Advertising

Friday, 30 December 2011

[wanita-muslimah] Toleransi Tulus dari Desa Pedalaman

 

 
Avatar Redaksi Indonesia
Yogyakarta, Indonesia
Yogyakarta, Indonesia

Toleransi Tulus dari Desa Pedalaman

Diterbitkan : 28 Desember 2011 - 8:00pm | Oleh Redaksi Indonesia (Foto: Hamdan)
Diarsip dalam:

Tahun 1995 pertama kali Hamdan* berinteraksi dengan komunitas lain di luar keyakinan yang dianutnya. Ia saat itu tengah melakukan kerja lapangan di pedalaman pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saya mengunjungi sekian puluh desa, di antaranya adalah Desa Maidang, Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur. Pada tahun-tahun berikut, saya juga terjun ke desa-desa pedalaman hingga saat ini, 2011, antara lain ke pulau Alor, pulau Pantar, pulau Timor, pulau Lombok, dan pedalaman Jawa.

Khawatir
Awalnya ada rasa gamang, kekhawatiran mendalam terkait keyakinan agama yang saya anut, yang mengajarkan tidak boleh mengkonsumsi makanan yang diharamkan ajaran Islam. Sebelum terjun ke pedalaman, saya banyak membaca referensi dan berdiskusi dengan kawan yang sudah terbiasa ke pedalaman NTT.

Ciri utama masyarakat di sana sangat menghormati tamu. Mereka menjamu tamu dengan makanan istimewa, sekalipun keseharian mereka hanya makan apa adanya.

Tempat yang pertama kali saya datangi pada bulan Agustus 2005 adalah Desa Maidang. Dari sinilah penentu pengejawantahan multikulturalisme terjadi dalam diri saya.

Sirih pinang
Bentuk penghormatan pertama, sebagai ciri adat Sumba, adalah disambut di beranda rumah adat berbentuk panggung dengan digelarkan tikar adat untuk alas duduk, dan disuguhkan sirih pinang oleh ketua adat. Sambutan ini menunjukkan kedatangan saya diperkenankan mereka.

Bincang-bincang berlangsung hangat, dari urusan ringan sampai serius, mengenai maksud kedatangan saya untuk meneliti sosial budaya masyarakat desa Maidang. Setelah berbincang, ketua adat memperkenankan untuk menyusuri alam Maidang, namun tiba-tiba saya tersentak kaget. Hal yang tidak terduga terjadi.

Potong ayam
Ketua adat menuntun saya ke belakang rumah dan meminta saya untuk menyembelih seekor ayam yang sudah disiapkan beserta pisau potong yang tajam. "Sebagai penghormatan kami, saya minta Pak, potong ini ayam, untuk makan siang kita nanti." Demikian tandas ketua adat tanpa mengharap persetujuan saya.

Saya pun langsung menjalankan permintaannya, sekalipun seumur hidup saya tidak pernah menyembelih hewan apa pun.

Memasuki pojok-pojok kampung, saya selalu ditemani wakil ketua adat, dan akhirnya saya melepaskan pertanyaan yang semenjak tadi masih menggantung, soal kenapa ketua adat meminta saya menyembelih ayam.

Dengan lugas dia menjelaskan, penghormatan seperti itu hanya diberikan kepada tamu yang berkeyakinan agama lain dengan mayoritas masyarakat Maidang, terkait soal makanan yang menurut keyakinan saya boleh dikonsumsi.

Sungguh saya tidak menyangka orang pedalaman memiliki pengetahuan yang luas tentang sebuah ajaran agama di luar keyakinan yang mereka anut, yakni agama Kristen.

Membuka diri
Pasca kejadian ini, revolusi kecil mulai bergulir dalam diri saya. Masih di bulan yang sama, rasa ragu saya terhadap makanan yang disajikan di 14 desa lain yang saya kunjungi di Pulau Sumba mulai berkurang.

Sepulangnya saya ke pulau Jawa, saya mulai membaca puluhan buku dan jurnal terkait dengan tema pluralisme dan multikulturalisme, termasuk tulisan dan biografi tokoh pluralis seperti Gus Dur, Romo Frans Magnis Suseno, Syafei Ma'arif dan lainnya.

Saya lahir, dibesarkan dan mengenyam pendidikan dalam lingkungan yang homogen satu keyakinan. Sejak kecil hidup di lingkungan pesantren hingga sampai pendidikan tinggi di lembaga agama Islam. Tema pluralisme yang saya dapat hanya teks yang diajarkan. Tidak ada paksaan dalam beragama, selebihnya tidak ada pengalaman hidup sama sekali terhadap pemaknaan toleransi beragama.

Sosial budaya pedesaan
Pasca pendidikan tinggi, ada hasrat untuk mencari pengalaman di luar lembaga pendidikan, dan akhirnya saya menjadi peneliti di sebuah Lembaga Sosial. Dari kerja-kerja lapangan inilah kemudian saya mendapat pengalaman mengesankan tentang pluralisme di luar topik yang menjadi concern dalam penelitian saya yakni spesifik tentang sosial budaya pedesaan.

Tahun-tahun berikutnya saya terus menekuni penelitian di pedalaman Nusa Tenggara. Pengalaman diminta menyembelih ayam juga saya alami di Pulau Alor. Menariknya pengalaman mendalam lagi-lagi saya dapatkan di Pulau Sumba, tepatnya Juni 2008.

Saya harus tinggal beberapa hari di Desa Anajiaka, Kecamatan Umbu Ratunggai Barat, Kabupaten Sumba Tengah.

Sekalipun saya selalu menolak, mereka tetap menyiapkan kebutuhan saya. Sambutan kehangatan tuan rumah merupakan ciri utama yang selalu saya dapatkan acap kali tinggal di rumah penduduk.

Selimut tebal
Keluarga Agustinus Umburupa, di mana saya tinggal memberikan fasilitas yang sebenarnya jarang mereka nikmati, seperti selimut tebal yang bersih, kamar tidur dipasangkan kelambu agar saya tidak terkena gigitan nyamuk malaria, serta masakan istimewa di luar kebiasaan yang mereka santap.

Di jam jadwal waktu sholat, saya minta ditunjukkan tempat mata air. Anaknya Agustinus Umburupa mengantarkan saya ke mata air di tengah ladang yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Wudu shalat Juhur saya gunakan juga untuk shalat Ashar, demikian juga wudu shalat Maghrib saya gunakan juga untuk shalat Isya. Dengan demikian saya harus hati-hati menjaga diri agar tidak batal wudu.

Diam-diam rupanya keluarga Agustinus memperhatikan saya. Dalam waktu relatif pendek menurut mereka, dari siang sampai sore saja saya sudah dua kali ke mata air, padahal mereka biasanya hanya pagi dan sore hari mengambil air yang ditempatkan di jerigen untuk memasak dan minum.

Wudu
Tanggal 24 Juni 2008 saya mulai bermalam di rumah keluarga Agustinus. Sebelum terlelap tidur saya sudah berniat, nanti akan bangun sebelum waktu subuh tiba, agar bisa lebih awal melakukan wudu di mata air dan akan ke sana sendiri.

Jam 04.00 WITA saya terbangun, dan membuka pintu depan rumah, pintu utama yang dilewati semua orang untuk keluar. Saya merasa heran kenapa pintu tidak terkunci dan sudah terbuka sedikit. Tanpa saya duga Agustinus sudah ada di di luar menunggu saya. Sambil menunjuk ember di depannya dia menjelaskan: "Pak bisa berwudu dari air ember ini, yang sudah disiapkan istri saya sore tadi, diambil dari mata air."

Seketika saya hanya bisa ucapkan terima kasih.

Kerja kemanusiaan
Sejak dua peristiwa ini, revolusi kecil terus terjadi dalam diri saya. Akhirnya tidak hanya membaca, saya juga aktif dalam dialog, seminar, workshop, sarasehan dan training yang dilakukan forum umat beriman di kota saya tinggal, bahkan bermuara pada aktivitas kerja kemanusiaan bersama aktivis forum umat beriman saat bencana gempa bumi 27 Mei 2006 dan erupsi gunung Merapi November 2010 keduanya di Yogyakarta.

Saya meyakini revolusi kecil ini belum berakhir, sebab revolusi besar membangun kesadaran pluralisme akan terjadi di pondok pesantren kecil warisan ayah saya di kampung halaman, dan kakak saya yang mengasuh sendirian bersama 257 orang santri asuhannya, saat ini di depan gerbang pesantren benar-benar sedang menunggu kepulangan saya.

Hamdan saat ini masih aktif di Lembaga Sosial di Yogyakarta.

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment