Kelicikan Media Massa
Bukan satu-dua kali, jika menyangkut Islam, media TV menampilkan sumber
monolog, utamanya datang dari militer atau polisi
Oleh: *Aditya Abdurrahman(**)
Tak lama setelah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Ustad
Abubakar Ba'asyir (ABB) ditangkap Densus 88, sebuah stasiun TV mengadakan
acara dialog Live.
Melalui seorang presenter, stasiun televisi tersebut membuka kesempatan bagi
pemirsa untuk memberikan opininya tentang penangkapan Ustad ABB. Tanpa
disangka, si penelepon, rupanya sejalan dengan pemikiran ABB, di mana ia
meyakini ada rekayasa asing dalam penangkapan tersebut. Tapi ada yang
menarik dalam sesi tanya jawab itu. Di saat sang penelpon mengatakan bahwa
Densus 88-lah yang sebenarnya melakukan tindakan "teror" , telepon sang
penanya langsung diputus oleh pihak TV.
Rupanya presenter tahu betul, si penelepon kurang sejalan dengan misi
TV-nya dalam dialog bertema terorisme ini.
*****
Kasus-kasus seperti ini di media massa kita memang bukan terjadi sekali-dua
kali. Bulan Juli 2009, beberapa hari pascapeledakan bom Kuningan, sebuah
stasiun TV mewawancarai mantan Kepala Densus 88 Polri Brigjen Pol. (Purn)
Suryadarma Salim. Dengan panjang lebar mantan Kepala Satgas Antiteror Polri
ini secara monolog, menjelaskan masalah terorisme. Ia, mengatakan, "Mereka
ingin mendirikan Daulah Islamiyah (negara Islamiyah di Indonesia), dan
habitat mereka itu paling subur di Indonesia."
Bisa dibayangkan, seorang polisi--bukan seorang ahli mengenal liku-liku
gerakan Islam-bahkan boleh dikata kurang paham Islam, membahas terorisme dan
kaitannya dengan Islam secara monolog, tanpa pembanding.
Yang mengejutkan, tayangan itu disiarkan lagi berulang-ulang selama
beberapa hari, dari pagi, sore, dan malam hari.
Sekedar catatan, rata-rata untuk tayang iklan di TV butuh biaya sekitar Rp
10 juta per/ 30 detik. Memunculkan Suryadarma Salim dengan waktu panjang
berulang kali, bukan sebuah kebetulan. Pastilah ada udang di balik batu.
Berapa juta orang "terhipnotis" kampanye Suryadarma Salim hari itu?
*Islam dan propaganda media*
Dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam setiap misi media adalah, membangun
opini publik dan propaganda.
*Pertama*, propaganda selalu memberikan informasi yang dirancang dengan
pesan yang sudah disiapkan tujuannya. Tentu saja, terserah pengelola media
yang bersangkutan. Semua pesan dan faktanya, adalah pilihan redaksi. Pesan
propaganda harus dapat menghasilkan pengaruh. Jadi, propaganda bukan suatu
kebetulan, dia adalah memanipulasi buah pikiran yang dikehendaki.
*Kedua,* opini publik (*public opinion*). Secara psikologis, opini publik
pada dasarnya ditentukan oleh pendangan dan kepentingan pribadi atau
golongan (dalam hal ini media). Meski demikian, kemampuannya mampu
menggerakkan perangkat politik dan Negara.
Korban dua hal ini bisa dilihat dalam kasus wacana FPI, poligami, nikah
sirri dan terorisme.
Syekh Puji dicitrakan sangat negatif karena ia menikahi anak SMP. Karena
itu, media memberi image orang menikah "sirri" sebagai kejahatan, melebihi
koruptor. Sebaliknya jutaan orang justru dimuliakan karena mereka kumpul
kebo. Andaikata Syekh Puji meniduri 100 WTS, dia tak akan dihukum dan tidak
akan pula dicitrakan seolah "jahat".
Mantan Ketua PBNU pernah berseloroh, "Jika nanti ada polisi menggerebek
orang yang nikah sirri, lebih baik mengaku saja kumpul kebo." Pernyataan
ini, sekedar menunjukkan, betapa tak adilnya hukum dan logika media massa di
negeri ini.
Bukan sekali-dua kali umat Islam *dikadalin* (dikerjain, *red)* media massa
tanpa bisa melakukan pembalasan atau memberikan hal jawab secara adil dan
sepadan.
Di sinilah letak penting mengapa umat Islam harus memiliki media. Hanya
saja, meski sering menjadi korban, umat Islam sering mengabaikan arti
penting keberadaan media. Kaum muslim yang kaya, biasanya, sering
mengalokasikan uangnya untuk kampanye jadi bupati, gubernur atau presiden.
Betapa sering orang kaya-raya menghambur-hamburkan uangnya untuk kampanye
pilkada? Toh akhirnya tidak sedikit mereka batal jadi pejabat.
Jika umat Islam memiliki media yang bagus dan kuat, dan dikelola secara
baik, maka, pemberitaan dan pembentukan opini apapun bisa dikelola secara
baik. Isu negatif tentang Islam akan dengan mudah pula dinetralisir. Semua
pencitraan buruk tentang Islam oleh Barat, juga bisa terbendung.
Adalah pernyataan Dr. Yusuf Qaradhawi yang sangat luar biasa bagus. Beliau
mengatakan, *"Kalau saja kita (umat Islam) diberi kebebasan selama 20 tahun
untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa (Barat) atau konflik
dengan mereka, itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam".*
Faktanya, umat Islam tak berdaya bukan karena mereka tak berdaya. Yang ada,
karena mereka "diperdayai".
Dr. Zakir Naik, seorang ilmuwan, kristolog dan seorang dai asal India,
pernah merasakan ini memanfaatkan peluang emas mengisi seorang diri. Ia
pernah beusaha me-*lobby* sebuah stasiun televisi untuk program Islam tanpa
disensor, ditutup-tutupi atau diatur keinginan rating. Ketika itu waktu yang
diberikan hanya beberapa puluh menit saja, namun *Alhamdulillah*, program
itu mampu menyedot perhatian pemirsa dan direspon secara positif. Sampai
akhirnya stasiun televisi lokal tersebut rela membayar Dr. Zakir Naik atas
program yang dibuatnya tersebut. Namun beliau menolak, dengan mengatakan,
"Saya tidak butuh uangmu, cukup berikan saya waktu lebih banyak lagi untuk
mendakwahkan Islam di televisimu".
Sesungguhnya jika kehidupan dunia ini bisa diibaratkan *game *(permainan),
dan umat Islam diberi waktu memainkan peran secara adil, maka hasilnya akan
berbeda. Tapi, faktanya tidaklah demikian.
*Media dan dakwah*
Kepemilikan media sangat menentukan keberhasilan dakwah Islam melalui media.
Itu juga yang menjadi alasan mengapa dakwah Islam belum bisa efektif dan
tersebar luas di seluruh pelosok dunia.
Umat Islam harus berazam untuk memiliki media massa yang baik atau
memperkuat yang sudah ada. Media yang adil dalam penyampaian berita,
sehingga dampaknya bisa dirasakan pada semua makhluk, tak hanya umat Islam
sendiri. Bahkan bisa dirasakan umat lain.
Bukan media yang menuhankan rating. Media massa yang menjadikan ideologinya
*profit oriented*, ia cenderung menghalalkan segala cara. Karenanya, jangan
heran, banyak orang cerdas tiba-tiba hilang kendali setelah mereka bergabung
di media massa. Sebelum masuk, ia dikenal anak-anak kampus yang cerdas.
Sebab, rata-rata IP menjadi wartawan selalu di atas 3 dan memiliki
kemampuan bahasa asing yang baik. Sayangnya, setelah jadi wartawan,
kebiasaan membaca, mendengar pendapat orang dan kemampuan menganalisa jadi
tumpul. Sebab, ia lebih mengejar "esklusivitas" berita. Secara akademik,
mungkin ia masih cerdas, tapi, ia sudah tak memiliki kecerdasan "hati".
Hampir semua orang yang digerebek Densus 88 langsung disebut media sebagai
"teroris", meski pengadilan belum berjalan. Media tak pernah mengukur,
bagaimana perasaan anak dan istri mereka di lingkungan, di sekolah, dan di
tempat kerja mereka. Sebutan ini saja sudah hukuman yang belum tentu bisa
hilang selama puluhan tahun.
Tapi tak usah berharap banyak, sebab, media yang visi utamanya hanya* profit
oriented*, bisa dipastikan, tak akan melahirkan
wartawan/penulis/reporter/redaktur yang memiliki kecerdasan hati dan
perasaan. Hasilnya selalu begitu.
Selama orientasi pemilik media hanyalah modal dan profit, maka selamanya tak
akan sejalan dengan tujuan dakwah dan Islam itu sendiri. Di sinilah letak
arti penting media Islam.
Meski demikian, pekerjaan mengelola media bukanlah pekerjaan sederhana.
Sebab ia dibutuhkan keterampilan dan keahlian yang baik dan benar. Bukan
asal membuat media.
Andaikata, saat ini semua media, TV dan kantor berita dihibahkan kepada umat
Islam, belum tentu, umat Islam mampu mengelolanya dengan baik.
Sumber daya umat Islam dalam mengelola media ini masih kurang akibat
ketidakterarikan umat akan bidang ini. Di saat yang sama, banyak umat Islam
membanggakan media-media yang selama ini justru sering "memusuhi" Islam
secara diam-diam. Bahkan tak terasa pula, ia menjadi
wartawan/penulis/pembaca, bahkan menjadi pelanggan setianya.
Pertanyaannya, sampai kapan Anda tak peka dalam masalah ini?
------------------
(**)
Penulis sedang mengambil program pascasarjana bidang komunikasi di
Universitas Airlangga Surabaya*
* *
http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/opini/13470-kelicikan-media-massa
10/1/2010 6:07 AM
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment