Advertising

Wednesday, 2 February 2011

[wanita-muslimah] Bersama Runtuhkan "Tembok Tembus Pandang"

 

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=84576:bersama-runtuhkan-qtembok-tembus-pandangq&catid=78:umum&Itemid=131

Bersama Runtuhkan "Tembok Tembus Pandang"
Oleh : J Anto

Ada "tembok tembus pandang" yang menghadang kaum perempuan Sumut ketika tengah berjuang meningkatkan kuantitas dan kualitas representasi mereka pada lembaga-lembaga politik serta merebut jabatan-jabatan publik di setiap level pemerintahan.

Menurut Dina Lumbantobing dan Jenny Solin dalam buku mereka Menelusuri Tembok Tembus Pandang Penghalang Perempuan dalam Politik, "tembok tembus pandang" itu memang belum sepenuhnya mampu diruntuhkan.

Sebagaimana diketahui pada Pemilu legislatif 2009, sejumlah aktivis perempuan Sumut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, beberapa berkompetisi sebagai calon kepala daerah. Namun hasilnya kurang menggembirakan. Setidaknya jika dilihat dari sisi kuantitas perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif maupun eksekutif.

Pada pemilu legislatif untuk anggota DPRD tingkat Provinsi, hanya ada 16 wakil perempuan dari 100 kursi yang ada, sementara ?di tingkat Kabupaten/Kota hanya ada 97 perempuan dari 1.089 anggota DPRD (8,9%), bahkan ada 5 Kabupaten di Sumatera Utara, yang sama sekali tidak memiliki wakil perempuan.

Kedua penulis mengidentifikasi "tembok tembus pandang" pertama dan utama adalah kesulitan kaum perempuan dalam menggunakan sumber dana yang berasal dari internal keluarga mereka sendiri. Sebagaimana diketahui, kompetisi politik membutuhkan biaya politik semisal untuk biaya transportasi menemui calon pemilih, biaya untuk mencetak spanduk, brosur maupun pengadaan alat peraga kampanye lainnya.

Namun pengaruh budaya patriakhi mengakibatkan kaum perempuan tak punya akses setara ketika hendak menggunakan sumber dana milik keluarga atau bahkan milik mereka sendiri. Jika caleg laki-laki tak memerlukan rapat keluarga untuk memutuskan penggunaan dana keluarga dalam rangka membiayai ongkos politik mereka. Tidak demikian yang dialami caleg perempuan.

Seorang caleg perempuan yang kini begabung dengan salah satu partai besar beraliran nasionalis menuturkan kisahnya bagaimana dirinya harus meminta izin suami dan anggota keluarga lain sebelum diberi izin menggunakan dana tabungannya untuk membiayai kerja-kerja politiknya.

Tak dapat dipungkiri, pada masyarakat kita yang patriakhis, harta benda atau aset keluarga yang diperoleh selama mengarungi masa perkawinan umumnya masih disimpan atas nama laki-laki atau suami. Tak heran, ketika seorang isteri memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai caleg atau kepala daerah, hal ini menjadi salah satu hambatan utama dalam hal pembiayaan perjuangan politik perempuan.

Minim Pengalaman Politik

Tembok tembus pandang kedua bersumber dari adanya rasa percaya diri perempuan yang kurang akibat minimnya pengalaman politik mereka dibanding kaum laki-laki. Hal ini bersumber dari strategi politik rezim Orde Baru yang selama puluhan tahun telah mendepolitisasi perempuan. Sejak mengambilalih tampuk kekuasaan, rezim Orba secara sistematis mempropagandakan nilai-nilai ideal perempuan yang "dikodratkan" sebagai pendamping setia suami, pengurus anak-anak di rumah, dan tidak boleh membantah suami.

Pendek kata, perempuan adalah "ratu rumah tangga" tanpa mahkota. Politik praktis harus dijauhi perempuan.

Akar historis seperti inilah yang diidentifikasi membuat perempuan kurang memiliki pengalaman praktis dan membuatnya kurang percaya diri akan kemampuan politiknya ketika menjadi pengurus partai politik.

Tentu bukannya tidak ada upaya pendidikan politik yang dilakukan untuk memperkuat tingkat "melek" politik perempuan yang dilakukan organisasi-organisasi perempuan. Keterbatasan sumber dana dan daya yang ada, menjadi kendala untuk menjangkau seluruh perempuan yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009.

Asal Jadi Caleg

Di tengah situasi objektif seperti itu, lahirlah UU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Partai Politik akhirnya menyebutkan pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Demikian juga pada kepengurusan parpol, baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi dan kabupaten/kota) disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan yang diatur dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) parpol.

Tidak lama, lahir UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dimana dalam, daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Ada juga klausal bahwa dalam daftar bakal calon anggota DPR/DPRD, dalam setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya seorang perempuan. Oleh aktivis perempuan, ketentuan itu dimaksudkan sebagai "pagar" agar calon perempuan tak ditempatkan di urutan akhir daftar calon

Banyak perempuan yang memanfaatkan perubahan sistem pemilu itu dengan beramai-ramai mendaftarkan diri ke partai politik, baik sebagai pengurus parpol maupun caleg parpol bersangkutan. Di sisi lain, parpol juga sadar akan keterbatasan mereka memperoleh sumberdaya politik perempuan yang harus dipatuhi karena tuntutan undang-undang. Realitas objektif seperti itu menunjukkan bahwa banyak perempuan yang terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai caleg semata-mata untuk memenuhi kuota 30 persen.

Hal ini dimanfatkan secara cerdas oleh parpol, yang akhirnya tidak mempersiapkan caleg perempuan secara maksimal. Caleg perempuan akhirnya menjadi caleg-calegan, karena sedari awal memang tidak diniatkan parpol sebagai caleg jadi, melainkan sekedar jadi caleg!

Nah, tantangan-tantangan seperti itu masih ditambah lagi dengan kuatnya budaya patriakhi masyarakat, termasuk di kalangan pemilih perempuan sendiri yang berpandangan bahwa perempuan tak layak jadi pemimpin. Perempuan hanya layak untuk mengurus urusan domestik seperti mengasuh dan mendidik anak, memasak, dan mengurus rumah tangga. Urusan publik seperti menjadi caleg biar jadi urusan laki-laki.

Pola pikir dan pola tindak seperti ini, membuat masyarakat yang masih terpenjara kultur patriakhi akan memandang aneh seorang caleg perempuan ketika keluar masuk kampung melakukan diskusi politik. Apalagi ketika melihat caleg perempuan itu tengah mengandung "Apa-apaan itu perempuan jadi caleg, kenapa gak mundur saja? Nanti pasti berakibat buruk sama bayinya!"

Jika ditelisik lebih lanjut, maka bukan pujian atau kekaguman yang keluar dari mulut masyarakat, namun mungkin gerutuan atau bahkan sikap anti pati!

Begitulah "tembok tembus pandang" sebagai diurai dalam buku yang diterbitkan PESADA, sebuah ornop yang banyak melakukan penguatan dan pendidikan kritis terutama di kalangan perempuan Sumut. "Tembok tembus pandang" lain yang menghambat perjuangan perempuan Sumut adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menentukan penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak. Keputusan MK ini membuat politik uang semakin merajalela di lapangan. Caleg perempuan yang umumnya memiliki keterbatasan dana karena tak punya akses setara dalam penggunaan dana di internal keluarga mereka, akhirnya harus berhadapan dengan praktek politik uang yang banyak dilakukan caleg laki-laki.

Belum lagi, mereka juga harus menghadapi "kampanye hitam" yang dilakukan caleg laki-laki. Gambaran kasarnya begini. Bagi kaum laki-laki yang sering becengkerama di kedai kopi atau kedai tuak, awas nanti kalau ada perempuan terpilih jadil rakyat atau bupati, camat atau kepala desa, kelak akan terbit peraturan yang melarang kaum laki-laki nongkrong di kedai kopi atau kedai tuak!"

Perjuangan Bersama

Buku yang diterbitkan Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA), sebuah ornop yang banyak memfasilitasi penguatan pendidikan kritis di kalangan perempuan Sumatera Utara, setidaknya telah berhasil membukakan hati kita akan tantangan-tantangan riil yang dihadapi perempuan yang telah memutuskan diri terjun ke dunia politik praktis.

Dengan membaca buku tersebut, diharapkan lahir pemahaman bersama sekaligus tindakan arif dari masyarakat untuk bersama-sama berjuang meruntuhkan "tembok-tembok tembus pandang" tersebut.

Karena hakikatnya bukankah kaum perempuan juga punya hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut menata politik di tanah air agar dapat digunakan untuk kemaslahatan bersama?***

Penulis adalah Bekerja di Kajian informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS Medan)


[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment