Advertising

Sunday, 25 November 2012

[wanita-muslimah] Pledoi Mohammad Munir: MEMBELA KEMERDEKAAN, DEMOKRASI DAN KEADILAN (1)

 


Pledoi Mohammad Munir (1)

Disebarluaskan oleh rdk.karawang@brd.de, munindo@brd.de
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

     MEMBELA KEMERDEKAAN, DEMOKRASI DAN KEADILAN
  

 Pendahuluan

     Sdr. Hakim Ketua,
     Mahkamah Pengadilan Yth.,

     Pada  detik-detik  seperti sekarang  ini, berdiri didepan  meja hijau, mengucapkan suatu pledoi, sungguh bukan keadaan  biasa, sebaliknya  keadaan  luarbiasa. Siapakah orangnya yang tidak ber-detak2 jantungnya dan tidak  merasa prihatin menghadapi sidang Pengadilan dalam keadaan  seperti sekarang ini?

Demikian pula diri saya diliputi oleh perasaan prihatin  yang teramat mendalam. Betapa tidak sdr2! Perkara semacam ini sudah memasuki tahun  ke-8  sejak  peristiwa Gerakan 30 September. Konon kabarnya selama ini baru kurang lebih  250 orang yang sudah diadili dari sebanyak 4 @  5.000 orang  yang  termasuk  golongan  A  yang  direncanakan  akan diadili pula.  Entah  berapa puluh tahun lagi pengadilan seperti ini akan  berlangsung: Hanya dengan perubahan  situasi  politiksaja  „pekerjaan  rutine" seperti ini bisa  dihentikan.  Dan perubahan situasi politik itu bakal datang, laksana matahari yang akan terbit esok hari. Sungguh prihatin karena sidang2 pengadilan seperti ini berlangsung dalam situasi politik anti Komunis dimana PKI dan ormas2 revolusioner termasuk organisasi  kaum  buruh Indonesia, SOBSI, serta ajaran Marxisme-Leninisme dilarang ditanah air kita.

 Bukan itu saja, tetapi situasi politik di Indonesia sekarang sudah tidak menghormati lagi hak-hak demokrasi dan hak-hak asasi manusia, serta UUD  1945  berada dalam keadaan bahaya. Riwayat pengadilan G 30 S merupakan sejarah  peradilan yang terpanjang di Indonesia, mungkin juga diseluruh dunia, termasuk kasus perang dunia ke-II. Aneh pula, bahwa mereka yang tidak bisa diadili, karena dianggap „membahayakan negara," dimasukkan dalam golongan B dan kira2 10.000 orang dari mereka sudah dibuang kepulau Buru tanpa proses pengadilan. Ini merupakan vonnis tanpa vonnis dari suatu badan pengadilan. Epiloog dari peristiwa G 30 S, ratusan ribu komunis dan non komunis dijebloskan dalam kamp2 konsentrasi, tanpa mereka mengetahui masalahnya. Ratusan ribu orang Komunis dan non komunis telah menjadi korban pembunuhan massal, suatu record internasional yang patut „dikagumi." Dalam kamp2 konsentrasi ribuan tahanan politik mati kelaparan atau mati  tak ketahuan rimbanya, tanpa ada pertanggunganjawab dari fihak yang berwajib. Mereka yang telah melakukan pembunuhan massal dan mereka yang telah menyebabkan mati dan terbunuhnya para tapol di kamp2 tahanan, tidak pernah diganggu gugat dan tidak pernah diajukan didepan sidang Pengadilan. Beginikah hukum yang sedang berlaku Dalam melakukan semua kegiatannya dalam waktu yang panjang  kaum  militeris berlindung dibawah SOB serta menggunakannya dalam menghadapidan memukul lawan2 politiknya.

 Demikianlah, kita melihat proses lahir dan berkembangnya militerisme dan kekuasaan militer di Indonesia sebelum  peristiwa„G 30 S," yaitu diawali dengan  peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal,  memuncak tapi  masih bisa dipatahkan pada lahirnya Dewan2  partikelir 1956 yang berkembang  menjadi pemberontakan separatis  PRRI/Permesta; dan kemudian  menyusun  kekuatan  kembali secara  berhasil dengan menggunakan keadaan SOB selama perjuangan Trikora dan Dwikora.

Dengan  demikian  secara definitif  lahirlah  kekuatan kanan  baru, yang pemunculannya bukan lagi dalam organisasi partai  politik  seperti selama ini-PSI dan  Masyumi yang telah dibubarkan telah tumbuh di dalam tubuh Angkatan Darat sendiri, yaitu dalam diri Jenderal2 yang berhaluan kanan. Kekuatan ini semula  kecil dan  terlindung oleh pemunculan kekuatan tersebut dalam partai2 politik,  tetapi dengan menggunakan SOB menjadi besar dan meluaskan jaring2nya, mengembangkan iri dibidang politik (pemerintahan)  dan ekonomi, hingga bisa  menguasai posisi2 penting dibidang ekonomi(PN2) dan pemerintahan (eksekutif).

Tidak perlu rasanya ditegaskan, bahwa dibanding dengan  kaum kanan lama (Masyumi-PSI), maka kekuatan kanan baru ini lebih berbahaya, karena mereka memiliki dan memegang senjata yang se-waktu2 bisa mereka gunakan  untuk   menindas lawan2 politiknya, seperti yang akan kita alami nanti dalam usaha mereka  menggunakan peristiwa „G 30 S" sebagai sebab-alasan untuk membasmi kaum komunis dan kaum patriotik lainnya.

Menghadapi kenyataan2 konkrit dimana kaum militeris mengkonsolidasi kekuatannya, kaum komunis dalam menghadapinya tidak cukup waspada. PKI menganggap organisasinya makin besar dan  kuat,  pengaruhnya melebar diseluruh tanah air, sedangkan menurut analisanya  kekuatan kanan makin terisolasi. Letak kesalahan analisa kaum komunis dalam  menilai imbangan kekuatan karena hanya  melihat  dari segi2  luarnya saja. Karena kekuatan kanan tradisionil  yang diwakili Masyumi-PSI telah dibubarkan dan memang terisolasi, maka dinilainya kekuatan kanan secara menyeluruh terisolasi. Padahal kekuatan kanan baru yang terdiri dari kaum militeris dengan derapnya yang tegap terus memperkuat dirinya.

Bagi mereka waktunya telah tiba untuk membuat suatu perhitungan  terhadap  Presiden Sukarno dan terhadap kaum komunis Indonesia. Akhirnya kaum militeris yang diwakili oleh Jenderal2  kanan Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno menyatukan dirinya dalam Dewan Jenderal yang tujuan politiknya merebut  kekuasaan negara dari tangan Presiden.

II
J A W A B A N
Membuat  jawaban  terhadap  tuduhan  dari  requisitoir bukan   soal  yang  mudah.  Ini  tuduhan   se-akan2   begitu meyakinkan   bagi  mereka  yang  tidak  mau  mengerti   inti persoalan dari perkara ini. Sedangkan tuntutan hukuman  mati yang diajukan oleh Saudara Jaksa nampaknya masuk akal. Menurut  kebiasaan  selama ini bagi  anggota  CC  atau Politbiro  CCPKI  yang  kena perkara G  30  S  dan  diajukan didepan  sidang  pengadilan,  hukumannya  mati  atau  seumur hidup.  Se-akan2  Pengadilan itu  sudah  mengantongi  vonnis sebelum  perkara  itu  diperiksa  didepan  sidang.  Tidakkah memang demikian apa yang sudah biasa berjalan selama ini?
Lepas dari hukuman apa yang hendak dijatuhkan pada diri saya, saya merasa  dipanggil oleh kewajiban untuk menjawab seperlunya masalah2 yang dituduhkan  itu. Jawaban ini dan pleidooi saya sebagai keseluruhan merupakan pertanggunganjawab saya tidak hanya untuk mahkamah Pengadilan tetapi juga  untuk dipersembahkan pada ibu pertiwi, pada Rakyat Indonesia dari mana saya dilahirkan dan dibesarkan.

Untuk  hal  tersebut rasanya tidak  berkelebihan  bila saya nyatakan pentingnya peranan pers sebagai missi  pembawa berita untuk memuat pleidooi ini secara lengkap. Semoga pers Indonesia  yang menjunjung tinggi tentang kemerdekaan  pers, menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Untuk itu taklain saya ucapkan banyak terimakasih.

              A. GERAKAN 30 SEPTEMBER
Izinkanlah sekarang saya  menjawab dan membahas  soal2 yang  menyangkut  dengan  'G 30  S.'  Suatu  persoalan  yang menjadi pokok perkara dalam sidang2 Mahkamah Pengadilan  dan kali ini jatuh pada giliran saya.  Selama ber-tahun2 kata2 'G 30 S' oleh pemerintah  Orde Baru  didengungkan sebagai suatu momok jahat yang  keji  dan menakutkan. Keadaan seperti itu berlangsung sampai sekarang.

Rupa2-nya orang takut benar bila kena tuduhan  komunis atau 'G 30 S.' Bila kebakaran banyak terjadi, katanya  - sisa2 'G 30 S.' Walaupun mungkin kebakaran  itu  disebabkan karena  kompor,  kortsluiting, tuantanah yang menghendaki anahnya kembali atau Kotapraja yang membutuhkan tanah untuk pembangunan kota; Kecelakaan2 kereta-api, katanya sisa2 G 30 S. Ya, semuanya bisa karena „sisa2 G 30 S,"  musim  kering yang panjang, produksi pertanian yang turun, harga  beras yang naik, dsb.! Demikian juga menghadapi sidang MPR dalam bulan Maret ini telah di-issue-kan tentang sisa2 G 30 S yang hendak mengganggu  keamanan kota Jakarta. Saya tidak tahu apakah masyarakat masih percaya pada obrolan seperti itu!

Tujuh tahun telah lewat sejak peristiwa G 30 S, tetapi tidak  banyak orang yang mengerti atau tahu, apakah sebenarnya peristiwa G 30 S itu?  Ataukah  mungkin  mereka mengerti  dan tahu, tetapi tidak berani mengemukakan pendapatnya  secara bebas karena dibayangi oleh rasa  sangsi dan takut?!

 Mengapa terjadi G 30 S? Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sudah terjadi, sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali untuk dibatalkan. Dalam hal terjadinya G 30 S, Presiden Sukarno dalam  menyampaikan  pertanggunganjawabnya yang  diminta oleh MPRS pada bulan Juni 1966 dimuat dalam lampiran NAWA-AKSARA menyatakan: Bahwa Gerakan 30 September terjadi karena pertemuannya dari tiga sebab, yaitu:
a. Keblingernya pimpinan PKI,
b. Kelihayan subversi Nekolim,
Memang ada oknum2 yang tidak benar.

Menilik situasi politik tanah air pada masa itu, pertanggunganjawab Presiden pada MPRS adalah benar. Dari fihak kaum Imperialis dengan CIA-nya sudah lama terdapat usaha keras untuk menggulingkan  Presiden Sukarno (baca   buku  Kuda  Troya  karangan  David Ramson) dan menghancurkan PKI. Subversi Nekolim tersebut adalah  sejalan dengan  sikap politik dan usaha2 yang telah  dilakukan oleh kaum reaksioner  dalamnegeri. Kaum kanan telah  mendapat tambahan kekuatan dari „oknum2 yang tidak benar,"  yaitu jenderal2  kanan  Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Kemudian Jenderal2 kanan ini menyatukan dirinya dalam apa yang dihebohkan sebagai Dewan Jenderal  yang  hendak melakukan kudeta terhadap pemerintah RI yang syah dibawah Presiden Sukarno. Dewan Jenderal bukan issue PKI, tetapi merupakan sesuatu yang memang  ada dan logis menurut perkembangan situasi politik pada waktu itu.

Tentang  adanya Dewan Jenderal yang  hendak  melakukan kudeta, telah  dinyatakan DN Aidit dalam briefingnya  pada tanggal  27 atau 28 Agustus 1965 didepan anggota2 Politbiro dan  anggota2  CC PKI yang pada waktu itu sedang  berada di Jakarta. Seandainya DN Aidit bisa dihadapkan sebagai saksi didepan   sidang Pengadilan ini, tentu ia akan banyak mengungkap tentang  proses  terjadinya  komplotan   Dewan Jenderal.

 Seandainya hukum di Indonesia bebas dan tidak memihak, tidakkah   seharusnya Mahkamah Pengadilan mengusut pula Jenderal2 kanan Angkatan Darat sehingga masalahnya menjadi terbuka?
Rencana aksi yang hendak dilakukan oleh Dewan Jenderal terhadap  Presiden Sukarno sebagai Kepala Pemerintah RI, telah menimbulkan reaksi perwira2 muda yang maju  dalam Angkatan Darat.  Perwira2 muda itu selalu bertekad untuk melawan usaha kudeta Dewan Jenderal.

Demikian  pula sikap politik PKI, bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal. Salahkah  bila  PKI sebagai partai politik mempunyai sikap politik yang demikian itu? Saya kira banyak orang akan menjawab: „Sikap politik itu tidak salah, sebaliknya  benar sebab membela pemerintah yang syah."  Situasi politik berjalan  begitu cepatnya. Jarum perpecahan fihak imperialis selalu menimbulkan lebih meruncingnya suasana politik dalam negeri. Disinilah letak kelihayannya Nekolim yang tepat pada waktunya dapat menggunakan situasi politik untuk keuntungannya.

Dalam suasana politik yang sedang menekan perasaan dan  fikiran,   di  kalangan  perwira2  muda  yang  maju   sangat menguatirkan  keselamatan Presiden Sukarno.  Mereka  menjadi marah  tak terkendalikan terhadap niat Dewan  Jenderal  yang hendak melakukan kudeta disekitar tanggal 5 Oktober 1965. Luapan  amarah  yang  tak  terkendali  ini   akhirnya mencetus sebagai terkenal dengan nama 'Gerakan 30 September' dibawah Komando ex. Letkol Untung.
Apa hubungannya PKI dengan 'G 30 S'?
Banyak orang ber-tanya2, benarkah  PKI  merencanakan Gerakan  30  September? Pertanyaan ini dikemukakan, karena beberapa oknum pimpinan PKI termasuk DN Aidit  Ketua CCPKI melibatkan diri didalamnya. Dan karenanya  khalayak  ramai menyangka, PKI berada dibelakang gerakan tersebut.
PKI sebagai Partai tidak mempunyai kesempatan yang diperlukan untuk menjelaskan pada masyarakat duduk perkara yang sebenarnya dalam  hubungannya dengan Gerakan 30 September. Dilain fihak Orba dan segenap  kekuatannya melakukan  kampanye, bahwa sutradara mainnya G 30 S adalah PKI.
Benar, bahwa dalam rapat Politbiro pada bulan Juli 1965 dalam  rangka memberikan informasi politik  dalam  dan luarnegeri, DN Aidit mengemukakan suatu keterangan  tentang adanya komplotan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Selanjutnya DN Aidit menambahkan, bahwa kebenaran informasi tersebut akan dicek lebih lanjut.
Dalam  briefingnya yang diberikan oleh DN Aidit pada tanggal 27 atau 28 Agustus 1965 pada anggota2 Politbiro dan anggota2  CCPKI yang berada di Jakarta  dikemukakan  sebagai berikut:
1. Situasi politik tanahair dalam keadaan gawat,
2. Sakitnya Preside Sukarno bertambah parah,
3. Dalam keadaan demikian Dewan Jenderal merencanakan kudeta terhadap terhadap Presiden Sukarno,
4. Terdapat perwira2 muda yang maju dalam Angkatan  Darat sebagai pembela Presiden Sukarno yang hendak  berlawan untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal.

Kemudian  DN Aidit menyampaikan sikap  politik  Partai sbb.:
1. PKI menentang rencana kudeta Dewan Jenderal,
2. PKI akan membela pemerintahan Indonesia yang  dikepalai oleh Presiden Sukarno,
3. Dalam perjuangan itu, PKI akan mendukung dan  bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju membela Presiden dan melawan kudeta Dewan Jenderal.

Bila  ditelaah dengan teliti tidak pernah  ada  maksud atau   suatu  opset  dari fihak PKI untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno. Sebaliknya opsetnya  adalah membela pemerintahan yang syah. Demikian pula tidak pernah  PKI merencanakan suatu kudeta. Yang ada yalah PKI dalam menghadapi situasi gawat mempunyai sikap politik. Sikap politik bagi sesuatu Partai menghadapi  situasi politik tertentu bukanlah soal luar-biasa, tetapi merupakan sikap yang wajar.

Dari penjelasan tersebut kiranya terang dari fihaknya PKI tidak pernah  mempunyai maksud atau rencana untuk melakukan suatu kudeta. Kudeta bukan jalannya   Rakyat kesinggasana kekuasaan Negara. Demikian pula kudeta samasekali bukan doktrin Komunis dan dalam pengalaman proletariat internasional sepanjang sejarahnya, tidak pernah dipakai suatu kudeta untuk merebut kekuasaan negara. Kudeta adalah metode perebutan kekuasaan yang biasa dipakai oleh Jenderal2  yang  berpengaruh dalam  Angkatan Perang.
Ada orang menanya, tapi kenyataannya bagaimana  dengan PKI?  Tidakkah  soal mendahului kudeta  Dewan  Jenderal  dan tentang pembentukan Dewan Revolusi sebelumnya sudah  menjadi putusan Dewan Harian Politbiro? Tidakkah bila ditinjau  dari segi organisasi putusan Dewan Harian Politbiro atau tindakan yang  dilakukannya sudah syah sebagai putusan atau  tindakan PKI sebagai organisasi. Untuk itu perlu diberi keterangan sebagai berikut:
Benar  pernah  saya  mendengar dari  DN  Aidit,  bahwa Kawan2  Dewan Harian menyetujui fikiran perwira2  muda  yang maju untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal dan  pembentukan Dewan Revolusi. Tidakkah bila ditinjau dari segi sentralisme demokrasi apa  yang  diputuskan oleh Dewan Harian adalah  syah  secara konstitusionil?!

 Sebelumnya perlu dijelaskan tentang prinsip2 sentralisme demokrasi sesuai dengan Konstitusi PKI Bab.  III fasal 23 sbb.:
a. Badan2 pimpinan Partai dari semua tingkat dipilih,
b. Badan2 pimpinan Partai bertanggung jawab kepada organisasi Partai yang memilihnya dengan memberi laporan pada waktu yang tertentu,
c. Putusan Partai harus dilaksanakan dengan tidak  bersyarat. Setiap anggota Partai tunduk kepada  putusan2 organisasi Partai dimana ia tergabung;   jumlah tersedikit tunduk kepada jumlah terbanyak;  organisasi Partai bawahan tunduk kepada organisasi  Partai diatasnya dan segenap organisasi Partai tunduk kepada  Kongres Nasional Partai dan CC.
d. Badan2 pimpinan Partai harus senantiasa  memperhatikan pendapat organisasi bawahan dan massa  anggota Partai, mempelajari pengalaman2nya dan  memberikan bantuan dalam memecahkan Persoalannya tepat pada waktunya, e. Organisasi2 Partai bawahan harus secara periodik memberikan laporan mengenai pekerjaannya kepada organisasi atasannya, dan meminta instruksi tepat  pada waktunya tentang soal2 yang memerlukan putusan  organisasi yang lebih tinggi.
f. Semua organisasi Partai bekerja atas prinsip  memadukan pimpinan kolektif dengan tanggung jawab  perseorangan; semua soal yang penting diputuskan secara kolektif dan bersama dengan itu masing2  orang diberi kemungkinan untuk melakukan peranannya  yang penuh dalam batas yang semestinya.
Pertama  perlu diperhatikan sub c yang berbunyi: „...organisasi  Partai  bawahan tunduk kepada  Kongres  NasionalPartai dan CC." Jelas  bahwa  Partai secara menyeluruh  tunduk  kepadagaris politik organisasi dan ideologi yang telah  ditetapkan oleh  Kongres Nasional Partai. Semua Badan  Pimpinan  Partai dan CC sampai Resort harus taat pada putusan Kongres.  Dalam hal  ini  jalan damai atau tidak damai ke  Demokrasi  Rakyat sebagai  masa peralihan ke Sosialisme, Kongres Luarbiasa  ke II   PKI  telah  memutuskan  „menempuh  jalan   damai   dan demokratis." Coba  kita sekarang kembali pada briefing  tanggal  27 atau  28  Agustus 1965, dimana DN Aidit  mengemukakan  sikap politik Partai menghadapi situasi gawat. Apakah sikap partai tersebut bertentangan dengan putusan Kongres?! Sikap  Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit tidak menyangkut dengan  soal jalan  damai  atau tidak damai ke  Demokrasi  Rakyat.  Sikap Partai itu inti soalnya, membela pemerintahan yang  dipimpin oleh Presiden Sukarno dari rencana kudeta Dewan Jenderal. Sikap politik itu benar dan tidak bertentangan  dengan putusan2 badan pimpinan Partai diatasnya, sebab sikap Partai adalah mendukung dan membela pemerintahan Sukarno.

Apakah menurut Konstitusi PKI, Dewan Harian  Politbiro secara   otomatis  sebagai  pelaksana  dari  putusan   badan pimpinan Partai diatasnya, atau menjadi pelaksana dari sikap politik Partai tsb. diatas?!
Benar, bahwa Dewan Harian Politbiro adalah secara otomatis merupakan pelaksana putusan2 atau sikap politik yang telah digariskan oleh badan pimpinan Partai diatasnya. Sebagai pelaksana Dewan Harian Politbiro tidak  boleh melanggar   putusan2  Partai. Juga  Politbiro tak  boleh melanggar  putusan CC dan CC tidak boleh  melanggar  putusan Kongres.

Seandainya benar apa yang dikatakan oleh DN Aidit pada saya, bahwa Kawan2 Dewan Harian menyetujui mendahului  untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal  dan  menyetujui  untuk membentuk   Dewan   Revolusi, apakah  putusan   itu   tidak bertentangan dengan sikap politik Partai  yang  dikemukakan oleh  DN  Aidit dalam briefingnya pada minggu  ke  IV  bulan Agustus 1965?

Sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dikemukakan  oleh DN   Aidit  pada  saya,  bahwa  „Dewan  Revolusi   merupakan organisasi tandingan Dewan Jenderal dan sekaligus  berfungsi sebagai  pendorong  untuk  mempercepat  proses   pembentukan Kabinet NASAKOM."
Soal interpretasi dari „mendahului" untuk menggagalkan Kudeta DewanJenderal, DN Aidit tidak  menjelaskan  hal tersebut  kepada saya. Dalam pemikiran saya  sendiri, Dewan Jenderal akan ditindak secara administratif oleh Presiden/Pangti  ABRI dengan backing kekuatan perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai  pendukung Presiden Sukarno.

Demikian pula DN Aidit tidak pernah mengemukakan tentang rencana Gerakan 30 September. Kalau soal mendahului dan soal pembentukan Dewan Revolusi itu benar  putusan Dewan  Harian dan kemudian ternyata terjadi Gerakan 30 September serta dalam Dekrit No. 1 ditegaskan, bahwa:„Untuk sementara waktu menjelang pemilihan  umum MPR sesuai dengan UUD 45,  Dewan  Revolusi Indonesia  menjadi  sumber daripada segala kekuasaan dalam negara  RI," maka hal tersebut adalah  bertentangan dengan sikap politik Partai.

Bertentangan dengan sikap politik Partai berarti melanggar prinsip sentralisme demokrasi dan oleh karena itu, tidak sah dan tidak bisa dinyatakan sebagai putusan PKI. Oleh karena itu PKI sebagai organisasi tidak  terlibat dalam  Gerakan 30 September. Yang melibatkan diri dalam gerakan itu adalah sementara oknum pimpinan PKI. G 30 S dan Kudeta.

Benarkah Gerakan 30 September itu merupakan  suatu kudeta atau perebutan kekuasaan negara?! Memang inilah yang menjadi persoalan, kudeta atau bukan kudeta!
Ada orang berkata, tak bisa diungkiri lagi „G 30 S" itu merupakan suatu kudeta. Katanya lebih lanjut, G 30 S itu merupakan suatu tindakan dengan kekerasan  merebut RRI, telekomunikasi dan membunuh Jenderal2. Saya tidak akan menyangkal, bahwa G30S pernahmemblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI menyiarkan Dekrit, Pengumuman dan keputusan G30S pada tanggal 1 Oktober 1965. Semua itu dilakukan tanpa kekerasan senjata.
Dan sebagai ekses dari peruncingan situasi kongkrit pada waktu itu telah  menyebabkan terbunuhnya jenderal2, sesuatu yang semestinya tidak boleh terjadi.
Saya berpendapat terbunuhnya jenderal2 pada waktu itubukan merupakan ciri dari  suatu kudeta. Begitu juga memblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 untuk keperluan penyiaran G 30 S  juga  bukan suatu ciri dari suatu kudeta. Baik Jenderal, RRI ataupun telekomunikasi tidaktermasuk sebagai atribut negara.
Dialoog  itu  berjalan terus dan orang itu  menjawab: „Bukan  itu  saja yang telah dilakukan oleh G 30 S. Telah dibentuk  Dewan  Revolusi  yang  berwenang sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Kemudian Kabinet juga  didemisionerkan. Tidakkah perbuatan2 itu merupakan suatu kudeta?!" Benar bahwa saya pernah mendengar siaran RRI pada tanggal  1 Oktober 1965 tentang dibentuknya Dewan Revolusi dengan komposisi yang luas meliputi berbagai golongan dalam masyarakat dan dikeluarkan  oleh  Letkol  Untung  Komandan Gerakan 30 September.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan pengumuman tersebut sudah bisa dinyatakan bahwa Dewan Revolusi itu benar2 telah terbentuk?! Bukankah pengumuman dibentuknya Dewan Revolusi dengan personalianya itu merupakan suatu pernyataan politik dari Letkol Untung sendiri, tanpa sepengetahuan dari orang2 yang bersangkutan?

Dalam  proses pengadilan selama 7 tahun ternyata nama orang2 yang  dicantumkan sebagai pimpinan atau sebagai anggota Dewan Revolusi tidak pernah diberitahu sebelumnya, sedangkan fihak pengadilanpun tidak bisa membuktikan mengenai hal tersebut. Bila Dewan Revolusi ini dituduh sebagai komplotan yang melakukan makar terhadap negara, mengapa tidak semua anggota komplotan tersebut diajukan dan dituntut didepan pengadilan? Tidakkah dengan itu menunjukkan adanya ketidakadilan  hukum?! Ataukah karena dibentuknya Dewan Revolusi baru merupakan pernyataan ex. Letkol Untung sendiri tanpa pemberitahuan pada orang2  yang dijadikan anggotanya, maka orang2 tersebut tidak bisa dituntut menurut hukum yang berlaku?!
Kecuali itu sebagai Dewan yang abstrak, Dewan Revolusi tersebut  belum  pernah bersidang dan karena itu dalam kenyataannya Dewan Revolusi itu tidak pernah ada. Karena Dewan itu tidak pernah ada, pasal2 hukum mana yang bisa dituntutkan pada sesuatu yang tidak ada itu?  Karena  Dewan Revolusi itu tidak pernah ada, maka  tidak mungkin Dewan Revolusi itu berbuat makar.

Tentang pendemisoneran Kabinet, inipun baru merupakan pernyataan politik dari ex. Letkol Untung sendiri. Dan perlu dijelaskan, bahwa tidak ada suatu  kudeta yang hanya mendemisionerkan Kabinet, karena itu berarti penguasa lama masih tetap  dan kedudukan Presiden tidak diganggugugat.Pernyataan pendemisioneran Kabinet, baru merupakan pernyataan belaka dan tidak daad werkelijk. Suatu kudeta adalah  perebutan kekuasaan negara, membubarkan pemerintahan lama, serta membentuk pemerintahan yang  baru. Ini tidak pernah terjadi. Kabinet yang  dipimpin oleh Presiden Sukarno tidak pernah menjadi demisioner dengan pernyataan ex. Letkol Untung.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu Presiden masih berfungsi sebagai Presiden, terbukti dengan pengangkatan yang dilakukan terhadap Jenderal Pranoto  Reksosamudro sebagaiPanglima Angkatan  Darat ad interim  dan Jenderal Suharto sebagai Panglima Operasi Keamanan. Memang Gerakan 30 September tidak bisa  dinyatakan sebagai suatu kudeta, sebab gerakan itu tidak merebut kekuasaan  negara. Malahan sebaliknya merupakan gerakan mencegah makar yang bermaksud menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal.

Pada  saat gerakan itu terjadi Presiden  Sukarno, dr.Leimena, Pangal Laksamana Madya E. Martadinata dan pejabat2 penting lainnya pada tanggal 1 Oktober 1965 berada dipangkalan udara Halim yang pada waktu itu menjadi pusat gerakan G 30 S. Sesudah peristiwa itu terjadi, tidak pernah Presiden Sukarno menyatakan Gerakan 30 September sebagai suatu kudeta terhadap  pemerintahan Indonesia yang  dipimpinnya sendiri. Malahan terhadap peristiwa itu Presiden pernah  menyatakan sebagai„een rimpel in de Oceaan." Memang tidak masuk akal, bahwa perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pendukung Presiden Suykarno akan melakukan kudeta terhadap Presiden yang dihormati dan dicintainya.

Demikian pula tidak masuk akal, bahw oknum2  pimpinan PKI  akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno  justru dalam  keadaan  dimana  kerjasama antara Presiden dan PKI bertambah erat. Sesudah peristiwa G 30 S pada tahun 1965 sampai akhir hayatnya pada tanggal 1 Juni 970, Bung Karno dalam pidato2nya menunjukkan tidak pernah meninggalkan rasa persahabatannya dengan kaum komunis Indonesia, sesuatu  yang tak mungkin terjadi seandainya PKI atau oknum2 pimpinan  PKI melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Malahan suara banter difihak Orba lewat berbagai macam mass  media, juga lewat interogasi2 justru berusaha untuk melibatkan  Presiden Sukarno dalam „G 30 S."  Ini  merupakan tambahan bukti, bahwa gerakan 30 September memang  tidak ditujukan pada Pemerintah  RI yang sah dibawah Presiden Sukarno.

Dari  keterangan2 tersebut diatas, baik ditinjau  dari segi maksud ataupun, perencanaan ataupun tindakan fisik  dan akibat  kongkrit  daripada gerakan itu adalah  cukup  jelas, bahwa  Gerakan 30 September bukan suatu  kudeta.  Sebaliknya justru merupakan suatu gerakan untuk mencegah makar dari komplotan Dewan Jenderal terhadap Pemerintahan  RI yang  sah  dibawah Presiden Sukarno.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pledoi Mohammad Munir #3
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA?

Diatas  sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya.

Suatu  ekses telah terjadi pada saat gerakan itu  pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2  pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini.

Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata  pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan  perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai  pimpinan  Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat  mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri  oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan."

Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden.

Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai   alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani  menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh.

     Mahkamah Pengadilan Yth,

Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-nya. Titik lemah Gerakan 30 September yang gagal telah dijadikan titik balik untuk memulai serangannya.

Kampanye  besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum  Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama  ditujukan  pada Pemuda Rakyat dan Gerwani.

Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu  Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis."  Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama.

Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana  perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan?

Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka  meningkatkan aksi2 terornya dengan  pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik.  Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh  mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat.

Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang  kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap."
Bapa  dan  Ibu bisa sekaligus dibawa beserta  anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya.

Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah  menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2  penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan  politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim  bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang  Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora?
Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet?

Dimanakah  Njoto,  Wk.  Ketua  II  CC  PKI,   pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara?

Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas?
Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka  saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan  pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak.

Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya  orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya.

Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam.

B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA?

Diatas  sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya.

Suatu  ekses telah terjadi pada saat gerakan itu  pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2  pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini.

Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata  pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan  perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai  pimpinan  Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat  mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri  oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan."

Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden.

Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai   alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani  menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh.

     Mahkamah Pengadilan Yth,

Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-nya. Titik lemah Gerakan 30 September yang gagal telah dijadikan titik balik untuk memulai serangannya.

Kampanye  besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum  Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama  ditujukan  pada Pemuda Rakyat dan Gerwani.

Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu  Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis."  Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama.

Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana  perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan?

Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka  meningkatkan aksi2 terornya dengan  pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik.  Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh  mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat.

Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang  kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap."
Bapa  dan  Ibu bisa sekaligus dibawa beserta  anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya.

Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah  menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2  penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan  politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim  bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang  Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora?
Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet?

Dimanakah  Njoto, Wk. Ketua II CC PKI, pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara?

Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas?
Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka  saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan  pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak.

Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya  orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya.

Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam.

Peristiwa  Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik  bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah  beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta  bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita.
Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah  hak2 asasi manusia dan jangan  di- injak2.
Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat  tak sepanjang hari."

     Sidang Pengadilan Yth,

Kampanye  politik penghancuran secara  fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti  Presiden Sukarno, menjatuhkan   prestise  pribadinya dan karier politiknya.

Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan,"  telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-Surabaya-Yogyakarta-Semarang-Malang-Makasar-Medan-Banjarmasin, ya di-seluruh tanah air demam „MPRS jalanan."

Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka  ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura,"  hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan.
Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura":

Bubarkan Kabinet Dwikora,
     - Bubarkan PKI,
     - Turunkan harga barang kebutuhan hidup.
Tritura  itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang  berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa  aksi2  itu telah lampau. Kabinet  Dwikora  sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan  dibubarkannya  PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan  demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah  dalam  jaman Orba  sekarang,  kebudayaan/pendidikan, olahraga  dan  penghidupan lebih baik daripada  jaman  orla? Digodog dalam pengalaman selama 6 tahun generasi muda  kita akan  dapat  menilai sendiri segi positif dan  segi  negatif dari dua regim: Orla dan Orba.

Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa  tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD).

Dengan  bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai  Waperdam  I telah diselamatkan dan  menyingkir  ke Bogor.

Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah  Jenderal Suharto,  suatu  delegasi berangkat dari  Jakarta  pada  jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan  kepada  Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi  pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam  19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau  „Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar).

Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S U R A T   P E R I N T A H

I. Mengingat:

1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun Internasional.

1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/ Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.

II. Menimbang:

2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi.

2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya.

III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT.

Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/Mandataris

M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.

     2.  Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja.

     3.  Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas.

     IV. Selesai.

Djakarta, 11 Maret 1966

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN

BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S

ttd.

S O E K A R N O

     SESUAI DENGAN JANG ASLI
     SEKRETARIAT NEGARA BIRO I
     PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN
               a.n.b                   SESUAI DENGAN SALINAN
     PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN,      PERTAMA ANGGOTA TEAM

            TJAP/TTD                     PEMERIKSA PUSAT

         (NJ.SUMARKINAH)                   G I M O E N

Kopral Udara Satu

Menilik  isi  SP  11  Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan  Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2  kanan  Angkatan Darat  dengan  para penasehatnya,  telah  melakukan  kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan"  kekuasaan executif dari tangan  Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi  Pasal  5,  10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb:

„Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan  menurut UUD."   Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan:„Dibawah  MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah  Negara yang tertinggi.   Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab  adalah ditangan Presiden."

Presiden  pada  waktu itu tidak keluar  negeri,  tidak berhalangan  untuk tetap memimpin Negara, malahan pada  masa itu  aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi  Presiden  telah meneken  SP  11 Maret bukan atas kemauannya  sendiri,  namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata.

Jenderal2  kanan  Angkatan Darat yang pada  waktu  itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan  Rakyat  dan ABRI, maka  mereka  tidak  melakukan perebutan  kekuasaan secara terbuka,  tetapi  berselubungkan kain  sutera. Disinilah letak kelihayan mereka  dengan  para „penasehatnya."

Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi"  Presiden. Mereka  mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri.

Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak  dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh   karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan.

Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl.  12  Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan  PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah   semua  kaum  buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI  dengan  tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th  1952 sbb: „SOBSI  berjuang  untuk  perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan  perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan  Kongresnya  yang  ke IV th  1959  ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia."  Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan  bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti  sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2  tidak  masuk  akal lagi pembubaran  SB2  dan  SOBSI, karena  organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat  dengan Gerakan 30 September.
Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb:
a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2.

Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan  berserikat dan  berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan  tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu  Partai Politik.

c.  Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar  pada  Undang2  Dasar '45  dan  Penpres 7/59 dan Perpres 13/60  sebagai  Undang2  yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian  sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20  Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb:

156  anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang.
Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata:

a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada.

b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya  sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum.

Selanjutnya  MPRS  yang sudah  direvisi  besar2an  itu memakaikan   baju  konstitusionil  pada  Supersemar dengan Ketetapan  No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada  tgl.  1 Juni 1966).  MPRS  sendiri merubah fungsinya sebagai MPR  hal  mana bertentangan  dengan Penpres tentang pembentukan  MPRS  yang membatasi  wewenangnya karena sifatnya yang sementara.  MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah:

Membuat haluan negara,
- Membuat garis2 besar Pola Pembangunan  Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru  dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak  mengangka Wakil Presiden.

Dengan ini jelas tindakan merevisi  MPRS secara besar2an dan memberikan  fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan  meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil."  Tetapi tidak mungkin perbuatan in-konstitusionil mempunyai karakter Konstitusionil. Perbuatan2 in- Konstitusionil zijn van rechtswege onwettig, tidak sah  dan harus batal.

Tindakan2 selanjutnya adalah:

Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang  Menteri Kabinet.
Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.

Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh.

Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan  yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden  Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawabkan  segala tindakannya didepan  Mahkamah Pengadilan. Tetapi  bila  hal2 tsb. ditinjau dari segi  politik, chususnya politik yang mewakili kepentingan klas2 reaksioner dalam negeri, maka perbuatan Jenderal Soeharto patut  dipuji sebagai „Pahlawan Orba" yang dengan segala caranya telah dapat menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaan Negara. Ditinjau  dari segi Orba, perbuatan itu  merupakan prestasi besar  dari seorang prajurit menjadi seorang  presiden  yang berkuasa.

Sdr. Hakim Ketua yth,

Sekarang  sesudah  7 tahun Gerakan  30  September  itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu.

Kebenaran  itu hanya ada satu, tidak lebih dari  satu! Ia  tidak  ditentukan  oleh dan bukan  terletak  pada  suara terbanyak  atau  pada siapa yang  berkuasa.  Seseorang  atau segolongan  masyarakat  bisa saja mencap yang  lain  sebagai „pembunuh,"  „penghianat,"  „kudeta," „makar"  atau  dengan istilah  yang  sejenis itu, karena mereka  berada  di  fihak pemenang.  Namun  kebenaran atasnya akan selalu  diuji,  dan batu  ujian  kebenaran itu adalah praktek,  pengalaman  atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri.

Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan,   barulah kesimpulan/tanggapan itu diterima sebagai kebenaran.

Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30  S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia.

Kiranya  fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan  apa sesungguhnya„G 30" itu.

C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN.

     Sdr. Hakim Ketua,
     Sidang Yth,

Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus.  Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa  Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis.

Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI?

Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul  persoalan2, baik dibidang  organisasi, politik maupun  ideologi.  Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan  sementara anggota/kader   PKI terhadap  pimpinan PKI, baik  di-daerah2  maupun ditingkat Pusat.  Perbedaan2  pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan  pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan  baru  mengenai berbagai masalah.

Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan  PKI  terlibat dalam gerakan  itu.  Kelemahan  ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total.  Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2   hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum.

Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI  merenungkan dan  mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah  terjadi. Dengan   terjadinya  Gerakan  30  September   dan   kemudian epiloognya  G  30  S,  mereka  menjadi  berani  memformulasi fikiran2-nya  dan mengajukan kritik2 pedas yang  dialamatkan pada pimpinan PKI.

Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung   kritik2 dari bawah dan  kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama  „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966.

Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit  yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai  th '65.

Peristiwa  Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik  bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah  beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta  bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita.
Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah  hak2 asasi manusia dan jangan  di- injak2.
Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat  tak sepanjang hari."

     Sidang Pengadilan Yth,

Kampanye  politik penghancuran secara  fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti  Presiden Sukarno, menjatuhkan   prestise  pribadinya dan karier politiknya.

     Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan,"  telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-Surabaya-Yogyakarta-Semarang-Malang-Makasar-Medan-Banjarmasin, ya di-seluruh tanah air demam „MPRS jalanan."

Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka  ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura,"  hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan.
Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura":

Bubarkan Kabinet Dwikora,
     - Bubarkan PKI,
     - Turunkan harga barang kebutuhan hidup.
     Tritura  itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang  berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa  aksi2  itu telah lampau. Kabinet  Dwikora  sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan  dibubarkannya  PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan  demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah  dalam  jaman Orba  sekarang,  kebudayaan/pendidikan, olahraga  dan  penghidupan lebih baik daripada  jaman  orla? Digodog dalam pengalaman selama 6 tahun generasi muda  kita akan  dapat  menilai sendiri segi positif dan  segi  negatif dari dua regim: Orla dan Orba.

Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa  tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD).

Dengan  bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai  Waperdam  I telah diselamatkan dan  menyingkir  ke Bogor.

Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah  Jenderal Suharto,  suatu  delegasi berangkat dari  Jakarta  pada  jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan  kepada  Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi  pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam  19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau  „Surat Perintah Pemindahan  Kekuasaan  Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar).

Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S U R A T   P E R I N T A H

I. Mengingat:

1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun Internasional.

1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/ Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.

II. Menimbang:

2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi.

2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya.

III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT.

Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/Mandataris

M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.

     2.  Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja.

     3.  Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas.

     IV. Selesai.

Djakarta, 11 Maret 1966

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN

BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S

ttd.

S O E K A R N O

     SESUAI DENGAN JANG ASLI
     SEKRETARIAT NEGARA BIRO I
     PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN
               a.n.b                   SESUAI DENGAN SALINAN
     PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN,      PERTAMA ANGGOTA TEAM

            TJAP/TTD                     PEMERIKSA PUSAT

         (NJ.SUMARKINAH)                   G I M O E N

Kopral Udara Satu

Menilik  isi  SP  11  Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan  Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2  kanan  Angkatan Darat  dengan  para penasehatnya,  telah  melakukan  kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan"  kekuasaan executif dari tangan  Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi  Pasal  5,  10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb:

 „Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan  menurut UUD."   Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan: „Dibawah  MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah  Negara yang tertinggi.   Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab  adalah ditangan Presiden."

Presiden  pada  waktu itu tidak keluar  negeri,  tidak berhalangan  untuk tetap memimpin Negara, malahan pada  masa itu  aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi  Presiden  telah meneken  SP  11 Maret bukan atas kemauannya  sendiri,  namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata.

Jenderal2  kanan  Angkatan Darat yang pada  waktu  itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan  Rakyat  dan ABRI, maka  mereka  tidak  melakukan perebutan  kekuasaan secara terbuka,  tetapi  berselubungkan kain  sutera. Disinilah letak kelihayan mereka  dengan  para „penasehatnya."

Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi"  Presiden. Mereka  mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri.

Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak  dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh   karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan.

Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl.  12  Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan  PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah   semua  kaum  buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI  dengan  tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th  1952 sbb: „SOBSI  berjuang  untuk  perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan  perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan  Kongresnya  yang  ke IV th  1959  ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia."  Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan  bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti  sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2  tidak  masuk  akal lagi pembubaran  SB2  dan  SOBSI, karena  organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat  dengan Gerakan 30 September.

Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb:
a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2.

Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan  berserikat dan  berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan  tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu  Partai Politik.

c.  Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar  pada  Undang2  Dasar '45  dan  Penpres 7/59 dan Perpres 13/60  sebagai  Undang2  yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian  sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20  Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb:

156  anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang.
Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata:

     a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada.

     b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya  sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum.

Selanjutnya  MPRS  yang sudah  direvisi  besar2an  itu memakaikan   baju  konstitusionil  pada  Supersemar dengan Ketetapan  No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada  tgl.  1 Juni 1966).  MPRS  sendiri merubah fungsinya sebagai MPR  hal  mana bertentangan  dengan Penpres tentang pembentukan  MPRS  yang membatasi  wewenangnya karena sifatnya yang sementara.  MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah:

Membuat haluan negara,
- Membuat garis2 besar Pola Pembangunan  Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru  dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak  mengangka Wakil Presiden.

Dengan ini jelas tindakan merevisi  MPRS secara besar2an dan memberikan  fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan  meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil."  Tetapi tidak mungkin perbuatan in-konstitusionil mempunyai karakter Konstitusionil. Perbuatan2 in- Konstitusionil zijn van rechtswege onwettig, tidak sah  dan harus batal.

Tindakan2 selanjutnya adalah:

Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang  Menteri Kabinet.
Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.

Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh.

Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan  yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden  Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawabkan  segala tindakannya didepan  Mahkamah Pengadilan. Tetapi  bila  hal2 tsb. ditinjau dari segi  politik, chususnya politik yang mewakili kepentingan klas2 reaksioner dalam negeri, maka perbuatan Jenderal Soeharto patut  dipuji sebagai „Pahlawan Orba" yang dengan segala caranya telah dapat menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaan Negara. Ditinjau  dari segi Orba, perbuatan itu  merupakan prestasi besar  dari seorang prajurit menjadi seorang  presiden  yang berkuasa.

Sdr. Hakim Ketua yth,

Sekarang  sesudah  7 tahun Gerakan  30  September  itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu.

Kebenaran  itu hanya ada satu, tidak lebih dari  satu! Ia  tidak  ditentukan  oleh dan bukan  terletak  pada  suara terbanyak  atau  pada siapa yang  berkuasa.  Seseorang  atau segolongan  masyarakat  bisa saja mencap yang  lain  sebagai „pembunuh,"  „penghianat,"  „kudeta," „makar"  atau  dengan istilah  yang  sejenis itu, karena mereka  berada  di  fihak pemenang.  Namun  kebenaran atasnya akan selalu  diuji,  dan batu  ujian  kebenaran itu adalah praktek,  pengalaman  atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri.

Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan,   barulah kesimpulan/tanggapan itu diterima sebagai kebenaran.

Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30  S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia.

Kiranya  fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan  apa sesungguhnya„G 30" itu.

C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN.

     Sdr. Hakim Ketua,
     Sidang Yth,

Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus.  Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa  Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis.

Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI?

Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul  persoalan2, baik dibidang  organisasi, politik maupun  ideologi.  Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan  sementara anggota/kader   PKI terhadap  pimpinan PKI, baik  di-daerah2  maupun ditingkat Pusat.  Perbedaan2  pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan  pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan  baru  mengenai berbagai masalah.

Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan  PKI  terlibat dalam gerakan  itu.  Kelemahan  ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total.  Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2   hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum.

Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI  merenungkan dan  mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah  terjadi. Dengan   terjadinya  Gerakan  30  September   dan   kemudian epiloognya  G  30  S,  mereka  menjadi  berani  memformulasi fikiran2-nya  dan mengajukan kritik2 pedas yang  dialamatkan pada pimpinan PKI.

Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung   kritik2 dari bawah dan  kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama  „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966.

Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit  yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai  th '65.

     Tiga kelemahan pokok itu adalah:

Pertama:  Subjektivisme dibidang  ideologi.
Kelemahan  ini bersumber pada ideologi  burjuis  kecil yang masih nempel dalam tubuhnya PKI dan kurangnya menguasai teori   Marxisme-Leninisme.   Kelemahan   ini    menimbulkan pandangan  subjektif  yang meng-idealisasi  sesuatu  menurut keinginannya  dan  dengan begitu tidak  menganalisa  sesuatu berdasar keadaan kongkrit. Subjektivisme inilah yang menjadi sumber  ideologi  kesalahan2  dogmatisme  atau   empirisisme dibidang  teori, oportunisme kanan atau  oportunisme  „kiri" dibidang  politik dan liberalisme atau  sektarisme  dibidang organisasi yang pernah terjadi dalam Partai.

     Kedua: Oportunisme kanan dibidang politik.

Yang  menjadi persoalan pertama dalam hal ini adalah jalan  damai atau jalan revolusi mencapai  Demokrasi Rakyat Indonesia  sebagai masa peralihan ke Sosialisme. PKI dimasa lalu menempuh jalan damai dan demokratis, hal  mana  dengan jalan ini tidak mungkin mencapai tujuan Demokrasi Rakyat. Soal pokok kedua, karena diciptakannya teori dua aspek. Yang dimaksud dengan  teori dua aspek adalah suatu teori yang menyatakan bahwa dalam negara RI terdapat dua aspek kekuasaan negara, yaitu: aspek pro Rakyat dan aspek anti Rakyat. Padahal Marxisme-Leninisme mengajarkan bahwa „negara adalah suatu alat kekuasaan klas, suatu alat untuk  menindas klas yang satu oleh klas yang lainnya." bahwa  „bentuk2 negara burjuis sungguh  sangat bermacam  ragam, tetapi hakekatnya  adalah sama . diktatur burjuasi," dan bahwa „penggantian  negara  burjuis oleh  negara proletar" tidak mungkin tanpa revolusi kekerasan. Dengan teori dua aspek ini maka PKI telah merevisi teori Marxisme-Leninisme tentang „Negara." Soal yang ketiga adalah PKI makin kehilangan kebebasan dalam  front persatuan dengan burjuasi nasional dengan memberi konsesi2 politik terlalu banyak. Sebagai contoh perlu dikemukakan bahwa pimpinan Partai tidak bersikap bebas terhadap Presiden Soekarno, selalu menghindari pertentangan dan sebaliknya selalu  menonjolkan persamaan atau persatuan Partai dengan Bung Karno. Rakyat melihat tidak ada politik Bung Karno yang tidak disokong oleh PKI. Demi untuk persatuan yang tanpa prinsip ini,  PKI bukannya  mengembangkan  aksi2 kaum buruh dan  tani  melawan penghisapan, tetapi justru membatasi aksi2 tersebut.

     Ketiga: Liberalisme dibidang organisasi

Ini berarti, bahwa kecenderungan umum dalam PKI adalah untuk mempunyai   anggota se-banyak2-nya, mengutamakan kwantitet dan bukan kwalitet anggota. Dinyatakan bahwa PKI adalah  Partai kader dan massa sekaligus. Sehubungan dengan cara kerja Partai, pimpinan telah membangun saluran2 organisasi tersendiri diluar kontrol Politbiro CC. Dengan begitu Politbiro dan CC sebagai badan pimpinan Partai yang kompeten, tidak dijadikan tempat untuk memecahkan segala soal urusan Partai dan revolusi. Tidak jarang Politbiro hanya  mensahkan langkah2 yang sudah diambil oleh pimpinan itu, atau mempertimbangkan sesuatu soal dengan pengetahuan yang  kurang lengkap dan mendalam  mengenai  persoalannya. Selain itu ada sikap yang kurang kritis terhadap pimpinan Partai baik dalam Politbiro CC maupun badan2 Partai lainnya. Sikap kurang kritis itu antara lain juga disebabkan karena lemahnya teori sehingga menyebabkan kurang kuatnya landasan untuk menyangkal pendapat pimpinan bila dirasa pendapat itu keliru. Kemudian dalam Partai telah  ditanamkan kepercayaan yang  mem-besar2-kan segi persatuan bulat Partai. Se-akan2 tidak terdapat perbedaan pikiran mengenai soal2 prinsip.
Karena itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak normal bila ada perbedaan prinsip dengan pimpinan. Dalam keadaan2 liberalisme menguasai garis organisasi Partai, maka tidak  mungkin dilaksanakan langgam kerja Partai, yaitu „memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa dan melakukan otokritik." Dan tidak mungkin juga dilaksanakan metode memimpin yang intinya adalah memadukan pimpinan  dengan massa, yang harus dilaksanakan dengan atasan memberi contoh  kepada bawahan. Sebagai  jalan keluar mengatasi 3 Kelemahan pokok  itu telah ditetapkan Tripanji Partai yang baru, yaitu:

Pertama: Panji pembangunan Partai Marxis-Leninis  yang bebas  dari  subjektivisme,  oportunisme  dan   revisionisme modern.

Ini  berarti, bahwa untuk menegakkan kembali PKI sebagai Partai Marxis-Leninis, maka liberalisme dibidang organisasi dan subjektivisme dibidang  ideologi, harus dibongkar se-akar2-nya. Dengan begitu PKI harus dibangun kembali  sebagai Partai tipe Lenin, Partai yang dapat memenuhi tugasnya sebagai barisan  depan dan bentuk organisasi klas yang tertinggi dari proletariat Indonesia, Partai yang memikul tugas sejarah memimpin  massa RakyatIndonesia  untuk  memenangkan Revolusi Demokrasi  Rakyat  ke Sosialisme.

Kedua: Panji  perjuangan Rakyat bersenjata yang hakekatnya  perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti feodal dibawah pimpinan klas buruh.Ini  berarti, bahwa bentuk pokok  revolusi Indonesia adalah  perjuangan  bersenjata dan metode revolusinya  dari desa mengepung kota dan akhirnya merebut kota2.

Ketiga:  Panji Front persatuan revolusioner  Indonesia atas dasar persekutuan buruh dan tani dibawah pimpinan  klas buruh.

Atas  dasar  persekutuan buruh dan  tani,  klas  buruh harus  menggalang front persatuan dengan burjuasi kecil  dan kaum  intelektual  revolusioner sebagai  sekutu  yang  dapat dipercaya. Mengenai burjuasi nasional, selama klas ini tidak mengkhianati  revolusi,  klas buruh  juga  harus  menggalang front persatuan dengannya. Bersamaan dengan itu, klas  buruh harus   berjuang  dengan  teguh  melawan   kebimbangan   dan kecenderungan burjuasi nasional untuk berkapitulasi terhadap kapitalis birokrat, burjuasi komprador dan tuantanah.

Bersambung ke : Pledoi Mohammad Munir (2)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
http://sastrapembebasan.wordpress.com/

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment