Advertising

Saturday, 29 September 2012

[wanita-muslimah] Melintasi Miqat

 

Selasa 4 Februari

Saya tertidur tidak lama setelah bus yang membawa rombongan kami dari Asrama Haji Pondok Gede  memasuki jalan tol Sedyatmo. Saya memang agak letih, karena setengah jam sebelum berangkat dari rumah menuju Asrama Haji sehari sebelumnya, saya masih “berkutat” dengan laptop saya guna menyelesaikan bahan-bahan yang akan saya emailkan kepada rekan-rekan saya yang mulai hari ini mengadakan rapat regional bulanan dan workshop selama sepekan di Kuta, Bali.

Saya terbangun ketika bus sudah memasuki kompleks Bandara Udara Sukarno-Hatta. dari bagian belakang bangunan terminal melintasi apron menuju Terminal A, yang selama musim haji digunakan sebagai Terminal Haji Embarkasi Jakarta dan Jawa Barat1). Bus berhenti dan menurunkan kami di pintu kedatangan, sehingga dengan hanya menaiki sebuah tangga kami sudah berada di pintu ruang tunggu keberangkatan. Satu-satunya pemeriksaan yang kami jalani sebelum memasuki ruang tunggu hanyalah pemerikasaan barang bawaan kami, yaitu  tas tangan  dan tas paspor dengan peralatan Sinar X. Pemerikasaan paspor dan pemotongan boarding pass sudah dilakukan sebelumnya  di atas bus, tidak lama sesudah bus meninggalkan Asrama Haji Pondok Gede. Sedangkan penimbangan dan pembagasian koper pakaian diurus sepenuhnya oleh Yayasan. Benda tajam yang terdeksi, termasuk gunting dan pisau lipat, langsung disuruh dikeluarkan dan ditahan. Kami memasuki ruang tunggu sekitar jam 5.30 petang, dua setengah jam menjelang keberangkatan.

Sebagai seorang yang sejak 1984 sering bepergian dengan pesawat terbang karena tugas, ruang tunggu Terminal A tidak asing bagi saya, terutama ketika perusahan penerbangan Sempati milik Tommy Suharto—yang menggunakan seluruh Terminal tersebut sebagai home base-nya—sedang  jaya-jayanya. Tetapi petang ini saya merasa seperti berada di tempat lain. Setelah waktu maghrib tiba, kami shalat maghrib berjemaah yang dijamak dengan isya di salah satu ruang tunggu yang dialihfungsikan menjadi mushola. Tidak lama kemudian kami diminta bersiap-siap untuk boarding.

Tepat jam 8.00 malam, pesawat Boeing 747-200 Garuda yang akan membawa kami dan lebih kurang 460 jemaah haji Kloter 61 DKI Jakarta ke Jeddah mulai bergerak, kemudian take-off dan membubung tinggi membelah angkasa malam. Sepanjang penerbangan awak pesawat mampu menghadirkan suasana syahdu dan religius, dan sewaktu-waktu perasaan aneh kembali menyelimuti diri saya, seakan-akan kami sedang terbang ke suatu tempat yang tidak berada di alam nyata.

Sesuai dengan jadwal, kami tiba di Bandara  King Abdul Azis, Jeddah Rabu jam 2.00 dinihari waktu setempat setelah terbang selama hampir 10 jam (terdapat perbedaan waktu 4 jam antara Jakarta dan Jeddah). Pemerikasaan badan, buku kesehatan, paspor dan bagasi di sini ternyata tidak “seseram” informasi yang kami peroleh sebelumnya, meskipun cukup memakan waktu karena harus antri. Bahkan koperpun tidak dibuka sama sekali, sehingga kekhawatiran kami bahwa rendang daging dan teri belado yang ditaruh Kur  di dalam koper akan ditemukan dan ditahan imigrasi Saudi—yang konon suka “mengobrak abrik” koper jemaah—tidak jadi kenyataan.

Setelah seluruh pemeriksaan selesai kami masuk keruangan istirahat, sebuah ruangan yang sangat luas tanpa kursi dengan atap tinggi berarsitektur tenda, yang dikapling menurut negara masing-masing. Kami beristirahat di atas permadani yang diperuntukkan bagi kafilah kami sambil menunggu waktu shubuh dan saat  berihram. Di sini kami mendapat makanan dalam boks, air kemasan dan buah dari Panitia Haji Indonesia.

Sebenarnya Bandara King Abdul Azis bukan tempat ideal untuk berihram, karena memang tidak didesain untuk keperluan itu2). Kamar mandi merangkap WC tempat kami mengganti seragam kami dengan pakaian ihram3), kurang penerangan dan tidak begitu bersih. Karena sudah melakukan mandi sunat ihram ketika masih berada di Asrama Haji Pondok Gede, sebagian besar jemaah, termasuk saya, hanya berwuduk untuk shalat shubuh dan shalat sunat ihram.

Selesai shalat sunat ihram kami dikumpulkan untuk melafazkan niat ihram dipimpin oleh ustadz pembimbing. Sekalipun selama kegiatan bimbingan manasik sang Ustadz  menekankan untuk melafazkan niat yang singkat saja: “Labbaykallahuma umratan,” tetapi mungkin karena “grogi” menyaksikan kafilah lain melafazkan niat yang panjang, ikut-ikutan melafazkan niat yang panjang yang tidak begitu saya hapal, sehingga giliran saya yang “grogi”. Walhasil suasana di miqat terasa cair.

Hal itu mungkin juga disebabkan sebelumnya saya terlalu hanyut kepada romantisme pemaknaan intelektual Iran Ali Syariati terhadap miqat: “Di Miqat  apapun ras dan sukumu, lepaskankanlah semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan)” dan di bagian lain dilanjutkannya “Di Miqat ia mengalami kematian dan kebangkitannya kembali”. Sementara ustadz kami hanya mengulangi hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama berihram.

Tidak lama kemudian kami menuju pintu keluar dan naik ke bus-bus yang dikirim oleh maktab, yang akan membawa kami ke kota suci Makkah al Mukarramah.

Saat itu matahari sudah mulai naik

(bersambung)

1)         Sejak tahun 2005, jemaah haji diberangkatkan dari Terminal Haji yang baru dibangun di lingkungan Bandara Sukarno-Hatta. Ketika menggunakan bandara ini untuk penerbangan Mandala ke Yogya pertengahan 2009 yang lalu, saya lihat bandara ini belum dilengkapi garbarata (boarding bridge). Hal ini tentu akan memberatkan bagi jemaah haji yang sudah berumur untuk melakukan boarding. 

2)         Miqat makani (tempat)---dibedakan dengan  miqat zamani (waktu)---atau yang biasa disebut miqat saja, yaitu  tempat wajib bagi jemaah haji yang masuk Kota Suci  Makkah dari arah Timur, termasuk Indonesia adalah Yamlamlam yang dilewati oleh route penerbangan haji Jakarta-Jeddah. Karena tidak mungkin melakukan ihram di dalam  pesawat, MUI memfatwakan bahwa bagi jemaah haji Indonesia gelombang kedua yang langsung ke Makkah ihram dapat dilakukan di Bandara King Abdul Azis.         

3)         Pakaian ihram laki-laki terdiri dari dua potong kain tanpa jahitan—dusunahkan berwarna putih—yang satu dijadikan sarung, yang lain dijadikan selendang untuk menutupi bagian atas badan, tanpa lapisan apapun di dalamnya. Juga tidak diperbolehkan memakai tutup kepala seperti peci, sorban dan lain-lain. Tetapi memakai payung, ikat pinggang–jemaah biasanya mengunakan yang ada kantong-kantongnya—dompet, cincin, kacamata dan benda-benda sejenis diperbolehkan. Pakaian ihram perempuan berupa busana muslim biasa yang menutupi seluruh tubuh dengan wajah dan telapak tangan (wajib) terbuka. Jemaah perempuan tentu saja diperbolehkan, bahkan sangat “berbahaya”, jika tidak memakai pakaian dalam.

 

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment