Kaum Marginal di Bedeng Ancol (2)
Seharum Bunga Samboja di Tanah Merah
SEBELUMNYA diceritakan bahwa Abah, yang sudah sekian tahun sakit struk itu, adalah seorang sukarelawan yang idealis serta banyak jasanya dalam membina penghuni bedeng. Berhasil merubah nasib kaum gelandangan menjadi sedikit lebih baik. Tapi Abah tak peduli kalau ia kemudian dilupakan orang. Abah sadar kalau ia hanya sukarelawan yang tak pantas dapat imbalan apapun. Berikut kisah selanjutnya sebagaimana ditulis Denny Kurniadi.
BLAK! Daun pintu terbuat dari lembaran kayu albasiah terbuka lebar. Satu lagi pemuda muncul yang tak lain adalah Yayat, kakak Agus. Terlihat ada darah menetes di keningnya. Lalu ia meneguk air putih dengan hausnya. Tertawa kecil. Emak, istri Abah, membalasnya dengan senyuman lembut.
"Sampai kapan cucuku harus pulang dengan darah menetes seperti ini? Kemarin-kemarin di perut, lalu di tangan. Sekarang sudah naik di kening. Jangan-jangan besok malah di jantung," ujar Emak.
Tangannya meraih handuk basah buat menyeka tetesan darah cucunya itu. Pemuda itu tersenyum. "Anak muda, Mak," ujar Yayat.
"Tidak semua anak muda harus selalu berantem, 'kan," sahut Emak seraya menyodorkan nasi sepiring yang hanya dikelilingi tahu goreng dan ikan asin. Pemuda itu pun makan dengan lahapnya.
"Apa sih yang diributkan hingga harus jotos-jotosan begitu?" kata Emak seusai cucunya makan.
"Harga diri, Mak," jawab pemuda itu. Asap rokok keluar dari lubang hidungnya.
"Maksudnya?"
"Anak-anak bedeng selalu jadi hinaan orang. Anak gelandanganlah, generasi madesulah, generasi copetlah, macam-macam."
"Terus marah?" kata Emak.
"Tentu. Kalau tidak marah malah terus dihina, Mak,"
"Dengan marah pun kita akan tetap dihina orang." Emak bangkit dari duduknya, menghampiri Abah yang memanggilnya minta air minum.
"Anak-anak bedeng harus punya harga diri, meskipun benar miskin tapi tidak pantas untuk dihina."
"Terus anak-anak bedeng tiap hari harus berkelahi karena mempertahankan harga diri?"
"Kalau perlu, ya! Apa boleh buat."
Emak geleng-geleng kepala. Ia merebahkan tubuhnya di atas risbang kayu tak berkasur. Malam semakin larut, tapi dua pemuda itu belum meranjak dari duduknya. Entah berapa batang rokok yang diisap. Pandangannya tertuju pada langit-langit bedeng yang juga terbuat dari bilik bambu, rapuh.
"Apa lagi yang kamu lamunkan, masih ingin berantem?" Emak tersenyum lebar.
"Bukan, Mak, Aku hanya rindu Amih," ujar pemuda itu.
Persis dengan apa yang dirasakan Emak. Ada kegelisahan yang menyeruak dalam batin dua pemuda itu. Baginya, Amih adalah sosok ibu yang tegar. Ibu yang mampu membagi kasih sayang terhadap sebelas anaknya. Plus ibu yang setia mendampingi suaminya meskipun batinnya terkoyak.
Emak bangkit menuju dapur. Tak lama kemudian kedua tangannya membawa dua gelas air kopi panas. Lalu duduk di korsi dekat pemuda itu. Dua gelas kopi tadi disimpan di meja kayu. Namun, tiba-tiba jatuh dan terpecah. Emak menatap tajam pecahan gelas itu.
"Berangkatlah cucuku! Temui ibumu sekarang juga!" suara Emak begitu berat.
"Kenapa harus sekarang?" tanya dua pemuda itu.
Emak tak menjawab, kecuali menatap wajah-wajah di hadapannya. Batinnya menjerit. Gelas yang tiba-tiba pecah itu bagi Emak adalah pertanda buruk. Emak lalu terdiam menikmati gemuruhnya air Cikapundung. Pun begitu dengan dua pemuda itu. Membisu. Mereka tahu apa yang ada dalam batin Emak, termasuk mengartikan gelas yang jatuh lalu pecah di lantai tanah itu. Keesokan harinya mereka pamit menemui Amih di Bandung Selatan. Emak hanya berpesan kalau ada apa-apa segera beritahu Emak.
Sang bunda berpulang
Senja teramat cerah menyinari tebaran bunga kemboja di tanah merah. Harumnya begitu wangi. Seharum jasad Amih yang berpulang selepas asar. Banyak kata yang terucap dari bibir anak-anaknya. Kata-kata pelepasan teriring doa tulus semoga ia ditempatkan di sebuah istana yang indah.
"Pergilah bundaku tersayang dengan senyuman manismu sebagaimana yang selalu engkau perlihatkan di hadapan kami. Kami rela melepasmu kalau memang itu yang terbaik buatmu. Tersenyumlah selalu bundaku biar kami tetap semangat menatap hari-hari tanpa belaian kasih sayangmu. Kami yakin, Allah SWT juga sangat menyayangimu".
Derai air mata mengiringi kepergian sang bunda. Seperti juga Emak dan dua pemuda itu. Tapi mereka berusaha tegar tak mau larut dalam kesedihan. Dan titian waktu terus berjalan, seperti langkah-langkah kaki dua pemuda itu. Langkah yang tak berarah. Langkah yang gelap menggapai masa depan. Di sudut sana adik-adik menangis terhunus telunjuk seorang perempuan yang ayah nikahi. Perempuan yang dulu merampas hasrat cinta ayah terhadap mendiang Amih.
Biarlah itu urusan mereka. Kedua pemuda itu sepakat untuk membesarkan tiga adiknya yang masih kecil-kecil, meski mereka sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup. Emak satu-satunya perempuan yang masih meneteskan kasih sayangnya tentu tak akan mampu menjadikan mereka orang.
"Sampai kapan cucuku harus pulang dengan darah menetes seperti ini? Kemarin-kemarin di perut, lalu di tangan. Sekarang sudah naik di kening. Jangan-jangan besok malah di jantung," ujar Emak.
Tangannya meraih handuk basah buat menyeka tetesan darah cucunya itu. Pemuda itu tersenyum. "Anak muda, Mak," ujar Yayat.
"Tidak semua anak muda harus selalu berantem, 'kan," sahut Emak seraya menyodorkan nasi sepiring yang hanya dikelilingi tahu goreng dan ikan asin. Pemuda itu pun makan dengan lahapnya.
"Apa sih yang diributkan hingga harus jotos-jotosan begitu?" kata Emak seusai cucunya makan.
"Harga diri, Mak," jawab pemuda itu. Asap rokok keluar dari lubang hidungnya.
"Maksudnya?"
"Anak-anak bedeng selalu jadi hinaan orang. Anak gelandanganlah, generasi madesulah, generasi copetlah, macam-macam."
"Terus marah?" kata Emak.
"Tentu. Kalau tidak marah malah terus dihina, Mak,"
"Dengan marah pun kita akan tetap dihina orang." Emak bangkit dari duduknya, menghampiri Abah yang memanggilnya minta air minum.
"Anak-anak bedeng harus punya harga diri, meskipun benar miskin tapi tidak pantas untuk dihina."
"Terus anak-anak bedeng tiap hari harus berkelahi karena mempertahankan harga diri?"
"Kalau perlu, ya! Apa boleh buat."
Emak geleng-geleng kepala. Ia merebahkan tubuhnya di atas risbang kayu tak berkasur. Malam semakin larut, tapi dua pemuda itu belum meranjak dari duduknya. Entah berapa batang rokok yang diisap. Pandangannya tertuju pada langit-langit bedeng yang juga terbuat dari bilik bambu, rapuh.
"Apa lagi yang kamu lamunkan, masih ingin berantem?" Emak tersenyum lebar.
"Bukan, Mak, Aku hanya rindu Amih," ujar pemuda itu.
Persis dengan apa yang dirasakan Emak. Ada kegelisahan yang menyeruak dalam batin dua pemuda itu. Baginya, Amih adalah sosok ibu yang tegar. Ibu yang mampu membagi kasih sayang terhadap sebelas anaknya. Plus ibu yang setia mendampingi suaminya meskipun batinnya terkoyak.
Emak bangkit menuju dapur. Tak lama kemudian kedua tangannya membawa dua gelas air kopi panas. Lalu duduk di korsi dekat pemuda itu. Dua gelas kopi tadi disimpan di meja kayu. Namun, tiba-tiba jatuh dan terpecah. Emak menatap tajam pecahan gelas itu.
"Berangkatlah cucuku! Temui ibumu sekarang juga!" suara Emak begitu berat.
"Kenapa harus sekarang?" tanya dua pemuda itu.
Emak tak menjawab, kecuali menatap wajah-wajah di hadapannya. Batinnya menjerit. Gelas yang tiba-tiba pecah itu bagi Emak adalah pertanda buruk. Emak lalu terdiam menikmati gemuruhnya air Cikapundung. Pun begitu dengan dua pemuda itu. Membisu. Mereka tahu apa yang ada dalam batin Emak, termasuk mengartikan gelas yang jatuh lalu pecah di lantai tanah itu. Keesokan harinya mereka pamit menemui Amih di Bandung Selatan. Emak hanya berpesan kalau ada apa-apa segera beritahu Emak.
Sang bunda berpulang
Senja teramat cerah menyinari tebaran bunga kemboja di tanah merah. Harumnya begitu wangi. Seharum jasad Amih yang berpulang selepas asar. Banyak kata yang terucap dari bibir anak-anaknya. Kata-kata pelepasan teriring doa tulus semoga ia ditempatkan di sebuah istana yang indah.
"Pergilah bundaku tersayang dengan senyuman manismu sebagaimana yang selalu engkau perlihatkan di hadapan kami. Kami rela melepasmu kalau memang itu yang terbaik buatmu. Tersenyumlah selalu bundaku biar kami tetap semangat menatap hari-hari tanpa belaian kasih sayangmu. Kami yakin, Allah SWT juga sangat menyayangimu".
Derai air mata mengiringi kepergian sang bunda. Seperti juga Emak dan dua pemuda itu. Tapi mereka berusaha tegar tak mau larut dalam kesedihan. Dan titian waktu terus berjalan, seperti langkah-langkah kaki dua pemuda itu. Langkah yang tak berarah. Langkah yang gelap menggapai masa depan. Di sudut sana adik-adik menangis terhunus telunjuk seorang perempuan yang ayah nikahi. Perempuan yang dulu merampas hasrat cinta ayah terhadap mendiang Amih.
Biarlah itu urusan mereka. Kedua pemuda itu sepakat untuk membesarkan tiga adiknya yang masih kecil-kecil, meski mereka sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup. Emak satu-satunya perempuan yang masih meneteskan kasih sayangnya tentu tak akan mampu menjadikan mereka orang.
(bersambung)**
--
bantu kami dengan bergabung dan daftarkan diri anda di sini
__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment