Advertising

Saturday 25 June 2011

[wanita-muslimah] Pembantu

Pembantu

Oleh : Anton

Pembantu Rumah Tangga, dalam kehidupan domestik masyarakat di Indonesia
sesungguhnya memiliki peran sosial penting, namun strata kelas menghambat
publikasi gerak sosial kaum Pembantu ini untuk melakukan gerakan budaya,
konsolidasi kekuatan daya tawar politik maupun membentuk habitat dan way of
life-nya. Hanya pemba...ntu-lah satu-satunya pekerjaan yang tidak memiliki
daya realitasnya di Indonesia. Pembantu tidak bisa disamakan dengan buruh
yang merupakan kelas paling bawah dalam sistem ekonomi dan sosial di
Indonesia, kehadirannya secara sosial kaum pembantu ini ibarat udara ia
tidak kelihatan tapi bisa dirasakan dan sangat penting. Belum pernah
sepanjang sejarahnya pembantu rumah tangga di Indonesia membentuk asosiasi
profesi. Ide asosiasi itu pernah muncul pada tataran komedi di tahun 70-an
dengan ketuanya Zus Doris Callebout dimana mendapat sponsor dari Djalal
Gendut lewat film 'Inem Pelayan Seksi'.

Pembantu memiliki pengaruh sosial yang luar biasa dalam sejarah kehidupan
bangsa Indonesia, ini bisa dilihat dari beragam nama yang dinisbahkan pada
kaum pembantu ini, dari mulai Babu, Bedinde, Batur, Jongos, Kacung sampai
Pembokat. Budaya lokal yang paling banyak memanfaatkan tenaga pembantu
adalah Budaya Jawa. Itu tak lepas dari struktur priyayi. Dalam budaya Jawa
dikenal istilah Magersari dan Ngenger. Magersari adalah sekelompok
masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi kemudian juga bekerja pada
Priyayi itu sementara Ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak bayar
kepada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara
martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya. Suharto, eks Presiden RI
itu pernah merasakan budaya Ngenger ini di rumah keluarga Harjowiyono di
Wonogiri disitu Suharto muda bekerja membersihkan rumah, menguras dan
mengisi air dan kegiatan domestik rumah tangga yang mirip dengan pekerjaan
seorang kacung –makannyapun dari makanan sisa sang majikan-. Namun dari
keluarga Harjowiyono, Suharto muda mengenal Kyai Daryatmo yang kelak menjadi
penasihat spiritual setelah Suharto menjadi 'orang' disinilah tanggung jawab
Harjowiyono membentuk Suharto, mengenalkan dunia pertanian yang kelak sektor
pertanian merupakan pusat perhatian dan prestasi tertinggi Suharto dalam
mengelola negara.

Dalam budaya Jawa, Cina Peranakan (juga mungkin Sunda) pembantu bukanlah
pekerja yang memiliki hak-hak pekerja dengan imbalan kemampuan profesi.
Makna pembantu lebih diartikan sebagai orang yang tidak mampu untuk hidup
sendiri dalam dunia yang keras, maka itu pembantu memerlukan perlindungan
dari kekuasaan sang majikan. Sinar kekuasaan inilah yang membuat pembantu
itu merasa nyaman dan terlindungi. Bahkan sampai saat ini pembantu adalah
bagian dari keluarga bukan pekerja asing di dalam keluarga yang punya hak
dan kewajiban sesuai dengan klaim profesi. Kenyamanan, perlindungan dan
merasa bagian dari keluarga yang menurut dirinya dipandang terhormat
merupakan alasan banyak pembantu-pembantu rumah tangga di Indonesia bisa
betah bekerja di keluarga selama puluhan tahun bahkan turun-temurun pada
satu keluarga tak heran anak seorang majikan kenal dengan pembantu yang
merawat ibu atau bapaknya saat masih bayi bahkan mungkin masih bekerja di
keluarga tersebut.

Pembantu dalam makna Jawa juga memiliki hak untuk mendapatkan masa depan
yang lebih baik dengan memudahkan mobilitas sosial mereka ke strata kelas
yang lebih terhormat, tanggung jawab itu secara moral diletakkan pada sang
majikan. Sampai saat ini masih banyak pembantu-pembantu di Indonesia yang
masih usia sekolah di sekolahkan oleh majikannya. Istilah 'Pembantu
disekolain' masih sering kita dengar sampai sekarang. Untuk menjelaskan
tanggung jawab majikan dalam budaya priyayi-Jawa terhadap pembantu mungkin
kita bisa menoleh pada novel 'Para Priyayi' Umar Kayam dengan tokoh Lantip
sebagai gambaran karakter orang yang ngenger, pembantu yang memiliki
hubungan saudara jauh. Dalam novel itu dikisahkan Lantip, anak haram seorang
saudara jauh dari keluarga Sastrosudarsono, dulu Sastrosudarsono yang petani
dengan bantuan seorang wedana yang baik hati dia bermetamorfosa menjadi
seorang priyayi dititipi anak dari sepupu jauhnya yang sudah hidup menjanda
dan tidak tidak mampu agar anak tersebut menjadi seorang priyayi bukan
petani dekil. Anak yang dibesarkan Sastrosudarsono ini gagal menjadi
priyayi, malah tumbuh menjadi anak yang kurang ajar, membuntingi gadis desa
penjual tempe dan kabur dari rumah lalu berakhir mati ditembak oleh polisi
karena dia menjadi anggota gerombolan kecu (rampok). Merasa gagal terhadap
anak yang dititipinya kemudian Sastrosudarsono merasa berhutang untuk
membayar kegagalannya, untuk itu dia menerima Lantip, anak haram dari
hubungan gelap keponakan jauhnya yang begundal itu dan dididik sampai
menjadi orang yang terhormat dalam masyarakat. Makna priyayi itulah yang
menurut Umar Kayam berarti membebaskan manusia dari takdirnya sebagai
manusia subordinat menjadi manusia merdeka yang mampu memerdekakan orang
lain tanpa melupakan bentuk balas jasa berupa pengabdian timbal balik,
seperti yang dilakukan Lantip dengan mengabdi pada keluarga Nugroho anak
kedua Sastrosudarsono dan menjagai Harimurti cucu Sastrosudarsono yang
dipenjara karena dia aktif di PKI atau mengurus tetek bengek perkawinan yang
setengah tidak direstui oleh keluarga Darsono, anak sulung Sastrosudarsono
yang menjadi pengusaha besar dimana sebelumnya adalah Kolonel Angkatan
Bersenjata.

Lantip tidak bisa duduk sejajar dengan majikannya, ia harus duduk dibawah.
Secara eksistensi sosial hak Lantip dibantai, namun secara kemanusiaan hak
Lantip dilindungi inilah yang banyak dialami pembantu-pembantu di Indonesia.
Pembantu di Indonesia tidak bisa diperbolehkan duduk di kursi yang ditempati
majikan, ia tidak boleh makan ditempat yang sama dengan majikannya makan
namun kekerasan jarang terdengar terjadi pada pembantu-pembantu yang bekerja
di keluarga Indonesia yang sejak lama memiliki tradisi menggunakan pembantu,
mungkin kejadian satu dua terjadi tapi itu lebih pada penyimpangan sakit
jiwa ketimbang bentuk sosial perlakuan terhadap pembantu rumah tangga.
Walaupun saat ini kultur priyayi sudah bergeser pada keluarga-keluarga
modern, namun sisa kebajikan melindungi hak kemanusiaan terhadap pembantu
rumah tangga masih sangat ketara. Hubungan pembantu-majikan di Indonesia
memang sudah bergeser pada hubungan kontrak kerja yang bernada kapitalis,
namun ketika pembantu itu mengalami domestifikasi maka kultur pembantu
keluarga Jawa yang khas masih bisa terlihat jelas bahkan di
keluarga-keluarga muda Indonesia.

Pertengahan tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an, agak sulit
keluarga-keluarga menengah Indonesia mencari pembantu karena mereka harus
bersaing dengan pasaran tenaga kerja pembantu di luar negeri, namun di tahun
2005 keatas ada kecenderungan para pekerja migran yang berprofesi pembantu
rumah tangga itu lebih memilih bekerja pada keluarga-keluarga Indonesia yang
ternyata walaupun membayar murah pekerjaan mereka (sekitar Rp.350.000 sampai
Rp.500.000 sebulan) namun kebajikan kultur Jawa membuat mereka sadar, bahwa
hubungan kontrak yang semata-mata kapitalisme tidak membawa kenyamanan bagi
mereka.

Di Hongkong dan Taiwan dimana banyak komunitas pekerja pembantu rumah tangga
asal Indonesia. Profesi pembantu rumah tangga bukan lagi berkaitan
semata-mata pada masalah kultur yang melekat seperti di Indonesia, tapi
lebih murni kepada persoalan tenaga kerja. Para pekerja migran Indonesia
yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, memiliki tempat dalam strata
sosial dan diakui dalam kedudukan sosialnya tersebut yang mungkin paralel
dengan kelompok sosial pekerja asing kelas bawah. Secara sosial mereka
diakui, tapi secara kemanusiaan kedudukan pembantu rumah tangga di Hongkong
dan Taiwan seringkali terancam, ini mungkin disebabkan oleh : tuntutan
profesionalitas, merasa terancam terhadap kehadiran pekerja asing dan sistem
sosial mereka yang keras, disiplin dan tepat waktu.

Di Indonesia jarang sekali pembantu dituntut bisa melakukan sesuatu dengan
mahir, apalagi pembantu baru. Bagi keluarga-keluarga Indonesia seorang
pembantu lebih dinilai dari kemampuannya memberi rasa nyaman secara
psikologis pada sang majikan bukan pada kemampuannya yang tinggi dalam
memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci –setrika pakaian dan
tetek bengek pekerjaan rumah tangga lainnya. Pembantu yang bisa menyesuaikan
diri dan tahu unggah-ungguh komunikasi dengan majikan yang merasa strata
sosialnya lebih tinggi lebih dapat cepat beradaptasi. Jadi memang pekerjaan
PRT itu tidak membutuhkan tingkat profesionalitas tertentu, agen-agen
penyalur lokal pembantu jarang memberikan pelatihan yang njlimet, idiom
'kalo nggak goblok, ya bukan pembantu' menjadi stigma yang wajar diterima
masyarakat Indonesia. 'Pembantu bodoh-bodoh pintar' adalah idaman
keluarga-keluarga di Indonesia bahkan dunia lawak Srimulat sering
menggambarkan pembantu jenis ini. Tapi bagi masyarakat berkultur Industri
dan tidak mengenal budaya Jawa seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan mereka
menganggap pembantu adalah profesional, tidak ada subordinat sosial disini,
bagi mereka eksistensi sosial PRT sejajar dengan profesi-profesi lainnya,
bahkan secara hukum pekerjaan mereka diakui, disini posisi sosial pembantu
mendapat pengakuan formal - sementara di Indonesia perjuangan formalisasi
pekerjaan pembantu rumah tangga yang diperjuangkan LSM-LSM tenaga kerja
tidak pernah berhasil kedudukan PRT tidak ada landasan hukumnya – namun
pengakuan sosial bagi pekerjaan PRT di Singapura, Taiwan dan Hongkong harus
di imbali dengan kemampuan profesional, celakanya mentalitas profesional
yang dituntut masyarakat industri tidak dimiliki pembantu-pembantu ini yang
kebanyakan dari masyarakat pedesaan berkultur agraris yang tidak mengenal
konsep nilai waktu, disiplin dan berkemampuan tinggi. Seperti
pendahulu-pendahulunya yang bekerja sebagai pembantu pada keluarga
Indonesia, mereka menganggap bahwa profesi pembantu tidak mutlak memerlukan
ketrampilan, hal yang harus diperhatikan adalah adaptasi pada keluarga
dengan sikap yang hormat itu saja. Titik kontra inilah yang kemudian banyak
melahirkan kekerasan terhadap pekerja migran di Singapura, Hongkong dan
Taiwan. Di satu sisi kaum majikan merasa mereka sudah membayar mahal bukan
saja pada Pembantunya tapi juga pada agen penyalur, disisi lain para
pembantu itu gagap kompleks baik bahasa, budaya yang berbeda, struktur
pekerjaan yang dinilainya aneh, aturan-aturan asing dan lain sebagainya.

Di Singapura, Hongkong dan Taiwan para pembantu itu bisa duduk bersama
dengan majikan di meja makan yang sama dan makan bersama dengan makanan yang
sama pada apa yang majikan makan dan mendapat hari libur. Walaupun pada
awalnya gagap budaya itu cenderung melahirkan kekerasan namun
profesionalitas para pekerja migran yang berprofesi pembantu itu terbentuk
dan menjadi subkultur dalam masyarakat disana. Di Taman Victoria, Hongkong
setiap sabtu dan minggu menjadi ajang kumpul pembantu disana, orang Malang,
Madiun, Jember atau bahkan Lombok sekalipun bila berkunjung kesana tidak
berasa di Hongkong yang berbahasa Mandarin tetapi seperti berada di Jawa
dengan bahasanya yang kita kenal akrab.

Lain di negara-negara Asia Timur berbasis masyarakat industri yang
meletakkan pembantu rumah tangga sebagai bagian dari pekerja formal. Di
negara-negara timur tengah posisi pembantu bukan saja tidak mendapat
perlindungan hukum, tapi juga hilang hak sosialnya dan hak kemanusiaannya.
Di negara-negara Arab budaya sistem perbudakan dan jual beli manusia yang
telah membudaya selama ribuan tahun tidak hilang begitu saja dan mewariskan
mentalitas kultur itu pada masyarakat modern Arab terutama negara-negara
Petrodollar. Seorang budak perdefinisi merupakan seorang taklukan, dia tidak
dianggap eksistensinya, kemanusiaannya nyaris hilang satu-satunya yang
mungkin ada dalam diri seorang budak adalah produksi dari hasil kerjanya.
Mati hidup seorang budak hanya bergantung pada pemilik. Pemilik hak hidup
seorang budak adalah majikan yang tidak bertanggung jawab terhadap keamanan
pribadi, memberi kenyamanan psikis dan mobilitas sosial. Jadi ketergantungan
keamanan pribadi mutlak diberikan pada sikap mental majikan. Inilah yang
kemudian melahirkan banyak kekerasan fisik, seksual maupun verbal bagi
pembantu-pembantu rumah tangga yang bekerja di Arab Saudi. Hak asasi mereka
dianggap sudah menjadi milik majikan ketika majikan itu membayar kepada agen
dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang terpengaruh kultur perbudakan,
seorang majikan ketika membayar ia membeli bukan sebagai kontrak kerja.
Tatkala kemudian ada kekerasan terhadap pembantu rumah tangga maka sistem
hukum di negara itu melindungi majikan apapun kesalahan majikan itu, karena
secara sosial anggapan pembantu itu adalah budak masih lekat dalam kelayakan
tata sosial mereka, dimana pembantu bukan saja tidak memiliki hak hukum tapi
juga hak kemanusiaannya.

Di Amerika Serikat negara yang paling maju dalam perlindungan hak asasi
manusia juga masih menyimpan masalah terhadap pekerja-pekerja migran namun
konsentrasi permasalahan tidak terletak pada masalah sosial tapi lebih pada
masalah hukum ketenagakerjaan untuk membatasi pekerja asing. Baru-baru ini
juga terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh warga negara AS keturunan India
terhadap pembantu rumah tangga asal Indonesia, namun hukum AS bersikap tegas
dengan mempenjarakan majikan itu dalam hukuman selama puluhan tahun. Sebuah
sikap sosial dan hukum yang layak ditiru dalam melindungi hak kemanusiaan
seseorang.

Selain sering menimbulkan masalah kekerasan, ada juga sedikit masalah yang
menggangu akibat negara kita rajin mengekspor pembantu rumah tangga, atau
dengan kata lain mengekspor kemiskinan, yaitu martabat orang Indonesia
dipandang rendah oleh negara-negara yang dulu jaman Bung Karno mungkin
'calon jajahan' kita seperti Singapura dan Malaysia. Julukan 'Indon' bagi
orang Indonesia lebih diasosiasikan pada kalimat peyoratif ketimbang kalimat
pujian. Teman saya pernah diceritakan Bapaknya yang sering berkunjung ke
Malaysia. "Dulu jaman Bung Karno kalau orang Indonesia berkunjung ke
Malaysia, mereka takut pada kita, kita dianggap seperti orang Iran
sekarang..manusia bermartabat, revolusioner dan berani menantang Inggris dan
Amerika, namun sekarang posisi kita tak jauh lebih dari buruh yang tidak
dianggap" itulah kenapa seorang wasit karate dengan tugas resmi dari negara
dengan gampang dianiaya polisi disana. Penurunan kualitas martabat ini harus
dipertanyakan, mungkin kita memiliki kepemimpinan berkualitas garong
ketimbang kepemimpinan berkualitas priyayi yang melindungi dan membebaskan
kemanusiaan seseorang.


ANTON, 2007


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment