Advertising

Thursday, 30 September 2010

[wanita-muslimah] Wawancara dengan Ibu Rusiyati Oleh Kerry Brogan

 



Wawancara dengan Ibu Rusiyati

Ketika beliau berusia 76 Tahun
Pada tanggal 15 dan 16 November 1998 di Belanda

Oleh Kerry Brogan
Disunting oleh MiRa

Ibu Rusiyati, lahir tahun 1922, adalah salah satu bekas Tahanan Politik yang
pernah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1954 di Lembaga Kantor Berita
Nasional (LKBN), The National News Agency 'ANTARA', Jakarta. Ketika terjadi
peristiwa G30S tahun 1965, beliau ditangkap dari tempat kerjanya dan dipenjara
selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Sejak saat itu Ibu Rusiyati dipisahkan
dari enam anaknya, dimana anak tertua, perempuan, baru berusia 15 tahun dan anak
bungsunya berumur 5 bulan.

Di waktu yang sama, suaminya sedang berada di China dalam rangka kunjungan resmi
menghadiri ulang tahun kemerdekaan Republik Rakyat China. Kehadiran kunjungannya
di China mewakili 'Generasi Angkatan 1945′ dari delegasi Indonesia, yang
dipimpin oleh ketua MPRS Chaerul Saleh (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara). Sejak saat itu suaminya tidak dapat kembali ke tanah airnya, di
pengasingan sampai akhir hidupnya dala usia 67 tahun (1986).

Kisah Hidup Ibu Rusiyati

Saya ditangkap oleh militer pada hari jum'at, tanggal 15 oktober 1965, di Kantor
Pusat Berita 'ANTARA'. Saya masih ingat waktu itu tanggal satu Oktober 1965
siang hari, kantor kami dan beberapa kantor berita harian ibukota lainnya sudah
kena pelarangan terbit oleh KODAM V JAYA. Sedangkan bulletin ANTARA terbitan
siang hari ketika itu sudah memuat berita mengenai GESTOK (Gerakan Satu
Oktober). Bulletin ANTARA merupakan pusat sumber berita nasional di Indonesia
yang terbit dua kali sehari, yaitu pagi dan siang hari.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, malamnya pelarangan terbit berlaku untuk semua
koran harian yang terbit di Ibu Kota, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha yang memang diterbitkan oleh pihak militer. Harian Kompas misalnya
telah siap cetak malam itu terpaksa membatalkan penerbitan dan baru boleh muncul
kembali tanggal 6 Oktober 1965.

Surat Perintah Pangdam VI/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan oleh Mayjen
Umar Wirahadikusumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang
simpang siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando
Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan
terhadap media-media pemberitaan".

Surat perintah itu ditujukan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jaya untuk 1)
Segera menguasai semua perusahaan percetakan, 2) Melarang setiap penerbitan jang
berupa apa pun tanpa izin Pepelrada Jaja c.q. Pangdak VII/Jaya, 3) Khusus
terhadap percetakan "Berita Yudha" yang terletak di Gang Gelap Kota dan
Percetakan Harian "Angkatan Bersenjata" di Petojo supaja diadakan pengamanan
physik (pos penjagaan) untuk dapatnya percetakan tersebut berjalan lancar."

Larangan terbit semua koran itu, meskipun hanya diberlakukan selama lima hari,
sangat menentukan karena informasi ketika itu dikuasai dan dimonopoli oleh pihak
militer. Apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok
suratkabar-suratkabar tersebut telah memberitakan proses kejadian harus
disesuaikan dengan sumber informasi yang berpihak pada militer Angkatan Darat .
Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau
mengutip pemberitaan sesuai keinginan pemerintah/pihak keamanan.

Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian
militer tersebut, Berita Yudha Minggu 11 Oktober 1965 memberitakan bahwa tubuh
para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang
dipotong kemaluan mereka". Sementara itu, sukarelawan-sukarelawan Gerwani
melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para Jenderal itu. Padahal menurut
visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka
karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa
mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye
sadis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.

Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut
kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka
yang dicurigai sebagai anggota PKI.

Sejak pelarangan terbit diberlakukan para pegawai dari bagian redaksi maupun
bagian administrasi setiap harinya tetap masuk kantor, begitupun dengan saya.
Kehadiran kami di kantor dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan
bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut kembali.

Tanggal 8 oktober kantor kami didatangi oleh Letnan Kolonel (LetKol) Noor
Nasution dari Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk
memimpin Pusat Kantor Berita ANTARA. Kami sangat heran terhadap penugasan
dirinya sebagai pemimpin kami. Dan sejak sa'at itu Pusat Berita ANTARA dibawah
pimpinan seorang militer.

Tanggal 11 oktober bulletin ANTARA terbit kembali. Waktu itu saya sebenarnya
masih menjabat wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan
bulletin tidak dilibatkan. Biar bagaimanapun saya setiap harinya tetap masuk
kantor.

Tanggal 15 oktober gedung kantor ANTARA dikepung oleh pasukan militer dari
Komando Daerah Militer jakarta, disingkat KODAM Jaya. 26 pegawai kantor
ditangkap dengan cara satu persatu dipanggil namanya untuk berkumpul di ruang
redaksi. Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu pimpinan umum redaksi
bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil ketua dari
redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar negeri maupun Newsagency.
Disamping itu ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua
bagian ketik, bernama Tini juga diikut sertakan. Dari mereka ternyata hanya dua
perempuan, yaitu saya dan Tini yang tertangkap. Saya dengar bahwa tanggal 14
november masih dilakukan pembersihan lagi dibagian Afdeling Luar Negeri dengan
14 orang menjadi korban penangkapan.

Siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kompleks KODAM V Jaya .
Sesampainya di kompleks tersebut kami disuruh turun dari mobil untuk berjalan
menuju ke salah satu gedung bernama Penyelidikan Khusus (LIDIKUS).

KANTOR CORPS POLISI MILITER (CPM)
Keesokan pagi harinya, 16/10/1965, kami dipanggil oleh pimpinan LIDIKUS, Letnan
Adil, untuk berkumpul di ruangan besar. Dikatakannya bahwa tempat gedung LIDIKUS
kurang memadai buat kami dan untuk itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih
baik. Dia tidak menyebutkan nama tempatnya tapi ternyata pada siang harinya kami
diangkut dengan mobil militer menuju kantor Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan
Guntur. Sesampainya di CPM-Gundur segera diadakan pemeriksaan barang-barang yang
kami bawa. Pada waktu itu saya hanya membawa tas berisi kartu pers, kartu izin
masuk istana, surat undangan untuk pertemuan 'Angkatan 45′ dan uang. Tas
beserta isinya dan jam tangan yang saya pakai disita. Saya dan Tini dipisahkan
dari rombongan laki-laki kemudian disuruh berjalan menuju ruangan gang panjang,
corridor, yang lebarnya kurang lebih 2 meter. Didalam corridor tersebut ada 2
meja dan 2 kursi.

Pada tengah malam ketika saya dan Tini sedang tidur nyenyak di atas meja, saya
dibangunkan oleh seorang berpakaian militer. Saya dibawa melalui corridor menuju
ke ruangan lain. Ruangannya besar dan disitu sudah ada 3 orang berpakaian
militer sedang di interogasi oleh satu orang militer. Mereka duduk di barisan
belakang, sementara itu saya disuruh duduk di barisan paling depan supaya
berjauhan dengan 3 orang tersebut.

Dalam proses interogasi, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai
suami saya. Saya menjawab bahwa suami saya sa'at ini berada di RRT dalam rangka
kunjungan resmi sebagai wakil generasi Angkatan '45 bersama delegasi MPRS,
pimpinan Chaerul Saleh. Disamping itu suami saya juga anggota SOBSI (Sentral
Organisasi Seluruh Indonesia). Dalam interogasi dia tidak mengajukan pertanyaan
yang berhubungan dengan fungsi kerja saya di ANTARA. Bahkan juga tidak
menyinggung masalah penerbitan bulletin terbitan 1Oktober - siang hari, yang
memuat berita mengenai peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Setelah melalui
proses interogasi cukup lama, lantas saya dikembalikan ke tempat semula.
Sementara itu Tini kelihatannya sudah tidur nyenyak sedangkan perasaan dan
pikiranku hanya terpancang pada anak-anakku karena tidak mengetahui keberadaan
saya. Saya berusaha untuk bisa tidur tapi kekhawatiran terhadap anak bungsuku
yang masih membutuhkan ASI (Air Susu Ibu) sangat saya rasakan.

Keesokan pagi harinya saya dan Tini dipanggil untuk kembali ke tempat ruangan
dimana kami kemarin harinya diterima. Kami berdua disuruh duduk dan tidak lama
kemudian rombongan laki-laki datang dari arah ruangan lain memasuki ruangan
dimana kami sedang duduk. Lantas mereka disuruh duduk diatas lantai dengan
masing-masing kedua tangannya ditaruh dibelakang kepala. Saya sangat kaget dan
cemas karena para militer tersebut memperlakukan mereka kasar bahkan bajunya pun
sudah penuh dengan lumuran darah dan juga tidak bersepatu. Mereka menceritakan
pengalamannya bahwa malam harinya ketika mereka sedang tidur nyenyak tiba-tiba
masuk sekelompok orang berpakaian hitam secara mendadak dan langsung memukuli
serta menyiksanya sambil berteriak-teriak "Komunis".

Kompleks KODAM V Jaya (17 oktober - Desember 1965)

A. Gedung LIDIKUS - kompleks KODAM V Jaya
Dari kantor CPM-Guntur ternyata kami dibawa kembali ke Kompleks KODAM V Jaya
untuk langsung menuju ke gedung LIDIKUS. Kami dipisahkan dari rombongan rekan
laki-laki kemudian dibawa kembali menuju kamar, dengan ukuran 4X5 meter, yang
sebelumnya pernah kami tiduri. Kami tidur di atas lantai dengan dilapisi tikar.
Saya tidak tahu lagi sudah berapa lama kami terisolasi dalam gedung tersebut
tapi yang jelas setiap malam saya selalu terbangun dari tidur karena mendengar
serombongan orang diturunkan dari mobil truk dengan disertai teriakan dan
jeritan.

Setiap harinya kami diijinkan untuk pergi ke kamar kecil. Suatu kali ketika saya
jalan menuju kamar kecil, saya berpapasan dengan salah seorang laki-laki berbaju
putih. Lantas saya bertanya, "anda dari mana?" Dia menjawab bahwa dia ditangkap
dari stasion Kereta Api Gambir. Dengan begitu saya menjadi punya kesimpulan
bahwa setiap hari selalu ada razzia atau pengontrolan serta penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai bahkan dianggap orang komunis.

Disamping itu kami juga mendapat jatah makan satu kali sehari tapi makanannya
hanya bisa diambil di ruangan lain dan tentunya ini juga berlaku untuk para
penghuni lainnya. Setiap kami pergi untuk mengambil makanan, itu sangat
dirasakan sekali kalau penghuni gedung LIDIKUS semakin hari bertambah dan
anehnya penghuni yang perempuan hanya tetap kami berdua.

B. Gedung kedua - kompleks KODAM V Jaya
Suatu kali kami berdua dipindah ke gedung lain tapi masih tetap didalam kompleks
KODAM V Jaya. Mengenai rekan laki-laki lainnya, kami sudah tidak tau lagi
nasibnya. Gedung yang kami tuju sangat mendapat penjagaan ketat dan bersenjata.
Ketika kami memasuki ruangan, ternyata disitu sudah ada tawanan para pimpinan
perempuan, antara lain ketua umum GERWANI; Umi Sardjono, pimpinan pusat BTI
(Barisan Tani Indonesia); Dahliar dan tiga anggota perempuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Mudikdio, Salawati Daud dan Kartinah. Ke 5 tokoh
perempuan tersebut ditangkap ketika Konferensi Internasional Anti Pangkalan
Militer Asing (KIAPMA) sedang berlangsung, yang diadakan di Senayan tanggal 17
Oktober 1965. Masih ada seorang perempuan lain dimana sebelumnya tidak pernah
saya kenal. Kelakuannya agak aneh karena setiap malam hari berteriak-teriak dan
siang harinya ngomong tidak karuan bahkan terkadang tertawa sendiri tanpa sebab.

Kami tidur dengan menggunakan veldbed (Fielbed). Sore harinya ruangan kami
dikunjungi oleh seorang Letnan. Dia mendatangi saya dan mengatakan bahwa Kolonel
Latief juga berada dalam gedung yang sama tapi diruangan lain. Kolonel Latief
adalah tokoh dituduh sebagai salah satu dalang gerakan 30 September. Ketika itu
saya tidak menanggapi secara serius karena pikiran dan perasaan saya tetap pada
keluargaku. Untuk itu saya coba memberanikan diri minta tolong supaya
diberitahukan ke keluarga mengenai keberadaan saya. Ternyata dia menyanggupinya
bahkan juga menawarkan kami semua untuk bisa dibawakan keperluan lainnya dari
rumah. Kami semua menanggapi dengan senang hati dan tentunya pesananku yang
utama sikat gigi, odol, handuk, pakaian, sisir rambut, sabun cuci dan sabun
mandi. Begitu pula dengan pesanan Ibu-ibu lainnya. Misalnya Ibu Salawati Daud
memesan supaya gigi palsunya jangan lupa dibawakan.

Keesokan harinya Letnan yang baik itu datang keruangan kami dengan membawa
pesanan keperluan kami. Pada suatu hari perempuan yang bersikap aneh itu diambil
dari ruangan kami untuk selanjutnya kami tidak mengetahui nasibnya.

Sekitar 3 hari kemudian, saya dan Tini dibawa kembali menuju gedung LIDIKUS.
Lima Ibu-ibu lainnya juga diikut sertakan bersama kami. Pada waktu yang sama
saya mendapat surat pemecatan sebagai pegawai ANTARA dan juga dicantumkan
pernyataan tidak berhak menerima tunjangan hari tua.

Bukit Duri- Desember 1965

A. Penjara Narapidana G30S sampai TAPOL G30S
Bulan desember 1965 saya, Tini dan 5 ibu-ibu lainnya dipindahkan ke penjara
Bukit Duri, yang letaknya di Kampung Melayu. Dengan pemindahan ini saya merasa
bahwa penahanan terhadap kami akan berlangsung lama. Ibu Umi Sardjono, sebelum
pemindahan, telah mengajukan permohonan kepada komandan LIDIKUS Letnan Adil agar
kami di Bukit Duri diperkenankan untuk dijenguk oleh keluarga.

Penjara Bukit Duri adalah penjara berdinding beton bekas peninggalan kolonial
Belanda tapi sejak terjadi G30S dipakai selain sebagai tempat penjara perempuan
narapidana kriminal juga untuk tempat tahanan politik - perempuan disebut
Narapidana G30S.

Untuk memasuki ruangan "Narapidana G30S" harus melalui beberapa pintu lapisan.
Lapisan pintu pertama dan ke dua terbuat dari besi baja dan kayu tebal. Pintu ke
tiga terbuat dari kawat besi dan pintu ke empat merupakan pintu terakhir terbuat
dari jeruji besi dan baja tebal.

Sesampainya kami diruangan "Narapidana G30S", saya merasakan hirupan udara
kotor, lembab dan berbau sangat tidak enak. Penghuninya kebanyakan anak-anak
perempuan berumur antara 14 - 16 tahun. Yang termuda dipanggil gendut, karena
badannya gemuk sedangkan nama sebenarnya Sukiyah. Anak berumur 14 tahun itu
mengerti politik apa? Sepengetahuan saya mereka itu ditangkap di Lubang Buaya
kemudian dibawa ke CPM atau rumah tahanan militer lainnya. Setelah itu mereka
dibawa ke penjara Bukit Duri. Tidak lama kemudian ruangan "Narapidana G30S"
namanya dirubah menjadi ruangan golongan TAPOL G30S. Ruangan kami memang
terpisah dari golongan "Narapidana Kriminal".

Para penjaga penjara kelihatannya berasal dari Corps Polisi Militer (CPM). Jadi
kesimpulan ku bahwa masalah penjara dibawah komando langsung dari militer KODAM
V Jaya. Hanya mengenai urusan makanan ditangani oleh pengurus staf penjara Bukit
Duri. Makanan yang kami dapat setiap harinya, yaitu nasi dengan sayur tapi
kuahnya berwarna hitam.

Kami ditempatkan di sel-kamar dengan berukuran berbeda. Saya sendiri tidur di
sel-kamar yang letaknya di pintu masuk untuk menuju ke sel-sel kamar lainnya.
Sel-kamar tersebut berdinding beton, ukurannya 2X1,5 meter dimana pintu masuknya
ada lobang karena berfungsi sebagai tempat untuk menyampaikan sepiring nasi dan
semangkok sayur. Tempat tidurnya terbuat dari beton dan hanya dilapisi tikar.
Sel-kamarnya sangat lembab dan dingin karena tidak ada ventilasi. Memang didalam
sel-kamar tersebut ada jendela kecil dari kaca yang letaknya diatas tempat
tidur-beton, tapi berfungsi hanya untuk sedikit dapet penerangan dari luar. Jadi
dengan kondisi sel-kamar seperti itu mengakibatkan kondisi kesehatan saya tidak
bagus, seperti penyakit reumatik dan sesak nafas.

B. Kehidupan di penjara Bukit Duri
Suasana awal kedatangan kami di penjara Bukit Duri terasa sangat tegang.
Beberapa dari para penghuni anak-anak terkadang berteriak-teriak, bicara
sendirian atau menangis yang menyayat hati saya. Memang kami semua mengalami
nasib sama karena setiap hari sel-kamar selalu dalam keadan terkunci. Kami hanya
diperkenankan dua kali sehari untuk pergi ke kamar mandi atau ke kamar kecil.
Itupun dilakukan dengan cara berkelompok pada pagi dan sore hari.

Awal tahun 1967 saya didatangi ibu Polwan (Polisi wanita) dan memberitahukan
bahwa ibu saya pernah datang ke penjara dengan tujuan untuk minta ketemu dengan
saya tapi dia tidak di ijinkan untuk bertemu. Ibu berpesan supaya saya tidak
usah mengkhawatirkan keadaan anak-anakku karena beliaulah yang mengurusnya
dengan didampingi seorang pembantu yang setia. Setelah mendengar pesan tersebut,
saya menjadi terharu serta mengucapkan banyak terima kasih kepada ibuku. Tidak
berapa lama kemudian saya diperkenankan untuk menerima makanan dari keluarga,
itu terjadi untuk setiap satu bulan sekali, dan kiriman makanan tersebut
datangnya dari ibuku.

Akhir tahun 1967 untuk pertama kali saya diperkenankan bertemu dengan keluarga.
Pada sa'at itu saya sangat gembira bisa bertemu dengan ibu dan anak-anakku.
Dengan rasa gembira saya berjalan dari sel-kamar menuju ruangan pertemuan. Dari
kejauhan saya melihat ibu sedang menggendong anak bungsuku yang sudah berusia 2
tahun. Sesampainya di ruang pertemuan saya mencoba untuk memeluk anak bungsuku
tapi saya hanya bisa merasakan sentuhan jari tangannya yang halus dan mungil.
Keinginan untuk memeluk serta mencium pipinya yang lembut tidak dapat kurasakan
karena dibatasi oleh jeruji besi. Biar bagaimanapun hati saya tetap senang
walaupun kesempatan pertemuan hanya diperbolehkan berlangsung sampai 10 menit.
Sejak sa'at itu pertemuan saya dengan keluarga dilakukan 1 kali sebulan.

Karena sel-kamar saya letaknya persis dipintu masuk untuk ke sel-kamar lainnya,
jadi saya sering melihat melalui lobang pintu orang yang keluar dan masuk blok
sel-kamar tersebut. Dengan begitu saya mengikuti proses penambahan penghuni
penjara dan ternyata kebanyakan mereka pindahan dari berbagai rumah tahanan
militer lainnya, misalnya Ibu Suwardiningsih pindahan dari Palembang, Ibu
Sundari pindahan dari Bengkulu. Ibu-ibu pendatang baru itu mengalami isolasi
ketat dan ditempatkan di blok baru bernama blok A. Setelah itu saya baru
mengerti bahwa TAPOL G30S terbagi atas 3 bagian, yaitu blok kategori A sampai
kategori C. Blok kategori A dilihat sebagai kategori berat dan tempatnya
terpisah dengan blok kategori lainnya. Pemisahan tersebut dilapisi dengan kayu
tebal. Penghuni blok kategori A antara lain, Dokter Sumiarsih dikenal sebagai
dokter yang ramah dan baik karena suka menolong orang-orang sakit, Sri Ambar, Dr
Sutanti Aidit dan ny. Nyoto.
Pertengahan tahun 1970 Carmel Budiardjo, orang Inggris, masuk di penjara Bukit
Duri. Saya sangat kaget dan marah karena kenapa perempuan asing juga ditangkap
dan dimasukan ke penjara? Sebelum peristiwa G30S saya sering melihat Carmel di
Deparlu (Departemen Luar Negri). Ketika itu saya bekerja di ANTARA.

C. Perubahan dalam penjara
Proses perjalanan kehidupan saya dipenjara tidak bisa ku hitung dengan cara
penghitungan hari, bulan dan tahun tapi suasana kehidupannya tetap kami alami
dengan melalui proses perubahan. Militer dari KODAM V Jaya yang mengontrol dan
mengurus kami pada akhirnya mempunyai ruangan kantor tersendiri. Untuk itu
golongan TAPOL mempunyai Komandan Blok yang disingkat DANBLOK. Kantor DANBLOK
berfungsi sebagai penghubung antara TAPOL dengan penguasa militer di penjara.
Tujuan pokoknya ialah untuk mengontrol dan melaporkan kepada pihak yang berwajib
bilamana TAPOL dalam keadaan sakit keras atau kecelakaan. Sebelumnya memang
selalu ada pengawasan dua orang perempuan dari kepolisian tapi pengawasan
tersebut tidak bisa dilakukan pada malam hari.

Disamping itu peranan DANBLOK juga dibutuhkan untuk penanganan secara langsung
dari militer dalam urusan makanan. Misalnya diadakan pembagian kerja secara
bergantian untuk memasak sedangkan para penjaga militer bertugas untuk belanja
ke pasar. Kemudian hari beberapa TAPOL secara bergantian pernah mendapat
kepercayaan untuk pergi belanja dengan didampingi pengawalan militer.

Pembiayaan kebutuhan hidup di penjara sebagian didapat dari hasil penjualan
barang-barang kerajinan tangan menyulam. Sulaman yang kami buat, seperti taplak
meja lengkap dengan serbetnya, seprei beserta sarung bantalnya, saputangan dan
pakaian dengan motief bagus dan indah. Sementara itu pegawai penjara
menjualkannya ke luar penjara lalu hasil dari penjualan dibelikan bahan-bahan
baru keperluan kerajinan tangan dan bahan makanan sebagai penambah gizi supaya
bertahan hidup sehat.

D. Pengontrolan dan interogasi
Kehidupan didalam penjara tidak lepas dari pengontrolan ketat dan interogasi.
Pengontrolan dilakukan oleh satuan militer angkatan darat dalam jumlah banyak,
yang datang dari luar penjara. Mereka menginstruksi para TAPOL keluar dari
sel-kamar masing-masing untuk berbaris dan kemudian disuruh berhitung. Sementara
itu sebagian dari rombongan kesatuan militer lainnya masuk ke dalam tiap
sel-kamar dan memeriksa semua isi dalam sel-kamar tersebut. Suatu kali mereka
menemui kertas-kertas tua didalam buku agama. Memang kehidupan kami dipenjara
tanpa secarik kertas, bolpoin ataupun alat tulis lainnya. Buku bacaan yang
diperbolehkan hanya terbatas pada buku-buku agama. Karena saya beragama islam
maka buku bacaan kitab Al qur'an. Pengontrolan dilakukan cukup sering jadi
didalam penjarapun masih ada penggeledahan.

Interogasi dilakukan dengan cara satu persatu dipanggil untuk menghadap.
Biasanya dilakukan pada malam hari sewaktu kami sedang tidur nyenyak. Dalam
interogasi pertama terhadap saya ditangani oleh seorang kapten dari Angkatan
Darat. Pertanyaan pertama yang diajukan a.l. " Apakah anda sudah mengetahui
bahwa anda termasuk golongan A?" Lantas saya menjawab: " Saya belum mengetahui
hal itu, lagi pula saya belum mengerti mengenai pembedaan kategori antara
golongan A, B dan seterusnya." Rupanya pertanyaan saya dianggap sebagai
pertanyaan lucu lalu dia menerangkan bahwa golongan A termasuk kategori berat
untuk dihadapkan ke proses pengadilan dengan vonis hukuman seumur hidup atau
hukuman mati, sedangkan golongan C termasuk kategori paling ringan serta tidak
perlu melalui proses pengadilan. Selanjutnya saya bertanya kembali mengenai diri
saya yang termasuk kategori berat dengan golongan A. Penjelasannya adalah bahwa
D.P Karim (Ketua PWI Pusat, Persatuan Wartawan Indonesia) juga termasuk
kategori berat dengan golongan A. Lantas saya menjelaskan mengenai diri saya
yang bekerja sebagai wartawan di ANTARA serta hubungannya dengan PWI sebagai
organisasi Persatuan Wartawan yang berfungsi melindungi hak kerja wartawan.
Untuk itu bagi orang bekerja sebagai wartawan dengan sendirinya ingin juga
menjadi anggota PWI. Jadi saya di PWI hanya sebagai anggota biasa karena status
pekerjaan saya sebagai wartawan dengan demikian hubungannya dengan pekerjaan
dalam organisasi persatuan Wartawan sama sekali tidak ada. Kemudian Bapak kapten
menyatakan bahwa saya memang tergolong dalam kategori B dan kedatangannya khusus
untuk mengecek segala sesuatu yang diperlukan.

Interogasi ke dua saya berhadapan dengan seorang Letnan dari ALRI (Angkatan Laut
Republik Indonesia). Rupanya dia pernah juga menginterogasi saya sewaktu saya
masih berada di LIDIKUS. Setelah interogasi kedua, saya tidak tahu lagi sampai
berapa kali saya musti berhadapan dengan Letnan tersebut dan yang jelas
prosesnya cukup lama serta pertanyaannyapun sangat teliti. Tini juga untuk
beberapa kali di interogasi tapi ditangani oleh militer dari Angkatan Darat.
Berapa lama kemudian Tini dibebaskan karena ternyata yang dicari bukannya dia
yaitu seorang gadis lain bernama Hartinah bekerja sebagai sekretaris Direksi.

Sekitar tahun 1966 saya dipanggil kembali untuk datang keruang interogasi. Kali
ini saya tidak berhadapan dengan Letnan-ALRI melainkan dengan beberapa ibu-ibu
cantik berpakaian bagus, kemudian saya dipersilahkan untuk duduk. Dengan ramah
mereka secara bergantian mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dikemudian hari saya
dengar bahwa mereka itu adalah para ahli Psychology yang bekerja men-screaning
para TAPOL untuk menilai sampai seberapa jauh tahanan politik kena pengaruh
ideologi Komunis.

E. Golongan C dan keputusan mendadak
Masa interogasi saya rupanya sudah selesai sama sekali karena menurut petugas
militer saya termasuk kategori golongan C dan diberitakan bahwa tidak lama lagi
akan dibebaskan. Akhir tahun 1968 suasana penjara Bukit Duri mengalami
ketegangan dan sebab dari perubahan suasana tersebut tidak saya ketahui secara
jelas. Kami mengalami pengontrolan ketat dan kesempatan secara bergantian untuk
pergi belanja ke luar penjara ditiadakan. Pertemuan dengan keluarga untuk
sementara tidak diijinkan jadi kami hanya bisa menerima kiriman makanan dari
keluarga.

Sekitar tahun 70 an ada berita lain mengabarkan bahwa TAPOL-laki laki golongan B
akan diberangkatkan ke pulau Buru. Tidak lama kemudian diberitakan kembali bahwa
TAPOL-Perempuan golongan B juga akan diberangkatkan ke Plantungan. Dijelaskan
bahwa Plantungan merupakan tempat di pegunungan, letaknya tidak jauh dari kota
Semarang. Plantungan dinilai sebagai tempat penjara terbuka dan lebih baik dari
penjara Bukit Duri. Sementera itu saya tetap sibuk mempersiapkan diri untuk
menunggu waktu pembebasan saya. Biarpun suasana ketegangan dalam penjara masih
belum pulih tapi saya tetap coba untuk mempunyai rasa kegembiraan serta
pengharapan besar untuk bisa berkumpul kembali bersama anak-anakku.

Suatu kali kami dikunjungi oleh komandan dari penjara Salemba. Saya
mempertanyakan diri mengenai kedatangan komandan tersebut ke penjara Bukit Duri.
Tidak berapa lama kemudian keputusan untuk diberangkatkan ke Plantungan tiba
waktunya. Ternyata saya beserta 2 orang golongan C lainnya juga diikut sertakan
bersama golongan B. Kami diberangkatkan pada subuh pagi jam 4.

Plantungan periode 1971 – 1975

A. Berkenalan dengan lokasi pengasingan
Perjalanan cukup melelahkan, akhirnya kami sampai juga di Plantungan dimana
tempat jaman pendudukan Kolonial Belanda dipakai sebagai tempat pengasingan
orang-orang berpenyakit lepra. Memang letaknya sangat terpencil dan dikelilingi
pegunungan.

Kedatangan kami diterima oleh Komandan Prayogo bersama stafnya di kantor
komandan. Setelah itu kami dibawa ke salah satu tempat tidak berjauhan dengan
kantor tersebut. Kesan pertama ketika kami datang, yaitu udara sejuk bisa
memberikan rasa nyaman. Tapi sa'at itu perasaan saya hanya tertuju pada
anak-anakku yang belum mengetahui keberadaan ibunya di pengasingan Plantungan.
Akhirnya saya merasa lelah dan tertidur pulas.

Esok pagi harinya kami mulai berkenalan dengan lokasi dimana sebelumnya tidak
pernah disentuh oleh kehidupan lingkungan manusia. Kami yang didatangkan dari
Jawa tengah dan Jakarta merupakan rombongan pertama sebagai penghuni lokasi
Pelantungan. Memang sejak berakhirnya penjajahan Belanda lokasi tersebut menjadi
tempat penghuni binatang liar seperti ular berbisa, kelabang dan binatang
berbisa lainnya. Dikatakannya bahwa dalam kompleks Blok sebelum kedatangan kami
sudah dibersihkan oleh ahli pengusir ular tapi ternyata masih ditemukan satu
ular. Begitu juga dengan lokasi sekitarnya masih ditemukan beberapa binatang
berbisa lainnya.

B. Kehidupan di pengasingan Plantungan
Kehidupan di pengasingan Plantungan kami diharuskan menggarap tanah untuk
menanam sayuran dan pohon bunga, pekerjaan dalam rumah seperti membersihkan
kompleks blok, kantor komandan dan memasak untuk penghuni Plantungan. Untuk
urusan kesehatan ditangani oleh dokter Sumiarsih dibantu Ibu Ratih. Praktek
kerja untuk penanganan kesehatan tidak hanya terbatas buat penghuni lokasi tapi
juga diperbolehkan melayani penduduk desa sekitar pegunungan. Dokter ramah itu
kemudian dikenal dengan sebutan 'Dokter baik dari kompleks TAPOL' dan pasiennya
pun banyak. Saya sendiri ditugaskan oleh komandan Prayogo untuk pemeliharaan
Taman Plantungan.

Disamping itu kami tetap perlu dan diperbolehkan mencari nafkah dengan membuat
pekerjaan tangan menyulam untuk membeli bahan makanan sebagai tambahan gizi dan
keperluan bahan-bahan pekerjaan tangan menyulam.

Tidak seperti halnya di Penjara Bukit Duri, ternyata tempat pengasingan yang
terpencil itu mendapat perhatian dari Internasional. Suatu kali kami di kunjungi
oleh tamu para wartawan dari Belanda dimana waktu itu sedang mengikuti
perjalanan kunjungan Ratu Juliana dan suaminya dalam kunjungan di Indonesia
tahun 1971. Kami diperkenankan untuk menemui kunjungan para tamu tersebut.
Merekapun diperbolehkan untuk mengadakan 'percakapan secara bebas' dengan
beberapa TAPOL tapi saya sendiri tidak keluar dari blok karena saya harus
menunggu salah seorang TAPOL dari Jawa Barat, berumur 67 tahun, yang sedang
sakit. Tiba-tiba salah satu dari wartawan Belanda tersebut datang menghampiri
blok kami dan setahu saya dia tidak membawa foto kamera. Lantas kami terlibat
dalam percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda. Pembicaraan hanya mengenai
masalah umum karena masing-masing tahu bahwa tidak diperkenankan membicarakan
masalah politik. Dalam percakapan ternyata dia dapat mengenali pengalaman fungsi
pekerjaan saya sebagai wartawan tapi untungnya dia tidak sampai mengetahui latar
belakang pengalaman pekerjaan saya di Surabaya pada zaman penjajahan Belanda
sebagai wartawan "Soerabaya Handelsblad"

C. Kunjungan wakil International Red Cross dan pemindahan ke penjara Bulu
Untuk ke dua kalinya penjara pengasingan Plantungan dikunjungi oleh tamu asing
dan kali ini kunjungan dari seorang Dokter sebagai wakil dari International Red
Cross. Namanya saya lupa walaupun pada waktu itu saya diijinkan hadir dalam
pertemuan dengannya. Pertemuan diadakan di ruang tamu-besar, dan yang hadir
tidak hanya kami bersama dokter tersebut tapi juga komandan Mayor Prayogo
beserta para petugas lainnya. Selama dalam pertemuan bapak komandan dan para
petugasnya duduk terpisah tapi tidak berjauhan dengan kami. Sepertinya komandan
tersebut memberikan kelonggaran kapada kami yang duduk bergabung dengan tamunya.
Dalam percakapan antara kami diawali dengan pembicaraan secara umum tapi dia
juga menanyakan mengenai beberapa kebutuhan se hari-hari, seperti obat-obatan,
kasur, sendal dan lain-lain yang pernah dikirimkannya. Memang kami menjawab
dengan jujur dan seadanya bahwa kami belum menerima kiriman-kiriman tersebut.
Selanjutnya suasana pertemuan tetap santai dan kadang-kadang kami tertawa
sukaria.

Satu hari setelah kunjungan pertemuan, bapak komandan menunjukan sikap tidak
senang terhadap kami bahkan kadang menunjukan sikap marahnya. Kami mulai merasa
bahwa hasil pertemuannya rupanya tidak memberi kepuasan terhadapnya. Tiba tiba
dia mengadakan pengontrolan ke semua blok. Sa'at beliau mendatangi dokter
Sumiarsih, terlihat menunjukan sikap marahnya. Bapak komandan langsung
mengeluarkan peringatan-peringatan keras, serta menuduh Dokter Sumiarsih memberi
pernyataan hal-hal tidak benar kepada tamunya. Setelah itu kami dipanggil untuk
berkumpul di Aula, dan di tempat itu bapak komandan masih tetap mencurahkan
kemarahannya kepada kami. Sekali lagi dengan nada kemarahannya dia menuduh dr.
Sumiarsih, dra. Murtiningroem dan saya yang berasal dari Jakarta sebagai dalang
memberi informasi tidak benar kapada wakil International Red Cross. Selanjutnya
dinyatakan bahwa ada keputusan mengenai pemindahan sebanyak 45 orang ke penjara
Bulu-Semarang. Kemudian pemindahan dilakukan pada akhir tahun 1975.

Bulu - Semarang periode 1975 - 1978

A. Serah terima dan isolasi
Suasana dalam perjalanan menuju Semarang agak tegang karena bapak Komandan masih
kelihatan marah, sedangkan kami masih belum ada bayangan maupun gambaran
mengenai nasib yang akan kami hadapi nanti di penjara Bulu-Semarang.

Setibanya di penjara Bulu kami diterima oleh ibu pimpinan penjara, yaitu seorang
sarjana Hukum, yang penampilannya kelihatan anggun. Rombongan kami disambut oleh
upacara serah terima, lalu kemudian dinyatakan oleh komandan Mayor Prayogo bahwa
penyerahan rombongan sebanyak 45 orang tersebut adalah termasuk kategori
golongan keras. Setelah upacara penyerahan selesai, lantas kami digiring
ketempat gedung ruangan yang sudah dipersiapkan.

Saya merasa heran sekali ketika kami berjalan melalui halaman penjara, terlihat
pagar tembok mengelilingi gedung yang akan kami tinggali. Untuk memasuki ruangan
besar, kami berjalan melalui sepasang pintu terbuat dari besi tebal. Perasaan
saya sa'at itu, sepertinya kami berada di penjara dalam penjara karena gedung
yang kami tinggali sebenarnya terpisah dengan gedung penjara Bulu beserta
penghuninya.

Gedung tempat tinggal kami letaknya memang berada dihalaman penjara Bulu, namun
masih ada tiga tembok, yang mengelilingi ruangan tempat kami untuk tidur.
Tempat tidurnya terbuat dari papan dan dilapisi tikar. Hanya pegawai penjara
datang mengontrol kami, selebihnya kami tidak diperbolehkan berhubungan dengan
siapapun. Bahkan para petugas pembina rohanipun (kaum agamawan) tidak datang
mengunjungi kami. Saya merasa khawatir karena ternyata kami dimasukan dalam
ruang isolasi. Ketika itu pikiran saya hanya tertuju pada anak-anakku.

Proses isolasi tidak dapat kuhitung dengan jari karena kami tidak mengetahui
lagi pembedaan antara siang hari dan malam hari. Kamipun tidak diijinkan untuk
menerima maupun mengirim surat kepada siapapun juga. Suatu ketika saya dipanggil
untuk menghadap ibu kepala penjara. Dengan rasa tidak menentu saya berjalan
dengan didampingi pengawal. Ketika saya menemuinya ternyata sikap ibu tersebut
baik-baik saja bahkan menunjukan keramahannya sehingga rasa menjadi tenang
kembali. Kemudian dia bilang bahwa ada kiriman 'pos-tercatat' buat saya, untuk
itu saya diminta untuk membubuhi tandatangan. Saya mengira kiriman pos-tercatat
tersebut dari anak-anak saya, tapi ternyata kirimannya berasal dari Hongkong
yang nama pengirimnya saya tidak tahu. Setelah itu saya berkesimpulan bahwa
surat tersebut berasal dari seorang, yang memperhatikan masalah Hak Azazi
Manusia di Indonesia. Tentunya saya juga sangat gembira karena ini menandakan
bahwa keberadaan kami sudah diketahui oleh Internasional. Untuk itu saya sangat
senang serta mengucapkan rasa terimakasih biarpun kiriman pos-tercatat tersebut
tidak sempat sampai ketangan saya.

B. Perubahan dan kunjungan di penjara Bulu
Rupanya cuaca di penjara Bulu sudah mulai terang, ketika para pembina rohani
mulai mengunjungi kami. Setelah itu kami diperbolehkan mengerjakan pekerjaan
tangan menyulam bahkan hasil dari pekerjaan kami bisa di jual ke luar tembok
penjara oleh para ibu petugas. Perubahan di penjara semakin baik setelah
beberapa fasilitas seperti penyediaan mesin jahit untuk bisa kami gunakan.

Disamping itu penjara Bulu di kunjungi tamu dari International Red Cross, kali
ini kami juga di perkenankan untuk menemuinya. Suasana dalam pertemuan ternyata
bisa lebih leluasa begitupun percakapannya dengan dr Sumiarsih. Tidak lama
kemudian kami dapat kunjungan 2 wanita dari KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat)
yang pernah bertugas di Plantungan. Dalam pertemuannya mereka tidak menunjukan
sikap marah, sehingga dalam pertemuannya sangat memberikan perasaan lebih
tenang.

Suasana dan kondisi di penjara menjadi lebih baik dengan adanya kunjungan dari
kolonel Taswar Akib. Karena kunjungannya mempunyai tugas untuk menangani dan
menyelesaikan masalah TAPOL golongan B. Beberapa lama kemudian, setelah kolonel
tersebut mengunjungi kami, maka perubahan kehidupan di penjara semakin membaik,
seperti kiriman sebuah televisi. Dengan adanya televisi di penjara, berarti
menunjukan adanya perkembangan menjadi lebih positif, juga dengan begitu kami
paling sedikit bisa mendapat gambaran mengenai kehidupan di luar tembok penjara.
Saya ingat betul pada waktu itu tahun 1977.

Akhir tahun 1977 penjara Bulu dikunjungi oleh seorang ibu yang tidak berpakaian
militer. Sa'at beliau menemui saya sikapnya menunjukan seperti mengenali saya,
sedangkan saya merasa sebelumnya tidak pernah berkenalan dengan ibu tersebut.
Beliau mempernalkan diri sebagai pegawai Departemen Penerangan dan mengatakan
bahwa sebelum peristiwa G30S beliau pernah melihat saya di Istana Merdeka. Lalu
saya menjawab: 'kemungkinan itu benar karena saya dulu menjabat sebagai wakil
kepala Desk Dalam Negeri di Pusat Kantor Berita Antara, jadi saya punya kartu
ijin masuk istana karena sehubungan dengan tugas kerja saya sebagai wartawan.
Kadang saya ke Istana juga sifatnya menggantikan tugas rekan saya, yang
berhalangan dalam menangani berita-berita istana. Disamping itu saya juga
ditugaskan menangani berita luar negeri, untuk itu saya juga setiap hari harus
pergi ke Departemen Luar Negeri.

Dibebaskan
Kunjungan kolonel Taswar Akib ke penjara Bulu dilakukan untuk beberapa kali.
Setelah itu kami merasakan bahwa cuaca dalam penjara semakin cerah dan gembira.
Karena tiba sa'atnya rombongan pertama dibebaskan untuk kembali kekeluarganya di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta. Mengenai jumlahnya saya tidak
ingat dan yang jelas saya belum termasuk dalam rombongan tersebut. Biar gimana
pun juga, saya sudah merasa gembira karena pembebasan tersebut berarti akan
dilanjutkan dengan pembebasan untuk semua TAPOL.

Tahun 1978, untuk pertama kali saya menghitung masa dikurung dalam penjara. Saya
sama sekali tidak dapat menggambarkan keadaan kehidupan di luar penjara, karena
13 tahun berada di tempat pengasingan. Tapi pada sa'at itu hanya sekejap saja
diliputi pikiran demikian. Saya dan ibu-ibu lainnya lebih sering mencurahkan
rasa kegembiraan bilamana kami berkumpul kembali dengan keluarga. Hampir 100%
pembicaraan kami mengenai gambaran perkembangan dan perubahan kehidupan
anak-anak kami, umpamanya mengenai anaknya yang sudah menikah sehingga kami bisa
merasakan menggendong cucu pertamanya. Ada pula yang mengira anaknya sudah
menyelesaikan sekolah dan sudah bekerja. Masih banyak lagi bayangan-bayangan
yang diperkirakan mengenai perkembangan anggota keluarganya.

Yang ditunggu-tunggu datang juga! Pembebasan bagi kami semua pada akhirnya
diumumkan! Luar biasa! Lama sudah kami hidup terisolasi dalam penderitaan
disatu ruangan dengan ibu-ibu dari berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Jakarta dan juga dari Irian Barat.

Ke Jakarta
Pada hari dan jam yang ditentukan, kami diberangkatkan untuk dibawa menuju ke
satu tempat di Semarang. Saya tidak tahu persis nama tempat tersebut, dugaan
saya adalah kantor KODAM - Semarang. Sesampainya di kantor tersebut langsung
diadakan pembagian dalam kelompok. Saya termasuk dalam kelompok kecil dipisahkan
dari rombongan besar. Pada waktu itu saya merasa betul-betul panik. Beberapa
dari kami dipisah sesuai asal dari berbagai daerah, serta dipindahkan ke suatu
ruangan kecil. Hari berikutnya kami masih tetap menghuni tempat ruangan kecil
tersebut. Tidak dapat saya uraikan kegelisahan saya pada waktu itu, karena
sebelumnya tidak pernah ada pemberitahuan maupun penjelasan apapun dari pihak
yang berwajib. Hari berikutnya masing-masing kelompok diberangkatkan dan dikawal
untuk dibawa ketempat yang dituju. Saya termasuk dari kelompok kecil berjumlah 3
orang, yaitu saya dan 2 orang lainnya untuk siap diberangkatkan. Keberangkatan
kami dikawal oleh seorang bapak berpakaian militer menuju ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, kami di jemput oleh seorang militer dengan mobil
Jib-Militer kemudian dibawa menuju gedung KODAM V Jaya. Sesampainya di gedung
tersebut, kami diperingatkan supaya menuggu di mobil, sementara itu bapak
militer turun dari mobil, dan tak lama kemudian kembali sambil memberi tahu pada
kami, bahwa akan langsung dibawa ke penjara Salemba. Rupanya sudah diberitahu
sebelumnya karena ketika kami sampai di penjara Salemba, dan turun dari mobil,
lalu kami disambut oleh para Bapak dan Ibu. Disitu sudah tersedia minuman yang
disediakan buat kami. Sementara itu para keluarga sudah hadir karena
masing-masing telah menunggu untuk menjemput kami. Rasa gembira tidak bisa saya
lukiskan, yang jelas pertemuan kami dengan keluarga penuh dengan kehangatan.
Pertemuan ini terjadi sekitar bulan agustus 1978.

PULANG
Saya dan anak-anak langsung pulang menuju rumah keluarga di daerah Tebet, yaitu
di kompleks perumahan Wartawan dari usaha PWI, Persatuan Wartawan Indonesia.
Memang jauh sebelum peristiwa G30S daerah Tebet masih berupa daerah perkebunan
bebas. Disitu masih banyak pohon buah-buahan. Waktu itu kami masih tinggal
dirumah sewa di daerah Salemba-Jakarta Barat.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, saya melihat ke arah kiri dan ke kanan
tapi saya sudah tidak lagi dapat mengenali sekitar daerah tersebut. Terasa benar
betapa lamanya saya telah meninggalkan Jakarta, karena disamping itu Jakara juga
merupakan kota kenangan sangat berharga buat saya. Terlintas daya ingatanku pada
Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 agustus 1945. Ketika
itu saya masih sekolah di salah satu universitas Jakarta. Terlintas penglihatan
ingatanku masih terpaku pada masa lalu, padahal sa'at itu saya sedang berada
dimasa kini.

Tidak lama kemudian sampailah kami di daerah kompleks perumahan wartawan serta
berhenti dimuka pintu rumah. Begitu masuk rumah saya disambut oleh ibu saya yang
usianya sudah senja, lantas saya memeluknya sambil mengucapkan beribu-ribu
terimakasih karena beliaulah yang selama 13 tahun melindungi dan membesarkan
anak-anakku. Begitu pula saya memeluk anak-anakku dan tanpa terasa airmataku
berlinang karena gembira dan terharu. Si bungsu yang ku tinggalkan 13 tahun lalu
di usia 5 bulan, sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pertemuan kami
berlangsung dalam suasana akrap dengan tangisan dan tawa karena gembira. Tiba
saat makan bersama sekeluarga dalam suasana penuh cinta kasih. Mulailah
masing-masing dari anak-anakku menceritakan pengalaman, dan ada pula yang
sifatnya bertanya. Malam pertama penuh kenangan sangat indah, berkumpul kembali
dengan keluarga tercinta.

Sekembali saya di rumah memang disambut sangat hangat oleh anak-anak yang telah
dewasa. Anak tertua saya umurnya sudah mencapai 28 tahun, sedangkan ibu saya
kelihatan mulai sakitan. Saya baru menyadarinya bahwa sudah sekian lama kami
dipisahkan, dimana dalam proses perpisahan selama 13 tahun lamanya ternyata anak
tertua dipaksakan oleh situasi dan kondisinya untuk dibebani tanggung jawab
besar. Beban berat tidak hanya dipaksa untuk perperan sebagai Ayah maupun Ibu,
tapi pula untuk membiayai hidup keluarga, serta membesarkan adik-adiknya. Ibu
saya dengan setia mendampingi, melindungi dan mendidik anak-anakku. Saya sangat
terharu dan bangga terhadap anak-anak yang pada akhirnya dapat berhasil
melindungi, mendidik dan membesarkan dirinya dalam pendampingan Ibuku.

Di rumah saya mencoba membiasakan diri untuk membaca koran harian yang memakai
huruf latin karena selama di dalam penjara, saya terbiasa membaca huruf Arab.
Usaha mengenal anak-anakku, para tetangga dan lingkungan terdekat berjalan
lancar, bahkan dalam waktu singkat saya sudah ikut serta kegiatan seperti arisan
para Ibu-ibu di Kompleks kami. Yang paling terpenting buat saya ialah secara
intensif belajar mengenal anak-anakku yang sudah besar dan mendewasa.

Kartu Penduduk
Esok harinya saya pergi ke KODIM (Komando Disrik Militer) karena sebelumnya
telah disarankan oleh militer dari KODAM-Jakarta untuk mengunjungi Kantor
KODIM. Sesampainya saya di kantor KODIM suasana ruangan sangat sepi; saya
satu-satunya tamu ketika itu, dan disitu yang bertugas hanya seorang Bapak
Militer. Sebenarnya saya tidak mengetahui maksud dari kunjungan wajib saya ke
Kantor KODIM karena sebelumya tidak ada penjelasan. Ternyata kedatangan saya
dimaksudkan untuk diberi Kartu Penduduk, yang rupanya segala sesuatunya telah
dipersiapkan terlebih dahulu dan diatur rapi.

Bapak Militer tersebut tidak memerlukan keterangan-keterangan lebih lanjut
mengenai diri saya, maka tidak lama kemudian Kartu Penduduk sudah diberikan
kepada saya. Dengan senang hati saya pulang kerumah, tapi setelah sampai dirumah
saya perhatikan kartu penduduk tersebut terlihat tanda kode dengan huruf ET.
Hanya seketika saya kaget dan heran sekali mengenai pencantuman kode ET, yang
adalah singkatan dari Ex- TAPOL. Saya langsung merasa serta berpikir mengenai
status baru saya sebagai seorang warga negara Republik Indonesia, yang mana
status sipilnya di diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini karena
pengalaman saya pernah dihukum penjara selama 13 tahun tanpa proses pengadilan.
Tapi setelah itu saya mencoba untuk langsung menutup pikiran dan perasaan saya,
serta melihat kemasa depan, bagaimana pengalaman hidup nantinya dalam masyarakat
bangsa Indonesia periode Orde Baru.

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment