Advertising

Sunday 10 October 2010

[wanita-muslimah] Republik "Tawuran" Bernama Indonesia

 





klik: http://www.hidayatullah.com/kolom/sudut-pandang/13614-republik-tawuran-bernama-indonesia

Republik "Tawuran" Bernama Indonesia



Senin, 11 October 2010 09:32












//Sistem demokrasi liberal sejak 1998 ini tak juga berhasil memberikan kemakmuran pada rakyat. Tawuran terjadi di mana-mana//

Agaknya Indonesia sekarang tergolong failed state, negara gagal. Apa pula itu? Think-tank
(tangki pemikir) dari Amerika Serikat, Fund for Peace, setiap tahun
sejak 2005 menyusun dan mempublikasikan daftar negara gagal (Failed States Index).

Failed States,
menurut lembaga itu, memiliki 12 kriteria menyangkut masalah politik,
ekonomi, dan sosial. Tapi yang terpenting: pemerintah pusat begitu lemah
sehingga tak memiliki kontrol yang efektif atas teritorialnya,
pelayanan publik terbengkalai, tindak kriminal dan korupsi menyebar
luas, terjadi pengungsian atau perpindahan penduduk tanpa dikehendaki,
dan perekonomian merosot tajam.

Dengan kriteria seperti itu, Fund for Peace memasukkan Indonesia dalam skala warning (peringatan)
atau persisnya di peringkat 61. Artinya, masih ada 60 negara lebih
jelek dari Indonesia, walau yang lebih bagus  jauh lebih banyak.

Tampaknya
posisi Indonesia tertolong karena perekonomiannya sekarang tak sedang
merosot tajam, seperti dimaksudkan dalam kriteria. Peringkat pertama
sebagai negara gagal adalah Somalia, disusul Chad, Sudan, Zimbabwe,
Congo, Afghanistan, dan Iraq.

Penulis terkenal, profesor bahasa
dan filsafat dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Noam
Chomsky, pada 2006 menulis buku berjudul Failed States, mengungkap kesewenang-wenangan negara super-power Amerika Serikat, terutama ketika menyerbu Afghanistan dan Iraq.

Berbagai
alasan dipakai negara adi-daya itu untuk campur tangan ke negara lain.
Belakangan, setelah serangan teroris 11 September 2001, yang dianggap
mengancam keamanan Amerika Serikat  adalah negara gagal (failed states).
Dalam konsep ini termasuk negara seperti Iraq yang diduga mengancam
Amerika Serikat dengan senjata pemusnah massal (kelak terbukti tak
pernah ada)  dan terorisme internasional (yang sesungguhnya tumbuh
sebagai akibat pendudukan pasukan Amerika atas negeri itu).

Dalam interpretasi yang lebih ketat, failed states diidentifikasikan
dengan kegagalan memberikan keamanan bagi penduduknya, kegagalan
menjamin hak-hak di dalam dan luar negeri atau memelihara berfungsinya
institusi demokrasi (Noam Chomsky dalam Failed States, The Abuse Of Power And The Assault On Democracy. Hamish Hamilton, Great Britain, 2006).

Tampaknya
semua yang dimaksudkan sudah terjadi di negeri ini. Presiden SBY hanya
bisa berpidato atau berwacana bahwa negara tak boleh kalah oleh
kekerasan. Tapi perkelahian dua kelompok pemuda di Jalan Ampera Jakarta
Selatan, 29 September lalu, menunjukkan pemerintah gagal memberikan
keamanan kepada penduduk. Bahwa terbukti dengan konkret preman amat
berkuasa di negara ini. Ada yang mengatakan Indonesia sekarang dalam
kondisi darurat preman.

Soalnya, hari itu dua kelompok pemuda
terlibat tembak-menembak di jalan raya dengan menggunakan sejumlah
pistol, tawuran dengan pedang, tombak, parang, kapak dan pentungan, tak
ketinggalan hujan batu. Peristiwa itu terjadi di siang bolong,
disaksikan polisi dan wartawan dengan kameranya, dan disiarkan televisi
ke seluruh negeri. Tubuh-tubuh yang tergeletak di tengah jalan terluka
parah dengan darah berceceran jadi sasaran empuk kamera.

Polisi?
Ratusan polisi ada di tempat itu. Tapi mereka tak mampu mencegah orang
berkejaran dengan pedang dan golok terhunus, bahkan menembak-nembakkan
pistol. Adegan-adegan yang terjadi di siang bolong itu sungguh belum
pernah terjadi di dunia mana pun. Agaknya itu hanya bisa ditemukan dalam
imajinasi para penulis skenario Hollywood untuk film wildwest yang dibintangi John Wayne atau semacamnya.

Perang
geng dan kartel narkoba di Meksiko atau Colombia memang mengerikan
dengan korban amat besar. Tapi perang dan tembak-menembak itu tak
terjadi di siang bolong secara terbuka disaksikan kamera wartawan
televisi dan polisi, sebagaimana terjadi di Jalan Ampera.

Kabarnya
polisi tak mampu mencegah perkelahian karena jumlah personal dan
persenjataannya tak memadai. Dari sini muncul tuduhan bahwa intelijen
polisi kebobolan dalam meramalkan apa yang akan terjadi di Jalan Ampera,
di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Maka sementara
menunggu bantuan polisi, korban pun berjatuhan, bergelimpangan dan
berdarah-darah, bergeletakan di jalan raya. Tercatat pada hari itu tiga
orang meninggal dunia, 12 orang terluka, 3 di antaranya polisi.

"Pertempuran''
di Jalan Ampera itu merupakan ekor perseteruan dua kelompok pemuda di
klub malam Blowfish, Plaza City Senayan, Jakarta, 3 April lalu, yang
konon disebabkan perebutan lahan pengamanan. Akibatnya, seorang pemuda
meninggal dunia dan beberapa lainnya terluka. Peristiwa ini menyebabkan 4
pemuda diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tawuran besar tadi
meletus pada sidang pengadilan kedua, ketika dua kelompok yang bertikai
saling mengerahkan anggotanya ke pengadilan. Mestinya apa yang terjadi
sudah bisa diantisipasi polisi.

Sistem yang Koruptif

Tapi
sesungguhnya ''pertempuran'' Jalan Ampera hanya salah satu yang paling
seru. Di mana-mana selama ini peristiwa sejenis banyak terjadi. Hampir
bersamaan, misalnya, di Tarakan, Kalimantan Timur,  ada ''perang''
antar-kelompok masyarakat yang berbeda.

Tawuran dimulai 27
September lalu oleh peristiwa sepele dan baru berakhir dua hari kemudian
melalui perdamaian dua kelompok, dihadiri Gubernur Kaltim dan para
pejabat daerah lainnya. Peristiwa ini menyebabkan 5 nyawa melayang,
sejumlah lainnya luka-luka, beberapa rumah dibakar, dan sekitar 30.000
warga mengungsi.

Pada  4 Oktober lalu, gerombolan massa menyerbu
dan melemparkan batu ke kantor polisi sektor (Polsek) Bandar Udara
Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Polisi mencoba menghalau demonstran
dengan melepas tembakan. Itu mengakibatkan salah seorang penyerbu tewas
dan lima temannya ditangkap polisi.

Sebelumnya, 31 Agustus lalu,
di Buol, Sulawesi Tengah, 4 penduduk meninggal dunia, puluhan luka-luka
setelah terjadi bentrokan dengan polisi setempat. Massa menyerbu kantor
polisi karena marah atas tewasnya seorang tukang ojek di rumah tahanan.

Di
Tanjung Priok, April lalu, meletus kerusuhan Koja ketika Satpol PP akan
menggusur makam Mbah Priok di areal seluas 5,4 hektar milik PT Pelindo.
Penduduk setempat mempertahankan makam itu yang mereka anggap keramat.
Maka terjadilah tawuran antara ratusan Satpol PP dengan rakyat.
Akibatnya 3 anggota Satpol PP terbunuh, ratusan luka-luka, termasuk
20-an anggota Polri. Puluhan mobil dibakar dan beberapa kantor dijarah.

Banyak
lagi peristiwa mirip terjadi di pelbagai pelosok Tanah Air, terutama
kerusuhan sebagai akibat ketidak-puasan atas hasil pemilihan umum kepala
daerah (Pilkada). Bahkan perkelahian massal sering terjadi dalam konser
musik atau pertandingan sepak bola.

Mengapa semua ini terjadi?
Ada banyak jawaban. Salah satu di antaranya karena hukum tak berjalan.
Memang di mana-mana ada kantor polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Tapi
orang tahu bahwa kebanyakan polisi, jaksa, dan hakim, bisa dibayar.
Artinya, keadilan sulit ditegakkan. Akhirnya, orang cendrung main hakim
sendiri, sementara aparat hukum dan pemerintahan kehilangan wibawa. Pada
saat itulah kantor polisi pun sering menjadi sasaran pelampiasan
kemarahan masyarakat.

Gagalnya penegakan hukum mengancam sistem
demokrasi liberal yang diterapkan di negeri ini sejak Reformasi 1998.
Karena memang di mana pun sistem demokrasi hanya bisa berjalan bila
hukum ditegakkan.

Jangan heran kalau Pilkada yang berlangsung di
daerah selalu diikuti aksi pembagian uang kepada para pemilih.
Penelitian yang dilakukan Political Research Institute for Democracy
(Pride) Jakarta di Mojokerto Mei lalu, menunjukkan politik uang memang
terjadi dalam Pilkada. Malah dalam penelitian lebih 60% responden menyatakan memilih calon atau kandidat yang memberikan uang kontan kepada pemilih. Program muluk-muluk tak diperlukan.

Bila
penelitian itu sahih, maka sistem demokrasi yang dibangga-banggakan
Presiden SBY selama ini tak ada artinya. Dan lebih parah lagi, sistem
pemilihan yang mahal dan korup ini menyebabkan korupsi bertambah subur
di Indonesia.

Betapa tidak? Untuk maju dalam pencalonan Bupati
sekarang dibutuhkan dana untuk partai politik dan kampanye mencapai Rp
10 milyar. Untuk gubernur jumlah tadi jadi berlipat-lipat, bisa mencapai
ratusan milyar rupiah. Semua itu tentu jumlah yang  terlalu besar yang
tak mungkin bisa dibayar dari gaji yang diterima para calon bila kelak
terpilih.

Pertanyaannya sekarang: bila terpilih bagaimana caranya
bupati, gubernur, bahkan seorang presiden, mengembalikan dana kampanye
yang telah dikeluarkan? Apalagi semua ini terjadi ketika hukum tak tegak
dengan benar. Inilah persoalan terbesar bangsa pada saat ini: sistem politik yang kita gunakan sesungguhnya koruptif. Itu sebabnya perilaku korupsi tambah meluas saja.

Profesor
Samuel P. Huntington, ahli ilmu politik dari Harvard University yang
amat terkenal dengan teori benturan antar-peradaban (clash of civilization)
itu, sejak tahun 1989 telah mengeluarkan pendapat bahwa demokratisasi
berhubungan dengan kemakmuran. Di negeri dengan pendapatan rakyatnya
rendah, sistem demokrasi selalu terancam untuk kembali menjadi
otoritarian. Kelemahan sistem itu terutama karena sulitnya pengambilan
keputusan dilakukan (Samuel P.Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991).

Mengikuti
thesis ini, berarti sistem demokrasi di Indonesia sebagai negara
berpenghasilan rendah dengan begitu banyak penduduknya hidup dalam
kemiskinan, selalu terancam untuk kembali ke sistem otoritarian.
Berbagai kerusuhan yang terus terjadi di sekeliling kita sekarang
mengakibatkan semakin banyak rakyat yang kehilangan kepercayaan bahwa
sistem demokrasi bisa menjadikan kita  lebih makmur. Kenyataannya
Indonesia malah menjadi failed state.[www.hidayatullah.com]

Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini,  bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment