isra dan mi'raj merupakan dua kata yang berbeda, mi'raj adalah naik maka dapat dikatakan perjalanan dari bawah ke atas, yakni perjalanan vertikal, sedangkan isra adalah perjalanan juga, menurut hemat saya karena mi'raj adalah perjalanan naik (dari bawah ke atas), maka isra adalah perjalanan horisontal yakni bukan naik, melainkan mendatar (mohon koreksi). Dengan demikian menurut hemat saya, Nabi Muhammad ber-isra dari masjidil haram (jelas di mekkah, masih di bumi) menuju masjidil aqsha (tentunya di bumi juga), kalau masjidil aqsha di langit tentu redaksi yang dipakai al qur'an bukan "isra" melainkan "mi'raj", padahal banyak yang meriwayatkan nabi bermi'raj itu dari bumi lalu naik ke sidratul muntaha. Maka apabila masjidil aqsha itu adanya di langit maka apa tidak rancu karena Rasulullah Muhammad berisra dari masjidil haram langsung naik ke masjidil aqsha di langit ? saya lebih setuju yang mengatakan masjidil aqsha adalah stasiun (tempat singgah) yang di bumi juga.
Mohon pencerahan.
Wassalam
Abdul Mu'iz
Dari: H. M. Nur Abdurrahman <mnur.abdurrahman@yahoo.co.id>
Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Dikirim: Kamis, 26 Januari 2012 22:17
Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: [Sabili] Re: [syiar-islam] Ketua MUI, Ketua NU, Ketua Muhammadiyah, dan FPI: Syi'ah Tidak Sesat
1. Jafar Murtada Al Amili, menulis:
sebuah buku berjudul "Ayna Masjid al-Aqsha?" (Di Manakah Masjid Al Aqsha?) yang intinya mengungkapkan bahwa keberadaan Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya bukanlah di bumi Al-Quds, melainkan di langit .
((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((
HMNA:
Baru saya tahu sekarang, bahwa rupanya Jafar Murtada Al Amili sama dengan pendapat guru saya Allahu Yarham DR S.Madjidi, bahwa Masjid Al-Aqsha ada di Siratul Muntaha, yang baru-baru ini saya ceramahkan di hadapan civitas academica Universitas Islam Negeri Makassar (Dahulu Institut Agama Islam Negeri Makassar). Itu tidaklah berarti bahwa Allahu Yarham DR S.Madjidi dan murid-muridnya yang sepakat dengan beliau (termasuk saya dan Prof H.Halide) adalah Syi'ah.
**********************
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL – IMAN DAN ILMU
[Kolom Ttap Harian Fajar]
839 Dari Al-Masjid Al-Haram ke Al-Masjid Al-Aqsha via Bayt Al-Maqdis
[Kolom Ttap Harian Fajar]
839 Dari Al-Masjid Al-Haram ke Al-Masjid Al-Aqsha via Bayt Al-Maqdis
Saya mulai dengan mengutip tulisan Prof (emeritus) H.Halide yang berjudul: "Mengapa ke Masjid Aqsha?" pada Harian FAJAR edisi Rabu, 23 Juli 2008, yaitu bagian permulaan dan menjelang akhir tulisan tsb:
"Niat saya mengunjungi Masjid Aqsha telah bersemi 40 tahun yang lalu (sejak tahun 1968). Islam Study Club di Perpustakaan Makassar Jl Kajaolaliddo (dulu) sering membahas topik-topik kontemporer. Anggota intinya adalam A.Rahman Rahim, M.Nur Abdurrahman dan penulis sendiri. Yang sering ikut diskusi adalah Muhammad Ahmad dan Quraisy Shihab. Ketika membahas Isra dan Mikraj, kami berkonsultasi pada Dr S.Majidi (alm) di Jl Veteran. Ternyata beliau memiliki tafsir tersendiri. ............. Tahun 70 M bangunan (Kuil Sulaiman) diratakan dengan tanah oleh Kaisar Titus. Tanggal 27 Rajab tahun ke-11 sesudah kenabian (kira-kira 621 Masehi) terjadi peristiwa Isra. Tahun 705 M al Walid bin Abdul Malik Marwan menyelesaikan Kubbatussakhrah (The Dome of Rock) yang dirancang oleh Khalifah Umar. Kubbatussakhrah ini merupakan kubah yang terindah di seluruh dunia. Di belakang Kubbatussahrah ini berdiri bangunan bernama Masjid Aqsha. Kesimpulan saya adalah bahwa ketika peristiwa Isra kedua bangunan ini belum ada." Sekian kutipan tsb.
"Niat saya mengunjungi Masjid Aqsha telah bersemi 40 tahun yang lalu (sejak tahun 1968). Islam Study Club di Perpustakaan Makassar Jl Kajaolaliddo (dulu) sering membahas topik-topik kontemporer. Anggota intinya adalam A.Rahman Rahim, M.Nur Abdurrahman dan penulis sendiri. Yang sering ikut diskusi adalah Muhammad Ahmad dan Quraisy Shihab. Ketika membahas Isra dan Mikraj, kami berkonsultasi pada Dr S.Majidi (alm) di Jl Veteran. Ternyata beliau memiliki tafsir tersendiri. ............. Tahun 70 M bangunan (Kuil Sulaiman) diratakan dengan tanah oleh Kaisar Titus. Tanggal 27 Rajab tahun ke-11 sesudah kenabian (kira-kira 621 Masehi) terjadi peristiwa Isra. Tahun 705 M al Walid bin Abdul Malik Marwan menyelesaikan Kubbatussakhrah (The Dome of Rock) yang dirancang oleh Khalifah Umar. Kubbatussakhrah ini merupakan kubah yang terindah di seluruh dunia. Di belakang Kubbatussahrah ini berdiri bangunan bernama Masjid Aqsha. Kesimpulan saya adalah bahwa ketika peristiwa Isra kedua bangunan ini belum ada." Sekian kutipan tsb.
Allahu Yarham DR S.Majidi adalah guru kami bertiga: Prof. (emeritus) H.Abd Rahman Rahim, Prof (emeritus) H.Halide (keduanya mantan Atase Kebudayaan di Kerajaan Saudi Arabia) dan saya sendiri. Proses peralihan ilmu dari beliau kepada kami bertiga yaitu secara mujadalah, bertukar pikiran. Beliau hanya menyerahkan kepada para muridnya untuk menuliskan/mempublikasikan pandangannya, yang tentu saja pandangan yang disetujui oleh masing-masing para muridnya saja.
***
Saya berjanji di dalam hati akan menuliskan apa yang telah saya kemukakan di dalam talkshow di TVRI Makassar pada Rabu malam (malam Kamis) 30 Juni 2008 dalam rangka memperingati Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Nara sumber dalam talkshow tsb ada tiga orang, yaitu DR H.Mustamin Arsyad, Prof (emiritus) H.Halide dan saya sendiri, sedangkan yang menjadi fasilitator ialah Drs H.Muhammadiyah Yunus.
Dalam Hadits disebutkan Nabi SAW menunggang sejenis "binatang" sambil dituntun oleh malaikat Jibril AS. Secara tekstual kejadiannya memang demikian itu. Komposisi ini mengandung takwil hubungan antara wahyu-akal-naluri, yaitu wahyu menuntun akal, akal mengendalikan naluri kebinatangan (makan, minum, sex). Naluri itu tidak boleh dipupus, karena itu penting untuk mempertahankan hidup dan melanjutkan keturunan manusia. Di samping takwil, juga merupakan isyarat dari Allah SWT bahwa itu akan diproyeksikan dalam kenyataan sejarah, satu tahun sembilan bulan kemudian setelah Isra, yaitu peristiwa hijrah: Rasulullah SAW menunggang unta dituntun oleh Abu Bakar Ashshidiq RA.
Al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) bukan di Palestina.
-- SBhN ALDzY ASRY B'ABDH LYLA MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD ALAQShA ALDzY BRKNA hWLH LNRYH MN aAYTNA ANH HW ALSMY'A ALBShYR (S. BNY ASRAaYL 17:1), dibaca:
-- subha-nal ladzi- asra- bi'abdih- lailam minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqsha- alladzi- ba-rakna- haulahu- linuriyahu- min aya-ya-tina- innahu- huwas sami-'ul bashi-ru, artinya:
-- Mahasuci Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebahagian dari tanda-tanda Kebesaran Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
-- SBhN ALDzY ASRY B'ABDH LYLA MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD ALAQShA ALDzY BRKNA hWLH LNRYH MN aAYTNA ANH HW ALSMY'A ALBShYR (S. BNY ASRAaYL 17:1), dibaca:
-- subha-nal ladzi- asra- bi'abdih- lailam minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqsha- alladzi- ba-rakna- haulahu- linuriyahu- min aya-ya-tina- innahu- huwas sami-'ul bashi-ru, artinya:
-- Mahasuci Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebahagian dari tanda-tanda Kebesaran Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Kalimah Subhana pada permulaan ayat menunjukkan bahwa peristiwa Isra adalah proses yang mentakjubkan, bukan proses 'alamiyah yang normal. Jika pengertian Isra dipersempit menjadi sekadar perjalanan di atas bumi, maka tanda-tanda apa yang mentakjubkan yang disaksikan RasuluLlah SAW. Dalam sekadar jarak-tempuh antara Makkah dan Darussalam saja, tidaklah RasuluLlah SAW akan menyaksikan Ayat al Kubra, yaitu tanda-tanda Kebesaran yang mentakjubkan.
-- GhLBT ALRWM * FY ADNY ALARDh (S. ALRWM, 30:2-3), dibaca:
-- ghulbatir ru-m * fi- adnal ardhi, artinya:
-- telah dikalahkan bangsa Rumawi * di negeri yang terdekat
-- ghulbatir ru-m * fi- adnal ardhi, artinya:
-- telah dikalahkan bangsa Rumawi * di negeri yang terdekat
Ayat (30: 2-3) tersebut menunjuk pada kejadian sejarah, yaitu Hiraqla (575? - 641)M., Kaisar Rum (610 - 641)M. dikalahkan pasukannya di Chalcedon oleh pasukan Khosrau Parvez, Raja Sassan/Parsi (590 - 628)M. Chalcedon itu terletak di mulut Asia Kecil hanya dipisahkan oleh selat Bosporus dari ibu kota Kerajaan Rum, Konstantinopel. Jadi kalau kita ada di Makkah, maka Chalcedon lebih jauh letaknya dari Bayt al-Maqdis. Mengapa bagi Chalcedon yang lebih jauh dikatakan adna, terdekat, sedangkan Palestina yang lebih dekat dikatakan aqsha, terjauh? Itu artinya al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) tidak di Palestina.
Di dalam matan Hadits mengenai Isra tidak dipakai istilah al-Masjid al-Aqsha untuk yang di Palestina melainkan Bayt al-Maqdis. Yaitu luas tanah yang sekarang dalam tembok berbentuk trapezium. Tembok utara berkururan 310 meter sejajar dengan tembok selatan 280 meter, tembok barat 480 meter di mana ada bagian yang disebut tembok Buraq tempat Nabi SAW menambatkan Buraq dan tembok timur 460 meter. Jadi Rasulullah diperjalankan malam oleh Allah dari al-Masjid al-Haram ke Bayt al-Maqdis tempat transit di atas permukaan bumi sehingga mempergunakan "mekanisme" transportasi, yaitu Buraq. Lalu dari tempat transit itu RasuluLlah keluar dari alam syahadah, yang bukan perjalanan angkasa luar, melainkan langsung menembus masuk alam ghaib, langit pertama s/d langit ketujuh, alam malakut, fawka malakut, fawka fawka malakut, dan Sidratul Muntaha, "tempat" sujud yang terjauh, Al-Masjid Al-Aqsha. Bayt Al-Mqadis yang juga disebut Haram Al-Syariyf(*) adalah "proyeksi" al-Masjid al-Aqsha di alam ghaib ke alam syahadah. Alhasil, bahwa sesungguhnya Mi'raj adalah bagian dari Isra: Dari Al-Masjid Al-Haram ke Al-Masjid Al-Aqsha via Bayt Al-Maqdis. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 3 Agustus 2008
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2008/08/839-dari-al-masjid-al-haram-ke-al.html
------------------------------
(*)
Di kompleks yang disebut Bayt Al-Mqadis yang juga disebut Haram Al-Syariyf ini, terdapat beberapa bangunan, di antaranya Mesjid Al Aqsha dan Qubbat as-Sakhrah atau yang oleh orang Barat disebut Dome of the Rock atau Kubah Batu. Usaha membangun kembali kompleks itu baru ada setelah Yerusalem pada tahun 640 dibawah Khilafah pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendirikan Qubbat as-Sakhrah. Bangunan indah berkubah emas tsb tidaklah difungsikan sebagai masjid, melainkan sebagai mashad, tempat suci untuk dilayati. Setahun sesudah itu, putra Abdul Malik, yaitu Al Walid mendirikan bangunan Mesjid Al Aqsha pada sudut tembok barat dgn tembok selatan. Dinding tembok disekeliling kompleks ini dipugar kembali, dan bagian luar dinding lama di sebelah barat diizinkan didatangi pemeluk Yahudi untuk berdoa pada hari-hari tertentu. Tempat ini kemudian disebut Dinding Ratapan, karena pemeluk Yahudi sering meratap di sana menangisi kehancuran rumah suci mereka, Haikal Sulaiman yang dihancurkan Kaisar Romawi Titus pada tahun 70 M, seperti disebutkan dalam Al-Quran ayat (17:7):....dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Dinding Ratapan oleh ummat Islam dinamakan Tembok Buraq, karena di sinilah Nabi Muhammad SAW menambatkan Buraq. Tinggi rata-rata kompleks Bayt Al-Maqdis di atas muka laut (sea level) sekitar 730 meter.
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2008/08/839-dari-al-masjid-al-haram-ke-al.html
------------------------------
(*)
Di kompleks yang disebut Bayt Al-Mqadis yang juga disebut Haram Al-Syariyf ini, terdapat beberapa bangunan, di antaranya Mesjid Al Aqsha dan Qubbat as-Sakhrah atau yang oleh orang Barat disebut Dome of the Rock atau Kubah Batu. Usaha membangun kembali kompleks itu baru ada setelah Yerusalem pada tahun 640 dibawah Khilafah pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendirikan Qubbat as-Sakhrah. Bangunan indah berkubah emas tsb tidaklah difungsikan sebagai masjid, melainkan sebagai mashad, tempat suci untuk dilayati. Setahun sesudah itu, putra Abdul Malik, yaitu Al Walid mendirikan bangunan Mesjid Al Aqsha pada sudut tembok barat dgn tembok selatan. Dinding tembok disekeliling kompleks ini dipugar kembali, dan bagian luar dinding lama di sebelah barat diizinkan didatangi pemeluk Yahudi untuk berdoa pada hari-hari tertentu. Tempat ini kemudian disebut Dinding Ratapan, karena pemeluk Yahudi sering meratap di sana menangisi kehancuran rumah suci mereka, Haikal Sulaiman yang dihancurkan Kaisar Romawi Titus pada tahun 70 M, seperti disebutkan dalam Al-Quran ayat (17:7):....dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Dinding Ratapan oleh ummat Islam dinamakan Tembok Buraq, karena di sinilah Nabi Muhammad SAW menambatkan Buraq. Tinggi rata-rata kompleks Bayt Al-Maqdis di atas muka laut (sea level) sekitar 730 meter.
2. Perkara Ahmadinejad akar Yahudi, saya punya catatan sendiri:
Perlu kita ingat bahwa setiap bangsa, setiap puak etnis tidaklah seluruhnya akan baik, di antaranya tentu terdapat hati yang busuk. Demikian pula sebaliknya, tidaklah semuanya yang berhati busuk, tentu di antaranya terdapat pula mutiara-mutiara yang berhati mulia. Maryam Jamilah, sebelumnya bernama Margaret Marcus dari etnik Yahudi(#), dalam pernyataannya setelah menganut Islam, menyatakan ungkapan hatinya yang mengharukan dengan mengutip seperti apa yang telah diungkapkan oleh salah seorang Baniy Israil, Muhammad Asad,(##) sebelumnya bernama Leopold Weiss (asad = leo = singa), seperti berikut:
I did not embrace Islam out of any hatret for my ancestral heritage or my people. ............... Thus I can say with another from the Bani Israil who chose to travel on the sama journey. ................. Saya menganut Islam bukanlah karena tidak senang kepada warisan leluhur ataupun bangsa saya. ............. Walhasil saya dapat berkata seperti ucapan dari seorang Bani Israel yang telah memilih bermusafir dalam perjalanan yang sama. Abraham that early ancestor of mine, would have understood why I am here (in Mecca) ...................... Abraham (Ibrahim) leluhur saya, tentu mengerti mengapa saya di sini (di Mekah). My coming to this land of Arabia; was it not in truth a homecoming? Homecoming of the heart that has spied its old home backward over a curve of thousands of years and now recognizes this sky - my sky- with painful rejoicing? Kedatangan saya ke negeri ini negeri Arabia; bukankah itu pada hakekatnya kembali ke rumah? Pulang ke rumah dari sekeping hati yang menelusuri masa silam ribuan tahun dan mengenal langit ini - langit saya - dengan kegembiraan yang mengharukan?
---------------------------------
(#)
Maryam Jameelah
Date Posted: Friday, March 05, 2004
Revivalist Ideologist
Maryam Jameelah was born Margaret Marcus to a Jewish family in New Rochelle, NY, on May 23, 1934. She grew up in a secular environment, but at the age of nineteen, while a student at New York University, she developed a keen interest in religion.
Unable to find spiritual guidance in her immediate environment, she looked to other faiths. Her search brought her into contact with an array of spiritual orders, religious cults, and world religions; she became acquainted with Islam around 1954. She was then greatly impressed by Marmaduke Pickthall's The Meaning of the Glorious Koran and by the works of Muhammad Asad, himself a convert from Judaism to Islam. Jameelah cites Asad's The Road to Mecca and Islam at Crossroads as critical influences on her decision to become a Muslim.
Through her readings in Islam she developed a bond with the religion and became a vocal spokesperson for the faith, defending Muslim beliefs against Western criticism and championing such Muslim causes as that of the Palestinians. Her views created much tension in her personal life, but she continued to pursue her cause.
She embraced Islam in New York on May 24, 1961, and soon after began to write for the Muslim Digest of Durban, South Africa. Her articles outlined a pristine view of Islam and sought to establish the truth of the religion through debates with critics. Through the journal, Jameelah became acquainted with the works of Mawlana Sayyid Abu Ala Mawdudi, the founder of the Jamaati Islami (Islamic Party) of Pakistan, who was also a contributor to the journal.
Jameelah was impressed by Mawdudi's views and began to correspond with him. Their letters between 1960 and 1962, later published in a volume entitled Correspondences between Maulana Mawdoodi and Maryam Jameelah, discussed a variety of issues from the discourse between Islam and the West, to Jameelah's personal spiritual concerns.
Jameelah traveled to Pakistan in 1962 on Mawdudi's advice and joined his household in Lahore. She soon married Muhammad Yusuf Khan, as his second wife.
Since settling in Pakistan, she has written an impressive number of books, which adumbrated the Jamaati Islami's ideology in a systematic fashion. Although she never formally joined the party, she became one of its chief ideologists.
Jameelah has been particularly concerned with the debate between Islam and the West, an important, albeit not central, aspect of Mawdudi's thought.
Her significance, however, does not lie in the force of her observations, but in the manner in which she articulates an internally consistent paradigm for revivalism's rejection of the West. In this regard, her influence far exceeds the boundaries of the Jamaati Islami and has been important in the development of the Muslim world.
The logic of her discursive approach has recently led Jameelah away from revivalism and the Jamaati Islami. Increasingly aware of revivalism's own borrowing from the West, she has distanced herself from the revivalist exegesis and has even criticized her mentor Mawdudi for his assimilation of modern concepts into Jamaati Islami's ideology. Her writings in recent years embody this change in orientation and reveal the influence of traditional Islam.
Today she lives in Lahore and continues to write on Islamic thought and life.
Maryam Jameelah was born Margaret Marcus to a Jewish family in New Rochelle, NY, on May 23, 1934. She grew up in a secular environment, but at the age of nineteen, while a student at New York University, she developed a keen interest in religion.
Unable to find spiritual guidance in her immediate environment, she looked to other faiths. Her search brought her into contact with an array of spiritual orders, religious cults, and world religions; she became acquainted with Islam around 1954. She was then greatly impressed by Marmaduke Pickthall's The Meaning of the Glorious Koran and by the works of Muhammad Asad, himself a convert from Judaism to Islam. Jameelah cites Asad's The Road to Mecca and Islam at Crossroads as critical influences on her decision to become a Muslim.
Through her readings in Islam she developed a bond with the religion and became a vocal spokesperson for the faith, defending Muslim beliefs against Western criticism and championing such Muslim causes as that of the Palestinians. Her views created much tension in her personal life, but she continued to pursue her cause.
She embraced Islam in New York on May 24, 1961, and soon after began to write for the Muslim Digest of Durban, South Africa. Her articles outlined a pristine view of Islam and sought to establish the truth of the religion through debates with critics. Through the journal, Jameelah became acquainted with the works of Mawlana Sayyid Abu Ala Mawdudi, the founder of the Jamaati Islami (Islamic Party) of Pakistan, who was also a contributor to the journal.
Jameelah was impressed by Mawdudi's views and began to correspond with him. Their letters between 1960 and 1962, later published in a volume entitled Correspondences between Maulana Mawdoodi and Maryam Jameelah, discussed a variety of issues from the discourse between Islam and the West, to Jameelah's personal spiritual concerns.
Jameelah traveled to Pakistan in 1962 on Mawdudi's advice and joined his household in Lahore. She soon married Muhammad Yusuf Khan, as his second wife.
Since settling in Pakistan, she has written an impressive number of books, which adumbrated the Jamaati Islami's ideology in a systematic fashion. Although she never formally joined the party, she became one of its chief ideologists.
Jameelah has been particularly concerned with the debate between Islam and the West, an important, albeit not central, aspect of Mawdudi's thought.
Her significance, however, does not lie in the force of her observations, but in the manner in which she articulates an internally consistent paradigm for revivalism's rejection of the West. In this regard, her influence far exceeds the boundaries of the Jamaati Islami and has been important in the development of the Muslim world.
The logic of her discursive approach has recently led Jameelah away from revivalism and the Jamaati Islami. Increasingly aware of revivalism's own borrowing from the West, she has distanced herself from the revivalist exegesis and has even criticized her mentor Mawdudi for his assimilation of modern concepts into Jamaati Islami's ideology. Her writings in recent years embody this change in orientation and reveal the influence of traditional Islam.
Today she lives in Lahore and continues to write on Islamic thought and life.
(##)
In August 1954, there appeared in America a remarkable book, written by an author named Muhammad Asad and bearing the title The Road to Mecca. The book, a combination of memoir and travelogue, told the story of a convert to Islam who had crossed the spiritual deserts of Europe and the sand deserts of Arabia, on a trek that brought him ultimately to the oasis of Islamic belief. The book immediately won critical acclaim, most notably in the prestige press of New York, where Simon and Schuster had published it. One reviewer, writing in The New York Herald Tribune Book Review, called it an "intensely interesting and moving book." Another reviewer, on the pages of The New York Times, placed the book in the pantheon of Arabian travel literature: "Not since Freya Stark," he wrote, "has anyone written so happily about Arabia as the Galician now known as Muhammad Asad."
Muhammad Asad (1900-92) was a converted Jew, named Leopold Weiss at birth. He was no ordinary convert. Asad not only sought personal fulfillment in his adopted faith. He tried to affect the course of contemporary Islam, as an author, activist, diplomat, and translator of the Qur'an. Muhammad Asad died in February 1992 at the age of ninety-one, so that his career may be said to have paralleled the emergence of every trend in contemporary Islam.
Muhammad Asad (1900-92) was a converted Jew, named Leopold Weiss at birth. He was no ordinary convert. Asad not only sought personal fulfillment in his adopted faith. He tried to affect the course of contemporary Islam, as an author, activist, diplomat, and translator of the Qur'an. Muhammad Asad died in February 1992 at the age of ninety-one, so that his career may be said to have paralleled the emergence of every trend in contemporary Islam.
Leopold Weiss was born on 12 July 1900, in the town of Lvov (Lemberg) in eastern Galicia, then a part of the Habsburg Empire (Lvov is today in Ukraine). By the turn of the century, Jews formed a quarter to a third of the population of Lvov, a town inhabited mostly by Poles and Ukrainians. The Jewish community had grown and prospered over the previous century, expanding from commerce into industry and banking. Weiss's mother, Malka, was the daughter of a wealthy local banker, Menahem Mendel Feigenbaum. The family lived comfortably, and, wrote Weiss, lived for the children.
From Weiss's own account, his roots in Judaism were deeper on his father's side. His paternal grandfather, Benjamin Weiss, had been one of a succession of Orthodox rabbis in Czernovitz in Bukovina. Weiss remembered his grandfather as a white-bearded man who loved chess, mathematics and astronomy, but who still held rabbinic learning in the highest regard, and so wished his son to enter the rabbinate. Weiss's father, Akiva, did study Talmud by day, but by night he secretly learned the curriculum of the humanistic gymnasium. Akiva Weiss eventually announced his open break from rabbinics, a rebellion that would presage his son's own very different break. But Akiva did not realize his dream of studying physics, because circumstances compelled him to take up the more practical profession of a barrister. He practiced first in Lvov, then in Vienna, where the Weiss family settled before the First World War.
Weiss testifies that his parents had little religious faith. For them, Judaism had become, in his words, "the wooden ritual of those who clung by habit — and only by habit — to their religious heritage." He later came to suspect that his father regarded all religion as outmoded superstition. But in deference to family tradition and to his grandfathers, young Leopold — "Poldi" to his family — was made to spend long hours with a tutor, studying the Hebrew Bible, Targum, Talmud, Mishna, and Gemarra. "By the age of thirteen," he attested, "I not only could read Hebrew with great fluency but also spoke it freely." He studied Targum "just as if I had been destined for a rabbinical career," and he could "discuss with a good deal of self-assurance the differences between the Babylonian and Jerusalem Talmuds."
In 1918, Weiss entered the University of Vienna. Days were given to the study of art history; evenings were spent in cafés, listening to the disputations of Vienna's psychoanalysts. ("The stimulus of Freud's ideas was as intoxicating to me as potent wine.") Nights were given to passions. ("I rather gloried, like so many others of my generation, in what was considered a 'rebellion against the hollow conventions.'") But as his studies progressed, the prospect of a life in academe lost appeal. In 1920, Weiss defied his father's wishes and left Vienna for Berlin to seek a career in journalism. There he joined the littérateurs at the Café des Westens, sold a few film scripts, and landed a job with a news agency.¨
In the midst of this fairly unremarkable climb, Leopold Weiss took an unexpected detour. Early in 1922, a maternal uncle, Dorian Feigenbaum, invited Weiss to visit Jerusalem. Dorian, a psychoanalyst and pupil of Freud, had initiated Weiss to psychoanalysis a few years earlier in Vienna. Now he headed a mental institution in Jerusalem. Weiss accepted the invitation, arriving in Egypt by ship and then in Palestine by train. In Jerusalem, he lived in Dorian's house, situated inside the old city a few steps from the Jaffa Gate. It was from this base that Leopold Weiss would first explore the realities of Islam. But his exploration would be prefaced by another discovery, of the immoralities of Zionism.
This stand was not a family inheritance. Although Dorian did not consider himself a Zionist, Weiss had another uncle in Jerusalem who was very much an ardent Zionist. Aryeh Feigenbaum (1885-1981), an ophthalmologist, had immigrated to Palestine in 1913, and became a leading authority on trachoma whose Jerusalem clinics were frequented by thousands of Arabs and Jews. In 1920, he founded the first Hebrew medical journal; from 1922, he headed the ophthalmologic department at Hadassah Hospital.8 Weiss later omitted all mention of his Zionist uncle from The Road to Mecca — one of many suggestive omissions, hinting that the distancing from family and Zionism was linked.
But Weiss always presented his anti-Zionism as a simple moral imperative. "I conceived from the outset a strong objection to Zionism," Weiss would later affirm. "I considered it immoral that immigrants, assisted by a foreign Great Power, should come from abroad with the avowed intention of attaining to majority in the country and thus to dispossess the people whose country it had been since time immemorial."9 This moral position was bolstered by a flash of insight Weiss experienced near the Jaffa Gate while observing a bedouin Arab, "silhouetted against the silver-grey sky like a figure from an old legend." Perhaps, he fantasized, this was "one of that handful of young warriors who had accompanied young David on his flight from the dark jealousy of Saul, his king?" Then, he says, "I knew, with that clarity which sometimes bursts within us like lightening and lights up the world for the length of a heartbeat, that David and David's time, like Abraham and Abraham's time, were closer to their Arabian roots — and so to the beduin of to-day — than to the Jew of today, who claims to be their descendant."
In Jerusalem, Weiss began to confront Zionist leaders with the Arab question at every turn. He raised it both with Menahem Ussishkin (1863-1941) and Chaim Weizmann (1874-1952), and soon gained a reputation as a sympathizer of the Arab cause. Weiss also credited a new friend with assisting him greatly in Jerusalem: the Dutch poet and journalist Jacob Israël de Haan (1881-1924). By this time, De Haan's strange career had already taken its many turns: he had gone from socialist agitator to religious mystic, from ardent Zionist to fervent anti-Zionist. The Haganah later assassinated De Haan in 1924. De Haan fed Weiss's rejection of Zionism with grist, and also helped Weiss find journalistic work. And it was through De Haan that Weiss met the Emir Abdallah (1882-1951) in the summer of 1923 — his first in a lifetime of meetings with Arab heads of state.
In Palestine, Weiss became a stringer for the Frankfurter Zeitung, where he wrote against Zionism and for the cause of Muslim and Arab nationalism, with a strong anti-British bias. He published a small book on the subject in 1924, and this so inspired the confidence of the Frankfurter Zeitung that it commissioned him to travel more widely still, to collect information for a full-scale book. Weiss made the trip, which lasted two years. At its outset, he found a new source of inspiration, during a stay in Cairo: Shaykh Mustafa al-Maraghi (1881-1945), a brilliant reformist theologian who later became rector of al-Azhar. This was Weiss's first contact with Islamic reformism, and it left a profound impression upon him. Weiss concluded that the abysmal state of the Muslims could not be attributed to Islam, as its Western critics claimed, but to a misreading of Islam. When properly interpreted, in a modern light, Islam could lead Muslims forward, while offering spiritual sustenance that Judaism and Christianity had ceased to provide. Weiss spent the better part of the next two years traveling through Syria, Iraq, Kurdistan, Iran, Afghanistan, and Central Asia, growing ever more fascinated by Islam in its myriad forms.
The Conversion
Upon concluding his travels, Weiss returned to Frankfurt to write his book. There he also married Elsa, a widow, "probably the finest representative of the pure 'Nordic' type I have ever encountered," a woman fifteen years his senior, whom he had met before his last travels.13 He was now settled into a comfortable routine. Yet he made no progress on his book: he was preoccupied and distracted, unable to put pen to paper in a summation of his travels. A quarrel with the editor of the Frankfurter Zeitung over his writer's block culminated in his resignation, and he moved to Berlin, where he took up Islamic studies and wrote as a stringer for lesser newspapers.
Upon concluding his travels, Weiss returned to Frankfurt to write his book. There he also married Elsa, a widow, "probably the finest representative of the pure 'Nordic' type I have ever encountered," a woman fifteen years his senior, whom he had met before his last travels.13 He was now settled into a comfortable routine. Yet he made no progress on his book: he was preoccupied and distracted, unable to put pen to paper in a summation of his travels. A quarrel with the editor of the Frankfurter Zeitung over his writer's block culminated in his resignation, and he moved to Berlin, where he took up Islamic studies and wrote as a stringer for lesser newspapers.
It was there, in September 1926, that Weiss experienced his second epiphany. He had had a flash of insight near the Jaffa Gate: the Arabs were the heirs of the biblical Hebrews, not the Jews. Now, on the Berlin subway, he had another flash. Watching the people on this train, in their finery and prosperity, he noticed that none smiled. Although positioned at the pinnacle of Western material achievement, they were unhappy. Returning to his flat, he cast a glance at a copy of the Qur'an he had been reading, and his eye settled upon the verse that reads: "You are obsessed by greed for more and more / Until you go down to your graves." And then later, in the same verse: "Nay, if you but knew it with the knowledge of certainty, / You would indeed see the hell you are in." All doubt that the Qur'an was a God-inspired book vanished, wrote Weiss. He went to the leader of the Berlin Islamic Society, declared his adherence to Islam, and took the name Muhammad Asad.
Why the conversion? In 1934, Asad wrote that he had no satisfactory answer. He could not say which aspect of Islam appealed to him more than another, except that Islam seemed to him "harmoniously conceived... nothing is superfluous and nothing lacking, with the result of an absolute balance and solid composure." But he still found it difficult to analyze his motives. "After all, it was a matter of love; and love is composed of many things: of our desires and our loneliness, of our high aims and our shortcomings, of our strength and our weakness." In the Feigenbaum family, it was more commonly thought that Asad's conversion stemmed from a hatred of his father, generalized to a contempt for the faith and people of his birth. Asad wrote to his father informing him of his conversion, but got no answer. Some months later my sister wrote, telling me that he considered me dead...Thereupon I sent him another letter, assuring him that my acceptance of Islam did not change anything in my attitude toward him or my love for him; that, on the contrary, Islam enjoined upon me to love and honour my parents above all other people... But this letter also remained unanswered.
Asad's wife Elsa converted to Islam a few weeks later, and in January 1927 they left for Mecca, accompanied by Elsa's son from her previous marriage. On arrival, Weiss made his first pilgrimage; a moving passage at the end of The Road to Mecca describes his circumambulation of Ka'ba. Tragically, Elsa died nine days later, of a tropical disease.
Wassalam
))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))
----- Original Message -----
From: "Dwi Soegardi" <soegardi@gmail.com>
Sent: Thursday, January 26, 2012 7:40 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: [Sabili] Re: [syiar-islam] Ketua MUI, Ketua NU, Ketua Muhammadiyah, dan FPI: Syi'ah Tidak Sesat
Benar bahwa MUI tahun 1984 tidak mengatakan Syiah bukan Islam,
melainkan "merekomendasikan umat Islam Indonesia agar waspada terhadap
menyusupnya paham syiah dengan perbedaan pokok dari ajaran Ahli Sunna
Waljamaah."
tanpa memerinci apa maksudnya "waspada," "menyusup," "perbedaan pokok," dll.
Fatwa pendek MUI ini membuka peluang untuk disalahgunakan dan
dimultitafsirkan oleh orang lain, seperti Menag Suryadharma Ali, entah
untuk kepentingan apa.
Bisa saja Media Indonesia salah kutip, karena itu penting untuk
mendapatkan siaran pers Menag 25 Januari 2012.
Sumber lain yang membahas siaran pers itu antara lain
http://icrp-online.org/012012/post-1326.html
Mengenai 2 artikel arrahmah.com,
baca saja udah "jijay" dengan bahasa maupun isinya, apalagi forward ke
ruang publik.
Tetapi untuk Abah HMNA, baiklah saya kutip utuh di bawah ini.
http://m.arrahmah.com/read/2012/01/23/17557-hakekat-ahmadinejad-mengungkap-tabir-hitam-pemimpin-syiah-ahmadinejad.html
Kamis, 3 Rabi'ul Awal 1433 H / 26 Januari 2012
Hakekat Ahmadinejad: Mengungkap tabir hitam pemimpin syi'ah Ahmadinejad
Bilal – Senin, 23 Januari 2012 18:10:48
Arrahmah.com - Siapa yang tak kenal sosok Ahmadinejad, seorang
presiden Iran yang berani terhadap hegemoni Amerika Serikat dan figur
yang sangat bersahaja dalam kehidupannya. Banyak dari kalangan kaum
muslimin mengelu-elukan seorang Ahmadinejad yang dianggap representasi
pemimpin sejati.
Namun, masyarakat muslim sangat jarang mengetahui sosok sejati
Ahmadinejad, baik sebagai pribadi ataupun sebagai presiden Iran dengan
posisi pengambil kebijakan.
Sebelum membahas lebih jauh terkait sikap Ahmadinejad terhadap Israel,
ada baiknya kita mengulas asal-usul pria tersebut.
Mahmoud Ahmadinejad atau bisa dibaca Ahmadinezhad (bahasa Persia: ;
lahir 28 Oktober 1956) adalah Presiden Iran yang keenam. Jabatan
kepresidenannya dimulai pada 3 Agustus 2005. Ia pernah menjabat
walikota Teheran dari 3 Mei 2003 hingga 28 Juni 2005 waktu ia terpilih
sebagai presiden. Ia dikenal secara luas sebagai seorang tokoh
konservatif yang mempunyai pandangan Islamis.
Ahmadinejad sewaktu kuliah
Lahir di desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 100 km dari
Teheran, sebagai putra seorang pandai besi, keluarganya pindah ke
Teheran saat dia berusia satu tahun. Dia lulus dari Universitas Sains
dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan
perencanaan lalu lintas dan transportasi.
Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan
mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan
Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada
di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan
terjadinya krisis sandera Iran.
Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps
Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi
di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam
Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia
bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat
Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil
dari 1993 hingga Oktober 1997.
Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003.
Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan
walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan
mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di
pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer
dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar,
pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak
mendukungnya dalam pemilu tersebut.
Keturunan Yahudi
Pada 2009 Telegraph.co.uk—harian berita dari Inggris—menurunkan berita
yang cukup mengejutkan. Sebuah foto Presiden Iran Ahmadinejad sambil
mengangkat kartu identitasnya selama pemilihan umum Maret 2008 dengan
jelas menunjukkan keluarganya memiliki akar Yahudi. Dokumen close-up
itu mengungkapkan dia sebelumnya dikenal sebagai Sabourjian – atau
kain tenun dalam arti nama bahasa Yahudi.
Sebuah catatan pendek yang tertulis di kartu itu menunjukkan
keluarganya berubah nama menjadi Ahmadinejad, ketika mereka dikonversi
untuk memeluk Islam setelah kelahirannya. Sabourjian berasal dari
Aradan, tempat kelahiran Ahmadinejad, dan nama itu diturunkan dari
"penenun dari Sabour", nama untuk selendang Tallit Yahudi di Persia.
Nama ini, ada dalam daftar nama cipta untuk orang Yahudi di Iran,
menurut Departmen Dalam Negeri Iran.
Ali Nourizadeh, dari Pusat Studi Arab dan Iran, mengatakan: "Aspek
latar belakang Ahmadinejad menjelaskan banyak tentang dirinya. Dengan
membuat pernyataan-pernyataan anti-Israel, ia sedang mencoba untuk
menumpahkan kecurigaan tentang hubungannya dengan Yahudi. Ia merasa
rentan dalam masyarakat Syiah yang radikal."
Seorang ahli yang berpusat di London Yahudi Iran mengatakan, "Dia
telah mengubah namanya karena alasan agama, atau setidaknya
orangtuanya," kata kelahiran Yahudi Iran yang tinggal di London itu .
"Sabourjian dikenal sebagai nama Yahudi di Iran."
Ahmadinejad tidak menyangkal namanya berubah ketika keluarganya pindah
ke Teheran pada tahun 1950-an. Tapi dia tidak pernah mengungkapkan
perubahan berhubungan dengan pergantian keyakinan. Ahmadinejad tumbuh
menjadi insinyur yang memenuhi syarat dengan gelar doktor dalam
manajemen. Sebelum terjun jadi politisi, Ahmadinejad bertugas sebagai
tentara pada Pengawal Revolusi.
Selama debat presiden di televisi tahun ini, ia dipancing untuk
mengakui bahwa namanya telah berubah tapi ia mengabaikannya. Mehdi
Khazali, seorang blogger internet, yang menyerukan penyelidikan akar
nama Presiden Ahmadinejad ditangkap musim panas ini.
Sikap Ahmadinejad terhadap Islam
Timbulah pertanyaan, apakah darah yahudi yang mengalir di diri
Ahmadinejad, membawa serta ideology dan sifat Yahudi yang membenci
Islam dan kaum muslimin?.
Ternyata dugaan anda tidak salah, Ahmadinejad sebelumnya mengeluarkan
pernyataan yang terang-terangan menghina dua orang sahabat Rasulullah
Muhammad saw.
Kecaman dan hinaan Ahmadinejad itu disampaikan dalam sebuah acara
televisi secara langsung di Shabaka 3, saluran televisi Iran, hanya
beberapa hari sebelum pelaksanaan pemilu Iran.
Seperti yang diketahui, Iran yang berbasis Syiah ini sudah sejak lama
mempersempit ruang gerak para jamaah ahli Sunnah (kaum Sunni). Di
bawah kepemimpinan Ahmadinejad, bahkan para jamaah Sunni mengalami
penderitaan yang belum pernah dialami sejak Revolusi Syiah Rafidhah
Khomeini.
Dalam acara itu, Ahmadinejad dengan lugas mengatakan bahwa Talhah dan
Zubair adalah dua orang pengkhianat. "Talhah dan Zubair adalah dua
orang sahabat Rasul, tapi setelah kepergian Rasul, mereka berdua
kembali kepada ajaran sebelumnya dan mengikuti Muawiyah!"
Padahal dalam sejarah, Talhah dan Zubair, dua orang sahabat Rasul itu,
tak pernah bertempur dengan Muawiyah, karena keduanya meninggal lama
sebelum peperangan Jamal di tahun ke-36 kekhalifahan Islam di mana
Muawiyah menjadi rajanya.
Pernyataan Ahmadinejad ini sudah jelas kemana arahnya, yaitu membuat
sebuah perbandingan atas sahabat Rasul dulu dengan kejadian politik
saat ini di Iran—berkaitan dengan rivalnya Mousavi. Sebelumnya,
Ahmadinejad juga sangat sering menghina sekitar 15 juta penganut Sunni
di Iran. Inilah sosok asli Ahmadinejad yang merupakan musuh terbuka
terhadap para sahabat Rasul.
Bukan sebagai pejuang Islam, seperti yang selama ini diduga oleh
sebagian kaum muslimin dan pendukungnya yang bodoh. Mengapa demikian?
Meminjam Istilah Ustadz Hartono Ahmad Jais, tidak mungkin pejuang
merobohkan masjid-masjid justru seharusnya pejuang Islam membangun
masjid sebagai tempat bertaqarrub kepada Allah.
Sikap Iran terhadap Islam (Sunni) lebih kejam dibanding sikap
negeri-negeri kafir sekalipun. Hingga di Iran terutama ibukotanya,
Teheran, tidak ada masjid Islam (Sunni). Hingga Ummat Islam (Sunni)
bila berjum'atan maka ke kedutaan-kedutaan Negara-negara Timur Tengah
di Teheran. Tidak ada pula Madrasah Islam (Sunni). Karena semuanya
sudah dihancurkan. Para ulama Sunni pun sudah disembelihi atau
dibunuhi. (Lihat Ma'satu Ahlis Sunnah fi Iran, oleh Abu Sulaiman Abdul
Munim bin Mahmud Al-Balusy, diindonesiakan dengan judul Kedholiman
Syi'ah terhadap Ahlus Sunnah di Iran, LPPI, Jakarta, 1420H/ 1999).
Di Iran tidak ada pula anggota parlemen dari Islam (Sunni) apalagi
menteri. Padahal dari Yahudi diberi prioritas jadi anggota parlemen,
punya tempat-tempat ibadah (sinagog) dan sekolah-sekolah Yahudi di
Iran.
Ulama Syiah terkemuka Iran, Taskhiri, pernah ditanya wartawan di satu
negeri di Afrika Utara, apakah tidak boleh di Iran didirikan Masjid
Islam Sunni. Pertanyaan itu dijawab, sampai sekarang belum saatnya.
Ahmadinejad sujud didepan kubur Khumanei
Demikianlah kenyataan di Iran. Ummat Islam Sunni sekitar 20 persen
namun tidak diberi hak-haknya alias telah dirampas, dan bahkan lebih
kejam dibanding sikap orang kafir di berbagai negeri yang kenyataannya
rata-rata masih ada di mana-mana masjid Ummat Islam (Sunni). Sedang di
Iran justru masjid-masjid Islam Sunni dihancurkan, ulamanya dibunuhi.
Mulutnya berkoar mengecam Yahudi, namun tindakannya justru menikam
Islam (Sunni alias Ahlus Sunnah).
Tak hanya demikian, pada masa pemerintahan Ahmadinejad
perempuan-perempuan sunni yang ditahan rezim Syi'ah Iran ini mengalami
penderitaan yang sangat berat dengan dimut'ah paksa oleh milisi Basij
terlebih dahulu sebelum dihukum mati, karena keyakinan syi'ah mereka
yang dihukum mati dalam keadaan perawan akan masuk surga, dan mereka
pun tidak menginginkan surga tersebut diraih oleh perempuan sunni.
Sikap Ahmadinejad terhadap Al Aqsha
Ahmadinejad bersama Jafar Murtada Al Amili
Hapus peta Israel di dunia! Itulah kata-kata Ahmadinejad yang pernah
menggemparkan jagad politik international. Sungguh berani, tapi
sayangnya tidak diiringi dengan perilaku yang serupa.
Mahmud Ahmadinejad pernah memberi hadiah kepada seorang penulis buku
sekaligus seorang ulama besar Syiah abad ini, yakni Jafar Murtada Al
Amili, yang telah menulis sebuah buku berjudul "Ayna Masjid al-Aqsha?"
(Di Manakah Masjid Al Aqsha?) yang intinya mengungkapkan bahwa
keberadaan Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya bukanlah di bumi Al-Quds,
melainkan di langit . Dan menganggap masjid mereka di Kuffah lebih
baik dai Al-Aqsha seperti tertulis dalam kitab rujukan Syiah Biharul
Anwar.Buku tersebut ditetapkan yang terbaik di Iran.
Pemberian hadiah tersebut menyiratkan bahwa, Ahmadinejad menyetujui
isi buku tersebut yang menolak klaim bahwa sahabat Umar bin Khottob Ra
telah membebaskan Al Aqsha dari bangsa Romawi, karena dianggap
Rasulullah SAW tidak melakukan perjalanan darat ke Al Aqsha tetapi
pada saat perjalanan menuju ke langit(mi'raj).
Ahmadinejad bersama para ulama'-ulama' Syiah
Lantas pertanyaannya, apakah mungkin Ahmadinejad akan terlibat dalam
perjuangan pembebasan masjid Al Aqsha sedangkan ia berpendapat masjid
tersebut berada diatas langit ?
Hubungan Gelap Dengan Israel
Seorang ulama Syiah mengatakan presiden Iran ingin menjalin
"persahabatan dengan Israel," . Menurut ulama Syiah Mahmud Nubia ,
penasehat teras atas Ahmadinejad, Esfandiar Rahim Mashaei tiga tahun
lalu menyatakan bahwa Iran harus memiliki "hubungan yang bersahabat"
dengan Negara Yahudi, namun Ahmadinejad menahan diri dari persoalan
ini di depan umum karena pemimpin tinggi Syiah Iran Ayatollah Ali
Khamenei sangat keberatan dengan hal ini.
Esfandiar Rahim bersama Ahmadinejad
Nubia lebih lanjut menyatakan bahwa Presiden Iran secara pribadi
mengatakan kepadanya bahwa ia mendukung pernyataan Mashaei, tapi tidak
bisa berkata apa-apa karena menghormati pemimpin tertinggi Syiah Iran,
Ali Khamenei.
Lebih dari 200 Perusahaan Israel Menjalin Hubungan dengan Iran.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, tanpa henti mengajarkan
perlunya ada tindakan tegas terhadap Iran untuk mencegah Iran
memperoleh senjata nuklir, namun dirinya tidak mampu untuk
menghentikan perusahaan Israel dan individu Israel yang secara
langsung maupun tidak langsung melakukan perdagangan dengan Iran.
Ia juga tidak bertindak tegas terhadap perusahaan internasional dan
perusahaan-perusahaan Israel yang beroperasi di Iran, sambil
mempertahankan kontrak besar Iran dengan perusahaan Israel – termasuk
badan-badan negara seperti Electric Corporation dan Otoritas Bandara.
Sedikitnya 200 perusahaan internasional yang beroperasi di Israel
memelihara hubungan perdagangan yang luas dengan Iran. Hubungan ini
termasuk investasi dalam industri energi Iran, yang merupakan sumber
penghasilan utama Iran dan berfungsi untuk menyalurkan dana untuk
mengembangkan rudal, program nuklir dan senjata konvensional lainnya.
Sejatinya, menurut Husain Ali Hasyimi, dalam tulisannya, Al-Harbul
Musytarakah Iran wa Israil bahwa sejak zaman Syiah Pahlevi, Iran telah
menjalin hubungan perdagangan dengan Zionis Yahudi. Dan hubungan
dagang ini berkelanjutan hingga setelah revolusi Syiah yang dipimpin
oleh Khumaini.
Bahkan pada tahun 1980-1985, Zionis Yahudi merupakan Negara pemasok
senjata terbesar ke Iran. Sandiwara "permusuhan" Iran dan Yahudi mulai
terbongkar, ketika pesawat kargo Argentina yang membawa persenjataan
dari Yahudi ke Iran tersesat, sehingga masuk ke wilayah Uni Soviet,
dan akhirnya di tembak jatuh oleh pasukan pertahanan Uni Soviet.
Dikisahkan, Iran membeli persenjataan dari Yahudi seharga 150 juta
dolar Amerika, sehingga untuk mengirimkan seluruh senjata tersebut,
dibutuhkan 12 kali penerbangan.
Ronald Regan
Lebih dari itu, Amerika juga pernah terlibat skandal dengan Iran
dimana Ronald Reagen, (yang kala itu menjadi Capres) pernah
berpura-pura memerangi Khomeini, akan tetapi di belakang layar justru
Amerika gencar mengirimkan senjata-senjata mutakhir untuk memenangkan
Khomeini.
Lewat investigasi berkepanjangan akhirnya skandal Iran Gate ini pun
akhirnya terbongkar. Reagan dianggap menjurus pada tindakan kriminal,
terlebih telah melibatkan CIA dan Partai Republik dengan seluruh
kegiatannya menjalin hubungan dengan Iran. Reagan pun akhirnya membuat
pernyataan resmi kepresidenan tentang hubungan AS-Iran. Dikatakan
tidak ada masalah apa pun dalam hubungan kedua negara. Negeri ini juga
tidak lagi memberi indikasi teror yang mengancam AS.
Semakin membingungkan memang, bagi kita yang tidak mengetahui karakter
sejati Syi'ah Rafidhah. Fakta yang terungkap ini, menegaskan kembali
kepada kita bahwa kesederhanaan dan keberanian Ahmadinejad dalam
menghadapi barat, bukanlah hakekat sebenarnya sikap mereka.
Apalagi, Ahmadinejad memang berulangkali tertangkap basah tengah
bertemu dengan para pemimpin Yahudi. Ahmadinejad memiliki hubungan
yang harmonis dengan Yahudi. Semasa berada di New York, presiden Iran
tersebut terlihat dengan antusias menyambut kedatangan sejumlah Rabbi
Yahudi AS.
Islam sendiri mengajarkan kepada kita, bahwa untuk menilai seseorang
harus memulainya dari aqidah orang tersebut terlebih dahulu, bukan
hanya sekedar akhlaknya yang baik, ataupun karakternya yang sangat
bersahaja.
Karikatur Skandal Iran Gate
Karena jika hanya menilai dari atribut kepribadian, maka banyak
orang-orang kafir yang memiliki pula kebaikan yang hebat terhadap
kemanusiaan. Sebutlah Bunda Theresa yang menjadi symbol pembelaan
terhadap orang-orang lema di India.
Keutamaan dan derajat seseorang didalam Islam, diukur dari aqidah dan
tauhid orang tersebut kepada Allah SWT. Sebanyak apapun seseorang
melakukan kebaikan, tetapi jika tidak memiliki iman, maka amal mereka
seperti debu dimata Allah SWT.
Inilah sosok sejati Ahmadinejad, yang mungkin anda pernah kagumi. Akan
tetapi, sebagai seorang Rafidi dan keturunan Yahudi. Ia bertaqiyyah
menyembunyikan permusuhan terhadap Islam hingga kini.
Wallahu'alam bisshowab.
(bilal/arrahmah.com)
http://m.arrahmah.com/read/2012/01/25/17601-video-warga-syiah-melakukan-ritual-sesat-di-kabah-mereka-di-iran.html
Video warga syi'ah melakukan ritual sesat di "Ka'bah" mereka di Iran
Saif Al Battar – Rabu, 25 Januari 2012 20:38:16
Video Link (click here)
http://www.youtube.com/watch?v=8VKRM4z99gg&feature=youtu.be
Inilah kekufuran syiah:
"Sesungguhnya Allah akan memasukkan ke dalam surga siapa saja yang
mentaati imam Ali WALAUPUN IA MENDURHAKAI ALLAH, dan sesungguhnya
Allah akan memasukkan neraka siapa saja yang menentang imam Ali
WALAUPUN IA MENTAATI ALLAH TA'ALA."(Lihat kitab "Kasyful Yakin fi
Fadhail Amiril Mukminin" karya Hasan bin Yusuf Al-Muthahhir Al-Hulli,
hal.8)
Mereka berkata: "Seungguhnya 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu,
dialah yang membagi surga dan neraka. Dia akan memasukkan penduduk
surga kedalamnya dan penduduk neraka kedalamnya." (Lihat kitab
"Bashair Ad-Darajaat" karya Ash-Shaffar, 8/235)
"Sesunggunya Fathimah radhiallahu 'anha adalah titisan tuhan yang
menjelma dalam bentuk seorang wanita." (Lihat kitab "Al-Asrarul
Fathimiyyah" karya Muhammad Al-Mas'udi, h. 355)
Salah satu kekurangajaran syiah dalam masalah agama adalah lelucon
Syi'ah di Iran, yaitu membuat "Ka'bah" dan menyanyi seperti penyanyi
dangdut atau rocker. Lihat video ini.
(saif al battar/arrahmah.com)
Dan ternyata hari ini nambah satu lagi (kayaknya tulisan anti Syiah
memang sudah "feature" rutin situs ini, heran juga Abah HMNA bisa
"luput")
http://m.arrahmah.com/read/2012/01/26/17620-kajian-ilmiah-mewaspadai-sepak-terjang-yahudi-kristen-syiah.html
Hmm, ini jurus "satu tepuk tiga nyawa" ....... :-)
Abah mau menjawab, atau jadi penanggap di kajian ilmiah tersebut?
salam,
2012/1/26 H. M. Nur Abdurrahman <mnur.abdurrahman@yahoo.co.id>:
> 1. Inti Keputusan MUI 1984: Syiah berbeda dgn ahlul sunnah, bukan dengan
> Islam. Jadi mengapa saya mesti jawab MUI?
>
> 2. Mengenai Suryadarma Ali yang Menag:
> JAKARTA--MICOM: Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa aliran Syiah
> bertentangan dengan ajaran Islam. Pernyataan tersebut berdasarkan keputusan
> Kementerian Agama dan MUI yang menyatakan bahwa Syiah bukanlah Islam.
> Kementerian Agama RI juga pernah mengeluarkan surat edaran no
> D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang golongan syiah dan menyatakan
> bahwa syiah tidak sesuai dan bahkan bertentang dengan ajaran islam.
>
> Berita yang disiarkan JAKARTA--MICOM ini tidak benar.
> 2.1. Surat Edaran Departemen Agama No: D/BA.01/4865/1983, Tanggal: 5
> Desember 1983, Tentang: HAL IKHWAL MENGENAI GOLONGAN SYI'AH sama sekali
> tidak memukul rata semua Syi'ah bertentangan dengan Islam.
> 2.2. MUI tidak pernah menyatakan bahwa Syiah bukanlah Islam.
>
> Saya teringat berita yang menghebohkan yang disiarkan oleh beberapa sumber
> berita tentang ucapan Gus Dur Almarhum: "Assalamu 'alaykum diganti saja
> dengan ucapan Selamat Pagi." Padahal setelah saya lakukan Tabayyun dengan
> Ketua NU Sulawesi Selatan, maka sebenarnya demikian:
> Ada wartawan yang bertanya kepada Gus Dur: Kalau terhadap non-Islam apa
> boleh kita ucapkan Assalamu 'alaikum, maka Gus Dur dengan singkat menjawab:
> Ya, ganti saja dengan dengan Selamat Pagi. Jadi yang disiarkan oleh beberapa
> sumber berita itu NOT THE WHOLE TRUTH.
>
> 3. Saya sudah klik kedua link tsb dan hasilnya: Page Not Found. Apologies,
> but the page you requested could not be found.
>
> Wassalam
> HMNA
>
>
>
>
> ----- Original Message -----
> From: "Dwi Soegardi" <soegardi@gmail.com>
> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
> Sent: Thursday, January 26, 2012 1:35 AM
> Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: [Sabili] Re: [syiar-islam] Ketua MUI,
> Ketua NU, Ketua Muhammadiyah, dan FPI: Syi'ah Tidak Sesat
>
>
> Nyambung topik lama.
>
> Abah, nun jauh sebelum Anda menjawab (2010) pertanyaan saya (2012),
> keberadaan Syiah di Indonesia sudah dipermasalahkan oleh MUI, di tahun
> 1984.
> Jadi semestinya Anda jawab dulu MUI, kemudian teruskan jawaban itu
> kepada Menag Suryadarma Ali
> yang di tahun 2012 ini membuat konklusi sendiri sekonyong-konyong
> mengatakan Syiah (tanpa memerinci golongan apa)
> adalah bukan Islam.
>
> http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/01/25/293947/293/14/Menag_Tegaskan_Syiah_Bertentangan_dengan_Islam%0A
>
> Lebih celaka lagi, Menag pake bilang
> "Siapa saja yang menganggap syiah tidak sesat berarti dia sesat," kata
> Menag dalam siaran persnya, Rabu (25/1).
>
> Terus kalo saya bertanya: siapa yang bilang seseorang itu sesat
> padahal tidak sesat, dia itu sesat ngga ya?
>
> Kedua, Abah HMNA, kan Anda penggemar situs arrahmah.com itu,
> kok sampai kelewat artikel penting ini
> http://m.arrahmah.com/read/2012/01/23/17557-hakekat-ahmadinejad-mengungkap-tabir-hitam-pemimpin-syiah-ahmadinejad.html
> ada juga di halaman depan hari ini
> http://arrahmah.com/read/2012/01/25/17601-video-warga-syiah-melakukan-ritual-sesat-di-kabah-mereka-di-iran.html
>
> Saya kira artikel-artikel ini cukup untuk menilai kredibilitas situs
> langganan Anda itu.
>
> salam,
>
>
>
> 2012/1/7 H. M. Nur Abdurrahman <mnur.abdurrahman@yahoo.co.id>
>>
>>
>>
>> 1. Sebuah pertanyaan Dwi yang telah terjawab sebelumnya. Artinya jawaban
>> (November 2010) yang mendahului pertanyaan (8 Januari 2012).
>> Silakan klik link
>> http://waii-hmna.blogspot.com/2010/11/949-tidak-semua-syiah-dan-ahmadiyah-itu.html
>> Pada paragraf terakhir:
>> Karena itu, dalam masalah pandangan kita kepada kelompok Syi'ah, kita
>> perlu merinci dengan detail, tidak asal menilai, agar terhindar dari
>> tuduhan yang bukan pada tempatnya. Alhasil terhadap beberapa pemhaman
>> Syi'ah yang sesat kita wajib berda'wah meluruskannya.
>>
>> 2. mazhab Syiah yang diterima: Ja'fariyah, Zaidiyah dan Zhahiriyah
>> Mazhab Ja'fariyah atau Syi'ah Imamiyah yang memegang tampuk kekuasaan di
>> Republik Islam Iran sekarang, dimotori oleh Abu Abdullah Ja'far Ash-Shadiq
>> (80-148 H), dalam banyak hal punya persamaan dengan fiqh AhlusSunnah.
>> Secara umum, pendapat mereka banyak sekali persamaan dengan fiqh mazhab
>> As-Syafi'iyah, kecuali pada 17 perkara. Misalnya tentang bolehnya nikah
>> mut'ah.
>> Juga silakan klik link
>> http://waii-hmna.blogspot.com/2010/11/949-tidak-semua-syiah-dan-ahmadiyah-itu.html
>> Wassalam
>> HMNA
>>
>>
>> On Sun Jan 8, 2012 1:36 am, Dwi Soegardi wrote:
>> Abah,
>>
>> "Tidak semua" itu berapa persen?
>> Terus syiah mana yang dituduh melakukan hal-hal demikian?
>> Kalau ada yang begitu di Makassar, apakah mereka juga layak difatwa sesat,
>> diserbu dan dibakar pesantrennya?
>>
>> Dalam Konferensi Amman, ada tiga mazhab Syiah yang diterima (tidak boleh
>> dikafirkan):
>> Ja'fariyah, Zaidiyah dan Ibadiyah.
>> (sejajar dengan 4 mazhab Sunni dan mazhab Zhahiriyah/Khawarij)
>>
>> Sekarang benarkah ketiganya "bersih" dari tuduhan2 seperti mengafirkan
>> Sahabat?
>> - orang yang gemar musuhan selalu akan menemukan "bukti2" itu,
>> atau menuduh kalau ada Syiah yang tidak melakukan itu sebagai "taqiyyah."
>>
>> - kalau toh ada yang begitu, kenapa ga dicuekin aja sih? Live and let
>> live?
>> (biasanya orang balik tanya, gimana kalo anak elo yang masuk Syiah yang
>> nakal itu?)
>>
>> salam,
__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment