Advertising

Monday 11 October 2010

[wanita-muslimah] DPR Memang seperti Taman Kanak-kanak

 

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/dpr-memang-seperti-taman-kanak-kanak/

Senin, 11 Oktober 2010 13:27
DPR Memang seperti Taman Kanak-kanak
OLEH: TJIPTA LESMANA

Ucapan sarkastis ini bukan keluar dari anak gaul, atau anak berpendidikan taman kanak-kanak, tetapi dari mulut wakil-wakil rakyat Indonesia yang terhormat.

Ya, selama ini wakil rakyat diklasifikasikan sebagai "orang terhormat", terkait dengan kedudukan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dalam sistem parlementer, DPR amat berkuasa. Indonesia bersistem parlementer? Bukan. Tetapi, juga buan presidensial. Indonesia sejak Mei 1998 sudah menerapkan sistem quasi-parlementer. Setengah parlementer, setengah presidensial. Itulah sebabnya perilaku wakil-wakil rakyat, khususnya yang di Senayan, kadang mempertontonkan perilaku ala janggo. Que sera, sera! Apa yang aku inginkan, harus jadi!

Sayangnya, sekitar 70 persen anggota DPR-RI adalah freshmen, orang baru. Pendidikan mereka, sebagian besar, memang S1. Namun, pendidikan sarjana tidak menjamin good conduct dan good utterance. Bad conduct and evil utterance sering kali dipertontonkan secara telanjang oleh orang-orang yang arogan dan sok kuasa. Orang-orang tipe ini kerap meng­anggap orang lain, apalagi lawan, tidak lebih dari kecoa belaka, yang bisa diinjak-injak semaunya. Ditambah dengan jam terbang yang masih minimal, jadilah perilaku yang memalukan itu.

Perang mulut antara Ketua DPR Marzuki Alie dan beberapa anggota Komisi III pekan lalu sungguh memprihatinkan rakyat. Bahwa ada perbedaan pendapat, bahkan dialog keras antara sesama anggota Dewan, itu merupakan fenomena normal dalam sistem demokrasi. Yang tidak normal, bahkan terkesan menjijikkan, adalah penggunaan kata-kata yang memalukan.
Beberapa anggota Komisi III (bidang hukum) mengkritik sepak-tejang pemimpin DPR mengadakan pertemuan tertutup dengan Komjen Timur Pradopo di ruang kerja Ketua DPR hanya sehari setelah Timur dicalonkan presiden ke DPR sebagai kandidat Kapolri. Mereka menilai pertemuan ini tidak etis. Mereka curiga fit and proper test yang bakal digelar Komisi III sudah kehilangan signifikansi lagi setelah pertemuan tersebut.

Mendapat kritik seperti itu, kenapa Marzuki Alie sewot? Kenapa ia balik menuding bahwa anggota Komisi III lebay alias berlebihan sambil senyum? "Pendapat itu pribadi, liar", kata Benny K Harman, Ketua Komisi III yang juga dari Partai Demokrat.

Istilah lebay adalah istilah gaul yang biasanya dipakai anak-anak ABG. Saya sendiri sampai awal Oktober masih tidak mengerti apa itu "lebay". Ya, karena memang saya bukan orang gaul. Kata-kata "lebay", "cecu­nguk", "liar" atau "bangsat" mencerminkan (a) kedang­kalan intelektual si pengucap, (b) penghinaan, paling tidak ada nuansa "Goblok kau, karena kau tidak mengerti permasalahan", (c) ketidakmampuan wakil rakyat menguasai emosi.

Tak Mengerti Etika
Apa sebenarnya substansi "perang kata" antara Gayus Lumbuun dengan Marzuki Alie? Pertama, pertemuan antara Timur Pradopo dengan pemimpin DPR-RI memang tidak etis, tidak wajar. Semua wakil rakyat di Senayan, menurut saya, sudah waktunya diberikan pengetahuan tentang apa itu etika, sebab sebagian besar mereka sungguh tidak mengerti apa itu etika.
Mereka sering berpikir se­panjang tidak menabrak pe­raturan perundang-undangan, kenapa tidak boleh? Kalau studi banding sudah disetujui dan dianggarkan jauh hari sebelumnya, apa salah? Ketika mereka melemparkan pertanyaan seperti ini jelas, itu indikasi kuat bahwa mereka tidak mengerti etika!

Memang tidak semestinya pemimpin DPR melakukan hal itu, sebelum uji kelayakan dan kewajaran berlangsung. Itu menyangkut erat soal etika. Ibarat ujian, pemimpin DPR telah memberikan "bocoran soal". Pertemuan itu, jelas, akan menghilangkan signifikansi fit and proper test Komisi III pada Timur. Pertemuan itu mengandung nuansa dan meta-meaning bahwa "Jenderal Timur, enggak usah takut atau grogi sama Komisi III. Tenang saja, semua aman terkendali, karena akan kami atur.."

Kedua, kritik Gayus, Aziz Syamsuddin dan beberapa anggota Komisi III sebenarnya, berdasar sekali. Penetapan Timur Pradopo oleh presiden memang mengandung hal-hal janggal, kalau tidak dikatakan cacat hukum.
Perhatikan baik-baik isi dan semangat Pasal 11 butir (6) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI: "Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier."

Apa artinya? Simak dalam-dalam Penjelasan resmi UU tersebut. "Yang dimaksud de­ngan "jenjang kepangkatan" ialah prinsip senioritas dalam arti menyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri. Sementara itu, yang dimaksud dengan "jenjang karier" ialah pengalaman penugasan dari Pati calon Kapolri pada berbagai bidang profesi kepolisian atau berbagai macam jabatan di kepolisian."

Pada butir "jenjang karier" semua Jenderal di Mabes Polri harus mengakui bahwa Komjen Nanan Sukarna jauh lebih unggul daripada Timur. Dari segi senioritas kepangkatan pun, Nanan di atas Timur, walaupun sama-sama Angkatan 78.
Nanan hampir setahun menyandang Bintang 3, sedang Timur baru 4 jam! Ya, jam 3 sore Senin 4 Oktober pangkat Timur dinaikkan menjadi Komjen. Jam 19:00 namanya diumumkan Ketua DPR-RI melalui Metro TV sebagai calon Kapolri yang diajukan Presiden RI.
Ketiga, orang sering keliru menginterpretasikan isi dan semangat Pasal 11 butir (1) UU No 2 Tahun 2002. Pasal itu, menurut mereka, membuktikan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif presiden. Salah!
Mari simak seteliti-telitinya bunyi Pasal 11 butir (1): "Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Harap garis bawahi anak kalimat di belakang, yaitu "dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Artinya?

Pertama, DPR bisa menerima, tetapi bisa juga menolak calon Kapolri yang diajukan presiden. Sekali lagi, bisa! Jika DPR menolak, presiden tidak bisa bilang apa-apa, melainkan HARUS tunduk pada keputusan DPR. Kedua, jika presiden mendadak memberhentikan Kapolri, itu pun harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR!
Sejarah mencatat bagaimana DPR pada pertengahan 2001 menolak pemberhentian Jenderal Bimantoro sebagai Kapolri, dan peng­angkatan Komisaris Jenderal Chairudduin Ismail sebagai pemangku jabatan Kapolri. Karena Presiden Gus Dur bilang "go to hell with DPR", maka DPR juga sontak berteriak "Go to hell with the President".

Alhasil, DPR ngamuk dan langsung menulis surat kepada MPR, mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk mengadili Presiden RI.... Dalam tempo beberapa hari, jatuh pula Presiden Gus Dur.Analisis singkat ini hanya bermaksud mengingatkan wakil-wakil rakyat, khususnya yang berasal dari partai berkuasa: Jangan sok kuasa dengan asumsi sok paling tahu. Barangsiapa arogan dan sok kuasa kerap melakukan tindakan bad conduct, dan evil utterance. Lalu, keluarlah kata-kata "lebay", "bangsat", "liar" atau "cecunguk" yang justru merendahkan martabat si pengucap. Kalau demikian, rakyat akan menilai betul juga pendapat Gus Dur tempo hari bahwa tabiat (sebagian) anggota DPR kayak anak Taman Kanak-kanak.!

Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment