Advertising

Wednesday 29 December 2010

Re: [wanita-muslimah] Kekeliruan Dalam Mendidik Anak Ala Barat Yang Diadopsi Umat Islam

 

Mengapa orang-orang Arab tidak mengirim anak-anak mereka ke negeri-negeri misalnya ke Indonesia , tetapi ke New Zealand, Australia, Amerika, Inggris Jerman, dan Perancis? Bukankah ini sangat tidak baik?

----- Original Message -----
From: Yudi Yuliyadi
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, December 29, 2010 8:41 AM
Subject: [wanita-muslimah] Kekeliruan Dalam Mendidik Anak Ala Barat Yang Diadopsi Umat Islam

Sumber:www.eramuslim.com

Kekeliruan Dalam Mendidik Anak Ala Barat Yang Diadopsi Umat Islam

Sebuah Krtitik Terhadap Ide Pemenuhan Tumbuh Kembang Anak

"Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas
kedua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun
Majusi.

Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempurna, apakah kalian
rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?"

Bapak-ibu sekalian, pernahkah kita sesekali mengamati dengan serius
iklan-iklan di televisi mengenai tumbuh kembang anak? Apakah yang kita
lihat? Mungkin sebagian besar dari kita disuguhkan iklan yang berksiar
mengenai produk susu, makanan, hingga pencernaan bagi anak kita.

Tidak hanya itu, kita juga dapat melihat bagaimana produsen dari produk
kebutuhan bagi bayi tersebut, dengan sedikit "ancaman" mencoba meyakinkan
kita betapa pentingnya asupan makanan bagi anak kita. Jika tidak terpenuhi
akan menggangu kecerdasannya dikemudian hari." Anak Anda Mau Sehat? Makan
Biskuat!"

Terjebak Pada Pemenuhan Biologis dan Kesenangan An Sich
Percayakah kita sebenarnya, bahwa produk kebutuhan bagi bayi yang ada
sekarang ini adalah hasil dari saduran Psikologi Barat yang hanya melihat
manusia sebatas kungkungan asupan biologis. Bayi dalam konsep Barat memang
diproduk sebagai mesin yang akan berkembang hanya dalam pemenuhan wilayah
ketubuhan.

Asumsi ini menjadi berkembang pesat di Eropa dan Amerika setelah Sigmund
Freud mengungkapkan tahapan perkembangan pemenuhan kebutuhan anak dalam
teori psikoanalisisnya.

Kita ketahui bahwa Freud menjadi sorotan banyak kalangan ketika dia
menguraikan mengenai alur tahapan perkembangan kepribadian via seksualitas
(maksudnya unsur biologis dalam tubuh). Freud menyangkal bahwa dorongan
biologis tidak berawal pada masa pubertas namun sedari bayi, dan seksualpun
menjadi penggerak dalam keseharian manusia. Hal ini kemudian menjadi
trendsetter corak terapi dan tafsiran kepribadian dalam fenomena kehidupan.

Tak ayal kemudian dengan cepat banyak para psikiater dan praktisi psikologi
anak bergabung dalam mazhab psikodinamika Freud. Seperti Carl Gustave Jung
dari Zurich, A.A Brill dari New York, Sandor Verenzci dari Budapest, Karl
Abraham dari Berlin, Alfred Adler dari Wina, dan juga Karen Horney dari
Amerika Serikat.

Dalam teori Freud, perbincangan mengenai ketubuhan ialah titik sentral dalam
melihat kepribadian futurutif manusia. Dalam mendiskusikan kepribadian, pada
dasarnya manusia adalah makhluk biologis. Badan atau tubuh bekerja melalui
insting-insting ketubuhan yang mesti dipenuhi, yaitu gairah meraih
kenikmatan dan menghindari ketidaksenangan biologis. Jatidiri riil ini
tentulah bersifat keduniawian. Aktivitas somatik menjadi prioritas ketimbang
emosional, sosial, lebih-lebih agama. Secara garis besar, Freud akan
mengatakan bahwa kehidupan psikis seorang anak digerakkan oleh insting
biologis atau insting seksual.

Dalam teori perkembangannya, Freud mengetengahkan bahwa kehidupan anak-anak
pada masa kehidupannya memiliki kecenderungan untuk memenuhi kenikmatan
oralnya. Aktivitas seperti makan, minum, menyusu adalah satu-satunya hal
yang wajib dipenuhi tinimbang aktivitas lainnya. Menurut Freud, jika hal itu
tidak terpuaskan, anak akan mengalami gangguan kecemasan, dan bukan tidak
mungkin akan mengalami penyakit kejiwaan di kemudian hari. Contohnya Freud
pernah mengatakan, bahwa orang yang gemar merokok adalah orang yang ketika
ia bayi tidak berhasil memenuhi kebutuhan menyusuinya.

Selain teori oralnya, Freud juga mengetengahkan gagasannya tentang
perkembangan Anal pada anak usia dini. Menurut Freud, setelah fase oral
terpenuhi, anak akan beralih untuk memuaskan kebutuhan analnya, yakni segala
aktivitas yang berhubungan dengan dubur seperti buang air besar. Ini terjadi
saat anak berumur 1-3 tahun.

Aktivitas perkembangan pada fase anal sendiri berupa pengeluaran kotoran
untuk menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan menimbulkan perasaan lega.
Dalam perkembangannya, karena pengeluaran feses dianggap penting oleh orang
tua, maka muncullah apa yang disebut Freud dengan aktivitas toilet traning.

Toilet training adalah pembiasaan diri orangtua kepada seorang anak untuk
menjaga kebersihan diri. Hal ini dimaksudkan agar anak mempunyai kendali
diri dalam membuang kotoran. Di sini anak harus mengikuti sebuah aturan oleh
pihak orang tua agar feses yang dikeluarkan tidak membuat kekotoran
dimana-mana.

Freud kemudian mendelegasikan bahwa jika seorang ibu mempunyai karakter
positif dalam menghadapi fase anal seperti sifat sabar dan kerap memuji
perbuatan aktifitas feses si anak, eksesnya akan tertuju pada pemahaman anak
tentang konsep pembuangan kotoran yang baik dan bertanggung jawab.

Namun sebaliknya, jika aktivitas pembuangan feses tidak berjalan dengan
mulus, lalu seorang ibu kerap mengeluarkan amarahnya meretapi kondisi anak
yang tidak wajar dalam pembuangan fesesnya, ini akan menyebabkan timbulnya
benih-benih kecemasan berupa sifat pemalu di kemudian hari, Tidak hanya itu,
Freud kemudian menarik kegagalan seorang anak pada pemenuhan fase anal
sebagai prasyarat timbulnya neurosis dalam interval waktu beberapa tahun
kedepan.

Bertitik tolak dari Teori Freud inilah Barat kemudian secara simultan mulai
mengadopsi dengan menitik tekankan pentingnya aktifitas pemenuhan unsur
biologis dibanding konten lainnya. Aktivitas makan dan pembungan feses
berkembang menjadi satu-satunya jalan menafsirkan jiwa bayi. Tak heran jika
banyak iklan popok, susu, makanan cair, berubah menjadi salah satu lini
tervital sebagai salah satu produk tumbuh kembang anak.

Selain daripada itu, dari Teori Freud inilah sebuah pesan kemudian ditangkap
oleh Barat untuk memenuhi faktor kesenangan belaka bagi anak. Barat kemudian
menganggap mainan adalah satu-satunya cara agar prinsip kenikmatan anak
terpenuhi. Ini menjadi bergulir panjang hingga kini produk-produk kesenangan
itu amat berkaitan dengan lini bisnis.

Dunia games sekarang menjadi momok terbesar setelah pornografi. Banyak kita
dapati anak yang menghabiskan waktunya di internet bukan untuk menghabiskan
waktunya dengan ilmu, tapi demi kelanjutan serial games yang telah mencadu.

Pertanyaannya kemudian adalah dimanakah konten agama dalam Teori Freud? Lalu
apakah agama memiliki peran diametris dalam kesehatan jiwa anak? Dan adakah
porsi pelajaran agama dalam bagian teori tumbuh kembang anak dalam gagasan
tentang bayi di Barat saat ini? Jawabannya adalah tidak ada. Karena bagi
Freud agama adalah penyakit yang akan menyerang bayi. Sedang menurut Ludwigh
Ferubach, lebih sadis lagi: Agama adalah ilusi.

Jadi, wajar saja jika tidak ada iklan menghafal dan mengkaji Qur'an bagi
anak-anak di televisi-televisi kita. Lalu wajar pula juga jika banyak
masyarakat Barat sekarang menjadi atheis. Kurang ajar. Virginitas adalag
barang murah. Sedangkan ketetapan definisi baik dan buruk tidak ada
hubungannya dengan agama. Lalu bagaimana dengan kita?

Kekosongan Nilai Islam dan Kerancuan Tauhid
Asumsi ini kemudian ditarik lebih dalam lagi di tiap teori tentang anak,
baik psikomotorik anak, psikososial anak, hingga kognitif anak. Agama
memiliki peran asing dan cenderung menjadi benalu. Agama dalam termin Barat
adalah satu kasus cacat tersendiri dalam kehidupan awal anak-anak. Karena
bagi Barat, anak belum megenal Tuhan dan memang tidak perlu Tuhan.

Sebab agama cenderung menekan insting-insting manusia yang semestinya harus
disalurkan seperti pergaulan bebas, hedonisme, hingga keharusan mereka untuk
tidak patuh pada norma. Ini kemudian secara tidak sadar diterjemahkan pada
beberapa lembaga pendidikan kita yang berkesimpulan bahwa agama adalah
wilayah privat. Ia adalah konten pribadi yang cukup diajarkan seminggu
sekali.

Sebelum itu, Barat juga telah meredusir mengenai makna agama pada dua hal.
Pertama, pengaburan makna agama menjadi sekedar moral belaka. Agama bisa
jadi substitut dari moral. Dan moral lebih save untuk diajarkan kepada anak
untuk menentukan kebenaran daripada agama. Pertanyaannya adalah sederhana,
sekarang apakah sebenarnya perbedaan agama dan moral? Jawabannya juga
sederhana.

Bahwa definisi moral hanya berlaku pada suatu lingkup budaya tertentu. Moral
dalam definisi masyarakat Indonesia berbeda dengan atural moral di Amerika.
Disana anak memanggil dengan sapaan kamu terhadap orang tua sudah bisa,
sedang di Indonesia menjadi ganjil untuk mengemuka.

Nah, berbeda dengan moral, agama berlaku dimana saja. Agama bukanlah produk
budaya dan tak boleh tunduk pada budaya. Justru agama lah yang membuat
budaya harus dekat dengan aturannya. Nah Barat tidak sependapat dengan ini.
Bagi mereka, anak sudah cukup menjadi orang baik tanpa harus beragama.
Batasan agama tdak boleh berlawanan dengan nilai tumbuh kembang anak.

Oleh karena itu orang yang namanya Kohlberg saat ia membuat Teori Moralnya
tidak mendefinisikan secara jelas tentang makna penting agama bagi anak. Ia
hanya membuat teori bahwa pada umur sekian dan sekian anak sudah bisa
diajarkan tentang moral. Sekali lagi, moral bukan agama.

Kedua, penafikan pemaknaan benar salah pada proses pendidikan anak. Inilah
yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Banyak lembaga pendidikan hatta
lembaga pendidikan Islam sekalipun, sudah terjebak pada lema Barat, bahwa
anak adalah makhluk lugu yang harus dijauhkan pada konten benar dan salah
waktu ia kecil.

"Jadi bapak-bapak ibu-ibu, anak jangan diajari yang macem-macem dulu. Jangan
diajari benar atau salah dulu. Maklum anak kita kan masih kecil. Duh kasihan
dari kecil sudah diajari thoghut dan kafir." Begitu kria-kira ucapan salah
seorang psikolog anak berjilbab.

Terlihat memang pendapat ini menarik. Asumsi ini coba memberi ruang pada
ekspresi anak untuk menampilkan tindakan apa adanya tanpa harus dibelenggu
aturan. Tapi thesa ini secara tidak sadar sudah membunuh fitrah anak bahwa
sejak di alam ruh pun, anak sudah terikat janji kepada Allah untuk selalu
online di jalan kebenaran.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (Al A'raf 172)

Inilah konsekuensi tauhid, yang tidak hanya melihat anak pada asupan
ketubuhan, yang tidak hanya melihat anak kecil sebagai makhluk lugu yang
belum memiliki jiwa. Oleh karena itu, alih-alih kita menjauhi anak untuk
mendefinisiakan mana yang thoghut, mana yang kafir, mana yang benar,
Rasulullah SAW malah mengatakan justru orangtualah yang sebenarnya
menjadikan anaknya thoghut dan kafir.

"Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas
kedua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun
Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempurna, apakah
kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?" Astaghfirullah.

Anak Dijauhkan Dari Ilmu
Tidak hanya berhenti di konten tauhid, dengan tampilan periklanan di media
yang menjelaskan tentang kebutuhan biologis anak-anak, kita sudah digiring
untuk hanya membentuk anak dalam sebuah prosa yang mutlak biologis. Orangtua
hampir habis mengeluarkan uangnya untuk membelikan hal-hal yang bersifat
biologis ketimbang memberinya materi khusus tentang makna sebuah ilmu dan
agama.

Ini bukan berarti kita dilarang untuk membelikan segala produk ketubuhan
bagi bayi sama sekali, namun yang menjadi problem kita adalah jangan-jangan
ini memang sudah grand design dari Barat untuk menjauhkan anak dari
Ilmu-ilmu Keislaman yang memang Barat khawatir sekali untuk itu.

Akhirnya kita juga khawatir bahwa kita telah terjebak pada manifestasi
materialisasi yang cenderung membawa anak pada pemahaman bahwa dunia adalah
segala. Bahwa Islam adalah kalimat kedua. Sedang Al Qur'an adalah lembar
tulis yang "lebih murah" ketimbang HP berlayar kaca. Konsekuensi logis
inilah yang sebenarnya terjadi pada banyak anak muslim, yang meski
berkerudung tapi masih melihat Islam dari kacamata lugu. Mereka terbentur
pada visi panjang bagaimana menjadi seorang pengilmu sebab telah kadung
gagal memaknai agama hanya pada konten ritualitas belaka.

Kalau kita mau jujur, berapa banyak sebenarnya uang kita habis untuk membeli
produk-produk ketubuhan ketimbang habis untuk membelikan anak kita sebuah
buku. Padahal sebenarnya adalah kesia-siaan jika kita memenuhi asupan gizi
kecerdasan anak, jika kita sendiri justru tidak mampu membentuk iklim
keluarga dalam menyalurkan potensi kecerdasan anak.

Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim Al Jauzi dengan sangat geram mewanti-wanti
orangtua yang tidak memenuhi hak ilmu bagi anak dengan sebutan perusak.
"Barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya dengan hal-hal yang
bermanfaat serta meninggalkannya secara sia-sia, maka berarti telah berbuat
buruk kepada anak seburuk-buruknya. Kebanyakan anak menjadi rusak adalah
disebabkan orang tuanya, karena tidak adanya perhatian kepada mereka, serta
tidak diajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan
sunah-sunnahnya."

Oleh karenanya, kita juga harus imbang untuk tidak terbentur pada pemaknaan
biologis dan kesenangan an sich tapi kemudian melupakan visi jangka panjang
tentang asupan ilmu bagi anak. Sedari dini kita juga harus mulai terbiasa
untuk memberikan buku daripada mainan. Anak akan belajar betapa
lingkungannya memang mendukung bagi tumbuh kembangnya untuk mengenal
ideologi Islam. Kecintaan anak pada ilmu dapat dibentuk bagaimana
orangtuanya juga memperlakukan ilmu.

Paling tidak kita bisa mensiasati dalam pemenuhan kebutuhan masa anak, namun
tidak pula menafikan peran perkembangan keilmuan bagi anak. Sebagai contoh,
berilah mainan bagi anak yang juga mengandung unsur edukatif tinimbang
kesenangan belaka. Satukan antara makna bermain dengan kedekatan ia kepada
Allah lewat jalan pengenalan terhadap ilmu-ilmu Islam. Orang tua bisa
menemani anak untuk secara simultan mengkaitkan antara sebuah permainan
dengan sains Islam. Dan Alhamdulillah media itu kini sudah cukup banyak.

Maka dari itu, Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam sebuah risalahnya
akhirnya memang menitiktekankan betapa potensi kecerdasan lebih penting
untuk kita perhatikan ketimbang sekedar kesenangan belaka. Beliau menyeret
nuansa keilmuan dan kepustakaan sebagai elemen terpenting dalam membentuk
karakter asasi kanak-kanak, "Adalah sangat penting adanya perpustakaan di
dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku
sejarah Islam, biografi Salafus Sholih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah
perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai
negeri, dan semisalnya"

Generasi Rabbani seperti Imam Syafi'i, Ibnu Taimiyyah, Sayyid Quthb, dan
Taqiyudin An Nabhani bukanlah sederetan generasi ulama yang ditempuh dalam
satu proses lalu usai. Mereka adalah barisan kalimat panjang yang dimulai
dari habitasi memperjuangkan kebenaran Islam sejak dini. Dalam naungan
jaminan keluarga pecinta ilmu dan penikmat buku yang memiliki peranan
penting dalam meretas paradigma pendidikan usia dini yang pasti Islami.
Sebab Rasulullah pernah bersaba, Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu
pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan
mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air. (HR
ath-Thabrani dari Abu Darda' ra.).

Penekanan Tauhid dan Ilmu: Belajar Mendidik Anak Dari Orangtua Imam Syafi'i
AKhirnya kita bisa belajar dari banyak teladan dalam Islam bahwa dunia ini
bukan segalanya. Para ulama-ulama terdahulu adalah mereka yang sejak
kecilnya justru susah, hidup dalam kemiskinan tapi mampu tampil sebagai
pilar memapah Islam dengan kekuatan tauhid dan ilmu yang menyala-nyala.

Salah satu kisah itu dapat kita ambil hikmahnya dalam sekat perjalanan
seorang Ulama Besar Islam bernama Imam Syafi'i. Imam an-Nawawi pernah
menceritakan bagaimana peran seorang orangtua perempuan di belakang
penguasaan Imam Syafi'i terhadap fiqh. Ibu Imam Syafi'i adalah seorang
wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan kesetiaannya
berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam Syafi'i menjadi
ilmuwan sejati hingga saat ini.

Di Mekkah, Imam Syafi 'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al-Khaif. Di
sana, meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi
jangka panjang tentang arti, Tauhid, Ilmu, dan Keharusan membawa nama harum
sang anak ke hadapan Allahuta'ala. Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal
itu tidak menghalangi sang ibu untuk menempatkan anaknya dalam kultur
pendidikan agama yang terbaik di Mekkah. Sang ibu sadar, ia tidak memiliki
banyak uang, namun dan kecintaananya terhadap Allah dan ilmu dari kedua ibu
dan anak ini meluluhkan hati sang guru untuk rela mengajar sang Imam meski
tanpa dominasi finansi.

Imam Syafi'i pernah bertutur betapa aroma ketauhidan yang kukuh dan nuansa
keilmuan yang kuat adalah dua karakter investasi yang membentuk kepribadian
hakiki, "Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru
yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut
menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia
berkata kepadaku, "Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu."

Dan dengan segera, guru itu kemudian mengangkat sang pangeran ilmu sebagai
penggantinya, mengawasi murid-murid lain jika beliau berhalangan hadir.
Bahkan dengan cepat Imam Syafi'i berhasil merampungkan hafalan Qur'an di
al-Kuttab, lalu kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu. Imam Syafi'i kemudian berguru fiqih kepada Muslim bin
Khalid Az-Zanji dengan tingkat kecepatan menguasai ilmu dalam jangka waktu
relatif cepat.

Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang ajaib itu sehingga beliau
mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Bayangkan di
usia semuda itu Imam Syafi'i telah menjelma menjadi mufti di Masjid Al-Haram
Makkah. Inilah buah dari salah satu kerja keras dari seorang ibu yang lebih
banyak memberi ilmu ketimbang mainan. Yang lebih banyak berusah payah
memberi asupan buku ketimbang jalan-jalan.

Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi'i tak sama sekali
membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu. Beliau
sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma,
dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis Islam.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits
Nabi.

Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi'i menceritakan
hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah keinginan
seorang anak untuk menambah Ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang bunda menolak.
Berat baginya melepaskan Syafi'i, dalam sebuah kondisi dimana beliau
berharap kelak Imam Syafi'i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di hari
tua. Demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya
beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu, demi rasa cinta seorang
pecinta ilmu kepada seorang bernama ibu. Meskipun demikian akhirnya sang
ibunda mengizinkan Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu
Pengetahuan ke luar kota.

Sebelum melepaskan Syafi'i berangkat, ibunda tersayang Imam Syafi'i
menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah
jatuh hati pada ilmu,
"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan
aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk
menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku
bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah
keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya
nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"

Setelah usai berdo'a, sang ibu memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih
sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat sedih
betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata
dari wajahnya, sang ibu berpesan, "Pergilah anakku. Allah bersamamu.
Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan
dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah ridha melepasmu.
Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan!"
Subhanallah

Selepas do'a itu terlantun syahdu, Imam Syafi'i mencium tangan ibunya dan
mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita paling
tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam
perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo'akan untuk kesejahteraan
dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu. Imam Syafi'i tak sanggup menahan
sedihnya, ia pergi dengan lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang
mengingatkan pada seorang ibu yang telah memolesnya menuju seorang bergelar
ulama besar. Ya ulama besar yang akan kenang sampai kiamat menjelang.

Oleh karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan
perbekalan yang sama sekali minim, kecuali cintanya yang telah tertumpah
ruah kepada sang ibu. Imam Syafi'i mengisahkan perpisahan dengan ibunya
dengan mengatakan, "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan
kepada ibuku. Dia masih terjegat diluar pekarangan rumah sambil
memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabus pagi.
Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh berkah, tanpa membawa sedikitpun
bekalan uang. Apa yang menjadi bekalan bagi diriku hanyalah keteguhan iman
dan hati penuh tawakkal kepada Allahuta'ala. Serta do'a restu ibuku."

Bayangkan bagaimana peran yang ditopang seorang ibu yang selalu memasrahkan
buah hatinya kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang menyala-nyala.
Inilah karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa raga anaknya
hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka pengabdian
kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa suami,
membesarkannya, hingga mengantar Syafi'i menjadi Imam Besar Umat Islam
hingga kini. Itulah esensi pendidikan sejati. Pendidikan yang mustahil
terbayar dengan gelimangan uang dan kompleksitas intsrumentasi.

Eksistensi yang mustahil ditemui dalam program-program pendidikan anak usia
dini yang menjadikan tauhid dan kecintaan terhadap ilmu sebagai esensi
kedua, ketiga, dan keempat setelah status kaya.

Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari hal ini. Bahwa anak adalah
investasi amal kita dalam rangka pengabdian kita kepada Allah. Semoga kita
juga terjebak pada pemenuhan kebutuhan anak yang semu dan offline dari
aturan Allah Subhana Wa Ta'ala. Karena Kita, anak kita, dan kecintaan kita
kepada Allah adalah tiga kata yang harus kita ingat betul jika ingin sukses
di akhirat maupun dunia.

"Apabila manusia telah mati, maka terputuslah amal pahalanya kecuali tiga
perkara: Amal Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, atau anak soleh yang
mendoakannya" (HR. Muslim)
Wallahua'lam.

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi. Aktif di Kajian Zionisme Internasional dan
Kuliah Peradaban Islam Depok Islamic Study Circle Masjid UI

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment