Sumber:
http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-323-dulu-soeharto-sekarang-yudhoyono.html
Dulu Soeharto, Sekarang Yudhoyono
Jumat, 08 Oktober 2010 - 23:16:22 WIB
Ini bukan kali pertama presiden Indonesia batal ke Belanda. Kalau sekarang
karena RMS, dulu karena Purwodadi.
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan kunjungannya ke Negeri Belanda
pada menit-menit terakhir. Tersiar kabar aktivis Republik Maluku Selatan (RMS)
di Belanda mengajukan gugatan ke pengadilan lokal di Den Haag atas pelanggaran
HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktivis RMS di
Indonesia. Mereka pun menuntut agar Presiden Yudhoyono ditahan demi kepentingan
peradilan. Walhasil Yudhoyono membatalkan kunjungannya kendati berbagai pihak
mengatakan kalau pembatalan itu malah makin membesarkan RMS saja.
Itu bukan cerita baru. Presiden Soeharto pun pernah menunda kunjungannya ke
Belanda. Seharusnya Soeharto terbang ke Belanda April 1969 dan mengundurkan
jadwal kunjungannya sampai dengan tahun 1970. Ia menunda kunjungan bukan saja
karena RMS yang saat itu sedang marak-maraknya menuntut kemerdekaan melainkan
pula karena skandal pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dalam kurun tahun 1965-1969 yang tercium oleh media massa
asing.
Mulanya adalah Romo Wignyosumarto, pastor gereja Katolik di Purwodadi, Grobogan
yang mendengar pengakuan dosa Mamik, anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang
mengaku terlibat dalam pembunuhan 50 lebih anggota dan simpatisan PKI di
Purwodadi. Kabar itu kemudian diteruskan kepada Poncke Princen yang berkunjung
ke Purwodadi bersama dua wartawan Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.
Berdasarkan informasi awal dari Romo Sumarto, mereka bertiga mengunjungi
berbagai kamp penahanan yang ada di Purwodadi, termasuk di Kuwu, di mana mereka
menemukan bukti-bukti pembantaian terhadap 860 tahanan. Poncke dan dua wartawan
Belanda itu pun mengumpulkan keterangan dari warga sekitar yang memperkuat
informasi tentang adanya pembunuhan massal di Purwodadi. Di antara mereka ada
yang bercerita bahwa pelaku membunuh orang-orang PKI dengan cara memukul
tengkuk korban dengan tongkat besi.
Kabar itu pun segera tersiar. Poncke mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26
Februari 1969. Berdasarkan pengakuan Poncke dalam memoarnya Kemerdekaan Memilih
ia tak berencana membeberkan persoalan Purwodadi itu di hadapan wartawan
nasional. Kepada Henk Colb ia berjanji untuk membiarkan berita ekslusif itu
jadi milik koran De Haagsche, tempat Colb bekerja. Namun batin Poncke
bergejolak. Ia memutuskan untuk membuka saja kasus itu di Jakarta betapapun
sangat berbahayanya. "Kemanusiaan jauh lebih penting," kata dia dalam bukunya.
Colb pun sempat kecewa pada Poncke yang membocorkan berita ekslusifnya itu.
Sementara itu Mamik, anggota Hanra yang mengaku pada Romo Sumarto, ditangkap
oleh tentara dan tak jelas bagaimana nasibnya.
Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di
Purwodadi. harian KAMI yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa angkatan 1966
menurunkan headline "Purwodadi dalam Ketakutan". Berbagai media massa yang
terbit di ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal
pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke. Wartawan Sinar Harapan Yopie Lasut
dan wartawan Indonesia Raya Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung
dari Purwodadi.
Seperti disiram bensin, berita panas skandal Purwodadi pun menjalar kemana-mana.
Henk Colb menurunkan tulisannya di koran De Haagsche. Ia menyoroti soal
tahanan politik di kamp Purwodadi yang memprihatinkan: berdesak-desakkan dalam
kamp dan diperlakukan tidak manusiawi. Laporan Colb membuat sejumlah kelompok
di Belanda geram. Mereka pun turut menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan
Soeharto yang dianggap menjadi dalang pembantaian massal jutaan kaum kiri.
Suratkabar Trouw, 19 April 1969 menyiarkan "surat terbuka" dari Het Comite
Indonesie (Komite Indonesia) yang dipimpin oleh sosiolog terkemuka W.F.
Wertheim menyebutkan bahwa kalangan rakyat Belanda merasa resah atas niat
beberapa pengusaha Belanda dan pemerintahnya yang bermaksud mengadakan hubungan
kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Menurut komite tersebut, menjalin kerjasama
berarti melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia.
W.F. Wertheim dalam sebuah wawancara dengan majalah Vrije Nederland juga
menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi
pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda,
dia kembali menegaskan, "Tidak ada kerjasama dengan rezim yang membiarkan
pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik."
Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim melarangnya
mengunjungi Indonesia.
Tulisan tentang skandal Purwodadi di De Haagsche itu juga mengundang reaksi
keras sekelompok mahasiswa Belanda. Kemarahan mereka tumpahkan kepada Menteri
Keuangan RI Drs. Frans Seda saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum
pada tanggal 17 April 1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Begitu Frans Seda
naik ke panggung untuk berceramah, seorang mahasiswa, Y. van Herte menyela dan
bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI. Frans menyanggupi
untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan
ceramah terlebih dahulu. Ternyata Herte menolak dan meminta pertanggungjawaban
Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Suasana jadi kacau, bahkan mahasiswa
meneriaki Frans Seda sebagaimoordenaar (pembunuh)dan lafaard (pengecut). Ceramah
pun dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan aula universitas lewat pintu
belakang .
Melihat perkembangan situasi di Belanda dan pemberitaan yang semakin kritis
kepada pemerintah Orde Baru, Soeharto memutuskan untuk membatalkan lawatannya
ke Belanda dan negara Eropa lainnya yang sejatinya akan dilakukan pada medio
April 1969. Kunjungan ke Belanda baru dilakukan Soeharto pada awal September
1970 dan itu pun bukan berarti sepi dari demonstrasi. Sejumlah demonstran RMS
berunjukrasa setelah beberapa hari sebelumnya sempat menduduki gedung Kedutaan
Besar RI di Wassenaar dan menyandera keluarga duta besar.
Dalam kunjungannya ke parlemen Belanda, Soeharto yang didampingi Menteri Luar
Negeri Adam Malik pun tak lepas dari pertanyaan para anggota parlemen soal
tahanan politik. Tentu saja pertanyaan itu dilontarkan setelah koran-koran
Belanda ramai memberitakan temuan Poncke Princen dan dua wartawan Belanda di
Purwodadi. Video kunjungan Soeharto itu masih bisa disaksikan di situs Youtube
(Bezoek van President Soeharto, 1970)
Persoalannya sekarang apakah penundaan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda
akan menyurutkan langkah para aktivis RMS untuk menuntut keadilan atas kematian
saudara-saudaranya di Maluku? Kita lihat saja nanti.[BONNIE TRIYANA]
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment