Advertising

Wednesday 29 June 2011

[wanita-muslimah] Refleksi Isra Mikraj Negeri tanpa Cahaya Langit

 

M Bashori Muchsin :

Refleksi Isra Mikraj Negeri tanpa Cahaya Langit
M Bashori Muchsin Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam
Malang dan penulis buku Pendidikan Islam Kontemporer

SEMU Aagama, dalam tahapan-tahapan se jarah yang berbeda, telah
berfungsi sebagai katalisator transformasi sosial, bahkan revolusi
sosial maupun politik.' Demikian pernyataan S Wesley Ariarajah dalam
buku Tak Mungkin tanpa Sesamaku (2008).
Pernyataan itu sebagai
catatan penting pada masyarakat, khususnya pengkaji atau `pengaji'
doktrin keberagamaan, bahwa salah satu fungsi agama ialah mendorong
terjadinya perubahan. Perubahan tidak hanya dalam wilayah terbatas
keluarga dan kelompok, tetapi juga dalam spektrum makrokemanusiaan dan
kemasyarakatan.
Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW saat
didampingi malaikat Jibril dalam perjalanan menghadap Allah (dalam
peristiwa Isra Mikraj), sedang mengemban misi sakral keagamaan yang
bersubstansikan transformasi terhadap realitas pergulatan kemanusiaan
dan kemasyarakatan yang konstruksinya sarat penyakit. Rasul dibekali
oleh Allah berbagai bentuk peristiwa keagamaan yang notabene sebagai
amunisi cahaya langit.
Pun memang, berdasarkan realitas
historisnya, Nabi Muhammad membutuhkan cahaya `kerajaan langit' untuk
menghidupkan kembali cahaya moral-teologis yang mengalami degradasi
atau kematian di tengah masyarakatnya (bangsa Arab). Wilayah kerja
keilahiahan atau spiritualitasnya menghadapi tantangan atau `komplikasi
penyakit' yang tidak ringan, karena konstruksi kenegaraan,
kemasyarakatan, budaya, dan politiknya, khususnya kalangan elitenya,
terseret dalam kultur disnormativitas dan berbagai bentuk pembusukan
nilai-nilai (values decay).
Ketersingkiran atau kematian cahaya langit di
tengah masyarakat (Arab) itulah yang dimaksudkan Allah SWT sebagai
`proyek kenabian' untuk dikembalikan sebagai modal merekonstruksi
negeri dan peradaban manusia yang sarat penyakit dan berada di tepian
kehancuran totalnya supaya bisa menemukan titian kebenaran dan
pencerahan.
Profil masyarakat atau bangsa yang kehilangan cahaya
`kerajaan langit' dan terhegemoni komplikasi kriminalisasi itu
merupakan representasi dari wajah manusia yang lebih tergiur dan
hegemonis dalam menuhankan, menasbihkan, atau `memahatinggikan'
kepentingan eksklusif, materialistik, egoisme, dan hedonistisnya,
daripada menasbihkan kepentingan transendental keilahiahan dan
kemanusiaan.
Filsuf kenamaan F Nietszhe pernah bilang bahwa "God is dead," atau
Tuhan telah mati.

Ungkapan
demikian bukan disebabkan filsuf ini telah `murtad' atau jadi ateis,
melainkan ia melakukan `gerilya moralspiritual' yang bermodus menggugat
kondisi masyarakat yang sedang terlena dalam perilaku dan budaya
bermodel antimoral, antinorma, dan antiagama.
Masyarakat yang
dijadikan gugatan Nietszhe itu memang masih menyebut stigma beragama
secara formal, tapi dalam kenyataannya (das sein), seolah telah ada
kebulatan atau kebersamaan untuk menyelingkuhi, melawan, dan
`membusukkan' agama, beramai-ramai korup, menelanjangi, dan
menanggalkan (meminggirkan) norma agama. Mereka menikmati penyakit
kebinatangan atau animalisme kultur dan kekuasaan yang diperlakukan
sebagai `anggur' kehidupan mereka. Masyarakat yang dig gat filsuf itu
merupakan cermin masyarakat yang sejatinya terbius dan terhegemoni oleh
pesona duniawi, tarikan kenik
matan hedonisme, atau terseret dalam arus kehidupan serbamaterialistis
dan permisivistis, mem
misivistis, memberhalakan kesenangan dan perubah
an gaya hidup, yang kesemuanya itu dilakukan dengan cara memagari dan
mengeliminasi peran sakral agama dalam kehidupannya. kehidupannya.
Bagi masyarakat itu, agama tidak lebih dari
penghalang dan bahkan pecundang, yang dianggap hanya bisa melarang dan
memerintahkan, tanpa memberikan kebebasan atau liberalitas kehidupan.
Agama dianggap sudah sampai ke ranah kedaluwarsa, sehingga tidak
sepantasnya dijadikan kiblat kehidupan manusia atau anak-anak yang
sudah masuk dalam lingkaran `jagat gaul' yang dibu
FREDY dayakannya.
Filsuf itu bermaksud mengkritik jalan
salah yang ditempuh masyarakat agar kembali `menghidupkan' Tuhan di
dalam diri, dalam berinteraksi, bernegosiasi, dan mengonstruksi
kehidupan makronya. Tuhan adalah sandaran tunggal yang menjadi garansi
yang membuat keberlanjutan kehidupan tetap terjaga atau sejarah
peradaban manusia tetap ber jalan normal dan sakral. Masyarakat atau
elemen negeri ini sekarang p u n layak dikritik dengan m e n g gunakan
ungkapan filsuf itu. Pasalnya, realitas bopengnya menunjuk kan
pembenaran kalau `negeri ini kehilang an cahaya langit'.
Stigma sebagai the biggest moslem community in the world, atau
munity
in the world, atau masyarakat muslim terbesar di muka bumi, hanyalah
sebutan di atas kertas atau menjusti fikasi simbol kebesaran
formalistik, sedangkan dalam realitas empiriknya, elemen negeri ini
sedang terseret larut dalam pesona budaya, gaya berpolitik, gaya
berkuasa, `gaya beragama', atau pergeseran gaya hidup yang semakin
menjauh dan mendesakralisasi `cahaya langit'.
Kasus yang paling gampang ditangkap ialah pemberitaan berbagai
bentuk
pembusukan nilai-nilai n moral seperti kejujuran, j kesantunan,
kesusilaan, dan kebenaran yang dilakukan komunitas terdidik atau
berkedudukan mapan di negeri ini. Mereka sebenarnya sudah paham dan
bahkan didaulat negara sebagai pilar dan teladan dalam gerakan
pembumian kebenaran. Namun kenyataannya, mereka justru yang terlibat
menjadi produsen dan pelestari praktik-praktik pembusukan nilai-nilai
agung.
Masyarakat dibuat terbengong, terdiam, dan mati kutu, atau
setidaknya
kurang berminat melancarkan protes, bahkan ikut larut dalam canda dan
tawa serta kepuasan psikologis, yang terkesan `mengamini' pembenaran
sepak terjang atau gaya hidup manusia yang jelas-jelas hanya
menyuguhkan dalam kemasan atau bahkan mengomoditaskan cahaya `kerajaan
langit', sedangkan dalam kesehariannya disibukkan menjadi oportunis
hedonisme, materialisme, dan pola-pola permisivisme lainnya, yang
seolah tak kenal titik nadir.
Beberapa sikap dan perilaku yang
menjauhi cahaya `kerajaan langit', misalnya prinsip `jujur tak lagi
diperlukan, jujur membuat hidup tak mujur, sok jujur', serta gaya
berperilaku zalim, mungkar, atau kontramoral-kemanusiaan, dan
mengamputasi amanah kekuasaan (yudikatif, legislatif, eksekutif),
sedang menjadi hiasan sehari-hari yang dari waktu ke waktu cenderung
semakin mengultur dan bahkan menjadi opsi yang dikultuskan.
Pakar hukum Islam Yusuf Alqaradhawi mengingatkan, "Sesungguhnya
kemenangan (kejayaan) itu tidak datang dengan tiba-tiba dan tidak turun
dengan serta-merta dan mendadak. Dia memiliki aturanaturan (sunatullah)
yang Allah SWT paparkan dalam Alquran agar hamba-hamba-Nya yang beriman
mengetahuinya dan bisa berinteraksi dengan cara yang benar.'' Interaksi
yang baik dengan sunatullah ini akan memunculkan keunggulan komparatif
manusia, baik sebagai individu maupun umat (QS Ali-Imran [3]: 110),
yang potensial `memekarkan' dan menyuburkan aroma kejayaan dan
keharuman dalam hidup yang dijalaninya.
Dus, kalau masyarakat
atau negeri ini dicita-citakan menjadi `negeri sakinah' (damai dan
mendamaikan untuk rakyat), tentulah syarat moral-spiritual wajib
dijadikan oleh setiap elemen masyarakat, khususnya elite pemimpinnya,
sebagai panduan penyejarahannya.

Syarat ini terdeskripsi historis
dalam perjalanan spiritualitas Nabi Muhammad untuk memperoleh cahaya
`kerajaan langit', di antaranya pembumian salat lima waktu dan berbagai
peristiwa kenabiannya, yang bersubstansi penyelamatan dan pengembalian
derajat kemanusiaannya.
Kalau pesan kesejarahan tersebut
dikiblati atau `dihidupkannya' sebagai `cahaya langit' di negeri ini
dalam ranah kedaulatan kebertuhanan, bangsa Indonesia selain menemukan
jalur yang benar, juga akan banyak menyuratkan kebahagiaan, kedamaian,
dan kejayaan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/28/ArticleHtmls/Refleksi-Isra-Mikraj-Negeri-tanpa-Cahaya-Langit-28062011027003.shtml?Mode=1

Berbagi berita untuk semua
http://goo.gl/KKHtihttp://goo.gl/fIWzb

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment