Advertising

Thursday 30 December 2010

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - DEMOKRASI INDONESIA Adalah DEMOKRASI PANCASILA,,

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita *

*Kemis. 30 Desember 2010*

*-------------------------------------------*


DEMOKRASI INDONESIA Adalah DEMOKRASI PANCASILA

*<Baca Bonnie Triyana – DEMOKRASI UNTUK JOGYAKARTA?>*

Tidak jelas bagaimana solusi terakhir sekitar kasus Daerah Istimewa
Jogyakarta. Apakah demokrasi Pancasila yang menjadi dasar negara
Republik Indonesia, juga berlaku untuk Daerah Istimewa Jogyakarta?
Apakah karena 'keistimewaanya', lalu UUD RI tidak berlaku di Jogyakarta?
Inikah yang dikatakan 'megakui fakta sejarah' sekitar kedudukan dan
saling hubungn antara negara RI dengan Daerah Istimewa Jogjakarta?


Bicara soal dasar falsafah negara RI, PANCASILA, tidak bisa tidak harus
bertolak dari pengalaman sejarah perjuangan rakyat Indonesia itu
sendiri. Dari proklamasi kesepakatan Sumpah Pemuda. Suatu Indonesia yang
merupakan kesatuan dan bersatu (Pidato Ir Sukarno, Lahirnya Pancasila, 1
Juni 1945). Harus bertolak dari pengorbanan rakyat sejak Pemberontakan
1926, Revolusi Agustus dan perang kemerdekaan membela negara Republik
Indonesia. Bicara soal mempertimbangkan pengalaman sejarah, maka
pertama-tama bertolak dari kenyataan bahwa ratusan ribu korban yang
denga rela memberikan yang paling berharga dari hidup mereka sendiri,
demi kemerdekaan bangsa, demi membela kedaulatan Republik Indonesia.


Ketika Sukarno – Hatta atas nama 'bangsa Indonesia' memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, maka proklamasi itu adalah bagi SELURUH
INDONESIA. Dari Sabang sampai Merauké. Tanpa kecuali. Termasuk
Jogyakarta dengan sendirinya. Dengan segala keistimewaannya, Jogyakarta
adalah bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia dimana berlaku
undang-undang dan ketentuan hukum negara Republik Indonesia.


* * *


Tulisan Bonnie Triyana patut dibaca! Secara singkat padat Bonnie
memaparkan pengalaman sejarah RI dan saling hubungannya dengan Daerah
Istimewa Jogyakarta yang diciptakan oleh RI.


Kesimpulkan akhir tulisan tsb mengemukakan, bahwa:


"Bilamana melihat semangat Sultan HB IX menggabungkan diri ke dalam
Republik yang sedang berevolusi menuju alam yang demokratis maka sebuah
tafsir lain bisa muncul: penetapan gubernur hanya berlaku untuk HB IX
saja, sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah Republik Indonesia
untuk seorang Raja Jawa yang berani mengambil sikap progresif dan
melawan arus pada zamannya. Selebihnya, serahkan saja pada mekanisme
demokrasi sebagaimana tujuan revolusi Indonesia yang dikobarkan oleh
para pendiri republik ini, termasuk oleh Sultan HB IX".


*Benar Bonnie, --- SELEBIHNYA SERAHKAN SAJA PADA MEKANISME DEMOKRASI.*


* * *


BONNIE TRIYANA:

*Demokrasi untuk Yogyakarta?*

Dimuat pertama kali oleh Majalah Historia Online, 30 Desember 2010.

**Perang tafsir sejarah sedang terjadi antara Jakarta dengan Yogyakarta.**

**SECARA metodologis kata "seandainya" tidak bisa digunakan untuk
menganalisa peristiwa sejarah. Tapi kalau saja boleh berandai-andai
melihat fakta sejarah, maka sebuah pertanyaan dilontarkan dalam kasus
kisruh keistimewaan Yogyakarta akhir-akhir ini: bagaimana seandainya
Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak memutuskan untuk bergabung
dengan Republik Indonesia yang masih jabang bayi itu? Tentu jawabannya
bisa bermacam rupa dan semuanya memiliki potensi untuk menjadi benar
atau salah. Namun pastinya baik jawaban itu salah atau benar tak satu
pun yang menjadi realitas karena hanya berangkat dari kata seandainya.

Sejarah perlu ditelaah lebih dari sekadar teks. Ia bisa berhenti sebagai
"kisah mati" yang rawan dimistifikasi jika tak meninjau lebih jauh
kontekstual peristiwa sejarah yang terjadi pada zamannya. Begitu pula
dalam soal melihat silang sengkarut perselisihan paham antara keluarga
keraton dan warga Yogyakarta di satu sisi dengan pemerintah di sisi lain
dalam menyoal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK).

Pada masa kolonial, Yogyakarta dan Surakarta merupakan dua daerah
kerajaan (/vorstenlanden/) yang berada di bawah kekuasaan raja. Sultan
HB IX (HB IX) sebagai raja Yogyakarta yang menggantikan takhta ayahnya,
HB VIII dengan kesadaran politik dan latar belakang pengetahuannya yang
modern memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, HB IX mengirimkan kawat ucapan
selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta atas berdirinya negara Republik
Indonesia.

Pada 5 September 1945, Sultan HB IX memaklumkan amanat untuk
menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Seperti termuat dalam buku
/Tahkta Untuk Rakyat/, maklumat September itu memuat tiga pokok, yakni,
/pertama/, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan
Daerah Istimewa, bagian dari RI. /Kedua/, segala kekuasaan dalam negeri
dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. /Ketiga/,
hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara
Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggungjawab
langsung kepada Presiden RI.

Kenapa Sultan HB IX memilih untuk bergabung dengan Republik dan menolak
beragam tawaran Belanda yang menggiurkan?

Seperti diakuinya di dalam buku /Takhta Untuk Rakyat/, HB IX mengatakan
hal yang mungkin irasionil namun itu benar terjadi padanya. Telah datang
kepadanya sebuah bisikan gaib pada Februari 1940 yang mengabarkan
tentang keruntuhan kekuasan Belanda di Indonesia. HB IX pun mengakui
kalau dia hidup dalam dua dunia: dunia keraton yang menempatkannya
sebagai seorang raja dalam alam feodal dan dunia luar kraton yang penuh
dengan tantangan zaman yang mulai berubah ke arah modernitas.

Sultan HB IX yang berpendidikan barat dan terbuka terhadap
gagasan-gagasan baru yang berkembang di masyarakat. Dia seorang yang
rumit: modernis yang berperan sebagai raja Jawa dalam kungkungan alam
feodalisme. Oleh sebab itulah Sultan HB IX tahu benar harus berada di
mana saat gerakan kemerdekaan yang diusung kelompok nasionalis Indonesia
sejak awal abad ke-20 memainkan peranan penting dalam masa peralihan
yang penuh gejolak.

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan HB IX memilih untuk
berada bersama Republik. Proklamasi 17 Agutus 1945 mengubah telah
semuanya. Membongkar tatanan yang di masa sebelumnya ajeg dan dianggap
normal. Serangkaian kalimat dalam teks proklamasi menimbulkan gelombang
besar: "/Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan/ /dengan tjara seksama dan dalam tempo jang
sesingkat-singkatnja./"

Seruan pemindahan kekuasaan itu pun menjalar ke kota-kota dan pedesaan
di seluruh penjuru negeri. Pada hari itu ada yang berdiri, ada pula yang
runtuh. "Yang ambruk adalah sebuah wacana," kata Goenawan Mohamad dalam
kolomnya di /Majalah Tempo/, edisi kemerdekaan 2008 lalu. Jepang kalah
perang dan Belanda tak lagi berkuasa. Proklamasi kemerdekaan menjadi
awal revolusi nasional yang melahirkan identitas sebuah negara yang
baru. Revolusi sosial menyusul kemudian.

Feodalisme yang tumbuh subur semasa kolonialisme berkuasa menjadi
sasaran gerakan revolusi. Kurang dari sepekan, kabar proklamasi
kemerdekaan Indonesia telah menyulut gerakan revolusi sosial di Banten.
Sejumlah pejabat pribumi yang datang dari kalangan /menak/ (priyai),
yang menjadi sasaran kemarahan. Mereka dianggap sekutu pemerintah
kolonial yang tak senafas dengan tujuan revolusi Indonesia. Jabatan
residen dan bupati diisi oleh kaum republikein pendukung revolusi. Haji
Achmad Chatib, seorang aktivis politik yang pernah terlibat dalam
pemberontakan komunis di Banten 1926 menjabat residen Banten.

Bulan Oktober 1945 revolusi sosial pun menjalar hingga ke tiga daerah di
wilayah Eks Karesidenan Pekalongan. Anton Lucas /Peristiwa Tiga Daerah:
Revolusi dalam Revolusi/ mencatat aksi revolusi sosial bermula ketika
lurah desa Cerih, Tegal Selatan diperlakukan hina oleh rakyat dalam
sebuah arak-arakan /dombreng/. /Dombreng /berasal dari kata "tong" dan
"breng" yang mengambarkan pukulan pada kayu atau bunyi kaleng kosong
yang dipukul oleh pengaraknya. Arak-arakan yang sebelum era revolusi
digunakan untuk mempermalukan maling yang tertangkap basah itu kemudian
digunakan untuk menggiring para pamong desa simbol kaum feodal.

Revolusi di ketiga daerah itu pun membawa perubahan pada cara berbahasa.
Kaum revolusioner setempat yang dipelopori oleh tokoh-tokoh PKI seperti
Subandi Widarta selama revolusi sosial berlangsung mendorong rakyat di
tiga daerah untuk tidak menggunakan gelar kebangsawanan. Residen Sarjio
yang hanya duduk sebagai residen dalam empat hari saja di bulan Desember
mengumumkan agar penggunaan panggilan "ndoro", "paduka" dan "abdi"
diganti dengan "bung" atau "saudara".

Revolusi sosial pun berkobar di Aceh, di mana terjadi pembunuhan
terhadap kalangan uleebalang yang selama pemerintahan kolonial menjadi
pegawai Belanda. Begitu pun di Sumatera Timur, revolusi digerakkan oleh
organisasi kepemudaan seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo),
Nasionalis Pemuda Indonesia (Napindo), Barisan Harimau Liar dan
Hizbullah menahan para pejabat, bangsawan semua simbol-simbol
feodalisme. Keluarga Kesultanan Deli pun tak luput dari sasaran kaum
revolusioner yang mengamuk. Salah satu korbannya adalah Amir Hamzah,
penyair angkatan Pujangga Baru, yang tewas dalam peristiwa tersebut.

Tapi revolusi sosial menemui situasi yang anti-klimaks, di mana para
kaum revolusioner harus menyingkir dari panggung politik revolusi bahkan
ditangkap atas alasan mengacau keadaan. Namun demikian revolusi sosial,
kendati tidak merata, telah meneguhkan cita-cita kemerdekaan itu
sendiri: bahwa kehidupan masyarakat di alam kemerdekaan haruslah
dibangun di atas pondasi demokratis, egaliter, dan tak bersumber pada
struktur sosial yang hirarkis berdasarkan nilai-nilai feodalisme.

Sutan Sjahrir sebagai salah seorang penganjur demokrasi menunjukkan
kecemasannya apabila revolusi, yang menghendaki perubahan mentalitas
bangsa Indonesia dari mentalitas jajahan ke jiwa-jiwa yang merdeka,
tidak berjalan sempurna. Dia khawatir akan "warisan feodal masih sangat
kuat terasa di kalangan orang Indonesia. Artinya, mereka telah terbiasa
menerima patokan-patokan politik dari atas, sehingga mereka selalu
menunggu perintah pemimpin tanpa sedikit pun berani mengambil prakarsa,
" kata Sjahrir seperti dikutip oleh Indonesianis George McTurnan Kahin
dalam buku /Mengenang Sjahrir/.

Revolusi sosial tak sempat terjadi di Yogyakarta. Sultan HB IX kendati
seorang raja yang berkuasa atas daerahnya tak hendak berjumawa dengan
berdiri berseberangan dengan pihak republik. "...Proklamasi kemerdekaan
segera diikuti oleh arus revolusi. Semua swapraja tergilas oleh roda
revolusi, kecuali swapraja Kesultanan dan Pakualaman yang segera setelah
proklamasi bersatu menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari
Republik Indonesia," tulis Mr. Sudarisman Purwokusumo yang dikutip
Kustiniyati Mochtar dalam buku /Takhta Untuk Rakyat/.

Kini kontinuitas historis sedang diperdebatkan. Keistimewaan Kesultanan
Yogyakarta yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa
revolusi menimbulkan multitafsir, terutama pada satu poin dalam RUUK
yang menghendaki gubernur Yogyakarta dipilih secara demokratis, bukan
ditetapkan sebagaimana yang pernah diberlakukan terhadap Sultan HB IX
dan Sultan HB X sebagai penerus HB IX.

Maklumat Sultan HB IX 5 September 1945 kendati secara jelas menyebutkan
bahwa segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di
tangan HB IX, tetap menimbulkan pengertian yang mendua: apakah penetapan
gubernur hanya berlaku buat HB IX saja ataukah berlaku sepanjang masa
untuk anak-keturunan sultan Yogyakarta? Bilamana melihat semangat Sultan
HB IX menggabungkan diri ke dalam Republik yang sedang berevolusi menuju
alam yang demokratis maka sebuah tafsir lain bisa muncul: penetapan
gubernur hanya berlaku untuk HB IX saja, sebagai penghargaan tertinggi
dari pemerintah Republik Indonesia untuk seorang Raja Jawa yang berani
mengambil sikap progresif dan melawan arus pada zamannya. Selebihnya,
serahkan saja pada mekanisme demokrasi sebagaimana tujuan revolusi
Indonesia yang dikobarkan oleh para pendiri republik ini, termasuk oleh
Sultan HB IX (*BONNIE TRIYANA*)

* * *

**


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment