Advertising

Wednesday 6 June 2012

[wanita-muslimah] Menyoal Kerusakan Hutan

 

 
Opini - Hari ini Pkl. 00:01 WIB
Oleh : Jhon Rivel Purba.
 
Tiga kata yang bisa menggambarkan pengelolaan hutan di Indonesia sejak orde baru (1966) hingga sekarang adalah kata: rasuk, rakus, dan rusak. Penguasa dirasuki oleh roh kapitalisme sehingga pemilik modal (kapitalis) yang rakus bisa melahap sumber daya alam khususnya hutan di negeri ini. Pada akhirnya terjadi kerusakan hutan yang meningkat setiap tahunnya.
Berbagai produk perundang-undangan dan kebijakan sejak masa rezim orde baru didasarkan pada semangat kapitalisme (industrialisasi) dengan tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Lahirlah Undang-undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-undang No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan (UUPK), yang membuka pintu masuk bagi arus modal asing.

Hak pengusahaan hutan (HPH) pun diberikan kepada pihak swasta (asing dan dalam negeri) melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970. Sejak itu, terjadi eksploitasi hutan secara besar-besaran. Hutan negara dijual. "Penjualan hutan" ini menyumbang pendapatan nasional yang sangat tinggi. Ditambah lagi hasil dari ekspor kayu. Sehingga wajar pertumbuhan ekonomi pada era 1980-an sangat tinggi, namun tidak sejajar dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Justru dengan mengatasnamakan pembangunan, pemerintah menjual tanah/hutan yang secara adat dilindungi masyarakat kepada pemilik modal. Pada gilirannya, kondisi ini menjadi pemicu pecahnya konflik antara rakyat dengan pihak perusahaan maupun dengan negara itu sendiri, yang terjadi hingga kini. Tahun 2011 saja terjadi 36 kasus konflik pertanahan dalam sektor kehutanan.

Eksploitasi hutan secara massif melalui illegal loging dan pembalakan liar, konversi lahan dari kawasan hutan alam menjadi kawasan hutan tanaman industri, perkebunan (khususnya sawit), dan pertambangan, dan penyalahgunaan HPH, telah menyebabkan kerusakan hutan yang maha dahsyat. Lebih dari 1 juta hektar hutan rusak setiap tahunnya. Sementara kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun. Dari 133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia, sekitar 21 persen (26 juta hektar) telah musnah, alias tidak memiliki pohon lagi.

Kerusakan hutan yang disebabkan oleh kerakusan manusia (pengusaha) yang difasilitasi oleh negara (penguasa) ini telah menyebabkan banyak persoalan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Persoalan bencana alam (banjir dan tanah longsor), punahnya flora dan fauna, rusaknya sistem irigasi penduduk, dan pemanasan global, merupakan buah dari kerusakan hutan. Selain itu, kerusakan hutan ini menyebabkan masyarakat adat kehilangan sumber-sumber ekonomi dimana tadinya mereka bergantung pada hasil hutan, memudahkan terjadinya konflik horizontal, dan berbagai persoalan lainnya.

Ketika hutan-hutan disulap menjadi perkebunan sawit bahkan lahan pertanian pangan diganti menjadi areal komoditas komersial, maka yang terjadi adalah krisis pangan. Ujung-ujungnya pemerintah mengimpor pangan (beras) dari negara luar. Alasan yang seringkali diutarakan dalam menyikapi menurunnya produk pangan dalam negeri adalah karena gagal panen. Padahal gagal panen juga tidak bisa dipisahkan dari kerusakan hutan.

Pada April 2008, ketika saya menaiki bus Medan Jaya dari Medan menuju Jakarta, dari balik kaca terlihat hutan-hutan yang sudah ditebangi dan kemudian sudah ditumbuhi sawit-sawit kecil. Lebih separuh dari perjalanan yang memakan waktu dua hari tersebut (Medan-Lampung), terlihat perkebunan sawit terhampar luas khususnya di daerah Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Dalam perjalanan itu juga, terlihat truk-truk mengangkut kayu. Sehingga masuk akal ketika ratusan ribu hektar hutan di Sumatera itu rusak setiap tahunnya.

Apakah pembukaan perkebunan dengan merusak hutan tersebut mampu meningkatkan taraf hidup rakyat? Ternyata tidak. Toh, rakyat hanya dijadikan sebagai buruh-buruh di perkebunan dengan sistem kerja yang berat dan upah yang murah. Buruh-buruh tersebut tidak mendapatkan kesejahteraan. Mereka tidak bisa menguliahkan anak-anaknya, sehingga anak-anak mereka tetap menjadi buruh nantinya. Regenerasi buruh.

Sialnya, pemerintah selalu gencar mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan dalih mengurangi pengangguran dan kemiskinan, pemerintah berupaya meyakinkan semua pihak. Namun apa yang terjadi? Selain merusak lingkungan (hutan), industrialisasi tersebut justru semakin memenjarakan rakyat dalam kemiskinan. Dalam jangka panjang, ini akan menjadi persoalan yang parah.

Bagaimana mungkin pemerintah bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat jika tidak mengetahui realitas di lapangan, tidak mau dan mampu membuat terobosan-terobosan yang berciri kerakyatan. Omong kosong membicarakan kesejahteraan rakyat dengan memakai kaca mata kapitalis di gedung-gedung mewah atau di hotel bintang lima. Yang selau diuntungkan hanyalah pemilik modal, dan juga pejabat-pejabat yang mendapat recehan-recehannya pemilik modal. Akhirnya, hutan pun dijual.

Parahnya, sistem pendidikan kita juga berorientasi pada pasar. Dimana kaum-kaum terdidik diarahkan menjadi robot-robot yang siap bekerja di industri-industri. Akhirnya lulusan-lulusan perguruan tinggi diserap oleh perusahaan-perusahaan seperti perkebunan dan pertambangan yang merusak hutan. Lulusan-lulusan perguruan tinggi inilah yang menjadi akuntan, pengawas, staf, dan sebagainya di perusahaan yang merusak hutan dan juga memeras keringat buruh. Artinya, produk dari pendidikan kita justru melanggengkan kerusakan hutan dan penindasan terhadap buruh. Mengerikan.

Tahun lalu, Presiden SBY menandatangani Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Namun, di lapangan, pembabatan hutan primer dan pemberian izin usaha tambang di hutan tetap berjalan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pemerintah belum memiliki keseriusan dalam menyelamatkan hutan di Tanah Air. Kepentingan ekonomi sesaat (tunduk pada arus modal) masih menutupi kepentingan jangka panjang.

Negara-negara maju (industri) pun tampak bermuka dua. Di satu sisi mereka selalu gencar menyuarakan penyelamatan dunia dari pemanasan global, termasuk dengan mendukung Indonesia dalam memperbaiki kerusakan hutan. Tapi di sisi lain, mereka tak mau mengurangi emisi di negaranya dan juga membatasi kepentingannya menguras kekayaan alam Indonesia. Lantas posisi Indonesia bagaimana? Semoga tidak (terus-terusan) menjadi boneka negaru maju dan pemilik modal.

Jika pengelolaan aset negara (hutan) ini terus diserahkan pada pasar, maka akan terjadi kerusakan yang akan lebih parah lagi. Persoalan-persoalan lain pun akan beranak-pinak yang pada akhirnya membawa dampak buruk bagi kehidupan. Sebab hutan bukan hanya sebagai paru-paru dunia, tetapi juga jantung bagi masyarakat (adat). Oleh sebab itu, "penjualan" dan pengrusakan hutan harus dihentikan. Ini tanggung jawab bersama demi kehidupan yang lebih baik. ***

Penulis adalah mahasiswa S-2 ilmu sejarah UGM, dan aktif di KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial).
Baca Juga Artikel Berita Terkait
Senin, 28 Mei 2012 01:02 WIB
Minggu, 27 Mei 2012 06:48 WIB

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment