Advertising

Monday 13 June 2011

Re: [wanita-muslimah] Hukuman Cambuk tidak Melanggar HAM (Tanggapan Terhadap Amnesty Interntional)

 

----- Original Message -----
From: "sunny" <ambon@tele2.se>
To: <Undisclosed-Recipient:;>
Sent: Monday, June 13, 2011 10:44 PM
Subject: [wanita-muslimah] Hukuman Cambuk tidak Melanggar HAM (Tanggapan Terhadap Amnesty Interntional)

Refleksi : Mengapa hukum cambuk hanya diberlakukan di Aceh, tetapi tidak diberlakukan misalnya di pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Riau dsb? Apakah di tempat-tempat ini situasi Islamiahnya sudah lebih tinggi dari pada di Aceh dan oleh karena itu tidak perlu diterapkan hukuman syariah ini?
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
HMNA:
Mengapa hukum cambuk diberlakukan di Aceh? Karena itu berdasarkan atas Qanun Syari'at Islam No.14/2003 tentang khalwat (pasangan menyendiri berdua-duaan). Seperti diketahui Provinsi Aceh dibenruk atas Undang-Undang (UU), yaitu UU Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) dengan status daerah istimewa yang berciri-khas Syari'at Islam. UU NAD telah disahkan oleh DPR-RI dalam Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Soetardjo Surjoguritno, pada hari Kamis, 19 Juli 2001.

Dan adalah kenyataan sejarah bahwa UU NAD ini membawa perubahan signifikan, karena UU NAD beserta diplomasi gigih Wapres JK cs telah berhasil mengetuk hati Gerakan Aceh Merdeka untuk surut langkah kembali ke pangkuan NKRI.

Sebenarnya secara de fakto di Aceh telah dilaksanakan hukuman cambuk.

Ilustrasi
27 November 1999, tepat terik matahari di ubun-ubun, bertempat di lapangan volli Desa Mata Ie, Blang Pidie Aceh Selatan, seorang pemuda yang berumur 25 tahun bernama Zulkarnaen alias Ogut, menjalani hukuman cambuk 100 kali, yang diputuskan oleh Qadhi dalam sidang pengadilan yang dihadiri oleh para ulama dan pemuka masyarakat. Ogut terbukti telah melakukan pidana perzinaan dengan Kurniawati di Desa Mata Ie, dikuatkan oleh pengakuan kedua anak Adam itu, disaksikan oleh 4 orang dan bukti material Kurniawati telah mengandung 4 bulan. Dengan "Basmalah" dan ucapan "Allahu Akbar", 10 orang eksekutor masing-masing melecutkan cemeti sebesar ibu jari, dengan lengan tetap merapat diketiak sewaktu mengayunkan cambuk ke tubuh Ogut mulai dari bahu sampai ke kaki. Eksekusi itu dilaksanakan secara terbuka di depan masyarakat Desa Mata Ie. Akan halnya dengan Kurniawati eksekusi ditunda berhubung telah hamil 4 bulan, yakni eksekusi baru akan dilaksanakan insya-Allah hingga bayinya yang akan lahir kelak berumur 2 tahun.

Sebenarnya Sulawesi Selatan ada juga pelaksanakaan sanksi cambuk, namun bukan berdasarkan UU melainkan berdasar atas Perda dan kesepakatan masyarakat setempat. Perda-perda bernuansa Syariah Islam di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, juga didukung umat non- Muslim karena membuat warga non-muslim merasa tentram.

"Umat non-Muslim juga mendukung penerapan Perda-perda bernuansa syariah di Bulukumba. Ketika ada Kongres Umat Islam di sana, mereka ikut membentangkan spanduk dukungan," kata mantan Bupati Bulukumba, Andi Patabai Pobokori tatkala sedang berada di Jakarta, menjelang akhir Juli 2002. Sejak diterapkannya nuansa Syariah Islam di Bulukumba pada 2001, tingkat kriminalitas, ujarnya, turun 85 persen. Tidak ada lagi warung yang menjual minuman keras, tidak ada lagi perkelahian pelajar. "Angka pembunuhan dan pemerkosaan yang dulu tinggi, sekarang menurun drastis. Kami memang membentuk tim yang tugasnya datang ke desa-desa untuk menyadarkan para preman, mereka diarahkan ke pengajian, maka sekarang tidak ada lagi preman," katanya. Pihaknya juga selalu meyakinkan pihak non- Muslim bahwa mereka tak perlu takut pada syariah Islam dan tetap dihormati di Bulukumba, ujar mantan Bupati Bulukumba itu.

Ilustrasi
Kerisauan kini tak lagi hinggap di benak Usman. Warga Desa Padang, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini merasa keluarganya aman dan terlindungi. Ini semenjak pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) tentang Larangan Penjualan dan Penertiban Minuman Keras.

"Dulu banyak anak perempuan yang diganggu pemuda-pemuda desa yang nongkrong sambil mabuk-mabukan," kata bapak berusia 41 tahun itu. Maklum, dua anak gadis Usman tengah beranjak dewasa. Kini Usman tak lagi melihat pola nakal pemuda-pemuda desa. Para berandal desa agaknya keder dengan Perda dan sanksi cambuk. Yakni ancaman dicambuk dengan bilah bambu sebanyak 40 kali bila tertangkap mabuk. Selain itu, ada pula hukuman berupa sanksi moral. "Kalau ada yang kena hukuman, semua warga desa tahu. Jadi, mereka yang mau berbuat jahat malu rasanya," ujarnya. Penerapan hukuman cambuk ini atas kesepakatan warga desa. Maklum, kini mereka merasa lebih aman dan terlindungi. Polisi pun tak perlu repot membasmi penyakit masyarakat yang sebenarnya bisa diselesaikan sendiri oleh masyarakat (self help). "Kini tidak ada lagi yang berani terbuat jahat di desa kami. Hidup kami pun tenteram," tuturnya.

Bahkan secara de fakto di Sulawesi Selatan hukum potong tanganpun diberlakukan.
Vide Laporan Khusus - Tempo 15 Desember 2002, antara lain seperti berikut: "Tapi ada juga yang 'berat' seperti yang terjadi di Gowa dan Jeneponto, Sulawesi Selatan. Mereka menerapkan hukum potong tangan pada pelaku kejahatan di kawasan tersebut."

Sebenarnya bukan hanya di Kabupaten Gowa dan Je'neponto saja, tetapi sampai ke Bulukkumba, Bantaeng dan Bone bersinergi memerangi kejahatan dengan pranata hukum yang dalam hal ini kepolisian. Organisasi masyarakat dalam da'wah nahi mungkar membentuk organisasi dalam wujud Forum Bersama (Forbes), yang tokoh-tokohnya dari anggota Komite Persiapam Penegakan Syari'at Islam . Polisi menjadi kewalahan dalam memproses secara hukum karena tidak ada yang berani menjadi saksi. Sejak Forbes bergerak membantu polisi, sudah tidak ada lagi perampok ternak yang ganas, yang tidak segan membunuh korbannya, yang sangat meresahkan dan ditakuti penduduk. Perampok ternak yang tertangkap tangan "dimassa" dengan dipotong tangannya atau dibunuh kalau melawan dalam pengepungan. Dalam hal "dimassa" ini para pelaku yang memassa itu tidak "diketahui" sehingga perbuatan para eksekutor yang "melanggat hukum positif" itu tidak bisa diproses secara hukum. Sayang sekali, setelah pergantian Kapolda saling pengertian antara Forbes dengan Polisi sudah tidak berlanjut. Namun kegiatan Forbes sekali-sekali menggigit, menampakkan giginya. Pernah almarhumah isteri saya tatkala pulang berdawah dari pedalaman menjumpai di daerah Je'neponto kerumunan orang di pinggir jalan. "Ada apa itu?" tanya supir. "Anu katte, paellaq mate nimassa," (Anu mas, perampok ternak mati dimassa), jawab dua tiga orang bersamaan.

Wassalam
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||

http://www.republika.co.id/berita/nasional/opini/11/06/01/lm45sh-hukuman-cambuk-tidak-melanggar-ham-tanggapan-terhadap-amnesty-interntional

Hukum cambuk

Hukuman Cambuk tidak Melanggar HAM (Tanggapan Terhadap Amnesty Interntional)
Rabu, 01 Juni 2011 20:36 WIB
Oleh Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA

Penerapan syariat Islam di Aceh kembali digugat dan "diserang". Kali ini, gugatan dan "serangan" tersebut datang dari Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI), Sam zarifi, yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggunaan cambuk sebagai bentuk hukuman dan mencabut peraturan yang menerapkannya di Provinsi Aceh, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, melalui siaran persnya yang diterima Harian Aceh, Minggu (22/5).

AI juga menyerukan kepada pemerintah pusat Indonesia untuk mengkaji semua hukum dan peraturan lokal untuk menjamin keselarasan mereka dengan hukum dan standar HAM internasional, juga dengan ketentuan ketentuan-ketentuan HAM dalam undang-undang domestik (Harian Aceh, 23/5/2011).

Sejak Aceh memproklamirkan sebagai "negeri syariat" pada tahun 2002, berbagai rintangan dan tantangan terus menghadang. Berbagai "serangan" dan gugatan dialamatkan kepada penerapan syariat Islam di Aceh, baik datangnya dari pihak luar (non muslim) maupun dari pihak dalam (muslim sekuler).

"Serangan" dan gugatan yang bertubi-tubi tersebut terus bermunculan sampai hari ini, seakan tak habis-habisnya. Dengan dalih HAM, para penentang syariat Allah berteriak lantang menentang penerapan syariat Islam di Aceh. Tujuannya jelas, mendiskriditkan syariat Islam dan tidak rela syariat Islam diterapkan di Aceh.

Berkaitan dengan hal ini, al-Quran telah mengingatkan kita terhadap pihak-pihak yang tidak rela dan senang dengan syariat Islam untuk selama-lamanya (QS. 2 : 120). Perasaan tidak suka terhadap syariat Islam juga telah merasuk ke dalam sanubari orang Islam yang sekuler dan liberal, yang notabenenya sebagai murid dan pengikut setia para misionaris dan orientalis.

Untuk menepis berbagai tuduhan negatif dan syubhat terhadap syariat Islam yang mulia ini, maka menurut penulis, kita perlu menjelaskan maksud dan tujuan syariat Islam secara utuh, konfrehensif dan objektif. Agar syariat Islam tidak pandang negatif dan disalah dipahami.

Maksud dan tujuan syariat Islam
Islam merupakan agama yang sempurna dan penutup agama samawi. Hanya Islam satu-satunya yang diakui dan diridha Allah Swt untuk umat manusia (QS. 3: 19 dan QS. 5 : 3). Syariat Islam datang sebagai penyempurna sekaligus penghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya bersifat temporer dan teritorial (QS. 5 : 48). Sebagai agama yang terakhir dan sempurna, Islam membawa misi perdamaian dan rahmatan lil'alamin (QS. 21 : 107 dan QS. 10 : 57).

Secara umum, maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal dengan sebutan maqashid syar'iah. Maqashid Syaria'h berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Dalam kitabnya al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan konsep maqashid syariah. Menurutnya, tujuan syara' yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka, setiap hal yang mengandung upaya menjaga lima perkara pokok tersebut itu adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.

Menurut Imam Abu Zahrah, maslahat Islamiah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu.Tanpa terpeliharanya hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.

Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap lima hal tadi. Agama, misalnya, merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa ada intimidasi. Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama (Ushul Fiqh, hal. 320).

Maka jelaslah bahwa dalam konsep maqashid syariah ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Syariat diturunkan untuk memelihara kelima HAM tersebut. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).

Untuk menjaga kemaslahatan adh-dharuriyat al-khams atau HAM, Islam mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash dan ta'zi,r demi menciptakan kemaslahatan publik dan menolak kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu dibunuh, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama dengan seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk delapan puluh kali atau empat puluh kali bertujuan untuk menjaga akal agar tetap baik dan sehat.

Hukuman zina (had az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum kawin (ghair muhshan) dan rajam bagi yang sudah kawin (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya. Hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) yaitu dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga kehormatan. Hukuman pencurian (had as-sariqah) yaitu potong tangan bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan penganiayaan yaitu qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.

Oleh karena itu, dalam Islam dikenal beberapa jenis hukuman seperti potong tangan, cambuk, rajam, qishah dan bunuh. Hukuman ini diberikan sesuai dengan jenis dan tingkatan kriminalnya. Tujuan semua jenis hukuman ini adalah untuk menjaga kehormatan seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina, mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.

Di samping itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran sehingga dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi HAM.

Meskipun secara kasat mata hukuman Islam terkesan kejam dan keras, namun sebenarnya syariat Islam dalam menentukan hukuman lebih banyak bertujuan sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan publik dan menjaganya. Hukuman yang ditetapkan untuk kriminal itu lebih bersifat preventif, sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu. Hukuman tidak akan efektif bila hanya sebatas melarang, tanpa ada sanksi yang tegas.

Dengan kata lain, tanpa sanksi yang tegas dan menjerakan, suatu aturan/hukum tidak punya konsekuensi apa-apa. Sebaliknya, bila disertai dengan hukuman yang tegas dan keras , maka segala aturan baik bersifat perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Inilah tabiat suatu hukuman.

Tanggapan terhadap Amnesty International (AI)
Menyikapi pernyataaan dan desakan AI tersebut, maka penulis perlu menyampaikan tanggapan sebagai berikut;

Pertama, tuduhan AI tersebut telah mendiskriditkan Islam, bahkan melanggar HAM umat Islam. Umat Islam dimana pun berada -termasuk di Aceh- berhak dan bebas mengamalkan agamanya tanpa larangan dan intimidasi. Syariat Islam di Aceh hanya diperuntukkan bagi umat Islam yang berada di wilayah hukum Aceh, bukan bagi non Islam atau umat Islam di luar Aceh.

Kedua, salah satu point dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya. Hal ini juga dijamin oleh hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di Aceh dicabut oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi, menjadi tidak beralasan.

Ketiga, AI menuduh hukuman cambuk bertentangan dengan HAM. Namun, yang menjadi persoalan, HAM mana yang dimaksud AI? Karena, konsep HAM dalam paradigma Islam berbeda dengan konsep HAM dalam paradigma Barat yang cederung mengasihani si pelaku maksiat (kriminal), tanpa mengasihani korbannya. Dimana prinsip keadilan dalam HAM Barat?

Selain itu, menurut HAM made in Barat hubungan seks bebas dibolehkan asal suka-sama suka. Begitu pula mabuk-mabukkan asal tidak menggangu orang lain. Dimana nilai moral dalam HAM barat? Apa bedanya dengan binatang? Kalau HAM model barat ini yang dimaksud, maka AI telah salah sasaran dalam menuduh. Karena, orang Aceh itu muslim dan Aceh merupakan daerah yang resmi menerapkan syariat Islam. HAM model barat sangat bertentangan dengan Islam. Maka, tidak boleh dipakai oleh umat Islam dimanapun, termasuk di Aceh.

Keempat, AI telah mengintervensi urusan agama seseorang dan aturan sebuah negara, maka AI telah melanggar HAM pula. Padahal, Islam tidak pernah mencampuri urusan agama lainnya. Bahkan Islam memberi kebebasan bagi agama lain untuk beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya (QS. 109 : 6 dan QS. 2 : 256). Ini jelas melanggar HAM umat Islam dan berbagai aturan yang berlaku di negara RI seperti UUD 1945, UU no 44 tahun 1999, UU no 11 tahun 2006, dan sebagainya.

Kelima, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Sam Zarifi bahwa cambukan bisa mengakibatkan cedera jangka panjang atau permanen terlalu mengada-ngada dan yang bersangkutan tidak memperoleh informasi yang utuh bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. Kalau pun hukuman tersebut menimbulkan rasa sakit dan malu, itu merupakan bagian dari efek jera yang ingin dicapai dari suatu proses penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan. Sehingga, menjadi pelajaran bagi pelaku dan orang lain.

Keenam, konsekwensi ketika sudah memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras dengan kebebasan beragama. Baru dikatakan melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam. Tidak ada aturan yang akan berjalan kalau tidak disertai dengan sanksi yang tegas.

Dengan penjelasan diatas maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam baik berupa potong tangan, rajam, bunuh maupun cambuk tidaklah melanggar hak asasi manusia, justru sebaliknya hukuman tersebut bertujuan untuk melindungi HAM dan memberikan keadilan yang sejati, serta menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Pemerintah, baik di Aceh maupun di Pusat, diharapkan komit terhadap amanah Undang-Undang yang melegalkan secara formal penerapan syariat Islam di Aceh dan tidak terpengaruh dengan desakan AI dan pihak lainnya. Kepada AI diminta untuk menghormati umat Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Penulis adalah Dosen fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kandidat Doktor Fiqh & Ushul Fiqh, International Islamic University Malayasia (IIUM), Ketua Biro Dakwah Dewan Dakwah Aceh.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment