Menciptakan Kedamaian dalam Perbedaan |
Jumat, 27 January 2012 06:01 |
Ahmad Gelora Mahardika Peneliti Politik Identitas dan Multikulturalisme Universitas Gadjah Mada INDONESIA muncul karena adanya sinergisitas dalam perbedaan. Negara ini lahir dari semangat reformasi: dari kolonialisasi menuju kemerdekaan; dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Namun, setelah merdeka, kita masih menjumpai kolonialisasi yang berlatar belakang perbedaan. Kita temukan dua unsur berseberangan di segala aspek. Di bidang politik kita kenal Jawa dan non-Jawa, di bidang hukum kita kenal kaum kebal hukum dan rentan hukum, dan di bidang sosial kita kenal mayoritas dan minoritas. Indonesia yang dihuni berbagai suku, agama, ras, dan adat istiadat membuat kita ditakdirkan hidup dalam perbedaan. Multikulturalisme sejatinya bertujuan saling bekerja sama dan mengakui kesederajatan. Kasus GKI Yasmin di Bogor, misalnya. Bagaimana mungkin keputusan Makhamah Agung (MA) bisa dibatalkan keputusan wali kota? Dari aspek hukum, wali kota jelas melakukan pelanggaran berat. Religiositas Kasus GKI Yasmin tak bisa dilihat sepotong demi sepotong. Kasus ini juga tidak bisa ditinjau dari aspek hukum semata. Ada sejumlah aspek yang menjadi latar belakang melebarnya kasus GKI Yasmin ini hingga berujung pada konflik antara masyarakat sekitar dan jemaat GKI Yasmin. Dalam kacamata sosial, terlihat jelas masyarakat masih tenggelam dalam fanatisme kelompok. Sebagaimana kita ketahui, religiositas masyarakat masih terbatas pada tataran formal, bukan substantif. Kita diajarkan untuk mencintai sesuatu dengan cara membenci yang lain. Hal itulah yang pada dasarnya telah menciptakan identitas semu. Perbedaan agama sejatinya tidak fundamental karena semua mengajarkan kasih sayang. Dalam kacamata ekonomi, kasus ini juga merupakan gambaran tersirat bahwa ada kesenjangan ekonomi antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Sebagaimana kita ketahui penguasaan besar ekonomi justru dipegang kaum minoritas, yang kebetulan juga mempunyai keyakinan minoritas. Hal itu menimbulkan stigma negatif dan mempunyai potensi konflik tinggi. Berbeda dengan kaum mayoritas. Walaupun beberapa dari golongan ini telah mencapai taraf hidup yang mapan, sebagian besar masih berkutat dengan persoalan perut. Kesenjangan yang terstruktur inilah yang berpotensi menciptakan konflik horizontal. Terkait dengan persoalan hukumnya, seharusnya tak perlu diperdebatkan lagi. Wali kota wajib menjalankan amanat MA dan karena sifat hukum adalah positif dan harus dieksekusi pihak terkait. Solusi Kedamaian Dalam kondisi pelik seperti ini harus ada pihak yang mengalah agar tercipta kedamaian. Aspek hukum bukan solusi yang bisa menyelesaikan problema ini. Karena terbukti sampai tahap kasasi di MA, wali kota Bogor tetap tidak bersedia memberikan IMB untuk GKI Yasmin. Kita harus kembali melihat sejarah bangsa kita yang terlahir dalam perbedaan. Melihat perbedaan bukan sebagai rintangan, melainkan sebagai tahapan baru menuju sesuatu yang lebih baik. Wali Kota Bogor tetap keukeuh menolak memberikan IMB. Kita harus menghargai sikap tersebut sebagai konsistensi memperjuangkan keyakinan pribadinya. Sikap masyarakat sekitar yang tetap menolak kehadiran GKI Yasmin juga harus tetap dihormati. Akan tetapi, sikap teguh jemaat GKI Yasmin yang tetap ingin beribadah di tempat tersebut juga harus kita hormati. Dalam kondisi seperti ini harus ada salah satu pihak yang mengalah demi kebaikan bersama. MA sendiri secara tersirat menghendaki agar semua pihak menjalankan putusan MA. DPR juga mengharapkan ada solusi bersama untuk mengatasi permasalahan pelik ini. Pemerintah Pusat selaku eksekutor kebijakan tertinggi harus mengambil sikap tegas untuk mengatasi problema ini. Presiden bisa menunjuk orang yang dihormati kedua pihak sebagai mediator untuk mengurangi ketegangan. Sebagaimana pada era Presiden Megawati, beliau menunjuk Jusuf Kalla untuk menengahi konflik Poso. Jemaat GKI Yasmin bisa menerima klausul pemindahan area gereja ke tempat yang tak terlalu jauh dari lokasi awal. Mengalah demi persaudaraan dan kasih sayang tentu akan memunculkan simpati. Kasus GKI Yasmin merupakan bukti konkret bahwa ada sebagaian kecil masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan: merdeka untuk beribadah dan berkeyakinan. Bentuk kolonialisme yang kini kita alami tidak bisa kita atasi seperti cara-cara klasik lewat kekerasan. Sebagaimana filosofi kuno, banyak jalan menuju Roma. Sebagaimana pula kasus GKI Yasmin, banyak jalan menuju perdamaian. (*) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment