Memang cara pandang agamawan itu beragam, ada yang textualist (scripturalist)
berbeda dengan contextualits (esoterist). Menurut hemat saya, wellcome saja
antropolog misalnya berpendapat bahwa tokoh-tokoh yang dikisahkan kitab suci
(Taurat, zabur, injil dan Qur'an) seperti Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholeh, Luth,
Ibrahim, dst .... Musa ...dst karena jejak arkeologist tidak mendukung maka
tokoh-tokoh tertentu tsb dipandang fiktif atau mitos. Bagi saya meskipun cara
pandang kaum sains itu benar karena memang dibangun berdasarkan metodologi
ilmiyah (empiris dan rasional) tetapi jangan takabur dulu karena sains
menjadi benar lantas tidak otomatis agama menjadi salah. Karena menurut hemat
saya tidaklah penting vonis mitos atau fiktif, karena sebenarnya agama adalah
agama, sains adalah saing, bahwa agama berkisah atau bertutur tentang riwayat
lengkap dengan sepak terjang sang tokoh berikut mukjizat yang menyertainya,
bukan berarti agama adalah sejarah. Sejarah adalah sejarah jangan dicampur
adukkan.
Agama fokus pada masalah moral, bahwa mukjizat seperti kaum yang bandel
dibinasakan dengan halilintar, dengan bencana alam, banjir bah, lautan terbelah,
ada yang tidak mempan dibakar api, ada yang sanggup berkomunikasi dengan burung
dan hewan lainnya, ada yang ditelan ikan kemudian dimuntahkan dalam keadaan
hidup, ada yang menderita dan happy ending dsb itu adalah sebua inspire dari
pesan luhur agama bagi umat-Nya, bahwa setiap umat apabila menghadapi persoalan
berat, kompleks jangan pesimis jangan apatis dan cuek sehingga bersikap lemah
dan terus terpuruk tetapi bangkitlah akan selalu ada solusi alias jalan
keluarnya. Zaman dulu memang cocok dan relevan dengan mukjizat, zaman sekarang
boleh jadi temuan teknologi yang membuat peradaban ini menjadi bagus, kehidupan
menjadi simple dan praktis, hidup menjadi comfort, rasa bersyukur bertambah juga
merupakan mukjizat yang lain. Gitu lho.
Jadi sekali lagi agamawan yang bijak adalah yang mampu menerima sains demi
kemaslahatan umat manusia, dan ilmuwan yang bijak adalah yang mampu membangun
moral, etika, dan akhlaq berdasarkan keyakinan atau agama yang dianutnya (pinjam
ungkapannya pak Chodjim).
Wassalam
Abdul Mu'iz
________________________________
Dari: Miftaha <miftahalzaman@yahoo.com>
Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Terkirim: Sen, 31 Januari, 2011 05:04:33
Judul: Re: Bls: Bls: [wanita-muslimah] Ilmu Sosial, Ilmu yang Kurang Berguna
bagi Agama
Saya kira, awareness terhadap aspek manusia dalam ilmu agama sudah pasti ada.
Bukankah concern agama itu sebenarnya lebih pada aspek manusia ini? Karena itu
agama juga sebenarnya memerlukan ilmu sosial untuk membedah berbagai persoalan
manusia yang menjadi concern utamanya. Permasalahannya adalah, berbeda dengan
teks yang berkait dengan sains yang relatif lebih statis dan tidak mengalami
perubahan (misal, ayat-ayat yang menyinggung alam semesta, biologi dsb), teks
yang berkait dengan manusia lebih rentan berhadapan dengan fakta sosial yang
terus-menerus berubah. Di sisi lain, orang takut berbeda dari bunyi teks ayat
maupun "sumber hukum agama lainnya". Itu sebabnya terutama bagi mereka yang
cenderung memahami teks secara harfiah, solusi sosial pun dijawab dengan
teks-teks yang ada betatapun sudah tidak relevan bunyi teks itu dengan fakta
sosial yang dihadapi. Irelevansi tidak dipedulikan karena yang menjadi modal
hanyalah keyakinan bahwa bunyi teks itu harus berlaku demikian seperti bunyinya
sampai kapanpun, tidak peduli relevan atau tidak. Pria itu harus diyakini
"lebih" dan "menjadi pemimpin" dari wanita, apapun kondisinya, karena begitulah
bunyi teks. Semua sistem politik lain adalah nista, kecuali "kekhalifahan",
sebab itulah juga bunyi teks.
Nah, ketika teks ini diperhadapkan pada fakta-fakta sosial yang dikaji dengan
menggunakan ilmu-ilmu sosial, maka potensi teks untuk menjadi tidak relevan itu
semakin nyata. Inilah yang membuat kaum tekstualis tidak suka, dan akhirnya
mereka pun cenderung menjadi agak sentimen pada ilmu-ilmu sosial humaniora. Di
sisi lain, mereka sangat senang dengan sains karena usaha menggathuk-gathukkan
sains dengan teks ayat ternyata banyak yang pas (atau dipas-paskan?), dan di
mana-mana disambut dengan seruan "Subhanallah ..". Hal ini makin mempertebal
keyakinan mereka bahwa teks memang harus selalu dipahami secara harfiah, yang
harus berlaku juga pada teks yang berurusan dengan manusia. Ilmu sosial
humaniora, yang cenderung mempertanyakan hal ini, akan dianggap sebagai
pengganggu dan karenanya dianggap tidak perlu. Jadi, agar ilmu sosial humaniora
bisa bermanfaat bagi agama, pertama harus ada keberanian untuk meyakini bahwa
teks tidak selalu harus dipahami secara harfiah melulu.
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, aldiy@... wrote:
>
> Sesuai judul di atas, saya mengetengahkan permasalahan sekaligus tantangan thd
>kita semua khususnya Wawan,HMNA dkk. Output IPA IPS sudah cukup jelas,misalnya
>hukum gravitasi atau kaidah public relations. Yang dipermasalahkan adalah
>prosesnya, dimana kita manusia terlibat langsung dalam keilmuan sosial, apalagi
>agama. Di ranah keilmuan, wacana dan persepsi kita sedang berubah tentang
>keterlibatan manusia dan lingkungan planet kita ini. Sedemikian rupa sehingga
>kita kini memperhatikan proses tidak hanya output akhir.
>
> Tapi bagaimana persepsi kita thd agama? Mana awareness thd aspek manusianya
>sebagai bagian dari proses? Output ilmu eksakta di-othag-athug, tapi di aspek
>sosial dilewatin?
> Sungguh nggak adil dan munafik.
> Salam
> Mia
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment