Pledoi Mohammad Munir (1) Disebarluaskan oleh rdk.karawang@brd.de, munindo@brd.de ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ MEMBELA KEMERDEKAAN, DEMOKRASI DAN KEADILAN Pendahuluan Sdr. Hakim Ketua, Mahkamah Pengadilan Yth., Pada detik-detik seperti sekarang ini, berdiri didepan meja hijau, mengucapkan suatu pledoi, sungguh bukan keadaan biasa, sebaliknya keadaan luarbiasa. Siapakah orangnya yang tidak ber-detak2 jantungnya dan tidak merasa prihatin menghadapi sidang Pengadilan dalam keadaan seperti sekarang ini? Demikian pula diri saya diliputi oleh perasaan prihatin yang teramat mendalam. Betapa tidak sdr2! Perkara semacam ini sudah memasuki tahun ke-8 sejak peristiwa Gerakan 30 September. Konon kabarnya selama ini baru kurang lebih 250 orang yang sudah diadili dari sebanyak 4 @ 5.000 orang yang termasuk golongan A yang direncanakan akan diadili pula. Entah berapa puluh tahun lagi pengadilan seperti ini akan berlangsung: Hanya dengan perubahan situasi politiksaja „pekerjaan rutine" seperti ini bisa dihentikan. Dan perubahan situasi politik itu bakal datang, laksana matahari yang akan terbit esok hari. Sungguh prihatin karena sidang2 pengadilan seperti ini berlangsung dalam situasi politik anti Komunis dimana PKI dan ormas2 revolusioner termasuk organisasi kaum buruh Indonesia, SOBSI, serta ajaran Marxisme-Leninisme dilarang ditanah air kita. Bukan itu saja, tetapi situasi politik di Indonesia sekarang sudah tidak menghormati lagi hak-hak demokrasi dan hak-hak asasi manusia, serta UUD 1945 berada dalam keadaan bahaya. Riwayat pengadilan G 30 S merupakan sejarah peradilan yang terpanjang di Indonesia, mungkin juga diseluruh dunia, termasuk kasus perang dunia ke-II. Aneh pula, bahwa mereka yang tidak bisa diadili, karena dianggap „membahayakan negara," dimasukkan dalam golongan B dan kira2 10.000 orang dari mereka sudah dibuang kepulau Buru tanpa proses pengadilan. Ini merupakan vonnis tanpa vonnis dari suatu badan pengadilan. Epiloog dari peristiwa G 30 S, ratusan ribu komunis dan non komunis dijebloskan dalam kamp2 konsentrasi, tanpa mereka mengetahui masalahnya. Ratusan ribu orang Komunis dan non komunis telah menjadi korban pembunuhan massal, suatu record internasional yang patut „dikagumi." Dalam kamp2 konsentrasi ribuan tahanan politik mati kelaparan atau mati tak ketahuan rimbanya, tanpa ada pertanggunganjawab dari fihak yang berwajib. Mereka yang telah melakukan pembunuhan massal dan mereka yang telah menyebabkan mati dan terbunuhnya para tapol di kamp2 tahanan, tidak pernah diganggu gugat dan tidak pernah diajukan didepan sidang Pengadilan. Beginikah hukum yang sedang berlaku Dalam melakukan semua kegiatannya dalam waktu yang panjang kaum militeris berlindung dibawah SOB serta menggunakannya dalam menghadapidan memukul lawan2 politiknya. Demikianlah, kita melihat proses lahir dan berkembangnya militerisme dan kekuasaan militer di Indonesia sebelum peristiwa„G 30 S," yaitu diawali dengan peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal, memuncak tapi masih bisa dipatahkan pada lahirnya Dewan2 partikelir 1956 yang berkembang menjadi pemberontakan separatis PRRI/Permesta; dan kemudian menyusun kekuatan kembali secara berhasil dengan menggunakan keadaan SOB selama perjuangan Trikora dan Dwikora. Dengan demikian secara definitif lahirlah kekuatan kanan baru, yang pemunculannya bukan lagi dalam organisasi partai politik seperti selama ini-PSI dan Masyumi yang telah dibubarkan telah tumbuh di dalam tubuh Angkatan Darat sendiri, yaitu dalam diri Jenderal2 yang berhaluan kanan. Kekuatan ini semula kecil dan terlindung oleh pemunculan kekuatan tersebut dalam partai2 politik, tetapi dengan menggunakan SOB menjadi besar dan meluaskan jaring2nya, mengembangkan iri dibidang politik (pemerintahan) dan ekonomi, hingga bisa menguasai posisi2 penting dibidang ekonomi(PN2) dan pemerintahan (eksekutif). Tidak perlu rasanya ditegaskan, bahwa dibanding dengan kaum kanan lama (Masyumi-PSI), maka kekuatan kanan baru ini lebih berbahaya, karena mereka memiliki dan memegang senjata yang se-waktu2 bisa mereka gunakan untuk menindas lawan2 politiknya, seperti yang akan kita alami nanti dalam usaha mereka menggunakan peristiwa „G 30 S" sebagai sebab-alasan untuk membasmi kaum komunis dan kaum patriotik lainnya. Menghadapi kenyataan2 konkrit dimana kaum militeris mengkonsolidasi kekuatannya, kaum komunis dalam menghadapinya tidak cukup waspada. PKI menganggap organisasinya makin besar dan kuat, pengaruhnya melebar diseluruh tanah air, sedangkan menurut analisanya kekuatan kanan makin terisolasi. Letak kesalahan analisa kaum komunis dalam menilai imbangan kekuatan karena hanya melihat dari segi2 luarnya saja. Karena kekuatan kanan tradisionil yang diwakili Masyumi-PSI telah dibubarkan dan memang terisolasi, maka dinilainya kekuatan kanan secara menyeluruh terisolasi. Padahal kekuatan kanan baru yang terdiri dari kaum militeris dengan derapnya yang tegap terus memperkuat dirinya. Bagi mereka waktunya telah tiba untuk membuat suatu perhitungan terhadap Presiden Sukarno dan terhadap kaum komunis Indonesia. Akhirnya kaum militeris yang diwakili oleh Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno menyatukan dirinya dalam Dewan Jenderal yang tujuan politiknya merebut kekuasaan negara dari tangan Presiden. II J A W A B A N Membuat jawaban terhadap tuduhan dari requisitoir bukan soal yang mudah. Ini tuduhan se-akan2 begitu meyakinkan bagi mereka yang tidak mau mengerti inti persoalan dari perkara ini. Sedangkan tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh Saudara Jaksa nampaknya masuk akal. Menurut kebiasaan selama ini bagi anggota CC atau Politbiro CCPKI yang kena perkara G 30 S dan diajukan didepan sidang pengadilan, hukumannya mati atau seumur hidup. Se-akan2 Pengadilan itu sudah mengantongi vonnis sebelum perkara itu diperiksa didepan sidang. Tidakkah memang demikian apa yang sudah biasa berjalan selama ini? Lepas dari hukuman apa yang hendak dijatuhkan pada diri saya, saya merasa dipanggil oleh kewajiban untuk menjawab seperlunya masalah2 yang dituduhkan itu. Jawaban ini dan pleidooi saya sebagai keseluruhan merupakan pertanggunganjawab saya tidak hanya untuk mahkamah Pengadilan tetapi juga untuk dipersembahkan pada ibu pertiwi, pada Rakyat Indonesia dari mana saya dilahirkan dan dibesarkan. Untuk hal tersebut rasanya tidak berkelebihan bila saya nyatakan pentingnya peranan pers sebagai missi pembawa berita untuk memuat pleidooi ini secara lengkap. Semoga pers Indonesia yang menjunjung tinggi tentang kemerdekaan pers, menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Untuk itu taklain saya ucapkan banyak terimakasih. A. GERAKAN 30 SEPTEMBER Izinkanlah sekarang saya menjawab dan membahas soal2 yang menyangkut dengan 'G 30 S.' Suatu persoalan yang menjadi pokok perkara dalam sidang2 Mahkamah Pengadilan dan kali ini jatuh pada giliran saya. Selama ber-tahun2 kata2 'G 30 S' oleh pemerintah Orde Baru didengungkan sebagai suatu momok jahat yang keji dan menakutkan. Keadaan seperti itu berlangsung sampai sekarang. Rupa2-nya orang takut benar bila kena tuduhan komunis atau 'G 30 S.' Bila kebakaran banyak terjadi, katanya - sisa2 'G 30 S.' Walaupun mungkin kebakaran itu disebabkan karena kompor, kortsluiting, tuantanah yang menghendaki anahnya kembali atau Kotapraja yang membutuhkan tanah untuk pembangunan kota; Kecelakaan2 kereta-api, katanya sisa2 G 30 S. Ya, semuanya bisa karena „sisa2 G 30 S," musim kering yang panjang, produksi pertanian yang turun, harga beras yang naik, dsb.! Demikian juga menghadapi sidang MPR dalam bulan Maret ini telah di-issue-kan tentang sisa2 G 30 S yang hendak mengganggu keamanan kota Jakarta. Saya tidak tahu apakah masyarakat masih percaya pada obrolan seperti itu! Tujuh tahun telah lewat sejak peristiwa G 30 S, tetapi tidak banyak orang yang mengerti atau tahu, apakah sebenarnya peristiwa G 30 S itu? Ataukah mungkin mereka mengerti dan tahu, tetapi tidak berani mengemukakan pendapatnya secara bebas karena dibayangi oleh rasa sangsi dan takut?! Mengapa terjadi G 30 S? Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sudah terjadi, sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali untuk dibatalkan. Dalam hal terjadinya G 30 S, Presiden Sukarno dalam menyampaikan pertanggunganjawabnya yang diminta oleh MPRS pada bulan Juni 1966 dimuat dalam lampiran NAWA-AKSARA menyatakan: Bahwa Gerakan 30 September terjadi karena pertemuannya dari tiga sebab, yaitu: a. Keblingernya pimpinan PKI, b. Kelihayan subversi Nekolim, Memang ada oknum2 yang tidak benar. Menilik situasi politik tanah air pada masa itu, pertanggunganjawab Presiden pada MPRS adalah benar. Dari fihak kaum Imperialis dengan CIA-nya sudah lama terdapat usaha keras untuk menggulingkan Presiden Sukarno (baca buku Kuda Troya karangan David Ramson) dan menghancurkan PKI. Subversi Nekolim tersebut adalah sejalan dengan sikap politik dan usaha2 yang telah dilakukan oleh kaum reaksioner dalamnegeri. Kaum kanan telah mendapat tambahan kekuatan dari „oknum2 yang tidak benar," yaitu jenderal2 kanan Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Kemudian Jenderal2 kanan ini menyatukan dirinya dalam apa yang dihebohkan sebagai Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap pemerintah RI yang syah dibawah Presiden Sukarno. Dewan Jenderal bukan issue PKI, tetapi merupakan sesuatu yang memang ada dan logis menurut perkembangan situasi politik pada waktu itu. Tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta, telah dinyatakan DN Aidit dalam briefingnya pada tanggal 27 atau 28 Agustus 1965 didepan anggota2 Politbiro dan anggota2 CC PKI yang pada waktu itu sedang berada di Jakarta. Seandainya DN Aidit bisa dihadapkan sebagai saksi didepan sidang Pengadilan ini, tentu ia akan banyak mengungkap tentang proses terjadinya komplotan Dewan Jenderal. Seandainya hukum di Indonesia bebas dan tidak memihak, tidakkah seharusnya Mahkamah Pengadilan mengusut pula Jenderal2 kanan Angkatan Darat sehingga masalahnya menjadi terbuka? Rencana aksi yang hendak dilakukan oleh Dewan Jenderal terhadap Presiden Sukarno sebagai Kepala Pemerintah RI, telah menimbulkan reaksi perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat. Perwira2 muda itu selalu bertekad untuk melawan usaha kudeta Dewan Jenderal. Demikian pula sikap politik PKI, bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal. Salahkah bila PKI sebagai partai politik mempunyai sikap politik yang demikian itu? Saya kira banyak orang akan menjawab: „Sikap politik itu tidak salah, sebaliknya benar sebab membela pemerintah yang syah." Situasi politik berjalan begitu cepatnya. Jarum perpecahan fihak imperialis selalu menimbulkan lebih meruncingnya suasana politik dalam negeri. Disinilah letak kelihayannya Nekolim yang tepat pada waktunya dapat menggunakan situasi politik untuk keuntungannya. Dalam suasana politik yang sedang menekan perasaan dan fikiran, di kalangan perwira2 muda yang maju sangat menguatirkan keselamatan Presiden Sukarno. Mereka menjadi marah tak terkendalikan terhadap niat Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta disekitar tanggal 5 Oktober 1965. Luapan amarah yang tak terkendali ini akhirnya mencetus sebagai terkenal dengan nama 'Gerakan 30 September' dibawah Komando ex. Letkol Untung. Apa hubungannya PKI dengan 'G 30 S'? Banyak orang ber-tanya2, benarkah PKI merencanakan Gerakan 30 September? Pertanyaan ini dikemukakan, karena beberapa oknum pimpinan PKI termasuk DN Aidit Ketua CCPKI melibatkan diri didalamnya. Dan karenanya khalayak ramai menyangka, PKI berada dibelakang gerakan tersebut. PKI sebagai Partai tidak mempunyai kesempatan yang diperlukan untuk menjelaskan pada masyarakat duduk perkara yang sebenarnya dalam hubungannya dengan Gerakan 30 September. Dilain fihak Orba dan segenap kekuatannya melakukan kampanye, bahwa sutradara mainnya G 30 S adalah PKI. Benar, bahwa dalam rapat Politbiro pada bulan Juli 1965 dalam rangka memberikan informasi politik dalam dan luarnegeri, DN Aidit mengemukakan suatu keterangan tentang adanya komplotan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Selanjutnya DN Aidit menambahkan, bahwa kebenaran informasi tersebut akan dicek lebih lanjut. Dalam briefingnya yang diberikan oleh DN Aidit pada tanggal 27 atau 28 Agustus 1965 pada anggota2 Politbiro dan anggota2 CCPKI yang berada di Jakarta dikemukakan sebagai berikut: 1. Situasi politik tanahair dalam keadaan gawat, 2. Sakitnya Preside Sukarno bertambah parah, 3. Dalam keadaan demikian Dewan Jenderal merencanakan kudeta terhadap terhadap Presiden Sukarno, 4. Terdapat perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pembela Presiden Sukarno yang hendak berlawan untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal. Kemudian DN Aidit menyampaikan sikap politik Partai sbb.: 1. PKI menentang rencana kudeta Dewan Jenderal, 2. PKI akan membela pemerintahan Indonesia yang dikepalai oleh Presiden Sukarno, 3. Dalam perjuangan itu, PKI akan mendukung dan bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju membela Presiden dan melawan kudeta Dewan Jenderal. Bila ditelaah dengan teliti tidak pernah ada maksud atau suatu opset dari fihak PKI untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno. Sebaliknya opsetnya adalah membela pemerintahan yang syah. Demikian pula tidak pernah PKI merencanakan suatu kudeta. Yang ada yalah PKI dalam menghadapi situasi gawat mempunyai sikap politik. Sikap politik bagi sesuatu Partai menghadapi situasi politik tertentu bukanlah soal luar-biasa, tetapi merupakan sikap yang wajar. Dari penjelasan tersebut kiranya terang dari fihaknya PKI tidak pernah mempunyai maksud atau rencana untuk melakukan suatu kudeta. Kudeta bukan jalannya Rakyat kesinggasana kekuasaan Negara. Demikian pula kudeta samasekali bukan doktrin Komunis dan dalam pengalaman proletariat internasional sepanjang sejarahnya, tidak pernah dipakai suatu kudeta untuk merebut kekuasaan negara. Kudeta adalah metode perebutan kekuasaan yang biasa dipakai oleh Jenderal2 yang berpengaruh dalam Angkatan Perang. Ada orang menanya, tapi kenyataannya bagaimana dengan PKI? Tidakkah soal mendahului kudeta Dewan Jenderal dan tentang pembentukan Dewan Revolusi sebelumnya sudah menjadi putusan Dewan Harian Politbiro? Tidakkah bila ditinjau dari segi organisasi putusan Dewan Harian Politbiro atau tindakan yang dilakukannya sudah syah sebagai putusan atau tindakan PKI sebagai organisasi. Untuk itu perlu diberi keterangan sebagai berikut: Benar pernah saya mendengar dari DN Aidit, bahwa Kawan2 Dewan Harian menyetujui fikiran perwira2 muda yang maju untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal dan pembentukan Dewan Revolusi. Tidakkah bila ditinjau dari segi sentralisme demokrasi apa yang diputuskan oleh Dewan Harian adalah syah secara konstitusionil?! Sebelumnya perlu dijelaskan tentang prinsip2 sentralisme demokrasi sesuai dengan Konstitusi PKI Bab. III fasal 23 sbb.: a. Badan2 pimpinan Partai dari semua tingkat dipilih, b. Badan2 pimpinan Partai bertanggung jawab kepada organisasi Partai yang memilihnya dengan memberi laporan pada waktu yang tertentu, c. Putusan Partai harus dilaksanakan dengan tidak bersyarat. Setiap anggota Partai tunduk kepada putusan2 organisasi Partai dimana ia tergabung; jumlah tersedikit tunduk kepada jumlah terbanyak; organisasi Partai bawahan tunduk kepada organisasi Partai diatasnya dan segenap organisasi Partai tunduk kepada Kongres Nasional Partai dan CC. d. Badan2 pimpinan Partai harus senantiasa memperhatikan pendapat organisasi bawahan dan massa anggota Partai, mempelajari pengalaman2nya dan memberikan bantuan dalam memecahkan Persoalannya tepat pada waktunya, e. Organisasi2 Partai bawahan harus secara periodik memberikan laporan mengenai pekerjaannya kepada organisasi atasannya, dan meminta instruksi tepat pada waktunya tentang soal2 yang memerlukan putusan organisasi yang lebih tinggi. f. Semua organisasi Partai bekerja atas prinsip memadukan pimpinan kolektif dengan tanggung jawab perseorangan; semua soal yang penting diputuskan secara kolektif dan bersama dengan itu masing2 orang diberi kemungkinan untuk melakukan peranannya yang penuh dalam batas yang semestinya. Pertama perlu diperhatikan sub c yang berbunyi: „...organisasi Partai bawahan tunduk kepada Kongres NasionalPartai dan CC." Jelas bahwa Partai secara menyeluruh tunduk kepadagaris politik organisasi dan ideologi yang telah ditetapkan oleh Kongres Nasional Partai. Semua Badan Pimpinan Partai dan CC sampai Resort harus taat pada putusan Kongres. Dalam hal ini jalan damai atau tidak damai ke Demokrasi Rakyat sebagai masa peralihan ke Sosialisme, Kongres Luarbiasa ke II PKI telah memutuskan „menempuh jalan damai dan demokratis." Coba kita sekarang kembali pada briefing tanggal 27 atau 28 Agustus 1965, dimana DN Aidit mengemukakan sikap politik Partai menghadapi situasi gawat. Apakah sikap partai tersebut bertentangan dengan putusan Kongres?! Sikap Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit tidak menyangkut dengan soal jalan damai atau tidak damai ke Demokrasi Rakyat. Sikap Partai itu inti soalnya, membela pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dari rencana kudeta Dewan Jenderal. Sikap politik itu benar dan tidak bertentangan dengan putusan2 badan pimpinan Partai diatasnya, sebab sikap Partai adalah mendukung dan membela pemerintahan Sukarno. Apakah menurut Konstitusi PKI, Dewan Harian Politbiro secara otomatis sebagai pelaksana dari putusan badan pimpinan Partai diatasnya, atau menjadi pelaksana dari sikap politik Partai tsb. diatas?! Benar, bahwa Dewan Harian Politbiro adalah secara otomatis merupakan pelaksana putusan2 atau sikap politik yang telah digariskan oleh badan pimpinan Partai diatasnya. Sebagai pelaksana Dewan Harian Politbiro tidak boleh melanggar putusan2 Partai. Juga Politbiro tak boleh melanggar putusan CC dan CC tidak boleh melanggar putusan Kongres. Seandainya benar apa yang dikatakan oleh DN Aidit pada saya, bahwa Kawan2 Dewan Harian menyetujui mendahului untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal dan menyetujui untuk membentuk Dewan Revolusi, apakah putusan itu tidak bertentangan dengan sikap politik Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit dalam briefingnya pada minggu ke IV bulan Agustus 1965? Sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dikemukakan oleh DN Aidit pada saya, bahwa „Dewan Revolusi merupakan organisasi tandingan Dewan Jenderal dan sekaligus berfungsi sebagai pendorong untuk mempercepat proses pembentukan Kabinet NASAKOM." Soal interpretasi dari „mendahului" untuk menggagalkan Kudeta DewanJenderal, DN Aidit tidak menjelaskan hal tersebut kepada saya. Dalam pemikiran saya sendiri, Dewan Jenderal akan ditindak secara administratif oleh Presiden/Pangti ABRI dengan backing kekuatan perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pendukung Presiden Sukarno. Demikian pula DN Aidit tidak pernah mengemukakan tentang rencana Gerakan 30 September. Kalau soal mendahului dan soal pembentukan Dewan Revolusi itu benar putusan Dewan Harian dan kemudian ternyata terjadi Gerakan 30 September serta dalam Dekrit No. 1 ditegaskan, bahwa:„Untuk sementara waktu menjelang pemilihan umum MPR sesuai dengan UUD 45, Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam negara RI," maka hal tersebut adalah bertentangan dengan sikap politik Partai. Bertentangan dengan sikap politik Partai berarti melanggar prinsip sentralisme demokrasi dan oleh karena itu, tidak sah dan tidak bisa dinyatakan sebagai putusan PKI. Oleh karena itu PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam Gerakan 30 September. Yang melibatkan diri dalam gerakan itu adalah sementara oknum pimpinan PKI. G 30 S dan Kudeta. Benarkah Gerakan 30 September itu merupakan suatu kudeta atau perebutan kekuasaan negara?! Memang inilah yang menjadi persoalan, kudeta atau bukan kudeta! Ada orang berkata, tak bisa diungkiri lagi „G 30 S" itu merupakan suatu kudeta. Katanya lebih lanjut, G 30 S itu merupakan suatu tindakan dengan kekerasan merebut RRI, telekomunikasi dan membunuh Jenderal2. Saya tidak akan menyangkal, bahwa G30S pernahmemblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI menyiarkan Dekrit, Pengumuman dan keputusan G30S pada tanggal 1 Oktober 1965. Semua itu dilakukan tanpa kekerasan senjata. Dan sebagai ekses dari peruncingan situasi kongkrit pada waktu itu telah menyebabkan terbunuhnya jenderal2, sesuatu yang semestinya tidak boleh terjadi. Saya berpendapat terbunuhnya jenderal2 pada waktu itubukan merupakan ciri dari suatu kudeta. Begitu juga memblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 untuk keperluan penyiaran G 30 S juga bukan suatu ciri dari suatu kudeta. Baik Jenderal, RRI ataupun telekomunikasi tidaktermasuk sebagai atribut negara. Dialoog itu berjalan terus dan orang itu menjawab: „Bukan itu saja yang telah dilakukan oleh G 30 S. Telah dibentuk Dewan Revolusi yang berwenang sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Kemudian Kabinet juga didemisionerkan. Tidakkah perbuatan2 itu merupakan suatu kudeta?!" Benar bahwa saya pernah mendengar siaran RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 tentang dibentuknya Dewan Revolusi dengan komposisi yang luas meliputi berbagai golongan dalam masyarakat dan dikeluarkan oleh Letkol Untung Komandan Gerakan 30 September. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan pengumuman tersebut sudah bisa dinyatakan bahwa Dewan Revolusi itu benar2 telah terbentuk?! Bukankah pengumuman dibentuknya Dewan Revolusi dengan personalianya itu merupakan suatu pernyataan politik dari Letkol Untung sendiri, tanpa sepengetahuan dari orang2 yang bersangkutan? Dalam proses pengadilan selama 7 tahun ternyata nama orang2 yang dicantumkan sebagai pimpinan atau sebagai anggota Dewan Revolusi tidak pernah diberitahu sebelumnya, sedangkan fihak pengadilanpun tidak bisa membuktikan mengenai hal tersebut. Bila Dewan Revolusi ini dituduh sebagai komplotan yang melakukan makar terhadap negara, mengapa tidak semua anggota komplotan tersebut diajukan dan dituntut didepan pengadilan? Tidakkah dengan itu menunjukkan adanya ketidakadilan hukum?! Ataukah karena dibentuknya Dewan Revolusi baru merupakan pernyataan ex. Letkol Untung sendiri tanpa pemberitahuan pada orang2 yang dijadikan anggotanya, maka orang2 tersebut tidak bisa dituntut menurut hukum yang berlaku?! Kecuali itu sebagai Dewan yang abstrak, Dewan Revolusi tersebut belum pernah bersidang dan karena itu dalam kenyataannya Dewan Revolusi itu tidak pernah ada. Karena Dewan itu tidak pernah ada, pasal2 hukum mana yang bisa dituntutkan pada sesuatu yang tidak ada itu? Karena Dewan Revolusi itu tidak pernah ada, maka tidak mungkin Dewan Revolusi itu berbuat makar. Tentang pendemisoneran Kabinet, inipun baru merupakan pernyataan politik dari ex. Letkol Untung sendiri. Dan perlu dijelaskan, bahwa tidak ada suatu kudeta yang hanya mendemisionerkan Kabinet, karena itu berarti penguasa lama masih tetap dan kedudukan Presiden tidak diganggugugat.Pernyataan pendemisioneran Kabinet, baru merupakan pernyataan belaka dan tidak daad werkelijk. Suatu kudeta adalah perebutan kekuasaan negara, membubarkan pemerintahan lama, serta membentuk pemerintahan yang baru. Ini tidak pernah terjadi. Kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno tidak pernah menjadi demisioner dengan pernyataan ex. Letkol Untung. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu Presiden masih berfungsi sebagai Presiden, terbukti dengan pengangkatan yang dilakukan terhadap Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagaiPanglima Angkatan Darat ad interim dan Jenderal Suharto sebagai Panglima Operasi Keamanan. Memang Gerakan 30 September tidak bisa dinyatakan sebagai suatu kudeta, sebab gerakan itu tidak merebut kekuasaan negara. Malahan sebaliknya merupakan gerakan mencegah makar yang bermaksud menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal. Pada saat gerakan itu terjadi Presiden Sukarno, dr.Leimena, Pangal Laksamana Madya E. Martadinata dan pejabat2 penting lainnya pada tanggal 1 Oktober 1965 berada dipangkalan udara Halim yang pada waktu itu menjadi pusat gerakan G 30 S. Sesudah peristiwa itu terjadi, tidak pernah Presiden Sukarno menyatakan Gerakan 30 September sebagai suatu kudeta terhadap pemerintahan Indonesia yang dipimpinnya sendiri. Malahan terhadap peristiwa itu Presiden pernah menyatakan sebagai„een rimpel in de Oceaan." Memang tidak masuk akal, bahwa perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pendukung Presiden Suykarno akan melakukan kudeta terhadap Presiden yang dihormati dan dicintainya. Demikian pula tidak masuk akal, bahw oknum2 pimpinan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno justru dalam keadaan dimana kerjasama antara Presiden dan PKI bertambah erat. Sesudah peristiwa G 30 S pada tahun 1965 sampai akhir hayatnya pada tanggal 1 Juni 970, Bung Karno dalam pidato2nya menunjukkan tidak pernah meninggalkan rasa persahabatannya dengan kaum komunis Indonesia, sesuatu yang tak mungkin terjadi seandainya PKI atau oknum2 pimpinan PKI melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Malahan suara banter difihak Orba lewat berbagai macam mass media, juga lewat interogasi2 justru berusaha untuk melibatkan Presiden Sukarno dalam „G 30 S." Ini merupakan tambahan bukti, bahwa gerakan 30 September memang tidak ditujukan pada Pemerintah RI yang sah dibawah Presiden Sukarno. Dari keterangan2 tersebut diatas, baik ditinjau dari segi maksud ataupun, perencanaan ataupun tindakan fisik dan akibat kongkrit daripada gerakan itu adalah cukup jelas, bahwa Gerakan 30 September bukan suatu kudeta. Sebaliknya justru merupakan suatu gerakan untuk mencegah makar dari komplotan Dewan Jenderal terhadap Pemerintahan RI yang sah dibawah Presiden Sukarno. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Pledoi Mohammad Munir #3 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA? Diatas sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya. Suatu ekses telah terjadi pada saat gerakan itu pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2 pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini. Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pimpinan Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan." Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden. Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh. Mahkamah Pengadilan Yth, Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-nya. Titik lemah Gerakan 30 September yang gagal telah dijadikan titik balik untuk memulai serangannya. Kampanye besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama ditujukan pada Pemuda Rakyat dan Gerwani. Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis." Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama. Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan? Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka meningkatkan aksi2 terornya dengan pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik. Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat. Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap." Bapa dan Ibu bisa sekaligus dibawa beserta anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya. Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2 penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora? Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet? Dimanakah Njoto, Wk. Ketua II CC PKI, pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara? Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas? Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak. Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya. Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam. B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA? Diatas sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya. Suatu ekses telah terjadi pada saat gerakan itu pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2 pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini. Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pimpinan Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan." Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden. Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh. Mahkamah Pengadilan Yth, Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-nya. Titik lemah Gerakan 30 September yang gagal telah dijadikan titik balik untuk memulai serangannya. Kampanye besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama ditujukan pada Pemuda Rakyat dan Gerwani. Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis." Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama. Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan? Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka meningkatkan aksi2 terornya dengan pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik. Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat. Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap." Bapa dan Ibu bisa sekaligus dibawa beserta anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya. Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2 penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora? Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet? Dimanakah Njoto, Wk. Ketua II CC PKI, pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara? Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas? Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak. Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya. Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam. Peristiwa Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita. Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah hak2 asasi manusia dan jangan di- injak2. Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat tak sepanjang hari." Sidang Pengadilan Yth, Kampanye politik penghancuran secara fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti Presiden Sukarno, menjatuhkan prestise pribadinya dan karier politiknya. Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan," telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-Surabaya-Yogyakarta-Semarang-Malang-Makasar-Medan-Banjarmasin, ya di-seluruh tanah air demam „MPRS jalanan." Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura," hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan. Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura": Bubarkan Kabinet Dwikora, - Bubarkan PKI, - Turunkan harga barang kebutuhan hidup. Tritura itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa aksi2 itu telah lampau. Kabinet Dwikora sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan dibubarkannya PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah dalam jaman Orba sekarang, kebudayaan/pendidikan, olahraga dan penghidupan lebih baik daripada jaman orla? Digodog dalam pengalaman selama 6 tahun generasi muda kita akan dapat menilai sendiri segi positif dan segi negatif dari dua regim: Orla dan Orba. Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD). Dengan bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai Waperdam I telah diselamatkan dan menyingkir ke Bogor. Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah Jenderal Suharto, suatu delegasi berangkat dari Jakarta pada jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan kepada Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam 19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau „Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar). Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA S U R A T P E R I N T A H I. Mengingat: 1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik Nasional maupun Internasional. 1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/ Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966. II. Menimbang: 2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi. 2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya. III. Memutuskan/Memerintahkan: Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT. Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: 1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/Mandataris M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja. 3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas. IV. Selesai. Djakarta, 11 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S ttd. S O E K A R N O SESUAI DENGAN JANG ASLI SEKRETARIAT NEGARA BIRO I PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN a.n.b SESUAI DENGAN SALINAN PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN, PERTAMA ANGGOTA TEAM TJAP/TTD PEMERIKSA PUSAT (NJ.SUMARKINAH) G I M O E N Kopral Udara Satu Menilik isi SP 11 Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2 kanan Angkatan Darat dengan para penasehatnya, telah melakukan kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan" kekuasaan executif dari tangan Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi Pasal 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb: „Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD." Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan:„Dibawah MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden." Presiden pada waktu itu tidak keluar negeri, tidak berhalangan untuk tetap memimpin Negara, malahan pada masa itu aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi Presiden telah meneken SP 11 Maret bukan atas kemauannya sendiri, namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata. Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang pada waktu itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan Rakyat dan ABRI, maka mereka tidak melakukan perebutan kekuasaan secara terbuka, tetapi berselubungkan kain sutera. Disinilah letak kelihayan mereka dengan para „penasehatnya." Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi" Presiden. Mereka mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri. Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan. Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl. 12 Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah semua kaum buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI dengan tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th 1952 sbb: „SOBSI berjuang untuk perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan Kongresnya yang ke IV th 1959 ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia." Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2 tidak masuk akal lagi pembubaran SB2 dan SOBSI, karena organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat dengan Gerakan 30 September. Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb: a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2. Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu Partai Politik. c. Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar pada Undang2 Dasar '45 dan Penpres 7/59 dan Perpres 13/60 sebagai Undang2 yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20 Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb: 156 anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang. Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata: a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada. b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum. Selanjutnya MPRS yang sudah direvisi besar2an itu memakaikan baju konstitusionil pada Supersemar dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada tgl. 1 Juni 1966). MPRS sendiri merubah fungsinya sebagai MPR hal mana bertentangan dengan Penpres tentang pembentukan MPRS yang membatasi wewenangnya karena sifatnya yang sementara. MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah: Membuat haluan negara, - Membuat garis2 besar Pola Pembangunan Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak mengangka Wakil Presiden. Dengan ini jelas tindakan merevisi MPRS secara besar2an dan memberikan fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil." Tetapi tidak mungkin perbuatan in-konstitusionil mempunyai karakter Konstitusionil. Perbuatan2 in- Konstitusionil zijn van rechtswege onwettig, tidak sah dan harus batal. Tindakan2 selanjutnya adalah: Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang Menteri Kabinet. Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden. Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh. Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawabkan segala tindakannya didepan Mahkamah Pengadilan. Tetapi bila hal2 tsb. ditinjau dari segi politik, chususnya politik yang mewakili kepentingan klas2 reaksioner dalam negeri, maka perbuatan Jenderal Soeharto patut dipuji sebagai „Pahlawan Orba" yang dengan segala caranya telah dapat menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaan Negara. Ditinjau dari segi Orba, perbuatan itu merupakan prestasi besar dari seorang prajurit menjadi seorang presiden yang berkuasa. Sdr. Hakim Ketua yth, Sekarang sesudah 7 tahun Gerakan 30 September itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu. Kebenaran itu hanya ada satu, tidak lebih dari satu! Ia tidak ditentukan oleh dan bukan terletak pada suara terbanyak atau pada siapa yang berkuasa. Seseorang atau segolongan masyarakat bisa saja mencap yang lain sebagai „pembunuh," „penghianat," „kudeta," „makar" atau dengan istilah yang sejenis itu, karena mereka berada di fihak pemenang. Namun kebenaran atasnya akan selalu diuji, dan batu ujian kebenaran itu adalah praktek, pengalaman atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri. Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan, barulah kesimpulan/tanggapan itu diterima sebagai kebenaran. Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30 S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia. Kiranya fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan apa sesungguhnya„G 30" itu. C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN. Sdr. Hakim Ketua, Sidang Yth, Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus. Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis. Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI? Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul persoalan2, baik dibidang organisasi, politik maupun ideologi. Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan sementara anggota/kader PKI terhadap pimpinan PKI, baik di-daerah2 maupun ditingkat Pusat. Perbedaan2 pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan baru mengenai berbagai masalah. Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan PKI terlibat dalam gerakan itu. Kelemahan ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total. Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2 hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum. Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI merenungkan dan mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah terjadi. Dengan terjadinya Gerakan 30 September dan kemudian epiloognya G 30 S, mereka menjadi berani memformulasi fikiran2-nya dan mengajukan kritik2 pedas yang dialamatkan pada pimpinan PKI. Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung kritik2 dari bawah dan kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966. Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai th '65. Peristiwa Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita. Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah hak2 asasi manusia dan jangan di- injak2. Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat tak sepanjang hari." Sidang Pengadilan Yth, Kampanye politik penghancuran secara fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti Presiden Sukarno, menjatuhkan prestise pribadinya dan karier politiknya. Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan," telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-Surabaya-Yogyakarta-Semarang-Malang-Makasar-Medan-Banjarmasin, ya di-seluruh tanah air demam „MPRS jalanan." Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura," hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan. Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura": Bubarkan Kabinet Dwikora, - Bubarkan PKI, - Turunkan harga barang kebutuhan hidup. Tritura itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa aksi2 itu telah lampau. Kabinet Dwikora sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan dibubarkannya PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah dalam jaman Orba sekarang, kebudayaan/pendidikan, olahraga dan penghidupan lebih baik daripada jaman orla? Digodog dalam pengalaman selama 6 tahun generasi muda kita akan dapat menilai sendiri segi positif dan segi negatif dari dua regim: Orla dan Orba. Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD). Dengan bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai Waperdam I telah diselamatkan dan menyingkir ke Bogor. Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah Jenderal Suharto, suatu delegasi berangkat dari Jakarta pada jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan kepada Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam 19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau „Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar). Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA S U R A T P E R I N T A H I. Mengingat: 1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik Nasional maupun Internasional. 1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/ Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966. II. Menimbang: 2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi. 2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya. III. Memutuskan/Memerintahkan: Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT. Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: 1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/Mandataris M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja. 3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas. IV. Selesai. Djakarta, 11 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S ttd. S O E K A R N O SESUAI DENGAN JANG ASLI SEKRETARIAT NEGARA BIRO I PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN a.n.b SESUAI DENGAN SALINAN PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN, PERTAMA ANGGOTA TEAM TJAP/TTD PEMERIKSA PUSAT (NJ.SUMARKINAH) G I M O E N Kopral Udara Satu Menilik isi SP 11 Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2 kanan Angkatan Darat dengan para penasehatnya, telah melakukan kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan" kekuasaan executif dari tangan Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi Pasal 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb: „Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD." Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan: „Dibawah MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden." Presiden pada waktu itu tidak keluar negeri, tidak berhalangan untuk tetap memimpin Negara, malahan pada masa itu aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi Presiden telah meneken SP 11 Maret bukan atas kemauannya sendiri, namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata. Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang pada waktu itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan Rakyat dan ABRI, maka mereka tidak melakukan perebutan kekuasaan secara terbuka, tetapi berselubungkan kain sutera. Disinilah letak kelihayan mereka dengan para „penasehatnya." Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi" Presiden. Mereka mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri. Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan. Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl. 12 Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah semua kaum buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI dengan tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th 1952 sbb: „SOBSI berjuang untuk perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan Kongresnya yang ke IV th 1959 ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia." Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2 tidak masuk akal lagi pembubaran SB2 dan SOBSI, karena organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat dengan Gerakan 30 September. Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb: a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2. Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu Partai Politik. c. Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar pada Undang2 Dasar '45 dan Penpres 7/59 dan Perpres 13/60 sebagai Undang2 yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20 Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb: 156 anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang. Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata: a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada. b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum. Selanjutnya MPRS yang sudah direvisi besar2an itu memakaikan baju konstitusionil pada Supersemar dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada tgl. 1 Juni 1966). MPRS sendiri merubah fungsinya sebagai MPR hal mana bertentangan dengan Penpres tentang pembentukan MPRS yang membatasi wewenangnya karena sifatnya yang sementara. MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah: Membuat haluan negara, - Membuat garis2 besar Pola Pembangunan Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak mengangka Wakil Presiden. Dengan ini jelas tindakan merevisi MPRS secara besar2an dan memberikan fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil." Tetapi tidak mungkin perbuatan in-konstitusionil mempunyai karakter Konstitusionil. Perbuatan2 in- Konstitusionil zijn van rechtswege onwettig, tidak sah dan harus batal. Tindakan2 selanjutnya adalah: Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang Menteri Kabinet. Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden. Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh. Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawabkan segala tindakannya didepan Mahkamah Pengadilan. Tetapi bila hal2 tsb. ditinjau dari segi politik, chususnya politik yang mewakili kepentingan klas2 reaksioner dalam negeri, maka perbuatan Jenderal Soeharto patut dipuji sebagai „Pahlawan Orba" yang dengan segala caranya telah dapat menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaan Negara. Ditinjau dari segi Orba, perbuatan itu merupakan prestasi besar dari seorang prajurit menjadi seorang presiden yang berkuasa. Sdr. Hakim Ketua yth, Sekarang sesudah 7 tahun Gerakan 30 September itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu. Kebenaran itu hanya ada satu, tidak lebih dari satu! Ia tidak ditentukan oleh dan bukan terletak pada suara terbanyak atau pada siapa yang berkuasa. Seseorang atau segolongan masyarakat bisa saja mencap yang lain sebagai „pembunuh," „penghianat," „kudeta," „makar" atau dengan istilah yang sejenis itu, karena mereka berada di fihak pemenang. Namun kebenaran atasnya akan selalu diuji, dan batu ujian kebenaran itu adalah praktek, pengalaman atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri. Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan, barulah kesimpulan/tanggapan itu diterima sebagai kebenaran. Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30 S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia. Kiranya fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan apa sesungguhnya„G 30" itu. C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN. Sdr. Hakim Ketua, Sidang Yth, Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus. Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis. Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI? Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul persoalan2, baik dibidang organisasi, politik maupun ideologi. Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan sementara anggota/kader PKI terhadap pimpinan PKI, baik di-daerah2 maupun ditingkat Pusat. Perbedaan2 pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan baru mengenai berbagai masalah. Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan PKI terlibat dalam gerakan itu. Kelemahan ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total. Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2 hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum. Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI merenungkan dan mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah terjadi. Dengan terjadinya Gerakan 30 September dan kemudian epiloognya G 30 S, mereka menjadi berani memformulasi fikiran2-nya dan mengajukan kritik2 pedas yang dialamatkan pada pimpinan PKI. Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung kritik2 dari bawah dan kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966. Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai th '65. Tiga kelemahan pokok itu adalah: Pertama: Subjektivisme dibidang ideologi. Kelemahan ini bersumber pada ideologi burjuis kecil yang masih nempel dalam tubuhnya PKI dan kurangnya menguasai teori Marxisme-Leninisme. Kelemahan ini menimbulkan pandangan subjektif yang meng-idealisasi sesuatu menurut keinginannya dan dengan begitu tidak menganalisa sesuatu berdasar keadaan kongkrit. Subjektivisme inilah yang menjadi sumber ideologi kesalahan2 dogmatisme atau empirisisme dibidang teori, oportunisme kanan atau oportunisme „kiri" dibidang politik dan liberalisme atau sektarisme dibidang organisasi yang pernah terjadi dalam Partai. Kedua: Oportunisme kanan dibidang politik. Yang menjadi persoalan pertama dalam hal ini adalah jalan damai atau jalan revolusi mencapai Demokrasi Rakyat Indonesia sebagai masa peralihan ke Sosialisme. PKI dimasa lalu menempuh jalan damai dan demokratis, hal mana dengan jalan ini tidak mungkin mencapai tujuan Demokrasi Rakyat. Soal pokok kedua, karena diciptakannya teori dua aspek. Yang dimaksud dengan teori dua aspek adalah suatu teori yang menyatakan bahwa dalam negara RI terdapat dua aspek kekuasaan negara, yaitu: aspek pro Rakyat dan aspek anti Rakyat. Padahal Marxisme-Leninisme mengajarkan bahwa „negara adalah suatu alat kekuasaan klas, suatu alat untuk menindas klas yang satu oleh klas yang lainnya." bahwa „bentuk2 negara burjuis sungguh sangat bermacam ragam, tetapi hakekatnya adalah sama . diktatur burjuasi," dan bahwa „penggantian negara burjuis oleh negara proletar" tidak mungkin tanpa revolusi kekerasan. Dengan teori dua aspek ini maka PKI telah merevisi teori Marxisme-Leninisme tentang „Negara." Soal yang ketiga adalah PKI makin kehilangan kebebasan dalam front persatuan dengan burjuasi nasional dengan memberi konsesi2 politik terlalu banyak. Sebagai contoh perlu dikemukakan bahwa pimpinan Partai tidak bersikap bebas terhadap Presiden Soekarno, selalu menghindari pertentangan dan sebaliknya selalu menonjolkan persamaan atau persatuan Partai dengan Bung Karno. Rakyat melihat tidak ada politik Bung Karno yang tidak disokong oleh PKI. Demi untuk persatuan yang tanpa prinsip ini, PKI bukannya mengembangkan aksi2 kaum buruh dan tani melawan penghisapan, tetapi justru membatasi aksi2 tersebut. Ketiga: Liberalisme dibidang organisasi Ini berarti, bahwa kecenderungan umum dalam PKI adalah untuk mempunyai anggota se-banyak2-nya, mengutamakan kwantitet dan bukan kwalitet anggota. Dinyatakan bahwa PKI adalah Partai kader dan massa sekaligus. Sehubungan dengan cara kerja Partai, pimpinan telah membangun saluran2 organisasi tersendiri diluar kontrol Politbiro CC. Dengan begitu Politbiro dan CC sebagai badan pimpinan Partai yang kompeten, tidak dijadikan tempat untuk memecahkan segala soal urusan Partai dan revolusi. Tidak jarang Politbiro hanya mensahkan langkah2 yang sudah diambil oleh pimpinan itu, atau mempertimbangkan sesuatu soal dengan pengetahuan yang kurang lengkap dan mendalam mengenai persoalannya. Selain itu ada sikap yang kurang kritis terhadap pimpinan Partai baik dalam Politbiro CC maupun badan2 Partai lainnya. Sikap kurang kritis itu antara lain juga disebabkan karena lemahnya teori sehingga menyebabkan kurang kuatnya landasan untuk menyangkal pendapat pimpinan bila dirasa pendapat itu keliru. Kemudian dalam Partai telah ditanamkan kepercayaan yang mem-besar2-kan segi persatuan bulat Partai. Se-akan2 tidak terdapat perbedaan pikiran mengenai soal2 prinsip. Karena itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak normal bila ada perbedaan prinsip dengan pimpinan. Dalam keadaan2 liberalisme menguasai garis organisasi Partai, maka tidak mungkin dilaksanakan langgam kerja Partai, yaitu „memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa dan melakukan otokritik." Dan tidak mungkin juga dilaksanakan metode memimpin yang intinya adalah memadukan pimpinan dengan massa, yang harus dilaksanakan dengan atasan memberi contoh kepada bawahan. Sebagai jalan keluar mengatasi 3 Kelemahan pokok itu telah ditetapkan Tripanji Partai yang baru, yaitu: Pertama: Panji pembangunan Partai Marxis-Leninis yang bebas dari subjektivisme, oportunisme dan revisionisme modern. Ini berarti, bahwa untuk menegakkan kembali PKI sebagai Partai Marxis-Leninis, maka liberalisme dibidang organisasi dan subjektivisme dibidang ideologi, harus dibongkar se-akar2-nya. Dengan begitu PKI harus dibangun kembali sebagai Partai tipe Lenin, Partai yang dapat memenuhi tugasnya sebagai barisan depan dan bentuk organisasi klas yang tertinggi dari proletariat Indonesia, Partai yang memikul tugas sejarah memimpin massa RakyatIndonesia untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat ke Sosialisme. Kedua: Panji perjuangan Rakyat bersenjata yang hakekatnya perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti feodal dibawah pimpinan klas buruh.Ini berarti, bahwa bentuk pokok revolusi Indonesia adalah perjuangan bersenjata dan metode revolusinya dari desa mengepung kota dan akhirnya merebut kota2. Ketiga: Panji Front persatuan revolusioner Indonesia atas dasar persekutuan buruh dan tani dibawah pimpinan klas buruh. Atas dasar persekutuan buruh dan tani, klas buruh harus menggalang front persatuan dengan burjuasi kecil dan kaum intelektual revolusioner sebagai sekutu yang dapat dipercaya. Mengenai burjuasi nasional, selama klas ini tidak mengkhianati revolusi, klas buruh juga harus menggalang front persatuan dengannya. Bersamaan dengan itu, klas buruh harus berjuang dengan teguh melawan kebimbangan dan kecenderungan burjuasi nasional untuk berkapitulasi terhadap kapitalis birokrat, burjuasi komprador dan tuantanah. Bersambung ke : Pledoi Mohammad Munir (2) ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://sastrapembebasan.wordpress.com/ |
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment