Bener bos. Ibarat kata, orang yang punya masalah bau badan biasanya akan bilang hal yang sama ketika ada orang lain bilang badannya bau. Dia merasa dipojokkan hanya karena definisi bau badannya beda dengan yang memberi tahu bahwa badannya bau.
--
Sent from my Android phone with K-9 Mail. Please excuse my brevity.
Yudi Yuliyadi <yudi@geoindo.com> wrote:
Penelitian yang tendensius ni,kaum sekuler Indonesia sudah mulai takut
dengan kebangkitan islam di Negara yang tercinta ini.
Makin banyak umat yang sadar betapa pentingnya syariat islam dan terikat
dengan hukum islam
Lagi-lagi Masjid Dituduh Sebagai Sarang Radikalisme
JAKARTA ( <http://voa-islam.com/> voa-islam.com) - Lagi-lagi proyek
deradikalisasi mengalir ke kantong-kantong LSM komparador yang selama ini
menjadi paket silabus BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk
memojokkan umat Islam. Ya, inilah untuk kedua kalinya, CSRC (Center for
Study of Religion and Culture) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah - Ciputat melaporkan "proyek" tendensiusnya soal Masjid. Dalam
penelitian sebelumnya, CSRC juga menstigmakan takmir masjid sebagai agen
penebar radikalisme.
Di mata peneliti yang dibiayai oleh USAID Indonesia (AS) ini, fungsi masjid
dinilai ambivalen dan terjadi distorsi. Di satu sisi masjid raya dan agung
berhasil sebagai masjid pemersatu atau perekat umat Islam, namun di sisi
lain, belum berhasil menjadi perekat antar warga yang berbeda agama dan
keyakinan.
Sejauh ini masjid raya dan agung telah memfasilitasi konsolidasi internal
umat Islam untuk membela umat, terutama di masa konflik. Masjid raya maupun
agung telah berperan dalam mendukung perdamaian dengan kapasitasnya
masing-masing, baik pada masa konflik maupun pasca konflik."
Demikian kesimpulan umum yang diuraikan CSRC dalam Seminar Hasil Penelitian
"Masjid & Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon Ternate dan
Jayapura" di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta (26/1/2011). Seminar tersebut
menghadirkan dua peneliti CSRC Sukron Kamil dan Ridwan Al-Makassary, dan dua
pembahas, yakni: Ichsan Malik (ITPP) dan Chaider S Bamualim (National
University of Singapore).
Ada tiga ruang lingkup yang diteliti CSRC, yakni: Masjid di masa konflik,
Masjid dan radikalisme Islam, Masjid dan pembangunan perdamaian. Untuk
menjabarkan hasil penelitiannya, CSRC menggunakan metode penelitian
kualitatif, metode wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD),
Observasi, dan Studi Perpustakaan .
Setidaknya ada delapan peneliti CSRC yang dilibatkan, diantaranya: Amelia
Fauzia, Irfan Abubakar, Mohamad Nabil, Noorhaidi Hasan, Nur Imroatus S,
Ridwan al Makkasary, Rita Pranawati, dan Sukron Kamil. Penelitian yang cuma
tiga minggu ini dilaporkan dalam bentuk buku setebal 366 halaman. Durasi
waktu penelitian yang singkat ini berdampak pada hasil penelitian yang tidak
valid, subjektif, tergesa-gesa, dan kacangan. Demi memburu dollar, peneliti
"mahzab Ciputat" ini toh hanya ingin menyenangkan majikannya (USAID sebagai
steak holder-nya).
Dalam uraiannya Ridwan al Makassary menyatakan, gejala penguatan radikalisme
Islam (salafisme) dirasakan di kawasan Indonesia Timur, terutama di empat
titik yang menjadi penelitian CSRC, yakni Poso, Ambon, Ternate dan Jayapura.
Masjid tersebut berpeluang menjadi tempat "incubator of jihadism", yang akan
mengancam proses pembangunan perdamaian (peacebuilding process). Perluasan
riset "pesanan" itu juga memetakan ideology masjid di Jakarta dan Solo.
Alasan memilih masjid raya sebagai objek penelitian CSRC, dikatakan Ridwan
Al Makassary, karena sifatnya yang menyeluruh dan memayungi semua golongan
atau aliran dalam Islam di wilayah tersebut. "Karakter dasarnya moderat dan
kerap digunakan kelompok Islam radikal untuk menyebarkan pengaruhnya,"
ujarnya.
Masjid yang diteliti tersebut meliputi: Masjid Agung Baiturrahman di Poso,
Masjid Raya Al Fatah- Ambon, Masjid Agung Al-Muttaqien-Ternate, dan Masjid
Baiturrahim-Jayapura.
Peneliti CSRC UIN Ciputat ini mengakui, bahwa tidak ada definisi tunggal
yang disepakati di dunia akademik mengenai definisi radikalisme. Menurutnya,
radikalisme merupakan faham, wacana, dan aktivisme yang berupaya melakukan
perubahan yang radikal terhadap sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya
yang berlaku.
Radikalisme, lanjut Ridwan Al Makassary, memiliki dua dimensi terpenting,
yaitu: Pertama, kekerasan dalam pengertian menerima kekerasan sebagai cara
yang sah untuk mengubah sistem tersebut. Kedua, usaha aktif melakukan
perubahan di dalam masyarakat secara radikal, yang tidak selalu menggunakan
kekerasan.
"Radikalisasi itu merupakan proses bertahap di mana seseorang semakin
menerima perlunya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, dalam upaya
mencapai tujuan politik atau ideologis tertentu. Seseorang disebut radikal,
ketika ia terlibat secara aktif dan mendorong orang lain atau setidaknya
mendukung terjadinya perubahan yang radikal dalam masyarakat, yang akan
mengancam tatanan hukum demokratis," papar Ridwan nyinyir.
Namun demikian, radikalisme, kata Ridwan, tidak secara otomatis berhubungan
dengan terorisme. Tetapi radikalisme merupakan prakondisi terjadinya
terorisme. "Terorisme merupakan perbuatan yang dilakukan secara sengaja
untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat atau memaksa pemerintah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau merusak struktur politik,
ekonomi, dan sosial yang ada."
....Masjid pun dituding mengembangkan gerakan radikal Islam. Di Masjid al
Fatah-Ambon misalnya, dalam batas tertentu terdapat pembiaran
radikalisme....
Adapun deradikalisasi, dalam pandangan CRSC, adalah proses mengabaikan
pandangan dunia yang ekstrim dan berkesimpulan bahwa penggunaan kekerasan
untuk mempengaruhi perubahan sosial tidak dapat diterima.
Masjid Dituduh Sarang Radikalisme
Tak berbeda dengan rekan researcher-nya, Sukron Kamil, peneliti CSRC yang
kebagian tuga menyoroti ""Masjid, Perdamaian, dan Radikalisme Islam di
Wilayah Konflik", dengan gamblang menstigmatisasikan masjid sebagai sarang
radikalisme. Menurutnya, masjid berfungsi dalam pembentukan sentimen dan
solidaritas kemusliman, kurang memiliki komunikasi dan kerjasama dengan
gereja.
"Sejauh ini, masjid menjadi tempat pelepasan, kembalinya pasukan jihad dan
basis pertahanan tempat diserukannya jihad, sehingga suhu konflik tetap
memanas, meski etika jihad juga disampaikan. Pengaruh dari seruan jihad itu
berefek pada tuntutan social, semangat ukhuwah Islamiyah, dan ajaran qishash
atau jihad (perang)," papar Sukron dengan sikap paranoidnya yang
menggebu-gebu.
Syukron Kamil memaparkan dua peran dan fungsi masjid: Peran damai masjid
saat konflik dan peran masjid sebagai penetrasi radikalisme Islam. Adapun
peran damai masjid saat konflik, acapkali dijadikan tempat pengungsian,
menghimpun dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Di Ambon, masjid menjadi
rumah bersalin dan rumah sakit darurat. Masjid Al Muttaqien Ternate
menyuarakan masyarakat untuk bersabar, melarang merusdak atau mencuri milik
non-Muslim dan mengamankan hartanya. Masjid pula yang memerintahkan laskar
Mujahidin untuk menarik diri saat perdamaian disepakati. Di Malifut, masjid
bahkan menjadi tempat rekonsiliasi.
Sedangkan masjid yang di dalamnya terdapat penetrasi radikalisme Islam,
indikasinya, kata peneliti CSRC ini, umat menyambut dan mendukung Laskar
Jihad di Ambon. Di Poso Jemaah Islamiyah dianggap sebagai pihak yang
membangkitkan semangat jihad. Di Ambon pula, Laskar Mujahidin pendatang
memberikan latihan tempur, menaburkan ajaran Salafi, termasik menggunakan
media online untuk mensosialisasikan dakwah salafinya. Sedang di Poso, JI
merekrut anggota baru.
Masjid pun dituding mengembangkan gerakan radikal Islam. Di Masjid al
Fatah-Ambon misalnya, dalam batas tertentu terdapat pembiaran radikalisme.
CSRC menyebut para ustadz di Yayasan Abu Bakr ash Shiddiq (YABS) dan
Keputrian HTI sebagai benih radikalisme Islam. "Meski usaha YABS dalam
pengajuan sebagai khatib gagal. YABS juga mendapatkan tanah wakaf, begitu
juga HTI mendapat pengakuan dari pemerintah. "
Di Masjid Al Fatah - Ambon, TPA oleh CSRC dituduh menjadi penyemaian sikap
budaya Islam yang ultra-konservatif, di mana anak-anak TPA menjadikan cadar
sebagai busana muslim ideal. Di Poso, CSRC menyebut Wahdah Islamiyah (ormas
Islam) sebagai pegiat masjid yang menanam benih radikalisme Islam.
Pasca disepakati perjanjian damai, sebagaian Laskar Jihad berekspansi ke
Sorong untuk membangun militansi Islam melawan dominasi Kristen. Kaum
radikal di Ambon dan Poso memandang demokrasi tidak sesuai dengan Islam dan
peserta keputrian HTI di Ambon memandang sumber kerusakan adalah tidak
ditegakkannya khilafah.
....Disesi tanya jawab, peserta yang hadir turut mengkritik penelitian
tersebut yang cenderung tendensius dan subjektif....
Masjid Al Fatah, Masjid Baiturrahim - Jayapura dan banyak masjid di Ternate
menjadi tempat kegiatan khuruj Jama'ah Tabligh (JT). Tak jarang khutbah di
Masjid Baiturrahman Poso (2001-2008) berisi seruan jihad dan menganggap
pemerintah sebagai thagut. Demikian penelitian CSRC.
Masjid & Damai Negatif?
CSRC menilai positif terhadap masjid dalam menjalani perannya membangun
perdamaian. Itu bisa terlihat, dengan adanya pergeseran wacana khutbah dan
pengajian dari konflik ke perdamaian. Misalnya member pemahaman soal ide
rahmatan lil'alamin dan keragaman. Di Ambon, ada upaya dai yang berdiskusi
dan berdebat langsung dengan aktivis Islam radikal secara personal. Lalu ada
kerjasama medis antara dokter Muslim dan Kristen di Klinik Al Fatah yang
memiliki BMT dengan asset lebih dari Rp. 80 juta.
CRSC juga memuji Masjid Baiturrahman Jayapura menjadikan tempat ibadah dan
dakwah yang sejuk, termasuk dijadikan tempat bagi healing terhadap korban
konflik yang mengalami trauma. Peneliti ini memuji manajemen dan juru dakwah
masjid yang berpandangan moderat. Masjid Al Muttaqien - Ternate yang
melakukan komunikasi dan kerjasama dengan non Muslim. Lucunya, CSRC menilai
perdamaian di daerah konflik itu sebagai damai negatif. Kok ada damai
negatif???
....Chaeder S Bamualim selaku pembahas menilai penelitian ini hanya untuk
menjelek-jelekkan Islam, apalagi penelitian tersebut dibiayai oleh Barat....
Dengan strategi adu dombanya, CSRC juga memuji Masjid al Muttaqien Ternate
yang menolak kehadiran Jamaah Tabligh dan HTI yang selama ini menggunakan
masjid sebagai tempat kegiatannya. Di akhir presentasinya, peneliti CSRC,
Sukron Kamil, mengkritik masjid yang tidak mengusung pluralisme sebagai ciri
damai positif.
Disesi tanya jawab, peserta yang hadir turut mengkritik penelitian tersebut
yang cenderung tendensius dan subjektif. Chaeder S Bamualim selaku pembahas
menilai penelitian ini hanya untuk menjelek-jelekkan Islam, apalagi
penelitian tersebut dibiayai oleh Barat. [Desastian]
<http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/01/31/13033/lagilagi-masjid-
dituduh-sebagai-sarang-radikalisme/>
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/01/31/13033/lagilagi-masjid-d
ituduh-sebagai-sarang-radikalisme/
[Non-text portions of this message have been removed]
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment