Dalam Kongres HMI di Medan tahun 1954 di mana Ismail Hasan Metareum terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI (yang juga puluhan tahun kemudian terpilih menjadi Ketua PPP), seorang utusan dari Yogyakarta bernama Arifin Simanjuntak. Saya bertanya kepadanya: Akhi Siman, apa dari lahirnya Islam atau seorang converter? Karena sebelumnya saya menyangka Marga Simanjuntak itu Nasrani. Dia jawab: Kalau potong nama jangan potong salah-salah, mestinya Manjuntak kalau mau potong. Saya terlahir Islam. Marga Simanjuntak yang Islam hanya sedikit sekali.
Btw, kalau T Sembiring yang Menteri (Batak Karo) menurut informasi yang saya dapatkan (mungkin juga salah), beliau itu seorang converter. Saya tidak pakai istilah muallaf, karena T Sembiring bukan muallaf lagi. Batak Karo kalau beri salam tidak bilang Horas, melainkan Majua-jua.
Wassalam
HMNA
.
----- Original Message -----
From: "chodjim" <chodjim@gmail.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Saturday, January 29, 2011 23:38
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:Berwudhu di Toba...
Dalam hal ini Abah HMNA benar, karena ditulis "dikesankan". Artinya, bukan kenyataan semua Simanjutak Kristen.
Wassalam,
chodjim
----- Original Message -----
From: wpamungk@centrin.net.id
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Sent: Friday, January 28, 2011 7:54 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:Berwudhu di Toba...
Padahal marga Nasution juga ada yg Kristen.
Marga Simanjuntak juga ada yg islam.
Tempo hari saya menduga Gayus Tambunan itu kristen ternyata islam
Salam,
l.meilany
Memang begitulah kesan orang. Batak Karo (ump Marga Sembiring, Gintings,
Ketaren dsb) dikesankan perbegu, Batak Toba (ump Marga Tobing, Simajuntak,
Sitompul, Sinaga dsb) dikesankan Kristen, Batak Sipirok (ump Marga
Siregar, Harahap) dikesankan Fifty-Fifty Islam-Kristen, dan Batak
Mandailing (ump Marga Nasution, Lubis) dikesankan Islam.
Wassalam
HMNA
----- Original Message -----
From: "Lina" <linadahlan@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Thursday, January 27, 2011 15:16
Subject: [wanita-muslimah] Re: Fw:Berwudhu di Toba...
Buat ane sih kalo disebut Danau Toba tidak serta merta timbul image
golongan (Batak) Kristen. Image yang timbul adalah danau yang indah tempat
wisata...:-)[meski ane lom pernah ke sana...hikz]. Mungkin karena ane
bukan orang Batak.
Idenya om Suhunan Situmorang untuk tidak saling berjauhan meski berbeda
agama, in perlu di dukung. Tidak perlu keluar dari marga bila pindah
agama, juga perlu didukung karena memang gak ada yang bisa memutuskan
hubungan darah seperti itu. Yang Siregar pasti Kristen dan yang Nasution
pasti Islam juga dah gak perlu lagi.
Ane kira ini karena masyarakat Batak yang masih berpegang teguh kepada
adat istiadat???? Sedang adat istiadat dan agama sangat erat berhubungan.
wassalam,
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, saleh w siregar
<salehw_siregar@...> wrote:
>
>
> fyi.....
>
>
>
>
>
>
>
> Â
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Berwudhu di Toba
>
>
>
>
> oleh: Muna Panggaben
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Judul tulisan ini memang menohok. Wudhu adalah
> sebuah langkah persiapan untuk menunaikan shalat dalam agama Islam.
> Sementara Toba adalah sebuah kawasan di sekitar salah satu danau
> terbesar di dunia yang hampir semua penduduknya memeluk agama Kristen.
> Toba kerap digunakan sebagai istilah yang merujuk kepada Batak Kristen.
> Maksudnya, bila seseorang mengaku dirinya sebagai anggota komunitas
> Batak Toba, serentak dengan itu sang lawan bicara mengambil kesimpulan
> instan: temanku ini pasti beragama Kristen.
> Tapi, kerinduan untuk berwudhu dengan menggunakan
> air danau Toba sungguh-sungguh hidup dalam diri seorang Muslimin bernama
> Saparudin Situmorang, tokoh utama dalam cerpen Pulang yang ditulis
> Suhunan Situmorang dalam buku kumpulan cerpen Dari Sebuah Guci.
> Sang penulis beragama Kristen, warga jemaat HKBP Jatiwaringin. Suhunan
> pernah bercerita kepada saya rintihannya tentang beberapa kerabat
> bermarga Situmorang yang tiba-tiba menarik diri dari kumpulan marga
> karena berpindah keyakinan, memeluk agama Islam. Tidak ada yang salah
> dengan berpindah keyakinan, tak ada pula yang keliru dengan berdiam
> setia kepada agama yang dianut, tetapi kenapa keberbedaan agama membuat
> kami jadi terpisah seolah jika seseorang beragama Islam dia lantas
> kehilangan haknya di dalam kumpulan marga Situmorang, tanya Suhunan
> dengan wajah pilu. Tak ada yang bisa mencabut marga seseorang; tidak
> pendeta, tak juga seorang mubaligh.
> Sudah berbulan-bulan Saparudin menanggung rindu
> untuk pulang kampung ke Desa Urat di Pulo Samosir. Dia tahu, hampir
> semua orang-orang di kampung halamannya memeluk agama Kristen. Itu
> membuatnya mengira bahwa menjadi Situmorang yang Islam adalah sebuah
> penyimpangan. Jika sampai di bona pasogit, setelah melacak silsilah,
> pastilah pertanyaan yang kemudian teraju adalah tentang agama yang
> dianut, pikirnya. Kuatir
> dengan bayangan penolakan semacam itu, kerinduan Saparudin menguap.
> Sebab, bahkan Ayahnya pun dahulu tak punya nyali menuntaskan damba
> menghirup uap air danau biru itu dan hanya bisa menangis
> berminggu-minggu sebelum ajal menjemput.
> Ibu dan ayah Saparudin keluar dari Desa Urat
> puluhan tahun lalu. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain
> sebelum akhirnya menetap di Labuhan Ruku, sebuah kawasan yang sebagian
> besar penduduknya beragama Islam. Pergaulan, kebersamaan, kekerabatan
> baru membuat mereka memutuskan untuk beralih keyakinan: menjadi mualaf.
> Selepas itu, mereka tak lagi bersambung dengan dunia Batak Toba. Jiwa
> dan tubuh Saparudin sejak lahir telah tercebur ke dalam dunia Maya-maya,
> dunia puak Melayu Asahan.
> Uniknya, meski tak lagi hidup sebagai orang Batak,
> apalagi Batak Toba, orang-orang seperti Saparudin mempertahankan dengan
> ketat pencantuman marga di belakang namanya dan bersikukuh tak menjalani
> pernikahan semarga, apa pun alasannya. Mereka berjumlah puluhan ribu.
> Kaum Batak Toba menyebut mereka sebagai Dalle: Batak yang tak lagi
> Batak, orang yang sekadar punya marga.
>
> Menurut tuturan ayahnya, mereka yang kemudian
> dijuluki Dalle itu adalah kumpulan manusia Batak Toba yang dahulu kala
> meninggalkan bumi Samosir, Toba, Uluan, Humbang, Silindung dan wilayah
> tano Batak lainnya bersebab getirnya kehidupan. Lahan Tano Toba yang
> kerap dipuja para penggubah lagu ternyata amat terbatas untuk dijadikan
> penghasil pangan, sementara jumlah perut yang menuntut makanan terus
> bertambah.
>
> (Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 30)
>
> Namun, kendati pun keberpisahan itu begitu jelas,
> ada sesuatu yang tak bisa dielakkan manusia Batak Toba, apa pun agama
> yang dianutnya: sebuah danau nan elok, danau yang menjadi sumber
> inspirasi bagi lahirnya kidung, tembang, cerita, novel di seputar puak
> Batak. Danau itu begitu kuat memanggil semua penghuni dan keturunan
> mereka untuk pulang menengok dan berbaring di haribaannya. Entah apa
> yang merasuk sanubari banyak orang. Keluasannyakah, keteduhannyakah,
> keheningan tak terperi, uap airnya yang berkesan magis?
> Entahlah. Tapi kerinduan yang sama mencengkeram
> dada Saparudin. Tutur cerita sang Ayah tentang danau biru itu begitu
> kuat membekas. Dia bertekad untuk pulang. Setelah menabung
> bebulan-bulan, Saparudin melangkahkan kaki. Dan perjalanannya
> betul-betul sebuah drama. Dia sibuk membayangkan losmen mana yang akan
> dipilih untuk disinggahi. Pemiliknya yang beragama Kristen, makanan yang
> tidak halal, serta syak wasangka yang mungkin tumbuh berhadapan dengan
> pendatang yang tak becus berbahasa Batak adalah beberapa dari banyak
> kekuatiran yang merambat nadinya.
>
>
> Saparudin menyeka cairan bening dari bola matanya
> yang meluncur tanpa ia sadari. Kembali dia menatap Danau Toba yang sudah
> terbentang di hadapan. Kendati degup jantungnya masih berpacu liar
> karena bus yang ditumpangi begitu garang melewati jalan berliku di atas
> jurang Sibaganding, ia tak kuasa menahan takjub melihat danau yang dari
> kejauhan nampak bagai hamparan kaca raksasa. â?oTak kusangka seluas
> ini,â?
> desisnya dengan pandangan kagum.
> Perasaannya mengharu biru tatkala turun dari bus
> lalu menjejak pasir pantai Tigaraja-Parapat. Ia buru-buru melangkah
> menuju bibir danau, meletakkan tas jinjing dan peci hitamnya di atas
> bebatuan, kemudian menarik celananya sampai ke batas lutut. Berkali-kali
> ia membasuh wajah. â?oAlhamdulillah. Allahu Akbar,â? gumamnya seraya
> menengadah ke langit.
>
> (Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 26)
>
> Saya tak bosan mengulang dan membaca halaman
> tersebut. Takbir yang dikumandangkan Saparudin menggetarkan seluruh
> sendi dan tulang, menerbitkan kebebasan sejati, dan membuat saya kian
> percaya bahwa bumi yang kita diami ini adalah planet untuk semua agama.
> Takbir Saparudin memecah kebuntuan dan mengingatkan saya untuk mencari
> saudara-saudara bermarga Panggabean yang selama ini terasing, kehilangan
> rasa percaya diri hanya karena mereka menganut agama Islam, agama yang
> bukan menjadi arus utama di kalangan Panggabean.
> Maka saya pun terkenang kepada sebuah masa saat
> Papa, Partogi Panggabean masih hidup. Siang itu kami kedatangan tamu,
> seorang lelaki Panggabean beragama Islam yang berusaha mencari
> kerabatnya. Dia tinggal di Kalimantan dan bertahun-tahun tak lelah
> menyusur silsilah untuk menemukan pucuk. Kesimpulan akhir, keluarga kami
> adalah Panggabean terdekat, meski sebetulnya tak cukup dekat.
> Berangkatlah lelaki ini ke Jakarta dengan membawa istri, adik dan kakak,
> juga anak-anaknya. Mereka tiba di rumah kami dengan kegembiraan yang
> tak berhasil ditutupi. Para perempuan mengenakan jilbab tapi tak merasa
> asing. Saya ingat persis betapa bersemangatnya Papa menyambut.
> Percakapan beberapa jam pada hari itu sudah cukup bagi kami untuk
> masing-masing menabalkan atribut kudus: kami bersaudara. Tahun berlalu,
> setiap kali berkunjung ke Jakarta, mereka tak pernah alpa singgah di
> rumah kami.
> Ada beberapa hal, memang, dari keberagamaan yang
> menghadirkan sekat-sekat pemisah. Setidaknya, saya mencatat satu:
> makanan. Ini perkara pelik. Di banyak jamuan pesta adat Batak, daging
> babi kerap jadi menu utama. Meski beberapa keluarga sudah menggantinya
> dengan sapi atau kerbau, harganya tak terjangkau oleh orang Batak
> kebanyakan. Dengan santun para Batak Kristen menyediakan sebuah meja
> yang berisi makanan-makanan halal untuk disantap mereka yang beragama
> Islam. Tapi, justru di sana keberpisahan itu menjadi jelas: kita tidak
> duduk semeja perjamuan. Padahal acara makan bersama adalah petanda
> paling tegas bagi sebuah kesadaran suci: kita berinduk pada satu moyang.
> Meja par subang, demikian istilah bagi meja yang diperuntukkan kepada
> non Batak dan non pemakan babi, adalah, sesungguhnya, meja pengasingan.
> Belum lagi ketika jambar dibagikan. Ada
> beberapa hak yang dimiliki lelaki Batak dalam acara adat: hak berbicara
> dan hak mendapat organ tubuh binatang yang dijadikan santapan pesta.
> Para Batak Kristen dengan bersukacita dan lapang membawa haknya pulang,
> apa pun jenis daging yang dibagikan. Tidak demikian dengan lelaki Batak
> Muslim. Mereka, mau tak mau, menyingkir dan bersikap seolah tak hirau
> akan hak tersebut. Namun, akibat yang kemudian terjumpa mungkin saja
> adalah biang masalah: karena merasa tak berhak atas jambar
> daging, tentu saja lambat laun mereka pun tak merasa perlu berseturut
> dengan segala kewajiban. Maksud saya, secara psikologik, rasa memiliki
> itu perlahan memudar.
> Ini sekat yang harus segera dirubuhkan. Orang-orang
> Batak Toba Kristen selayaknya bercermin kepada banyak teman-teman
> muslimin dan muslimah di negeri ini yang tak putus-putusnya berjuang
> menegakkan Indonesia bagi semua. Saya mengerti, itu bukan perkara mudah.
> Selain pilihan-pilihannya terbatas, harganya pun â?"sekali lagi- tak
> cukup terjangkau.
> Nah, sambil terus berupaya meraih kesempatan untuk
> duduk semeja dalam jamuan pesta dengan rasa lapang dan nir wasangka,
> cerpen Pulang Suhunan Situmorang mengajak kita kembali pada sesuatu yang
> bisa dijadikan pemersatu kuat keberadaan puak Batak Toba: sang danau
> biru. Suhunan bukan seorang presiden sehingga dia tak biasa berwacana;
> bersama dengan beberapa teman dia mendirikan kelompok peduli Danau Toba
> dengan nama Save Lake Toba Community yang berjuang tak henti menjaga
> kelestarian alam dan lingkungan di sekitarnya.
> Danau Toba memanggil saya, memanggil Saparudin
> Situmorang, memanggil bapauda saya, Munir Panggabean, memanggil Zulaikha
> Pardosi, memanggil Paulus Simangunsong dan banyak kaum Batak lainnya
> untuk pulang serta menemukan kembali keIndonesiaan di dalam Batak saat
> kita menceburkan diri di airnya yang biru. Itu sebabnya dada saya
> bergelora ketika menulis ode buat Toba dalam sebuah lagu berjudul
> Darimana Rinduku Bermula, sebagai lagu tema untuk cerpen Pulang yang
> dibawakan dengan romantik dan jenaka oleh Paruhum Aritonang.
> darimana rinduku bermula, kasih
>
> hingga tak sempat â?~ku bernapas lega
>
> dan mengapa panahmu menghujam masih
>
> perih dan ngilu di batas senja
> darimana swaramu memancar merdu
>
> hingga jantungku lompat menyambutmu
>
> apa pula yang menjangkitiku sâ?Tlalu
>
> membuat mataku tak mau pejam
> mungkin biru airmu,
>
> mungkin teduh parasmu,
>
> mungkin jugalah luasmu yang mencengkâ?Tram
>
> memanggilku pulang
> namun satu yang pasti
>
> kan kukenang abadi
>
> persaudaraan yang rukun hidup di sekitarmu
>
> www.darisebuahguci.com
>
> Ini lagu indah sepanjang 5 menit 27 detik. Jika ingin mendengar
> sepenggal darinya, sila unduh melalui tautan berikut ini:
> http://www.fileden.com/files/2010/11/28/3026304//DMRB.mp3
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment