Advertising

Tuesday 14 June 2011

[wanita-muslimah] Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)


Sesungguhnya berhukum kepada Syariat wajib hukumnya bagi kaum muslimin –pada
permasalahan dan persengketaan yang terjadi pada mereka– dan hal ini
merupakan ashlul-iman (pokok keimanan) sehingga orang yang tidak
melaksanakannya –ketika wajib dilaksanakan dan ia mampu melaksanakannya– ia
kafir, berdasarkan firman Allah:

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An Nisa' 65).

Sedangkan mayoritas kaum muslimin lalai terhadap kewajiban syar'i ini.
Selain itu mereka pasrah dengan berlakunya undang-undang kafir terhadap
darah, kehormatan, dan harta mereka. Sedangkan orang yang menyadari
kewajiban ini, sebagian mereka menyangka bahwa melaksanakan kewajiban
tersebut mustahil ketika berlaku undang-undang kafir di negara mereka.
Padahal tidak demikian.

Karena sesungguhnya kaum muslimin masih mempunyai kemampuan untuk berhukum
kepada syariat terhadap perkara dan persengketaan mereka, meskipun berlaku
undang-undang kafir di negara mereka. Yaitu dengan cara berhukum atas dasar
suka sama suka kepada orang yang layak dan mampu untuk memutuskan perkara di
antara mereka, seperti kepada seorang ulama', atau pelajar (tholibul 'ilmi),
sesuai dengan kemampuan. Dan selama hal ini masih memungkinkan, maka
berhukum kepada syariat ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah:

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian!" (QS. Ath-Thaghabun
16).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW: "Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian,
laksanakanlah semampu kalian!" (Hadits Muttafaq 'alaih)

Permasalahan ini –yaitu berhukumnya kaum muslimin atas dasar suka sama suka
kepada orang yang layak untuk memutuskan perkara– dalam kitab-kitab fiqih
dikenal sebagai "at-tahkim" (memutuskan perkara kepada seseorang), yaitu
kebalikan "at-taqodhiy" (memutuskan perkara) kepada Qodhiy (hakim) yang
diangkat oleh Imamul muslimin (kholifah).

...Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya
wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar'i...

Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya
wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar'i,
sebagaimana yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada hari ini.

Penjelasan Atas Bolehnya Bertahkim Ketika Ada Qodhiy Yang Sah Menurut Syar'i
yang Diangkat di negara Islam

Di negara yang diberlakukan syariat Islam dan diperintah oleh seorang Imam
Muslim, dan di sana ia mengangkat qodhiy-qodhiy tertentu yang ditugasi untuk
memutuskan perkara di antara manusia, kaum muslimin diperbolehkan untuk
berhukum kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara,
berdasarkan suka sama suka, selain kepada qodhiy yang diangkat oleh Imamul
Muslimin, dan keputusan hakam (orang yang mereka jadikan hakim) ini wajib
mereka laksanakan.

Dan secara dasar pemikiran para ulama' dari berbagai mazhab tidak ada yang
memperselisihkannya. Namun yang mereka perselisihkan adalah permasalahan apa
saja yang diperbolehkan untuk bertahkim. Dan apakah hakam itu boleh
memutuskan semua perkara sebagaimana qodhiy yang ditunjuk atau ia hanya
boleh memutuskan beberapa perkara saja?, Dan anda akan melihat bahwa
perselisihan para ulama' dalam hal ini kembali kepada keberadaan qodhiy yang
telah ditunjuk, dan sebagian ulama' berpendapat bahwa pada persengketaan
yang besar tidak ada yang boleh memutuskannya kecuali qodhiy. Dengan
demikian, perselisihan pada masalah apa saja yang diperbolehkan bertahkim
ini mestinya menjadi hilang ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk oleh
Imamul Muslimin.

Begitu pula anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan
kesusahan bagi orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri. Karena tidak
setiap penduduk negara Islam bisa mengajukan permasalahan mereka kepada
qodhiy dengan tanpa kesusahan, seperti orang-orang yang tinggal di
pedalaman, dll. Jika mereka bertahkim kepada seseorang yang mempunyai
kelayakan untuk memutuskan perkara di antara mereka, akan dapat
menghilangkan kesusahan bepergian bagi mereka dan ringan pula tanggungan
Qodhiy. Inilah yang disinggung oleh Al-Qodhiy Abu Bakar Ibnul 'Arobiy dalam
Ahkaamul-Qur'an hal. 622-623.

...anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan kesusahan bagi
orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri...

Dan berikut ini perkataan para ulama' dari berbagai mazhab yang menyatakan
atas bolehnya bertahkim ketika ada qodhiy yang ditunjuk di negara Islam:

1. Ibnu Dhouyan Al-Hambaliy, berkata dalam kitab Syarhud-Daliil: "Jika ada
dua orang atau lebih bertahkim kepada seseorang yang layak untuk
menyelesaikan masalah mereka, maka keputusan hakam tersebut berlaku, hal itu
pada setiap permasalahan yang keputusan qodhiy yang ditunjuk oleh Kholifah
atau wakilnya berlaku". Berdasarkan Hadits Abu Syuroih RA, dalam hadits itu
ia mengatakan:


íóÇ ÑóÓõæáó Çááøóåö Åöäøó Þóæúãöí ÅöÐóÇ ÇÎúÊóáóÝõæÇ Ýöí ÔóíúÆò ÃóÊõæäöí
ÝóÍóßóãúÊõ Èóíúäóåõãú ÝóÑóÖöíó ßõáÇøó ÇáÝóÑöíúÞóíúäö


"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah
apa saja, mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka dan
kedua belah pihak rela dengan keputusanku", maka Rasulullah SAW mengatakan:


ãóÇ ÃóÍúÓóäó åóÐóÇ


"Alangkah baiknya ini" (Hadits diriwayatkan oleh An Nasa'iy)

"'Umar dan Ubay juga bertahkim kepada Zaid bin Tsabit. Juga 'Utsman dan
Tholhah bertahkim kepada Jubair bin Muth'im RA, padahal mereka bukan
Qodhiy". Dalam matannya dikatakan: "Keputusannya itu sebagai pemutus
perselisihan, maka tidak halal bagi seorang pun untuk membatalkannya,
bagaimanapun keputusannya jika benar." Dan dikatakan dalam Syarah
(penjelasan)nya: "Karena orang yang diperbolehkan untuk memutuskan perkara,
keputusannya harus dilaksanakan, sebagaimana qodhiy yang ditunjuk Imam"
(Manaarus-Sabiil Syarhud-Daliil II/459 cet. Al-Maktab Al-Islami 1404 H).
Hadits Abu Syuroih tersebut adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan An-Nasa'iy.

2. Ibnu Qudamah merinci permasalahan ini dalam kitabnya Al-Kaafiy IV / 436
cet. Al-Maktab Al-Islami 1402 H, dan dalam kitab Al-Mughniy Ma'asy Syarhil
Kabir XI/483-484. Berikut ini perkataannya dalam kitab Al-Mughniy: "(Pasal),
apabila ada dua orang bertahkim kepada seseorang yang mempunyai kelayakan
untuk memutuskan perkara dan keduanya rela untuk memutuskan perkara kepada
orang tersebut, lalu orang itu memutuskan perkara dua orang tersebut, maka
hal ini diperbolehkan dan keputusan orang tersebut berlaku atas kedua orang
tersebut. Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini. Adapun Asy Syafi'iy ada
dua riwayat tentang pendapatnya, salah satunya adalah: keputusan orang
tersebut tidak berlaku kecuali atas kerelaan kedua orang yang bertahkim
tersebut, karena tahkim itu terjadi karena sama-sama rela, dan kerelaan itu
tidak ada kecuali setelah mengetahui keputusannya.

Adapun dalil kami adalah hadits yang diriwayatkan Abu Syuroih RA,
bahwasannya Rasulullah SAW bersabda kepadanya:


Åöäøó Çááåó åõæó ÇáÍóßóãõ Ýóáöãó Êõßóäøóì ÃóÈóÇ ÇáÍóßóãó ¿ ÞóÇáó Åöäøó
Þóæúãöí ÅöÐóÇ ÇÎúÊóáóÝõæÇ Ýöí ÔóíúÆò ÃóÊõæäöí ÝóÍóßóãúÊõ Èóíúäóåõãú ÝóÑóÖöíó
Úóáóíøó ÇáÝóÑöíúÞóÇäö . ÞóÇáó: ãóÇ ÃóÍúÓóäó åóÐóÇ Ýóãóäú ÃóßúÈóÑó æóáóÏõßó ¿
ÞóÇáó ÔõÑóíúÍõ ÞóÇáó: ÝóÃóäúÊó ÃóÈõæ ÔõÑóíúÍõ


"Sesungguhnya Allah itu Al-Hakam (pemutus perkara), kenapa kamu dijuluki
Abul Hakam?" Abu Syuroih menjawab: "Sesungguhnya kaumku jika berselisih
pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, lalu aku putuskan
perkara mereka, dan kedua belah pihak sama-sama rela dengan keputusanku"
maka Beliau mengatakan: "Alangkah baiknya ini. Siapa nama anakmu yang paling
besar?" Abu Syuroih menjawab: "Syuroih" Rasulullah bersabda: "Kalau begitu
kamu Abu Syuroih". (HR An-Nasa'iy).

Dan diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwasanya Beliau bersabda:


ãóäú Íóßóãó Èóíúäó ÇËúäóíúäö ÊóÑóÇÖóíóÇ Èöåö Ýóáóãú íóÚúÏöáõ ÈóíúäóåõãóÇ
Ýóåõæó ãóáúÚõæúäñ


"Barangsiapa memutuskan perkara antara dua orang yang keduanya sama-sama
rela kepadanya, tapi dia tiada berbuat adil maka ia terlaknat."

Seandainya keputusannya tidak wajib mereka laksanakan, tentu ia tidak
tercela seperti ini. Dan juga karena 'Umar dan Ubay bertahkim kepada Syuroih
sebelum ia diangkat sebagai qodhiy, begitu pula 'Utsman dan Tholhah
bertahkim kepada Jubair bin Muth'im RA, padahal mereka bukanlah qodhiy.

Jika ada yang mengatakan; bukankah 'Umar dan 'Utsman adalah Imam, sehingga
apabila mereka menyerahkan keputusan kepada seseorang, maka orang tersebut
menjadi qodhiy. Kami jawab; tidak ada riwayat dari keduanya kecuali rela
sama rela untuk bertahkim kepada Syuroih, dengan demikin maka Syuroih tidak
menjadi qodhiy. Dan apa yang dikatakan orang itu tidak benar karena apa bila
ia rela dengan orang yang memutuskan perkara itu, ia wajib melaksanakan
keputusannya sebelum ia mengetahui apa yang ia putuskan. Jika demikian maka
tidak boleh membatalkan keputusan orang yang diangkat sebagai hakim itu
selama keputusan itu tidak membatalkan keputusan orang yang mempunyai
kekuasaan. Dan Asy Syafi'iy juga berpendapat seperti ini. Sedangkan Abu
Hanifah mengatakan: "Penguasa berhak membatalkan keputusan tersebut jika
keputusan itu bertentangan dengan pendapatnya, karena ikatan ini berkaitan
dengan hak hakim, maka ia berhak untuk membatalkannya sebagaimana ikatan
yang terkait dengan haknya".

Sedangkan menurut pendapat kami, keputusan ini sah dan harus dilaksanakan.
Sehingga tidak boleh dibatalkan karena bertentangan dengan pendapatnya,
sebagaimana keputusan orang yang mempunyai kuasa hukum. Dan apa yang mereka
katakan itu tidak benar, karena sesungguhnya keputusan itu wajib
dilaksanakan oleh dua orang yang bersengketa, maka bagaimana keputusan itu
bisa tergantung? Seandainya benar begitu, maka berarti ia juga berhak
membatalkannya meskipun tidak bertentangan dengan pendapatnya, dan kami
tidak sependapat bahwa kesepakatan itu tergantung orang lain.

Jika demikian maka kedua belah pihak yang bersengketa berhak untuk mencabut
tahkim itu sebelum persidangan dimulai, karena tahkim itu tidak dilaksanakan
kecuali atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Hal ini seperti orang yang
mencabut kembali kesepakatan untuk mempercayakan hartanya sebelum dipakai
usaha. Namun jika ia mencabut setelah dimulai, maka ada dua pendapat,
pertama; ia boleh mencabutnya, karena persidangan yang belum selesai itu
sama dengan belum dimulai, kedua; ia tidak boleh mencabutnya, karena hal itu
akan mengakibatkan setiap orang yang bertahkim, jika ia melihat sesuatu yang
tidak ia setujui pada orang yang diangkat sebagai hakam itu, ia akan
membatalkan, dengan demikian tujuan bertahkimpun tidak tercapai.

(Pasal) Al-Qodhiy mengatakan: "Keputusan orang yang dipilih menjadi hakam
itu berlaku pada semua hukum kecuali empat macam: nikah, li'an, qodzaf
(tuduhan zina), dan qishosh. Karena hukum-hukum ini lain dari pada yang
lain. Maka dalam hal ini hanya Imam atau wakilnyalah yang berhak untuk
memutuskan perkara. Namun Abul Khoth-thob mengatakan; (dilihat dari)
dzohirnya perkataan Ahmad (ia berpendapat) bahwa keputusan hakam itu berlaku
pada hukum-hukum tersebut (nikah, li'an, qodzaf, dan qishosh). Adapun
pendapat sahabat-sahabat Syafi'iy ada dua seperti dua pendapat diatas. Dan
apabila qodhiy tersebut (maksudnya hakam) menulis surat kepada salah satu
qodhiy kaum muslimin, yang berisi keputusan dia, maka ia wajib menerima dan
melaksanakan surat itu, karena ia yang berkuasa untuk melaksanakan hukum,
maka ia wajib menerima surat itu sebagaimana hakimnya Imam". Selesai
perkataan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughniy, dan perkataan yang ia nukil
dari Al-Qodhiy Abu Ya'la tentang masalah-masalah yang diperbolehkan dan yang
tidak diperbolehkan dalam bertahkim sama dengan yang dikatakan oleh
Al-Qodhiy Ibnu Farhun Al-Malikiy dalam Kitab Tab-shirotul Hukkaam I/62.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Kaafiy: "Sahabat-sahabat kita
berselisih pendapat tentang masalah yang diperbolehkan bertahkim. Adapun
Abul Khoth-thob mengatakan: Dari dzohirnya perkataan Ahmad, diperbolehkan
bertahkim pada setiap permasalahan yang dipersengketakan, hal ini diqiyaskan
dengan qodhiy yang diangkat oleh Imam. Adapun Al-Qodhiy mengatakan: Ia boleh
memutuskan perkara pada masalah harta saja, adapun masalah pernikahan,
qishosh dan hukuman qodzaf tidak diperbolehkan bertahkim, karena
masalah-masalah ini memerlukan kehati-hatian. Maka dalam masalah-masalah ini
yang dilaksanakan adalah keputusan qodhiy yang diangkat oleh Imam, seperti
permasalahan hudud". (Al-Kaafiy karangan Ibnu Qudamah cet. Al-Maktab
Al-Islami IV/436).

3. Imamul Haromain Al-Juwainiyy, mengatakan: "Perkataan Asy Syafi'iy
bermacam-macam dalam masalah bertahkim kepada seorang mujtahid pada masa
adanya Imam (kholifah) yang melaksanakan hukum Islam apakah keputusan hakam
itu berlaku?. Salah satu dari dua perkataannya, dan ini merupakan madzhab
Abu Hanifah, adalah keputusannya berlaku sebagaimana keputusan qodhiy yang
ditunjuk oleh Imam. Pendapat ini berdasarkan qiyas, dan menurutku tidak
perlu menjabarkan landasan qiyas tersebut" (Al-Ghiyaatsiy cet. II, tahqiq
Dr. 'Abdul 'Adzim Ad Daib 1401 H. hal. 389)

4. Disebutkan dalam kitab Fat-hul Qodiir Syarhul Hidaayah, buku Madzhab
Hanafi: "Apabila dua orang bertahkim kepada seseorang lalu ia memutuskan
perkara keduanya, maka hal ini diperbolehkan". Karena keduanya mempunyai
kekuasaan terhadap diri mereka sendiri, maka mereka boleh bertahkim kepada
seseorang dan keputusan orang tersebut berlaku atas keduanya. Hal ini
apabila orang yang diangkat sebagai hakam itu mempunyai ciri-ciri seperti
hakim –yaitu orang yang layak memberikan kesaksian- karena ketika itu ia
seperti qodhiy yang memutuskan perkara antara dua orang, maka disyaratkan
baginya untuk mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, dan tidak
diperbolehkan bertahkim kepada orang kafir, budak, dzimmi, orang yang
dijatuhi hukum qodzaf, orang fasik dan anak kecil, karena mereka tidak
mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, sebab mereka tidak bisa
diterima kesaksiannya.

Adapun orang fasik apabila ia memutuskan perkara menurut kami –madzhab
Hanafi, sebagaimana yang lalu pada pembahasan orang yang diangkat– maksudnya
adalah qodhiy yang diangkat oleh pemerintah. "Dan kedua orang yang bertahkim
itu boleh mencabut tahkimnya sebelum hakam itu memutuskan perkara kepada
keduanya".Karena hakam itu mengikuti keduanya, sehingga dia tidak memutuskan
perkara kecuali atas kerelaan kedua-duanya."Dan jika ia memutuskan perkara,
keduanya harus melaksanakan". Karena keputusan itu diputuskan berdasarkan
kekuasaan yang berlaku atas mereka. Jika keputusan itu diajukan ke qodhiy,
lalu keputusan itu sesuai dengan pendapatnya, maka keputusan itupun
dilaksanakan. "Karena tidak ada gunanya ia membatalkan hukum tersebut,
kemudian ia memutuskan lagi dengan keputusan itu. "Dan jika keputusan itu
tidak sesuai dengan pendapatnya, maka ia batalkan keputusan itu. "Karena
keputusannya tidak wajib diikuti karena dia tidak diangkat sebagai hakam
oleh qodhiy tersebut. "Dan tahkim tidak diperbolehkan dalam masalah hudud
dan qishosh".

Karena kedua orang yang bersengketa itu tidak mempunyai kekuasaan atas
darah keduanya, maka mereka juga tidak berkuasa untuk menghalalkannya
(menumpahkan darah). Maka darah itu tidak boleh ditumpahkan atas dasar
kerelaan dari keduanya. Mereka mengatakan; Dikhususkannya hudud dan qishosh
menunjukkan diperbolehkannya bertahkim pada masalah-masalah ijtihadiyyah".
(Fat-hul Qodiir V / 499). Beliau juga berkata: "Dan jika keputusan hakam itu
diangkat kepada qodhiy maka keputusan itu dilaksanakan kecuali bertentangan
dengan Al-Qur'an atau sunnah atau ijma', karena keputusan itu merupakan
perkataan yang tidak ada dalilnya" . (Fat-hul Qodiir V / 487)

5. Abu Bakar Ibnul 'Arobiy Al-Malikiy dalam mentafsirkan ayat:

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah , maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Beliau menyebut orang-orang Yahudi yang bertahkim kepada Nabi SAW, atas
dasar kerelaan mereka, dan bahwa keputusan Nabi berlaku atas mereka. Ia
(Ibnul 'Arobiy) berkata: "Masalah keenam: ketika mereka bertahkim kepada
Nabi SAW, beliau memberlakukan keputusan beliau kepada mereka, dan mereka
tidak bisa untuk menarik kembali. Dan semua orang yang bertahkim kepada
seseorang dalam masalah agama, landasannya adalah ayat ini, Malik berkata:
Jika seseorang bertahkim kepada seseorang, maka keputusannya berlaku, dan
jika keputusannya itu diangkat kepada qodhiy, maka keputusan itu ia
jalankan, kecuali jika keputusan itu merupakan kedzoliman yang nyata.

Dan Suhnun berkata: "Kalau ia mau melaksanakan keputusan itu, Ibnul 'Arobiy
berkata: Hal itu pada masalah harta dan hak pribadi orang yang menuntutnya.
Adapun masalah hudud, maka tidak ada yang boleh memutuskan kecuali
pemerintah. Yang menjadi patokan adalah; setiap permasalahan yang hanya
berkaitan dengan pribadi dua orang yang bersengketa, maka boleh bertahkim
dan keputusannya berlaku –sampai beliau mengatakan– setelah diteliti yang
benar adalah bahwa memutuskan perkara dikalangan manusia itu sebenarnya
adalah hak mereka dan bukanlah hak penguasa, namun membebaskan dalam
bertahkim akan menjadikan cacat pondasi kekuasaan yang akan mengakibatkan
kekacauan dikalangan manusia bagaikan keledai. Maka harus ditunjuk orang
yang menjadi pemutus perkara. Oleh karena itu syariat memerintahkan untuk
mengangkat pemimpin supaya menyelesaikan sumber kekacauan, dan syariat juga
mengijinkan bertahkim untuk memperingan mereka dari kesusahan mengangkat
permasalahan kepada qodhiy, supaya kedua maslahat itu tercapai dan
terpenuhi" (Ahkaamul Qur'an karangan Ibnul 'Arobiy hal. 622-623). Dan Ibnul
'Arobiy menyebutkan dalam hal. 621: bahwasanya bertahkimnya orang Yahudi
kepada Nabi SAW itu terjadi atas kerelaan mereka, karena sebenarnya
memutuskan perkara itu adalah hak pendeta mereka. Ath Thobari juga
menyebutkan semacam ini ketika menafsirkan ayat:


ÝóÅöäú ÌóÇÄõßó ÝóÇÍúßõãú Èóíúäóåõãú Ãóæú ÃóÚúÑóÖõ Úóäúåõãú


"Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka"
(QS. Al-Ma'idah 42).

...para sejarawan bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman Rasulullah
SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai, yang tidak
diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah Ahludz-Dzimmah
yang membayar jizyah...

Dan para ahli sejarah bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman
Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai,
yang tidak diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah
Ahludz-Dzimmah yang membayar jizyah. Oleh karena itu bertahkimnya mereka
kepada Nabi pada perkara itu atas kerelaan mereka dan pilihan mereka dan
bukan karena mereka tunduk pada hukum Islam. Inilah yang disebutkan oleh Asy
Syafi'iy dalam Al-Umm IV / 129-130 kami nukil dari Ahmad Syakir dalam
kitabnya 'Umdatut Tafsir IV / 167.

6. Al-Khotthobiy dalam Syarhu Sunan Abiy Dawud-nya, ketika menjelaskan
hadits kepemimpinan safar, yang berbunyi;


ÅöÐóÇ ÎóÑóÌó ËóáÇóËóÉõ Ýöì ÓóÝóÑòÝóáöíõÄóãøöÑõæÇ ÃóÍóÏóåõãú


"Jika tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah satu dari
mereka sebagai pemimpin"

Al-Khotthobiy berkata: "Rasulullah memerintahkan hal itu supaya mereka tidak
berselisih pendapat dan tidak terjadi perselisihan yang dapat menyusahkan
mereka. Hadits ini juga menunjukkan bahwa apabila dua orang bertahkim kepada
seseorang terhadap suatu masalah, lalu orang tersebut memutuskan dengan
kebenaran, maka keputusannya itu berlaku". (Ma'aalimus Sunan cet Darul Kutub
Al-'Ilmiyyah 1401 H II / 260)

7. Dan di antara dalil atas bolehnya bertahkim dan berlakunya keputusan
orang selain Imam atau para qodhiynya adalah bahwasanya bughot (pemberontak)
itu jika menguasai suatu daerah, lalu mereka menjalankan hukum syar'iy, lalu
mereka menarik harta (pajak) sesuai dengan tuntunan syariat, maka hukum
mereka itu berlaku dan imam yang adil tidak bisa membatalkannya jika ia
dapat menguasai daerah tersebut. Ibnu Qudamah berkata: "Jika ahlul baghyi
(pemberontak) itu mengangkat seorang qodhiy yang layak maka hukumnya sama
dengan hukum ahlul 'adli (qodhiy yang diberontak) dan keputusannya berlaku
sebagaimana berlakunya hukum orang yang diberontak…" (Al-Mughniy Ma'asy
Syarhil Kabiir X/70). Ibnu Qudamah juga berkata: "Jika para pemberontak itu
menguasai suatu daerah, lalu mereka melaksanakan hukum hudud, dan mereka
mengambil harta zakat, jizyah dan khoroj, maka hal itu syah. Karena Ali
tidak meneliti apa yang dilakukan dan dipungut oleh penduduk Basrah. Dan
Ibnu 'Umar membayarkan zakatnya kepada penarik zakat yang menjadi pembela
al-haruriy (khowarij).." (Al-Kaafiy IV / 152). Dan inilah yang ditetapkan
oleh Al-Juwainiyy. (Al-Ghiyaatsiy hal. 374).

8. Dan apa yang ditetapkan oleh para fuqoha' dari berbagai mazhab ini,
yaitu bolehnya bertahkim kepada selain qodhiy yang diangkat di negara Islam,
dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Mundzir An-Naisaburiy dalam kitabnya
Al-Ijmaa'.

Merupakan ijma' ulama', beliau mengatakan: "Ijma' no. 254 para ulama'
bersepakat bahwa keputusan seorang qodhiy yang bukan qodhiy, diperbolehkan
apabila pada masalah-masalah yang diperbolehkan". (Kitaabul Ijmaa' cet.
Darut Thoyyibah 1402 H. hal. 75). Yang dia maksud "qodhiy yang bukan qodhiy"
adalah qodhiy yang tidak ditunjuk oleh Imam. Sedang perkataannya berbunyi:
"Apabila termasuk permasalahan yang diperbolehkan" maksudnya; jika yang
diputuskan oleh qodhiy tersebut diperbolehkan dalam syariat. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Qodhiy adalah sebutan bagi setiap orang yang
memutuskan perkara antara dua orang, sama saja apakah dia itu kholifah atau
penguasa atau wakilnya atau seorang wali (gubernur), atau orang yang
menjabat sebagai pemutus perkara berdasarkan syariat atau wakilnya, sampai
orang yang memutuskan perkara dikalangan anak-anak pada garis-garis yang
mereka perselisihkan. Inilah yang dinyatakan oleh para sahabat Nabi SAW, dan
pendapat inilah yang kuat". (Majmuu' Fataawaa XXVIII / 254).

Inilah dalil-dalil yang memperbolehkan bertahkim atas dasar kerelaan
kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, yang
mana orang tersebut bukan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam di negara Islam,
yang memerintah dengan berlandaskan syariat Islam. Dan Abu Bakar Ibnul
Mundzirijma' atas bolehnya hal ini. telah menukil

Catatan: beberapa perbedaan antara Hakam dan Qodhiy:

1. Hakam tidak perlu diangkat oleh Imam ketika itu. Sedangkan Qodhiy, ia
tidak menjabat kedudukan itu kecuali dia diangkat oleh Imam.

2. Hakam tidak bisa memutuskan perkara kecuali atas kerelaan orang yang
bertahkim, sedangkan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam, ia memutuskan perkara
antara orang yang bersengketa baik mereka rela maupun tidak rela. Dan dia
berhak memaksa mereka untuk datang ke Majlis persidangan, jika mereka tidak
mau datang dengan sukarela, ketika qodhiy menerima pengaduan.

3. Hakam tidak mempunyai hak secara umum untuk membahas persengketaan dan
tidak pula mempunyai hak yang langgeng (terus menerus) untuk memutuskan
perkara, karena hak secara umum dalam mengkaji dan kekekalan hak memutuskan
perkara artinya adalah penguasa, dan yang semacam ini adalah hak qodhiy yang
diangkat oleh imam.

Sedangkan hakam dan qodhiy mempunyai kesamaan dalam hal wajibnya memenuhi
syarat-syarat untuk memutuskan perkara. Dan juga keputusan keduanya
sama-sama harus diterima oleh orang yang bersengketa. Bedanya kalau qodhiy
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan hukumnya yaitu polisi, sedangkan hakam
tidak mempunyai kekuatan jika ia membutuhkannya. Maka hendaknya orang yang
bersengketa itu menerima pelaksanaan keputusannya –dan ini merupakan
kewajiban mereka– namun jika mereka tidak mau melaksanakannya, ia bisa
menulis surat kepada qodhiy yang diangkat imam, supaya memerintahkan
pelaksanaan keputusannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah:

"Dan apabila qodhiy ini menulis surat kepada qodhiy kaum muslimin (yang
ditunjuk) yang isinya adalah keputusannya, maka qodhiy tersebut wajib
melaksanakan isi surat itu". (Al-Mughniy Ma'asy Syarhil Kabiir XI/484)
inilah pembahasan yang berkaitan dengan keadaan yang pertama (ketika ada
pemerintahan Islam yang melaksanakan hukum Islam). Bersambung

[Judul asli: Wujuubut-Tahaakum Ilasy-Syari'ah karya Syaikh 'Abdul Qadir Bin
'Abdul 'Aziz, diterjemahkan oleh Abu Hamzah].

[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment