Advertising

Wednesday 8 June 2011

[wanita-muslimah] Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris

 

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak
pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam. Bahkan, ada yang
menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah juga tidak pernah menyebut Negara
Islam.

Pernyataan seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena
merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang
menakutkan, sehingga takut. . Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan,
bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.

Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak
mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak
mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini
merupakan masalah ma'lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang
sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini
hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik
Ahlussunnah, Syi'ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy'ari, Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).

Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa 'Umdatu al-Muftin
menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada
satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang
mengajukannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu
at-Thalibin wa 'Umdatu al-Muftin, Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh
Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.

Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad,
selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini
dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan
Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): "Dan tidak lain kewajiban Rasul
itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (Q.s. an-Nur [24]:
54)

Tetapi, faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk
memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur
[24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49),
memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah
[05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya
dijalankan oleh kepala negara.

Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW
sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh,
tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan
tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan
hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi
Musa, Isa, Ibrahim, Nuh -'alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk
tabligh. Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: "Dahulu Bani Israil
diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh
Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan
ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak." (HR Bukhari)

Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba'di, wa sayakunu khulafa'
fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada
para khalifah. Jumlah mereka pun banyak) membuktikan, bahwa posisi Baginda
SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan. Tetapi, posisi
Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti
Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan,
sehingga jumlahnya banyak.

Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam
nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu'man bin
Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang
digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji,
untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan
konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia
yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah
dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi
maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan
pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi,
teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah 'ala Minhaj
an-Nubuwwah.

Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang
tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah
istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini
digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles.
Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka
menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah
Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah
istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk
menerjemahkan kata State, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam
buku mereka.

Namun, karena istilah Daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum
Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan
kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga
mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini
bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam
kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3
Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali
menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.

Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu'jam al-Buldan,
Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu' al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam
al-Bidayah wa an-Nihayah, dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan
Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau
Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta
empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk
perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan
fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.

Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan,
bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam.
Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan
keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka
sebagai intelektual atau ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai'ah
Kibar Ulama' al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah
yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a'lam.

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/25/negara-islam-fakta-normatif-dan-empiri
s/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment