SELAMATKAN INDONESIA
DENGAN SYARIAH
Muhammad Ismail Yusanto
Hizbut Tahrir Indonesia
Secara bahasa, syariat (al-syarî'ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ' li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedang menurut istilah, syariah bermakna: perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jadi, setiap hukum yang digali dari sumber-sumber hukum Islam merupakan hukum syariat (al-ahkâm asy-syar'iyyah) atau biasa disebut syariah saja. Karenanya, syariat Islam mencakup berbagai perkara, mulai dari cara berwudhu hingga bagaimana masyarakat dan negara dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Jadi, yang disebut syariat Islam bukanlah sekadar sanksi kriminal (hudûd) semata, melainkan seluruh hukum bagi semua aspek kehidupan.
Maka, perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di negeri ini jelas sangatlah penting. Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan aqidah Islam. Secara faktual, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah sosialisme hancur dan kapitalisme terbukti makin loyo? Dan secara operasional, pemberlakuan syariat Islam kiranya juga akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas pendudukan negeri ini yang muslim. Bila itu bisa diujudkan, maka gagasan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi bagian dari ibadah setiap muslim akan dapat diujudkan secara nyata.
Pelaksanaan syariah oleh negara sesungguhnya merupakan perkara yang sudah diketahui kewajibannya dalam Islam (ma'lumun mina al-dini bi al-dharurati) sebagaimana telah diketahuinya kewajiban shalat, zakat, haji dan sebagainya. Bahkan sejatinya, berdirinya negara dengan segenap struktur dan wewenangnya dalam kacamata Islam memang adalah untuk menyukseskan pelaksanaan syariah, sebagai ujud nyata pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Maka perjuangan bagi penegakan syariat Islam bagi seorang muslim juga merupakan sebuah kemestian. Diyakini bahwa tidak akan pernah ada kemuliaan kecuali dengan Islam, dan tidak ada Islam kecuali dengan syariat, serta tidak ada syariat kecuali dengan adanya daulah.
Diyakini, hanya syariah Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, setelah ideologi kapitalisme dan sosialisme gagal memenuhi harapan. Penerapan syariah juga akan membawa masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu lebih dekat kepada suasana religiusitas Islam sebagai perwujudan dari misi hidup beribadah kepada Allah SWT.
Secara ringkas, beberapa program penting penyelelamatan Indonesia melalui syariah bisa dijelaskan sebagai berikut:
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Moneter
Dalam perspektif teknis ekonomi maupun perspektif politik, banyak penjelasan yang bisa diberikan mengapa krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi bisa melanda Indonesia sejak 4 tahun lalu. Tapi dalam perspektif filosifis radikal, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri, sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Dengan kata lain, yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah sektor non riil atau moneter, yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik dan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dollar AS.
Dari pengalaman krisis, jelas terbukti bahwa bunga bank memang selalu akan memberikan tekanan kepada kegiatan ekonomi. Maka dengan sendirinya jelas pula bahwa sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah tidaknya, serta sehat tidaknya kegiatan ekonomi masyarakat. Riba memang akan selalu menjadi sumber labilitas ekonomi. Tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun suatu ketika tampak sehat, ia sesungguhnya sedang menuju ke satu titik kolaps setelah mencapai puncaknya dari sebuah siklus krisis ekonomi, dimana kemajuan ekonomi yang dialami terus menerus selama beberapa tahun akan berbalik dan terhenti. Maka dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al Qur'an menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan setan. Ketidakstabilan ini sering disebut dengan random walk, suatu istilah statistik yang mengambarkan langkah-langkah yang tidak berpola persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat (Arifin, 1999). Dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan dari Allah, diancam akan dimasukkan ke neraka. "Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata sesngguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" (Al Baqarah: 275-276).
Dan yang terpenting dari semua itu, adalah bahwa memperlakukan uang sebagai komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah dosa besar, yang dosanya menurut hadits lebih besar dari berzina dengan ibunya sendiri. Allah mengutuk orang yang terlibat dalam mekanisme keuangan ribawi. Ketentuan ini secara empiris bisa difahami, karena dijalankannya sistem ribawi akan membawa kehancuran seluruh tatanan ekonomi masyarakat secara luas seperti yang kini tengah terjadi. "Untuk riba ada 99 pintu dosa, yang paling rendah (derajatnya, seperti) seorang yang menzinahi ibunya" (HR Daruquthni). "Allah melaknat pemakan riba, yang memberi, saksi-saksinya dan penulisnya" (HR Bukhari dan Muslim)
Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan praktek ekonomi ribawi. Bila tidak, ancamannya di dunia dan akherat sungguh sangat pedih. "Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah" (Al Hadits)
Mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang paling penting adalah meluruskan pandangan yang keliru tentang uang tadi. Bila uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dibuat dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham dimana 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan oleh hanya sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar katakanlah menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar (misalnya bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti saat ini.
Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa -- bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat sehingga lapangan pekerjaan terbuka, pengangguran bisa ditekan, kesejahteraan masyarakat meningkat. Dan pada akhirnya, krisis sosial (kriminalitas, perceraian, stress pada masyarakat dan sebagainya) dapat dihindari. Semua itu berlangsung secara mantap (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi semu (buble growth) dalam sistem kapitalistik yang bersifat siklik itu (Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, 'Ilaju al Musykilah al-Iqtishodiyah bi al-Islam (Menanggulangi Krisis Ekonomi Dengan Islam)).
Dengan mata uang dinar dan dirham, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah juga tidak akan terjadi.
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang di samping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin. Di sinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'iy pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Sementara itu, dunia perbankan juga harus segera ditata. Mempertahankan keberadaan bank konvensional yang berbasis riba jelas merupakan kebijakan yang sangat patut dipertanyakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional. Akibat krisis itu, 16 bank dilikuidasi pemerintah, dan 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997. Sementara 13 bank diambil alih (BTO). Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada akhir Desember 2000. Jumlah bank swasta menciut dari 160 bank menjadi hanya 81 bank. Bank pemerintah dari 7 menjadi 5 (Kompas, 29 Juli 2001). Kondisi perbankan nasional saat ini, ibarat pasien, memang belum jadi mayat, tapi sudah terbaring koma di Unit Gawat Darurat, dan sewaktu-waktu bisa kritis lagi.
Bila bank diidealkan sebagai lokomotif penarik laju kegiatan usaha masyarakat, kini lokomotif itu justru harus didorong dan ditarik untuk bisa melaju dengan energi yang sangat besar. Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember 2000 pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 trilyun (Kompas, 29 Juli 2001). Jumlah itu sudah termasuk dana yang dikeluarkan pemerintah untuk penjaminan (blanket guarantee) atas simpanan pihak ketiga dan kreditor di bank-bank bermasalah. Rinciannya, untuk penjaminan pemerintah Rp 218 trilyun, kredit program Rp 10 trilyun, untuk rekapitalisasi bank-bank pemerintah Rp 283 trilyun, rekapitalisasi tujuh bank swasta Rp. 33 trilyun, rekapitalisasi bank yang diambilalih pemerintah (BTO) Rp 106 trilyun, rekapitalisasi bank-bank pembangunan daerah (BPD) Rp 1 trilyun serta obligasi untuk bank-bank non rekap Rp 9 trilyun.
Dengan obligasi yang dikeluarkan pemerintah senilai Rp 659 trilyun guna membiayai semua upaya penyehatan perbankan, membuat utang pemerintah meningkat tajam. Bila sebelum krisis hanya 55 milyar dollar AS, kini membengkak menjadi 77 milyar dollar AS (utang luar negeri) ditambah Rp 695 trilyun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir. Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10 - 25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi. Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja pemerintah harus mengeluarkan sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12,9 trilyun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 trilyun pada tahun 2007 dan Rp 138 trilyun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggung. Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 17,7 persen, naik dari sekitar 10 persen pada semester I 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan suku bunga sebesar satu persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah naik Rp 2,2 trilyun.
Sampai kapan pemerintah akan terus menerus mem-back-up bank-bank konvensional yang nyata-nyata memang telah demikian terpuruk, yang ibarat lokomotif tadi, jangankan untuk menghela gerbong panjang perekonomian nasional, untuk menarik tubuhnya sendiri saja rasanya berat sekali? Dan berapa banyak lagi uang yang harus digelontorkan untuk itu semua, sementara untuk sekadar menghemat dana subsidi BBM yang paling banyak berjumlah Rp 17 trilyun, pemerintah tega menaikkan harga BBM Rp 60 - Rp 440 di awal tahun ini yang dampaknya sangat memukul perekonomian masyarakat secara keseluruhan?
Bahwa dalam perekonomian modern seperti saat ini diperlukan lembaga intermediari yang menghubungkan antara unit ecsess of fund dengan unit lack of fund untuk berbagai kepentingan transaksi ekonomi, sudah sangat jelas. Masalahnya, lembaga intermediari seperti apa? Logikanya, sebagai intermediari, lembaga itu semestinya haruslah cukup kuat, stabil, dan yang paling penting tidak malah menimbulkan atau menambah problema karena ia hadir justru untuk membantu menyelesaikan problem. Apakah harus berupa bank dengan pola konvensional yang berbasis bunga seperti saat ini? Fakta empirik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan konvensional tidak memiliki karakter-karakter seperti yang disebut. Ia ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negative-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank berdarah-darah beberapa waktu lalu, jelas bukan karena faktor moral hazard semata, tapi yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive tadi. Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Dan bagaimana ekonomi akan berjalan baik bila bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil?
Oleh karena itu, demi tercapainya kondisi perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya secara lebih baik, pengelolaan lembaga keuangan sesuai prinsip-prinsip syariah semestinya bukan merupakan salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan. Sehingga dalam setiap regulasi, kebijakan pemerintah dan struktur bank sentral hanya tersedia satu pilihan: bank syariah. Artinya, bank syariah lah anak tunggal dunia perbankan Indonesia, menggantikan bank konvensional berbasis riba yang secara normatif jelas terlarang dan secara empirik seperti yang saat terjadi telah terbukti mempurukkan kita semua.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Mengapa? Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 - 8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Sistem pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat itu beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, diterapkan rezim Orde Baru. Saat itu pemerintah memang benar-benar sedang butuh duit untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya. Jelaslah, bahwa pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola minyak (Caltex, Arco dan sebagainya), emas (Freeport, Newmont dan sebagainya) atau barang tambang lainnya seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau perusahaan-perusahaan itu dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan hutan dan barang tambang serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini dilakukan jelas harus dihentikan.
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Abyadh bin Hamal diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat, "Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma'u al-'iddu)" Rasulullah kemudian bersabda: "Tariklah tambang tersebut darinya". Ma'u al-'iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Andai semua sumberdaya alam yang ada di Indonesia dikelola secara benar (amanah dan efisien) oleh negara niscaya kemakmuran akan melingkupi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang didapat bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, membiayai kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma serta berbagai keperluan lain. Indonesia tidak perlu berutang ke luar negeri, termasuk kepada IMF yang pada kenyataannya makin mempurukkan ekonomi Indonesia.
Bidang Pendidikan
Pendidikan yang materialistik -- sebagaimana terlihat pada Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Paradigmatiknya - adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh sesuai visi dan misi penciptaannya, yakni seorang abidu al-shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru. Dalam sistem kehidupan sekuleristik, asas penyelenggaraan pendidikan adalah juga sekuleristik. Sehingga menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari jika tujuan pendidikannya pun adalah juga buah dari paham sekuleristik tadi, yakni sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik. Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yaitu (1) kelemahan pada lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yang tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yang tidak kondusif .
Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Paradigmatiknya
Karena itu, penyelesaian problem pendidikan hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh melalui perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam. Dalam pendidikan Islam, aqidah Islam harus menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Pendidikan berasas aqidah Islam ini harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Sementara orientasi keluaran (output) dari pendidikan Islamnya tercermin dari keseimbang pada ketiga unsurnya, yakni: pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), penguasaan tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Dalam pendidikan yang sekuleristik ketiga unsur tersebut terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi (agama - non agama) dengan proporsi sangat tidak seimbang. Semestinya, ketiga unsur tersebut harus merupakan satu kesatuan yang utuh. Berbasis pada kondisi obyektif pendidikan saat ini, maka yang diperlukan adalah langkah optimasi pada muatan pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta mempertahankan atau meningkatkan muatan ilmu kehidupan dan keterampilan sebagaimana yang sudah ada sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, dimana ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing unsur tersebut belumlah berfungsi secara benar. Karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba dan sebagainya. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kelemahan strategi fungsional terjadi pada tiga unsur pendidikan, yaitu (1) faktor kelemahan lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum, tidak berfungsinya guru/dosen dan tidak berjalannya proses belajar mengajar serta tumbuhnya budaya lingkungan sekolah/kampus sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yang tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yang tidak kondusif .
Kacaunya kurikulum berawal dari asasnya yang sekuler, kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak lagi sebagai pendidik yang berfungsi mentransferkan ilmu pengetahuan berikut kepribadiannya (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushola) telah menumbuhkan budaya yang tidak memacu pada proses pembentukan kepribadian siswa/mahasiswa. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah/kampus itu menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang diidealkan.
Begitu pula halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga. Hal ini tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Kelemahan yang terjadi pada unsur masyarakat tampak dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik. Sementara -- sesuai dengan arahan Islam -- pendidikan seharusnya dapat mengkondisikan anak didik dalam pengaruh yang positif dari semua unsur pelaksana pendidikan.
Solusi strategi fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis, yakni:
Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang amanah dan kafaah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
*****
Syariah Membawa Rahmah Bagi Semua
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiya: 107)
Dalam surah al-Anbiya ayat 107 di atas ditegaskan bahwa Allah SWT mengutus Muhammad tidak lain kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. Artinya, syariat Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW bila diterapkan secara pasti akan memberikan kebaikan (rahmah) bagi semua.
1. Syariat Islam mengatur semua warga
Syariat Islam ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia sehingga memberikan kerahmatan bagi semua elemen masyarakat karena Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT untuk seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam saja. Nabi Muhammad SAW pun diutus Allah bukan hanya kepada umat Islam, melainkan kepada dan untuk seluruh manusia. Dengan demikian, anggapan bahwa penerapan syariah Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat. Syariah Islam jelas bisa dan pasti bisa diterapkan sekalipun dalam masyarakat heterogen, karena syariah Islam memang diturunkan untuk mengatur seluruh umat manusia.
Dalam masyarakat Islam, yakni masyarakat yang di dalamnya diterapkan syariah Islam, warga non-muslim tetap mendapatkan kebebasan dalam memilih agama yang akan dipeluknya karena memang Allah SWT tidak memaksa setiap orang untuk masuk Islam, sekaligus kebebasan untuk mengikuti ketentuan agama masing-masing sepanjang menyangkut masalah-masalah aqidah dan ibadah. Sementara menyangkut muamalah, baik masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, tanpa kecuali, seluruh anggota masyarakat, baik muslim maupun non muslim, semuanya harus tunduk pada syariah Islam. Syariah ditetapkan sebagai hukum yang mengatur interaksi antar seluruh komponen anggota masyarakat. Dengan cara itu, kebaikan syariah Islam akan dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariah, maka sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham misalnya, akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti dalam sistem ekonomi kapitalis yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya menghasilkan buble economy yang sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak mudah mendapat tekanan inflasi serta depresiasi. Atau ketentuan Islam bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang mineral lain adalah milik umum dan karenanya harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya diberikan kepada seluruh rakyat, baik secara langsung dalam bentuk barang yang murah atau tidak langsung melalui berbagi pelayanan yang diperlukan oleh rakyat seperti pendidikan dan kesehatan, akan membuat rakyat merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat seperti yang biasa terjadi dalam sistem kapitalis. Kebaikan dari sistem ekonomi seperti ini akan dirasakan oleh semua anggota masyarakat baik muslim maupun non muslim.
Sistem ekonomi yang ada sekarang ini, bukan saja tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu justru menciptakan masalah. Lebih dari tiga puluh tahun memimpin Indonesia, kapitalisme - terlepas dari para birokrat negeri ini yang juga bermental korup - membuat lebih dari 100 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan, lebih dari 40 juta pengangguran, jutaan anak-anak terpaksa putus sekolah, sementara utang negara makin menumpuk, pajak kian mencekik leher, beban hidup makin berat karena harga barang-barang terus merangkak naik, sementara subsidi untuk BBM dan listrik akan terus dikurangi. Semua akibat buruk tersebut menimpa seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim. Pertanyaannya, siapa yang merasa suka dengan sistem yang menghasilkan keburukan-keburukan seperti itu?
Begitu juga ketika Islam menetapkan sebuah sistem pendidikan bermutu yang tegak berlandaskan pada paradigma Islam dimana pendidikan diorientasikan pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah dan penguasaan sains teknologi, yang diselenggarakan tanpa biaya atau berbiaya murah, semua itu dapat dinikmati baik oleh warga muslim maupun non-muslim. Sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal dan tak jelas arahnya sekarang ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Siapa pun, muslim maupun non muslim, pasti tidak merasa nyaman dengan kondisi sistem pendidikan seperti ini.
Sementara, kemampuan sistem Islam menjaga keamanan, jiwa, harta dan kehormatan melalui penerapan hukuman (uqubat) Islam dimana para pelaku pencurian, perampokan termasuk koruptor, pezina, peminum minuman keras, pembunuh dan pelaku tindak asusila akan dihukum secara setimpal, akan membuat kriminalitas dan segala penyakit sosial akan turun drastis atau dapat ditekan seminimal mungkin. Semua kebaikan ini tentu akan dapat dinikmati oleh baik oleh muslim dan non muslim, termasuk para pelaku tindak kejahatan karena hukuman (uqubat) di dunia akan menjadi tebusan (kafarat) bagi hukuman di akherat yang jauh lebih berat. Kebaikan seperti itu tidak mungkin dimiliki oleh sistem hukum sekuler. Hukuman yang ada bahkan terbukti telah gagal melindungi warga masyarakat. Akibatnya, nyawa mudah sekali melayang, harta dan kehormatan dapat sewaktu-waktu terancam, kriminalitas meningkat dimana-mana, pornografi, pelacuran dan penyalahgunaan narkoba menjadi menu sehari-hari. Siapa yang merasa nyaman hidup dalam suasana seperti itu?
Kapitalisme, di satu sisi memang menghasilkan kemajuan material lebih dari yang bisa diberikan oleh sosialisme, tapi di sisi lain sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan dengan hakikat eksistensi hidup manusia di dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik dan proses dehumanisasi. Kehidupan materialistik adalah kehidupan yang hanya diorientasikan kepada pencapaian materi belaka. Ketika untuk mencapai perolehan materi manusia tidak lagi mengindahkan ketentuan halal dan haram, bahkan rela menempuh segala cara meski itu merendahkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia, terjadilah proses dehumanisasi atau proses penidakmanusiaan manusia. Manusia telah menjadi penghamba uang. Uang telah menjadi tuhan baru menggantikan Rabb yang semestinya disembah. Dengan prinsip survival of the fittest dimana the might is right membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tersingkir. Maka, kesenjangan ekonomi yang demikian lebar di tengah masyarakat adalah akibat logis belaka dari sistem kapitalisme.
Syariah Islam akan menghentikan itu semua. Kemajuan material tidak dihalangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan dalam sistem yang sesuai dengan syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasan spiritual tak terabaikan dan keadilan sosial bisa diujudkan. Manusia akan tumbuh menjadi makhluk yang mengabdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir dan batin, baik secara individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah tetap bisa diujudkan di tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai dengan syariah.
2. Syariah Melindungi Warga Non-Muslim
Dalam sejarah peradaban Islam, bisa dikatakan tidak pernah penerapan syariah dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim. Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di dalamnya warga non-muslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk aqidah Islam. Maka, sekalipun dalam masyarakat Islam seperti saat Rasulullah memimpin di Madinah atau ketika Islam telah berkembang sampai ke Irak atau Mesir, hidup dengan damai di tengah-tengah masyarakat Islam, warga non-muslim sebagai ahl-dzimmah dimana harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. Siapa saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai kehormatannya akan dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam hal ini, ahl-dzimmah diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak memiliki ketentuan yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga non-muslim dan perilaku orang-orang Islam katakanlah seperti serdadu Serbia yang membantai secara sadis warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang beragama Kristen dan Deputi PM Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen, karena nenek moyangnya keburu habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam disebut Espanol in Three Religions, karena di samping Islam yang berkuasa, hidup damai dan sentausa warga beragama Yahudi dan Nashrani. Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah justru sebaliknya, pengusiran warga muslim oleh mayoritas non-muslim dimana-mana, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.
Masyhur akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam dalam melindungi warga non-muslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke berbagai wilayah yang semula penduduknya non-muslim. Amr bin Ash ketika menaklukkan Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dielu-elukan di kanan kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia. Mengapa penduduk suku Koptik yang beragama Kristen justru membantu Amr bin Ash, panglima pasukan Islam, melawan penguasa Romawi yang juga beragama Kristen, dan mengapa pula penduduk Polandia yang non-muslim justru menyambut hangat kedatangan pasukan Islam? Jadi, bagaimana mungkin kini berkembang kekhawatiran bahwa bila syariah Islam diterapkan warga non-muslim akan hidup tertindas? Tuduhan ini jelas bertentangan dengan realitas ajaran Islam itu sendiri dan fakta sejarah di masa lampau.
3. Syariah Membentuk Masyarakat Modern yang Beradab
Tuduhan bahwa penerapan syariah Islam akan membawa masyarakat kepada kehidupan masa lampau yang terbelakang, juga sepenuhnya salah. Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islamlah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luarbiasa bagi kemajuan Barat.
Islam melalui syariahnya bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariah. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya. Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai obyek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan pernikahan atau "pernikahan" tapi antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Lalu apa bedanya dengan hewan? Bahkan hewan masih lebih baik, karena sejauh ini tidak ditemukan adanya gejala lesbianisme atau homoseksualisme di kalangan binatang yang paling jorok sekalipun. Apakah sebuah kemodernan, membiarkan sistem ekonomi berkembang liar dimana pemilik modal tak ubahnya seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariah dalam proses modernisasi masyarakat.
Syariah akan menata kehidupan manusia dalam pemenuhan gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmaninya secara tepat. Dengan syariah, manusia dituntun untuk menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur perbuatan. Mengenal yang baik dan yang buruk, bahwa yang baik adalah yang dinyatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah yang dinyatakan buruk oleh syariah. Sehingga, di tengah-tengah kemodernan berkat kemajuan teknologi, manusia dapat hidup dengan penuh ketertiban, penghormatan terhadap nilai-nilai kesucian, penjagaan terhadap martabat tinggi yang telah ditetapkan Allah SWT untuk manusia, yang diletakkan dalam misi pengabdian sepenuhnya kepada-Nya.
*****
Sikap Terhadap Syariah
Menghadapi seruan penerapan syariat Islam, diakui tidak semua umat Islam di Indonesia mendukung. Ada yang tak acuh, ada pula yang bahkan menentang. Dengan berbagai alasan, kelompok yang menentang ini pada intinya tidak setuju syariat Islam diterapkan di Indonesia. Menurut mereka, syariat Islam hanyalah untuk umat Islam dan itupun hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang homogen dimana semua rakyatnya beragama Islam. Mereka juga beralasan, bila syariat Islam diterapkan, warga non-muslim akan hidup tertindas. Dan lagi, menurut mereka penerapan syariat Islam akan membawa kemunduran masyarakat. Modernisasi akan terhenti, dan masyarakat akan kembali hidup seperti layaknya masyarakat terbelakang.
Sikap tak acuh apalagi menentang seruan penerapan syariah tentu sangat tidak layak ditunjukkan oleh seorang muslim. Semua argumen yang dikemukakan oleh orang-orang yang menentang sangatlah tidak tepat. Syariat Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Justru dengan syariah, kebebasan beragama dan beribadah bagi warga non-muslim akan lebih terjamin. Bukan hanya itu, jiwa, harta dan kehormatan mereka juga akan terlindungi. Pendek kata, syariat Islam akan memberikan kebaikan bagi semua manusia yang hidup di bawah naungannya. Syariah juga sama sekali tidak akan menghalangi modernisasi. Justru dengan syariah, modernisasi akan berkembang lebih terarah. Dengan syariah akan tercipta masyarakat modern yang beradab sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Jadi, tidak ada alasan sedikitpun untuk menentang syariah. Apalagi bila itu dilakukan oleh seorang muslim. Seseorang yang mengaku dirinya muslim harus menjadi muslim secara keseluruhannya (kaaffah) "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu" (al-Baqarah 208)
Ia juga harus menyadari bahwa keimanannya kepada Allah SWT bukan sekadar bermakna percaya akan adanya Allah tapi harus disertai ketundukan pada segenap aturan-aturan-Nya. Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Adil. Allah adalah dzat yang Maha Mengetahui mana yang benar dan salah, apa yang baik dan apa yang tidak baik, mana yang menghasilkan maslahat, mana yang membawa mudharat. Hukum Allah bersifat abadi dan senantiasa cocok untuk diterapkan pada setiap masa dan tempat. Allah lah yang menciptakan seluruh manusia, maka Dialah yang Maha Mengetahui tabiat manusia dan bagaimana menata kehidupan manusia sebagai pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat. Dengan kata lain, keterikatannya pada syariah merupakan konsekuensi dari keimanannya kepada Allah SWT. Maka, pantas dipertanyakan kemusliman orang yang menolak syariah. Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan atas putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (An-Nisa' [4]: 65).
Sikap yang semestinya ditunjukkan oleh seorang muslim terhadap syariah adalah tunduk, sebagaimana disebut dalam surah An-Nuur ayat 51: "sesungguhnya perkataan orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum diantara mereka ialah ucapan "Kami mendengar dan kami patuh" Merekalah orang-orang yang beruntung"
Maka sesungguhnya tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan, ketika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan syariah sebagai aturan, mereka mencampakkan syariah dan mencari aturan lain. "Dan tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata" (al-Ahzab 36)
Dengan ketundukan itu, seorang muslim yang baik dengan penuh keikhlasan akan melaksanakan semua syariah, sebagaimana firman Allah, "Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (al-Hasyr: 7).
Orang yang menolak syariah, masih pantaskah ia menghirup oksigen yang diciptakan Allah, masih pantaskah ia memakan rizki Allah, masih pantaskah ia tinggal di bumi Allah, dan masih pantaskah ia hidup dari nyawa yang diberikan Allah? Jadi, sungguh tidak ada alasan untuk menolak syariah.
Sementara, tanpa syariat Islam bisakah kita berharap munculnya tatanan kehidupan yang lebih baik? Atau bisakah kita berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat? Bila tidak, mengapa kita masih suka berlama-lama hidup tanpa syariah seperti sekarang? Satu sisi kita mengeluh: hidup makin susah dan makin tidak aman, harga apa-apa naik, kemaksiyatan merajalela, pornografi mudah dijumpai, remaja makin brutal, birokrat makin tidak bisa diharap, tapi di sisi lain mengapa kita mendiamkan begitu saja syariat Islam yang kita yakini pasti bisa menyelesaikan semua masalah dan mengatur kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya, teronggok bagai barang antik tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata? Itu sama saja dengan seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tapi obat di tangan hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?
Wallahu'alam bi al-shawab
----- Original Message -----
From: "abdul" <latifabdul777@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Wednesday, June 29, 2011 8:52 PM
Subject: [wanita-muslimah] Re: HTI affirms it's a political party
sunny------------Kalau HTI menjadikan agama sebagai
idelogi politiknya.Kalau HTIsempat berkuasa nantinya
pasti akan terjadi penindasan2 dan pelarangan
HAM.Demokrasi,Secular dan hak kemerdekaan berexpessi dan beragama.
Ideology HTI ini harus kita perangi dgn Ideologi pulan bersama sama sebelum terlambat.
HT itu menggunakan pem demokrasi utk mengancurkan Demokrasi
dan kemerdekaan.
HTI akan menegakan SYariat Islam jahiliah, primtif, kejam dan
tdk kenal kasih sayang dan anti Amerika.
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment