.
Seusai shalat maghrib dan makan malam, dengan dipimpin oleh para ketua kelompok, rombongan mulai bergerak dengan berbaris menuju Masjidil Haram dengan tidak lupa menggantungkan buku do’a di leher di samping tas paspor—tempat kami menyimpan sejumlah “benda vital”—walaupun saya tidak tahu persis bagaimana caranya menggunakan buku do’a tersebut saat berthawaf nanti di tengah kerumunan massa yang sangat padat dan terus bergerak. Kecuali mereka yang “jenius”, saya yakin hampir tidak ada jemaah yang hapal seluruh do’a yang ada di buku itu. Saya sendiri hanya menghapal do'a-do’a pendek yang penting yang saya rangkum dari PowerPoint yang dijaprikan netter milis RantauNet kepada saya.
Setelah berjalan sekitar 200 meter kami bertemu dengan jalan raya yang kami lewati ketika kami datang dari Jeddah tadi pagi dan rombongan kami berbelok ke kiri. rombongan kami terus berjalan dan ketika kami menemukan jalan yang agak menyempit dan menurun, kami dapat melihat Masjidil Haram di kejauhan.
Karena halaman masjid masih penuh dengan jemaah yang baru keluar sehabis melaksanakan shalat isya, rombongan kami berhenti dahulu di mulut jalan yang ke arah gerbang Masjid. Di latar terlihat Masjidil Haram yang sangat indah dan megah dengan menara-menaranya mencuat ke udara itu. Sembari menunggu itu, kami melakukan shalat isya berjamaah. Sesudah halaman Masjid agak longgar, ya agak longgar, kami masuk dan kembali berhenti di sana untuk menunggu anggota rombongan yang ingin ke kamar kecil atau memperbarui wuduknya. Beberapa jemaah perempuan memperbarui wuduknya di tempat kami menunggu itu dengan air seadanya yang dibawa dari pemondokan.
Setelah ustadz kami memberikan beberapa pengarahan, termasuk tempat-tempat rombongan berkumpul nanti di dalam dan di luar Masjid seusai melakukan amalan-malan umrah, rombongan kami memasuki Masjid melalui Pintu Raja Fahd bersama rombongan-rombongan lain yang baru datang. Sesampainya di dalam kami lihat seluruh pelataran Masjid masih lumayan penuh oleh jemaah-jemaah yang hendak berthawaf dan beriktikaf sampai shubuh.
Ketika itu jam sudah menunjukkan jam 10 malam lewat waktu setempat.
(bersambung)
Catatan kaki:
1) Maktab yang secara harafiah berarti “kantor”, sebelumnya dikenal sebagai “Sech”—dalam pengertian jemaah dirancukan sebagai tempat pemondokan—adalah “kantor” yang mengatur kegiatan jemaah selama di Makkah seperti pembagian kapling di Arafah, Muzdalifah dan Mina, termasuk makan dan minumnya. Satu maktab mengurus 5 sampai 7 kloter atau 2.000 – 3.000 jemaah. Maktab-maktab ini dikoordinasikan oleh Muasasah, yang merupakan pengelompokan terbesar jemaah haji berdasarkan negara. Indonesia termasuk muasasah Asia Tenggara. Pemondokan jemaah ditetapkan berdasarkan undian yang dilakukan di Tanah Air. Penyewaannya dilakukan oleh Bidang Urusan Haji Jeddah melalui Tim Perumahan yang dibentuk oleh Menteri Agama. Kloter (kelompok terbang) adalah unit yang mengkoordinasikan/memantau kafilah-kafilah yang berangkat dan kembali dalam penerbangan yang bersangkutan. Seteiap kloter dilengkapi oleh Tim Kesehatan yang dipimpin oleh Dokter Kloter.
2) Kafilah atau rombongan kami kami terdiri dari tiga kelompok, yang terkecuali kelompok III yang anggotanya sedikit, terdiri dari 5 regu yang beranggautakan 10-11 orang. Kelompok I dipimpin oleh ustadz pembimbing, rombongan II Ustadz Lubis, alumnus sebuah perguruan tinggi di Mesir, dan Kelompok III dirangkap oleh Ketua Kafilah. Tiap-tiap regu dipimpin oleh seorang Ketua Regu yang dipilih sendiri oleh para jemaah sewaktu bimbingan manasik. Kami termasuk Regu I Kelompok I.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment