Curahan Hati Seorang Mantan Mahasiswa UIN
Monday, 27 December 2010 10:53
Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada
Kairo. Bahkan atheisme lebih ilmiah daripada wahyu
Right-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook
prevented automatic download of this picture from the
Internet.Hidayatullah.com--Apakah Anda pernah menyaksikan film Band Of
Brother garapan Steven Spielberg? Di mana bangunan runtuh dan betonnya
menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya saat kali pertama
menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah (MA), kami berjalan
hati-hati sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang
berserakan di sana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih
menyerupai kontrakan pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya
dengan kampus yang terkenal karena beberapa alumnusnya ini? Jawaban baru
saya ketahui ketika saya mengikuti awal-awal perkuliahan.
Saya bangga akhirnya diterima di sini, sedari awal cita-cita ini memang
tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan aroma keilmuan yang kuat.
Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat pekuliahan sebagai syarat
mendapat ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang tidak minat di jurusan
hingga tidak gigih saat menuntut ilmu. Namun saya sudah menetapkan standar
visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya mengenal perguruan
tinggi.
Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai buku, banyak buku yang
mewarnai garis pemikiran saya saat masih di bangju Aliyah dan apa makna
kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi orang
seperti Hamka, Natsir, bahkan Sartre.
Awal-awal Kuliah di UIN
Dulu, ketika awalnya masih di Aliyah (setingkat SMU), perasaan saya kerap
waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan
tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan
kualitasnya. Oleh karena itu saya selektif sebelum menjatuhkan pilihan
terhadap kampus yang akan kami tuju. "Jangan sampai, saya masuk sekolah
tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya terhadap ilmu,"
bagitu hati saya berkata.
Bulan berganti bulan, akhirnya saya mampu menyesuaikan diri dengan gaya UIN
yang lebih agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur'an,
Ulummul Hadits, Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah "susah"
bagi kawan-kawan yang bukan berlatar-belakang santri, Bahasa Arab. Namun
kendati pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada sedikitpun
perasaan yang menciptakan hati mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya
pun heran bagaimana masa depan saya nantinya jika terus begini? Apa yang
diharapkan dari sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya seperti ini?
Tahun berganti tahun, sayapun akhirnya menjelma menjadi mahasiswa UIN
seperti para pendahulu saya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa
diisi oleh kegiatan membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi
perpustakaan. Namun kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni
Barat. Bendera Kanada-pun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum
di UIN ada perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul,
masih mencari-cari.
Di UIN pula, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero
Indonesia, di mana, Subhanallah, bicaranya amat memukau, lengkap dengan
cengkok khas intelektualisnya. Beberapa di antara mereka kemana-kemana
selalu menenteng buku. Bacaanya filsafat Prancis dan sesekali mengutip Plato
dan Aristoteles.
Ada pepatah, "bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi." Entah, apakah
terprovokasi oleh adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya "jajahi"
semata-mata mendapatkan air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap
wawasan. Saya pernah berada di organisasi yang kanan, beralih ke moderat,
berdiskusi di lembaga sosialis kiri, masuk ke liberal, sampai aktif
berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa senior jurusan Akidah
Filsafat.
Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak ubahnya sedang melihat
sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan dipenuhi asap rokok hingga
kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata gondrong melewati batas
punggung. Bukan santri yang selama ini saya kenal.
Menurut bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak
semester awal akan "diplonco" dengan cara kami harus mempresentasikan tema
yang sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Benar, bersama
seorang teman, saya benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku
sejati. Saya ingat betul kawan saya yang baru semester satu itu harus
menjelaskan tentang biografi Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9
Filsafat (yang menurut saya) rada-rada ingkar Tuhan dalam penilaian saya.
Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang thesis.
Belum usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar
seorang senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat
rambut ikal Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke
Turki dan sebelum menjadi Rektor UIN tentunya.
Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah "abang-abang" kami yang
telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini menjadi anggota Pansus
Century. Di bawah tenda, kami berkumpul dengan para jawara intelektual
kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau penjilatan
politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak saya,
bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan
politik.
Pada level pegerakan saya pun tidak melewatinya. Istilahnya, :Kurang canggih
jika mahasiswa tidak berdemo," begitulah istilahnya. Namun entahlah, saya
merasa tidak cocok. Banyak mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan
nyata apa yang dikatakan tidaklah sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak
dari mereka malah jadi broker di kampus masing-masing.
Kenyataanya, jika demo mereka tidak shalat. Walau saya termasuk orang
"brengsek" kala itu, tapi urusan shalat, alhamadulillah tetap tak akan
tertinggal. Melihat fakta ini, saya tidak yakin jika masa depan diserahkan
kepada mereka akan membawa dampak positif bagi bangsa.
Tapi ironisnya, mereka selalumeminta agar tampuk anggota DPR lebih baik
diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie, politik itu bak Lumpur.
Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti kemunafikan, belajar
melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan kenyataan. Ketika "abang
senior" mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang lagi bicara
kebenaran. Akhirnya, alibipun ditebarkan.
Sementara dalam pendalaman Islam dan maknanya, saya dihadapkan pada
tulisan-tulisan (alm) Cak Nur (Nurcholis Madjid, red) yang walau saya tidak
paham, sering saya iyakan saja. Maklu, kala itu, saya masih lugu untuk
mengintrepetasikan kalimat "Tiada tuhan selain Tuhan". Ya sebuah filsafat
cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior yang
sambil menepuk-nepuk pundak berpesan, "Nak, beginilah kalau kamu mau jadi
orang cerdas."
Westernisasi Pemikiran
Hingga waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya
pelajari selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual
yang benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari, saya lebih suka
mengimitasi psikoanalisa tinimbang Imam al-Ghazali. Naluri saya lebih bangga
untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi
tulisan atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu
wahyu di tiap lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau
kata Gabriel Tarde, psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri
ilmiah jika kita berada pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus
masyarakat yang ada.
Selanjutnya saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi
ilmu-ilmu produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan
keterpesonaan seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca:
bisa juga nilai duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi
Islam. Bagi saya, kampus umum dengan segala perangkat keduniaannya menurut
saya lebih membuka peluang untuk mendekati kebenaran di dibanding di kampus
ini.
Shalat tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam
(jika hanya ada tugas adalah keseharian saya). Saya membaca buku-buku
Islam, tapi sebenarnya kurang menikmati karena saya telah terlanjur cinta
pada nama besar Freud, Jung, Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh
kepercayaan pada positivisme, empirisme, rasionalisme, tinimbang The
Philosphy of Islam. Jika Anda bertanya pada saya tentang Islam, jangan harap
saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi Muhammad dan bagaimana sejarahnya,
sebab saya lebih tertantang melakukan diskusi buku-buku teori filsafat
Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari peradaban non Islami, dan
mencoba mengedepankan kata "ilmiah" dahulu tinimbang Tuhan. Dan pada
dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah dengan semangat
Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya mengkaji itu
semua untuk saya praktekan kelak. Kalau mau berfikir ekstrim, sesungguhnya
saya adalah "musuh" Islam saat itu.
Walau saya tidak sampai berikrar menjadi penganut atheis. (karena saat itu
saya masih shalat, puasa, tidak pacaran, dan mencintai Allah) akan tetapi,
saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak saya ada sebuah mosi
ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam itu sendiri.
Bahwa Fitrah itu Ada
Namun dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil
yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti; Siapakah saya
sebenarnya? untuk apakah saya hidup di dunia? kenapa saya selalu cemas?
dan bagaimana nasib saya pasca dari dunia ini?
Seribu tanya itu persis seperti al-Ghazali mempertanyakan tentang hakikat
diri di Kitab Kimiyatul Sa'adah-nya. Hebatnya itu semua berjalan beriringan
dengan kekaguman saya terhadap produk Barat (yang sering dibanggakan di
IAIN/UIN) itu. Hingga suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat
ketika saya menerapkan keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai
kevalidannya.
Ternyata Barat yang saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang
kehabisan bensin saat mendaki tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna
terdalam dari kehidupan. Bukan hanya tidak bisa, ia memang tidak akan bisa,
karena tumpulnya ketajaman pisau analisa-nya untuk mengupas hakikat problem
jiwa manusia modern.
Dan saat saya menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor,
saya malah dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak
dapat dipecahkan oleh ilmu modern tersebut.
Islam tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini
saya melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu "ada". Bagaimana mungkin para
konseli saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan
dengan pendekatan yang berbelit-belit ala psikologi Prancis, London, dan
Jerman itu. Saya menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini
selama ini. Karena sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi
mata kuliah yang kami dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun
ada tidak sama sekali membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam.
Dalam lapangan, saya mendapati para konseli saya merasakan indahnya
menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir,
shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur'an. Ya sekali lagi dengan pendekatan
Islami, bukan pendekatan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.
Saya pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika
membaca al-Qur'an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan.
Inilah sebuah dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam
nurani saya tanpa diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis,
dan tak lama kemudian saya betul-betul terharu.
Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh derajat tentang arti
Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti mahasiswa strata
satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama terdampar di
sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud sedang
memakai topi.
Saat itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang
berbeda. Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang
separuh prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori
sebelumnya, maka, teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika
ilmu yang sejati, yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang
masih intens dengan keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin
gemerlap materi yang membutakan mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup
pintu hidayah.
Menjadi Konselor Muslim
Sejak itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya
belajar Islam dari awal lagi, dari a', ba', ta' lagi. Dari Al-Baqoroh lagi.
Dari Bab Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya
berkembang menjadi pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA
sekalipun. Iri dengan para santri yang sangat nikmat sekali mempelajari
dinul Islam di pesantren-pesantrennya. Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi
untuk mencari mutiara keislaman yang terpendam dalam jutaan buku karangan
manusia.
Saya belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk
membaca gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman
dari ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti
tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang
butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun
menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi
Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.
Jadilah dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa
keajaiban Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam
bukanlah kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu.
Terlalu murah jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di
UIN saya pernah menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus
(baca: semacam MPR kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas
rata-rata kawan saya, tapi saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik
misalnya, intrik politik lebih banyak bermain ketimbang etika, padahal
mereka-mereka juga orang hebat, lahir dari pesantren, mantan-mantan ketua
BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran dan pro rakyat, penyambung lidah
nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu Barat, tapi entahlah secara akhlak
belum bisa saya simpulkan baik.
Dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia, semakin
jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada
substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah;
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui." (QS Al-Ankabut ayat 64)
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:"Bilamana
manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya". Sungguh
tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan
menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik
sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan.
Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.
Sebagai seorang yang kadung belajar karakteristik manusia dan psikologi
massa. Saya paham hal ini tidak bertahan lama jika saya tidak berada pada
satu komunitas yang akan menunjang iman saya, ini penting. Mulailah saya
membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti pergaulan. Jika dulu saya
asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul dengan orang yang
soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan saya kepada tali
takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman amat penting
bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka
harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena
menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.
Saya merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci
untuk menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri.
Siapa kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah,
kenapa kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi
besar. Dan anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada
diri kita sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi
pengenalan diri dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi
fitrah dari segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syeikh Abdul Hamid Al
Ghazali menaruh bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia
kebahagaiaannya, inilah kunci awal menuju kebahagiaan.
Jika kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita
selama ini apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada
sebuah kata tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta,
gelisahnya kita akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah
dalam kuasa.
Rasa cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah
hanya berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya
merasa sanggup berjalan sendirian.
Tanpa kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme
tauhid kita terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang
Maha kita cintai, tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa
keinginan kita, apa kata pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa
kata ego kita, dan segala rasa individualitas angkuh yang bersamayam dalam
diri kita.
Ingat, mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi
fitrah suci dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana
yang benar. Semakin kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita.
Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang kita dapat
di dunia fana ini. Karena Allah sudah mengingatkan kita,
"Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah.
Mereka berada dalam kesesatan yang nyata." (Az-Zumar: 22)
Syeikh Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan
hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan
jauhnya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah
adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang.
Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi
kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun
Nufus-nya, beliau berujar bahwa dosa adalah canru, semakin kita sering
berbuat dosa, semakin ketagihanlah kita untuk bermaksiat kepada Allah.
Sebuah rumus sederhana, bukan? Namun ketika ketaatan kepada Allah menjadi
kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka ketenangan batin dan mansinya
iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari. Percayalah, dan itu butuh
kejelian kita, selamat berjuang para pencari kebahagiaan yang sejati.
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu." (QS. Al Hadiid(57) ayat.20).
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, penulis adalah alumnus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan
Filsafat di Ciputat, di antaranya HMI, Forum Kota UIN, dan Fakultas Dakwah
dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM
Bimbingan dan Konseling Islam. Kini, aktif pada diskusi sabtuan INSISTS,
Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI
http://www.hidayatullah.com/cermin-a-features/cermin/14832-curahan-hati-seor
ang-mantan-mahasiswa-uin
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment