Advertising

Wednesday, 1 June 2011

[wanita-muslimah] Piagam Jakarta dan UUD 1945

 

Koran Republika Opini
Selasa, 31 Mei 2011 pukul 11:51:00

Piagam Jakarta dan UUD 1945

Oleh DR Ahmad Sumargono
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategi Politik
dan Pemerintahan (PKSPP)

Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan landasan konstitusional yang menentukan arah pembangunan nasional, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusi bagi bangsa Indonesia, seharusnya menjiwai setiap peraturan dan perundang-undangan dalam mewujudkan cita-cita dan arah pembangunan bangsa.

Sedangkan dalam naskah otentik pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta, pada naskah yang disusun tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri atas Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin, itu termaktub dalam alinea keempat kalimat: "... kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja .."

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai "Gentlemen's Agreement" antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim. Tapi, pada 18 Agustus 1945, "tujuh kata" vital tadi akhirnya didrop dengan
alasan umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru saja diproklamasikan, bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar egara.Mengomentari
ultimatum itu, DR M Natsir mengatakan: "Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa."

Upaya kelompok Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 'disabotase' oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.(*) Gagallah usaha tersebut hingga sekarang. Memasuki era reformasi, UUD 45 telah mengalami amendemen sebanyak empat kali, yakni pada 1999 hingga yang terakhir 2002. Amendemen itu menimbulkan kontroversi.

Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit), sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamendemen, yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamendemen ini diamendemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amendemen terbatas dan sebagian lagi amendemen overwhole atau keseluruhan. Amendemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amendemen 2002 adalah keran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan, bahkan merupakan ancaman bagi kedaulatan bangsa.

Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU terindikasi melalui Intervensi G2G (Government to Government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini, memang tampak vulgar sehingga mudah diserang oleh hujan kritik. Contohnya: Pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.

Dalam bidang ekonomi, melalui W2G (World to Government), yakni intervensi melalui lembaga internasional (seperti PBB,WTO, dan IMF) yang mengambil peran. Seperti dalam hal agenda UU yang terkait dengan globalisasi ekonomi
dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas,UU Tenaga Listrik, dan UU sumber daya air).Peranan NGO (Non Government Organization) atau LSM asing tidak kalah agresivitasnya dalam melakukan intervensi melalui pemanfaatan LSM lokal. Untuk kepentingan asing, mereka bisa mendatangkan para penyusun UU hingga demo besar besaran, seperti penolakan RUU pornografi dan pornoaksi.

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah NDI (National Democration Institute) yang dalam operasionalnya didukung CETRO (Central for Electoral Reform) suatu LSM asing yang bergerak di bidang reformasi
pemilihan umum dan rancangan undang-undang. Mereka mempunyai program Constitutional Reform. Diduga ada dana 4,4 miliar dolar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Bahkan, NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan
Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amendemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA).

Pakar minyak Kurtubi dalam diskusi bertema "UUD 1945 vs UUD 2002" di kantor Institute for Policy Studies Jakarta, membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.

Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing, seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan perusahaan lainnya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.

Beberapa waktu lalu, sejumlah media menulis bahwa kuatnya dominasi asing di Indonesia. Data-data yang disajikan sungguh mengagetkan karena besarnya kepemilikan asing di Indonesia. Menurut data yang disajikan, sampai dengan
Maret 2011, asing telah menguasai lebih dari 50 persen aset perbankan nasional. Ini berarti aset bank Rp 1,551 triliun lebih. Dari total aset bank senilai Rp 3.065 triliun, kini dikuasai asing.

Bidang asuransi pun lebih separuh milik asing, yaitu sekitar 45 perusahaan asuransi jiwa. Bidang lain, pasar modal total investor asing menguasai 70 persen. Di bursa efek, data yang parah juga terjadi pada kepemilikan BUMN yang telah diprivatisasi, kini 60 persen dikuasai asing.

Lebih mengerikan lagi adalah penguasaan sektor pertambangan minyak dan gas yang kini 75 persen telah dikuasai asing. Kini, rakyat Indonesia dipaksa membeli BBM dengan harga pasar dunia, padahal semula Indonesia merupakan
anggota OPEC, negara pengekspor minyak, kini terbalik menjadi pengimpor bahan BBM karena hampir 100 persen minyak yang dieksploitasi dari bumi pertiwi justru diekspor dengan harga yang murah.

Sebagai negara penghasil minyak selayaknya minyak yang dihisap dari bumi negeri ini bisa dipakai maksimal untuk kepentingan rakyat. Seperti yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi dan Libya yang kini rakyatnya menikmati
harga BBM-Premium rata rata Rp1200/liter.

Keprihatinan yang dialami bangsa ini tampaknya harus segera diambil langkah-langkah penataan ulang terhadap kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi melalui pemberdayaan sumber daya dan reevaluasi segala bentuk
peraturan dan perundang- undangan yang disesuaikan dengan nilai-nilai moral bangsa serta berorientasi pada kepentingan nasional.

Nilai-nilai moral bangsa, yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai landasan ideologi bangsa, yaitu Pancasila, sebagai komitmen nasional, serta Piagam Jakarta sebagai sumber inspirasi dari mukadimah UUD 45. Sumber inspirasi ini seharusnya menjadi ruhnya setiap kebijakan dan strategi pembangunan nasional. Maka, berdasakan latar belakang historis maupun kepentingan faktual masa depan, pemulihan Piagam Jakarta menjadi relevan diperjuangkan.
-----------------------------
(*)
Dekrit 5 Juli 1959
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia :
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

************************************************************************************************

Tirani Minoritas: Dari Piagam Jakarta Hingga Reformasi
ZA Maulani(*): Mereka Lihai Sekali

Jum'at sore. Tanggalan menunjuk angka 17 Agustus 1945. Dering telepon memaksa Bung Hatta beranjak dari istirahatnya. Pembantu Laksamana Maeda memberitahukan, sebentar lagi seorang opsir angkatan laut Jepang akan menemuinya. Lelaki Minang berkacamata bundar itu mengangguk. "Ya, baik," ujarnya singkat. Benar saja. Tak sampai satu jam, tamunya datang. Sang opsir Jepang, Hatta lupa namanya, memberitahukan, dirinya membawa pesan dari seorang tokoh Nasrani dari Indonesia Timur. Tokoh Nasrani itu menyatakan keberatan jika kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" tetap tercantum dalam Piagam Jakarta.

Jika kata-kata itu masih ada dalam Piagam Jakarta, umat Nasrani di Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian sang opsir dalam pesannya. Bung Hatta tercenung mendengar pesan yang lebih tepat disebut ancaman separatisme itu. Esok harinya, 18 Agustus 1945, memang ada agenda penting bagi negara yang baru lahir ini. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah rampung disusun oleh BPUPKI dan disetujui semua anggotanya.

Sebagai negarawan sipil yang mendahulukan persatuan nasional di atas segala-galanya, Bung Hatta tidak sempat berpikir panjang. Ia akan mengambil suatu langkah yang bisa mengakomodir ancaman separatis dari umat Nasrani Indonesia Timur esok pagi sebelum sidang PPKI dimulai. Dihubungilah beberapa tokoh yang dianggapnya bisa bersikap lunak malam itu juga, guna merancang pertemuan esok.

Banyak peneliti sejarah berpandangan, andai Bung Hatta seorang militer, maka sejarah akan berjalan lain. Ancaman separatisme sewajarnya ditumpas dengan tindakan represif. Itu sudah hukum besi sejarah. Namun Bung Hatta adalah seorang negarawan sipil, yang terlalu naïf menghadapi niat busuk kalangan minoritas.

Tanpa berkoordinasi dengan anggota-anggota BPUPKI yang telah bekerja mati-matian hingga rancangan UUD selesai, Bung Hatta berniat akan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi bagian inti dari Pembukaan UUD tersebut, sesuai pesanan dari tokoh Nasrani Indonesia Timur. Benar saja, keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengumpulkan beberapa tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim, dan Mr. Teuku Hasan. Sesuai skenario, Mr. Teuku Hasan berupaya meyakinkan Ki Bagus agar tujuh kata tersebut bisa dihapus. Maka akhirnya, dicoretlah tujuh kata yang amat berarti bagi umat Islam Indonesia itu lewat sidang kecil yang berlangsung kurang dari limabelas menit tersebut

Uniknya, rapat kecil itu sendiri ternyata tidak mengundang para penandatangan Piagam Jakarta seperti H. Agus Salim, Abikusno, Abdul Kahar Muzakir, dan Mr. M. Yamin. Ketua BPUPKI, KH. Masykur pun tidak diundang. Trio nasionalis sekuler Hatta-Soekarno-T. Hasan agaknya memahami bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang konsisten dan tidak gampang mengubah apa yang sudah disepakati bersama. Sebab itu, mereka tidak diundang.

Dalam sidang PPKI, Hatta mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang terbagi dua, kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh, sedang kalangan Islam terdiam membisu. Bisa jadi sangat kaget, hingga tak sempat menginterupsi Hatta.

Kisah di atas dituturkan KH. Firdaus AN , seorang ulama pejuang kelahiran Maninjau Sumatera Barat (1924). Mantan Sekjen Front Anti Komunis yang produktif menulis di berbagai media massa pada zamannya itu menambahkan, Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, sebagai salah seorang penandatangan Piagam Jakarta, pernah menyatakan kekecewaannya langsung pada Firdaus. Menurut Firdaus, Abdul Kahar Mudzakkir geram karena sama sekali tidak diajak berunding sebelumnya. Dan tahu-tahu, Piagam Jakarta yang diperjuangkan mati-matian bersama kawan-kawannya itu telah dicoret pada bagian yang amat vital bagi umat Islam.

Sikap Hatta dan sejumlah politisi nasionalis-sekuler ternyata salah total. Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, ternyata tidak menghentikan niat separatisme kaum Nasrani Indonesia. Terbukti, pada tanggal 7-8 Desember 1946, digelar Konperensi Denpasar atas prakarsa Van Mook, yang pada akhirnya mengeluarkan keputusan memproklamirkan Negara Indonesia Timur (NIT). KH. Firdaus AN melihat, ancaman tokoh Nasrani Indonesia Timur di atas hanya merupakan upaya deislamisasi Piagam Jakarta. Sedang niat mereka untuk memisahkan diri dari NKRI, demikian Firdaus, tetap menyala sepanjang masa hingga tercapai impian separatis tersebut.

Dari tahun ke tahun, kalangan minoritas mengembangkan jaringan yang cukup kuat dan rapi, sehingga tercipta apa yang disebut "Tirani minoritas atas mayoritas". Negara dan bangsa besar ini dijadikan sebagai sapi perahan yang selalu menguntungkan mereka. Indonesia, sebagai negara bangsa terbesar populasi umat Islamnya di seluruh dunia, kaum Musliminnya malah selalu dikalahkan oleh berbagai kebijakan pemerintah. Tidak ada lain, ini semua disebabkan seluruh posisi kunci dalam pemerintahan telah diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap permusuhan terhadap Islam.

Satu catatan sejarah yang tidak bisa dibantah, yang menggambarkan secara jelas taktik licik mereka, adalah apa yang mereka perbuat ketika kekuasaan Soekarno runtuh dan Orde Baru mulai berdiri. Hartono Mardjono, SH, dalam buku "Reformasi Politik Suatu Keharusan" (1998) menyinggung hal tersebut. Apa yang disebut Mas Ton - sapaan akrabnya - sebagai sejarah awal Orde Baru (Orba) dipaparkan sebagai berikut:

Begitu lahir Orba, sekelompok kekuatan politik tertentu, cepat mengambil langkah untuk menyusup. Pada saat kekuatan lain, khususnya umat Islam sibuk menumpas G.30 S/PKI bersama RPKAD (nama Kopassus kala itu) melakukan operasi pengganyangan sampai pelosok tanah air, khususnya di pulau Jawa, Herry Tjan, Liem Bian Kie, dan Liem Bian Koen diam-diam dapat mendekati inner-circle pimpinan Orba. Mereka gandeng ali Moertopo, Asisten Pribadi Presiden Bidang Politik, yang sekaligus adalah Komandan Opsus (Operasi Khusus), yang kala itu menjadi Insivible Government. Bersama The insivibel government tersebut, mereka kemudian membentuk CSIS, sebuah lembaga studi yang akan mereka jadikan think tank untuk menyiapkan konsep-konsep bagi pimpinan Orba.

Mereka mulai mencanangkan doktrin-doktrin dan jargon-jargon politiknya: "Politik No, Pembangunan Yes", "Floating Mass System", "Monoloyalitas bagi pegawai negeri", dan "Akselerasi Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun". Mereka integrasikan ide-ide mereka ke dalam dokumen-dokumen negara. Mereka tebarkan pula isu tentang paham "Sektarian/primordialisme" yang dihadapkan secara diametral dengan paham kebangsaan. Mereka juga menggodok isu tentang adanya Islam fundamentalisme yang akan mendirikan NII menggantikan NKRI dengan merekayasa terbentuknya apa yang mereka sebut sebagai Komando Jihad (Komji) dan sebagainya.

Demikianlah, di saat umat Islam dengan segala pengorbanannya menjaga keutuhan bangsa ini dari berbagai rongrongan di tahun-tahun penuh prahara (1966-1970), mereka masuk dan mendekati pusat kekuasaan. Dengan lihainya mereka mendekati para pemegang kebijakan. Dan pada akhirnya, setelah penguasa bisa mereka dekati, mereka mulai menempatkan orang-orangnya di posisi kunci pemerintahan.
Sebagai lembaga think-tank rezim Soeharto, CSIS memiliki akses yang luar biasa ke segenap lorong pemerintahan. Di tubuh militer mereka berhasil menempatkan Leonardus Benny Moerdani, seorang jenderal Katholik yang sangat anti Islam, dan berhasil menguasai seluruh jajaran militer.

Seorang pensiunan tentara pernah bercerita, "Di zaman Benny, jangan harap bisa menemukan Masjid di dalam komplek tentara. Kurikulum akademi militer pun didesain sedemikian rupa hingga para taruna tidak bisa menunaikan sholat. Para taruna sudah harus bangun tidur dan latihan sejak sebelum Subuh hingga matahari sudah tinggi. Mereka tidak bisa sholat Subuh. Dan sholat-sholat lainnya mereka juga tidak bisa. Jika Benny menemukan ada sajadah bertengger di kursi para bawahannya, maka ia akan marah dan mengatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam."

Di zaman Leonardus Benny pula, pecah berbagai rekayasa mau pun peristiwa yang amat merugikan umat Islam. Pembantaian ratusan jamaah pengajian di Priok, Jakarta Utara, 14 September 1984, bisa dianggap puncak dari penindasan rezim Orba terhadap umat Islam. Demikan pula peristiwa pembantaian jamaah Warsidi di Talangsari-Lampung, kasus jilbab, Woyla, dan sebagainya. Umat Islam dianggap sebagai musuh negara. Ini sebuah ironi yang amat sangat menusuk hati. Negara memusuhi rakyatnya sendiri.

Alhamdulillah, seiring dengan perjalanan waktu, bandul politik mulia berayun ke arah sebaliknya. Soeharto "entah kenapa" mendepak mereka satu demi satu. Jilbab mulai merambah di sekolah-sekolah, kampus, bahkan perkantoran negara. Salam "Assalammu'alaikum" dijadikan salam nasional, ICMI berdiri, dan sebagainya. Mulailah kelompok yang tadinya dianak-emaskan ini bertingkah. Lewat jaringan internasionalnya dan hubungan yang amat erat dengan kekuatan jaringan yahudi internasional, mereka menggunakan kekuatan ekonomi sebagai palu godam untuk mengakhiri kekuasaan Orba. Mereka sudah tidak bisa lagi menggunakan Soeharto sebagai alatnya. Dan sayangnya, umat Islam juga tidak bisa mempertahankan Soeharto sebab dirinya memang penuh dengan KKN. Sebab itu seluruh elemen bangsa bersatu-padu melengserkan dirinya.

Soeharto lengser dan Habibie otomatis naik. Naiknya Ketua Umum ICMI tidak menyenangkan mereka, sebab itu Habibie diserang dengan alasan inkonstitusional. Namun, karena tudingan mereka bisa dipatahkan dengan amat mudah oleh sejumlah "anak-anak Islam" yang memiliki pendidikan cukup tinggi dan pakar di bidang hukum tatanegara, isu tersebut kandas di tengah jalan. Mereka mengganti strategi dan berupaya sekuat tenaga agar kekuasaan Habibie secepatnya dihabisi. Salah satu isu yang sering dilontarkan adalah sosok Habibie yang demikian lekat dengan Orde Baru, sebab itu tidak selaras dengan nafas reformasi. Mereka tidak tahu malu, sebab diri mereka sendiri sesungguhnya juga belepotan lumpur Orba, malah merekalah biang KKN-nya Orba.

Penggoyangan terhadap kekuasaan Habibie nyata sekali didanai oleh sejumlah badan resmi kalangan minoritas. Terlalu banyak fakta yang bisa mengungkap hal ini. Reformasi yang dimotori oleh tokoh Islam dan gerakan mahasiswa Islam (Amien Rais dan KAMMI), hendak ditunggangi kembali. Reformasi hendak dijadikan alat untuk bisa mengembalikan mereka ke pusat pemerintahan kembali seperti zaman keemasan semasa Soeharto bermesraan dengan CSIS.

(*)
ZA. Maulani, mantan Kabakin, Jend (Purn)

******************************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
437. Piagam Jakarta

Salah satu hasil Badan Pekerja MPR yang tidak jadi dibahas dalam Sidang Komisi A yang membahas amandemen UUD-1945 adalah penjabaran Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD-1945 ke Pasal 29 dalam Batang Tubuh UUD-1945, yaitu memasukkan 7 kata dari Piagam Jakarta: (1)Dengan (2)Kewajiban (3)Menjalankan (4)Syari'at 5)Islam (6)Bagi 7)Pemeluk-pemeluknya.

Piagam Jakarta sesungguhnya dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD kelak, yang juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Itulah sebabnya maka Piagam Jakarta hampir identik dengan Pembukaan UUD-1945, yang perbedaannya hanya terletak dalam dua hal seperti yang akan dijelaskan di bawah. Disebut dengan Piagam Jakarta, karena Muqaddimah UUD yang akan dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah piagam yang dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang terdiri dari sembilan orang, yaitu: Ir Soekarno sebagai ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Abd.Kahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad Soebardjo, Mr Moh.Yamin.

Sebenarnya ke-7 kata itu dalam Piagam Jakarta adalah hasil kompromi. Pada mulanya diusulkan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam, dengan pengertian secara implisit hanya diperlakukan bagi orang-orang Islam. Usulan itu dapat dipahami, karena pada 1 Juni 1945 Bung Karno, mempergunakan ungkapan: Ketuhanan yang berkebudayaan, yang diletakkan Bung Karno pada urutan kelima dalam usulan falsafah negara yang akan didirikan kelak. Bung Karno menamakan falsafah negara itu dengan Pancasila yang menurut Bung Karno "dibisikkan" oleh seseorang yang Bung Karno tidak mau sebutkan nama pembisik itu. (*) Sidang Panitia Sembilan dapat menerima usulan itu dengan perbaikan. Yaitu harus ditegaskan secara eksplisit: bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab dikuatirkan tanpa penambahan ketiga kata itu akan dapat membuahkan dua implikasi, yaitu pertama, dapat ditafsirkan salah sehingga orang-orang non-Islam tentu merasa was-was, dan kedua lembaga-lembaga milik negara juga harus menurut Syari'at Islam.

Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia urung dilaksanakan, karena sejarah berkata lain. Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo kedua pemimpin itu dikembalikan ke Jakarta pada malam 16 Agustus 1945 dengan janji akan memprokla-masikan kemerdekaan Indonesia pada pagi-pagi keesokan harinya 17 Agustus 1945. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan alinea ketiga Piagam Jakarta. Sehingga diambillah bagian kalimat terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kata "rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Teks itulah yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi. Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, akibatnya ialah Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman UUD selama satu hari.

Pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dibahaslah Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk menjadi Muqaddimah Undang-Undang Dasar itu. Seperti diketahui pada 17 Agustus 1945 petang hari seorang Kaigun datang menyampaikan kepada Bung Hatta, bahwa bagian timur Indonesia tidak ikut membela RI yang baru diproklamasikan itu jika ke-7 kata dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret. Maka dicoretlah ke-7 kata itu dalam sidang PPKI tersebut dan diganti dengan 3 kata: Yang Maha Esa, maka Piagam Jakarta itu disahkanlah sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dua perubahan: Muqaddimah diganti dengan Pembukaan dan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Personel Kaigun ini perlu pembahasan. Pada waktu pendudukan Jepang di Kawasan Timur Indonesia diduduki oleh Kaigun, yaitu pasukan Angkatan Laut, sedangkan Jawa-Sumatera diduduki oleh Rikugun, yaitu pasukan Angkatan Darat Jepang. Tentera Jepang tidak mempunyai khusus Angkatan Udara, jadi masing-masing angkatan itu mempunyai pasukan udara masing-masing. Bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 barulah diketahui oleh kelompok kecil yang ada di Rengas Dengklok pada 16 Agustus 1945 malam hari. Jadi kemerdekaan Indonesia baru diketahui merata di seluruh Indonesia, ialah pada 17 Agustus 1945 itulah. Dan pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi mencoret 7 kata dari kawasan Indonesia bagian timur. Proses mengumpulkan aspirasi pada 17 Agustus 1945 di kawasan yang begitu luas, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang dan cepatnya anggota Kaigun itu tiba di Jakarta pada 17 Agustus 1945 petang hari. Ini yang perlu dipertanyakan, sebab ada kemungkinan personel Kaigun itu adalah Kaigun gadungan dan aspirasi yang disampaikannya hasil rekayasa politik. Pekerjaan rumah bagi para peneliti sejarah!

Masuknya 7 kata dalam Pasal 29 menimbulkan sikap pro dan kontra dalam kalangan ummat Islam sendiri, bahkan ditanggapi secara emosional. Untuk menghindarkan hal ini perlu sosialisasi Piagam Jakarta secara intensif. Pada waktu Orde Baru kebebasan mengeluarkan pendapat terpasung. AlhamduliLah Presiden Habibie berhasil melepaskan pasungan itu, sehingga orang bebas mengeluar-kan pendapat. Dalam alam demokrasi sekarang ini orang sudah leluasa mensosialisasikan Piagam Jakarta. Dengan masuknya 7 kata dalam Pasal 29, maka tidak boleh lagi ada produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Syari'at Islam. Seperti misalnya Pasal 284 KUHP tentang zina yang hanya berupa delik aduan. Orang hanya dapat dijaring dengan pasal tsb., jika suami dari isteri yang berzina ataupun isteri dari suami yang berzina berkeberatan. Akan halnya bujang dengan gadis yang berzina atas suka sama suka, jika si gadis hamil, si bujang tidak dapat dibawa ke dalam sidang pengadilan. Ini sangat bertentangan dengan Syari'at:
-- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAHSYT WSA^ SBYLA (S. BNY ISRA^YL, 32), dibaca: walaa taqrabuz zinaa innahuu ka-na faahisyatan wasaa.a sabiilaa (s. banii israaiil), artinya:
-- Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu sangat keji dan jalan yang jahat (17:32). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 20 Agusutus 2000
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2000/08/437-piagam-jakarta.html
-----------------------------------
(*)
Apa yang lahir pada 1 Juni 1945 adalah Pancasila menurut konsep Bung Karno, yaitu sila pertama adalah kebangsaan, sedangkan sila kelima adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Pada 22 Juni 1945 lahir pula konsep Pancasila yang dinyatakan dalam alinea ke-4 dari suatu dokumen sejarah yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Akhirnya pada 18 Agustus 1945 lahirlah Pancasila yang bukan lagi konsep, yaitu pada alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945. Hampir seluruh Piagam Jakarta yang 4 alinea itu sama dengan Pembukaan UUD-1945 yang 4 alinea itu juga. Perbedaannya, dalam Piagam Jakarta dipergunakan istilah Muqaddimah untuk Pembukaan, kemudian pada alinea ke-4 dalam Piagam Jakarta berbunyi: Ketuhanan dengan menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan pada alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945 berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

**********************************************************************

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Find useful articles and helpful tips on living with Fibromyalgia. Visit the Fibromyalgia Zone today!


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment