Advertising

Tuesday 31 May 2011

Re: [wanita-muslimah] Paradigma Baru Feminisme

 

U'm Qomariyah wrote:
1. Kisah superioritas laki-laki bisa dikatakan bermula dari cerita
penciptaan manusia dalam Bibel yang sangat umum dikenal, yakni Adam
diciptakan lebih dahulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi Adam adalah
kreator dari Hawa, sedangkan Hawa diciptakan untuk membantu Adam.
Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah
penyebab mereka dikeluarkan dari surga - tempat yang secara hakiki
abadi.

2. Dalam Alquran ada beberapa ayat yang mengungkapkan kekhususan
perempuan, yang tak dialami laki-laki. Begitu pula sebaliknya.

Namun kekhususan itu sering disalahpahami dan dijadikan alasan
memojokkan perempuan, sehingga menimbulkan bias gender. Memang
persoalan konseptual akan muncul bila ada benturan antara ketentuan
nash yang bersifat universal dan permanen serta nilai budaya yang
bersifat lokal dan temporer.

|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1.
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
329. Bukan Theologis Melainkan Sosio-Historis-Kultural

Partai-partai politik dalam era reformasi ini pada bermunculan, di antaranya Partai Perempuan yang diprakarsai oleh novelis La Rose dan Titi Said. Hemat saya, boleh jadi munculnya Partai Perempuan ini yang antara lain menimbulkan inspirasi dari Kohati Korkom UMI. Yaitu pada hari Kamis 2 Juli 1998 Kohati Korkom UMI menyelenggarakan Dialog Kemuslimahan bertempat di Kampus UMI. Saya mendapat amanah memberikan sekapur sirih. Amanah ini saya terima dalam rangka memperingati Mawlud Nabi Muhammad SAW. Saya padatkan sajian sekapur sirih itu seperti berikut.

Secara sosio-historis-kultural dalam dunia Islam ada dua pandangan yang saling bertolak belakang di mata kaum laki-laki mengenai aktivitas perempuan "di luar rumah" terutama bagi yang sudah bersuami. Ada yang membolehkan ada yang menolak. Bahkan tidak kurang jumlahnya dari pihak perempuanpun pasrah menerima statusnya dan mencoba berupaya mencintai dan menyenangi kedudukannya sebagai makhluk manusia nomor dua dengan alasan theologis menurut anggapan mereka.

Sebenarnya pandangan bahwa kaum perempuan adalah sub-ordinat dari kaum laki-laki bertolak dari kisah bahwa Sitti Hawa itu diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam yang dicabut tatkala Adam sedang tidur.(*) Bahkan Sitti Hawa dari tulang rusuk Adam ini dijadikan sebagai justifikasi theologis ilmu kejantanan (kaburu'neang) dalam kalangan suku Bugis Makassar, agar kemana saja pergi harus menyisipkan badik di pinggang. Karena belum sempurna sifat jantan dalam dirinya apabila tulang rusuk yang hilang itu tidak disubstitusi dengan badik.

Sikap pasrah sebagian perempuan sebagai sub-ordinat ini timbul, oleh karena secara theologis mereka merasa bersalah kepada laki-laki. Sitti Hawalah yang mempengaruhi membujuk bahkan merengek Adam supaya makan buah larangan. (Iblis menamakan buah larangan ini dengan buah khuldi, artinya buah kekekalan, khuldi dari akar Kha, Lam, Dal artinya kekal).

Sebenarnya kisah di atas itu bersumber dari Israiliyat, yaitu produk budaya bangsa Israil, yang tidak berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS. Di dalam Al Quran tidak ada disebutkan bahwa Sitti Hawa dari tulang rusuk Adam. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim memang ada disebutkan bahwa perempuan (bukan Sitti Hawa!) dari tulang rusuk (tidak disebutkan dari rusuknya Adam!). Hadits adalah penjelasan Al Quran, akan tetapi tidak menambah substansi. Jadi perempuan dari tulang rusuk, AL Mar.atu min Dhil'In, adalah metaphoris. Apapula jika dibaca Hadits itu secara lengkap, yang artinya: perlakukanlah perempuan itu dengan bijak, karena perempuan itu dari (baca: bersifat) tulang rusuk. Kalau dibiarkan ia bengkok, kalau dikerasi ia patah.

Kaum perempuan tidak usah dibayang-bayangi rasa bersalah karena Sitti Hawa telah membujuk Adam makan buah larangan, sebab di dalam Al Quran Allah berfirman:

FaazaLlahuma sysyaytha-nu (S. Al Baqarah, 2:36), maka syaytan menipu keduanya.

Ayat (2:36) menjelaskan bahwa tidak ada diskriminasi atas Adam dan Sitti Hawa, yaitu keduanya (huma-) sama-sama bersalah.

Jelaslah bahwa kedudukan diskriminatif perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki (wanita dijajah pria sejak dulu menurut nyanyian Sabda Alam), bukanlah bertumpu pada alasan theologis, melainkan hanya bersifat sosio-historis-kultural.

Memang dari segi jasmani ada perbedaan laki-laki dengan perempuan, sebab pada laki-laki normal hormon jantannya 60%, sedangkan hormon betinanya hanya 40%, sedangkan sebaliknya pada perempuan normal hormon betinanya yang 60%, sedangkan hormon jantannya hanya 40%. Hormon jantan sifatnya keras aktif, hormon betina sifatnya lembut pasif, secara nafsani yang jantan merasa melindungi dan betina merasa dilindungi. Itulah sebabnya dalam konteks kehidupan berumah tangga berlaku qaidah: ar rija-Lu qawwa-muwNna 'ala nnisa-i, laki-laki (baca: suami) itu pemimpin atas perempuan (baca: isteri). Suami adalah Kepala Negara, isteri adalah Menteri Dalam Negeri. Juga di dalam lapangan bulu tangkis perempuan game pada angka 11, sedangkan laki-laki pada angka 15.

Akan tetapi secara nafsani dan ruhani tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, yang secara eksplisit dinyatakan oleh Firman Allah:

Inna lmuslimi-na wa Lmuslima-ti wa lmu'mini-na wa lmu'mina-ti wa lqa-niti-na wa lqa-nita-ti wa shsha-diqi-na wa shsha-diqa-ti wa shsha-biri-na wa shshabira-ti wa lkha-syi-i-na wa lkha-syi'a-ti wa lmutashaddiqi-na wa lmutashaddiqa-ti wa shsha-imi-na wa shsha-ima-ti wa lha-fizhi-na furu-jahum wa lha-fizha-ti wa dzdza-kiri-naLla-ha katsi-ran wa dza-kira-ti a'addaLla-hu maghfiratan wa ajran 'azhi-man (S. Al Ahza-b, 33:35).

yang artinya: Sesungguhnya orang-orang Islam laki-laki dan orang-orang Islam perempuan, orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, orang-orang taat laki-laki dan orang-orang taat perempuan, orang-orang benar laki-laki dan orang-orang benar perempuan, orang-orang sabar laki-laki dan orang-orang sabar perempuan, orang-orang khusyu' laki-laki dan orang-orang khusyu' perempuan, orang-orang dermawan laki-laki dan orang-orang dermawan perempuan, orang-orang berpuasa laki-laki dan orang-orang berpuasa perempuan, orang-orang laki-laki yang memelihara kesuciannya dan orang-orang perempuan yang memelihara kesuciannya, orang-orang laki-laki yang berzikir banyak-banyak dan orang-orang perempuan yang berzikir, maka Allah menyediakan bagi mereka pahala yang besar.

Alhasil para muslimat dapat saja aktif berpolitik dengan persyaratan memiliki sifat-sifat terpuji menurut ayat (33:35) dan bagi yang telah berumah tangga sanggup membagi waktunya dan mendapat izin dari suaminya. Bahkan dapat pula mendirikan Partai Muslimat yang berasaskan Islam, mengapa tidak ?! WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 5 Juli 1998
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1998/07/329-bukan-theologis-melainkan-sosio.html

-------------
(*) Telah dibahas dalam Seri 183 yang berjudul: "Perempuan Dijadikan dari Tulang Rusuk?", ttg. 2 Juli 1995
http://waii-hmna.blogspot.com/1995/07/183-perempuan-dijadikan-dari-tulang.html

2.
The Muslim Woman

0. The Paradigm
When studying the principle rights and obligations of woman in Islam, it must be pointed out at the very outset that, in spite of the capasity of Muslim law to adapt itself and to develop according to circumstances, there will be no question of recognizing the extreem liberty which a woman enjoys today, in fact and practice, in certain sections of social life, in the liberal secular capitalistic west. Islam demands that a woman shouls remain a reasonable being. It does not expect her to become either an angel or a demon. "The golden means is the best of things", said the Holy Prophet Muhammad SAW. If one wants to compare or contrast her position in Islam with that in other civilizations or legal systems, one should take into a consideration all the facts, and not merely isolated practices. As a matter of fact, in regard to certain aspects of morality, Islam is more rigid and more puritan than certain other systems of life in our times. Based on the paradigm, HMNA would like to inform the readers concerning the Muslim woman as a mother, a wife, a daughter and a member of the society.

1. Woman as a Mother
The position of mother is very exalted in Islamic learning. The Holy Prophet Muhammad SAW has gone as far as to say: "Paradise lies underneath the feet of your mothers." Imam Bukhari reports: "Somebody asked the Prophet which work pleases Allah most? He replied: "the service of worship of the appointed hour," and when it was continued: "and what afterwards?", the Prophet replied: "to be bountenous to you father and mother." Al Quran reverts to this often, and reminds man that he must always keep in mind that the fact that it was his mother who had borne him in her womb, suffer much on his account and reared him up after making all kinds of sacrifices.

2. Woman as a Wife
As regards the woman as wife, the saying of the Holy Prophet is well known: "the best among you is the one who is best towards his wife." In his memorable Farwell Discourse, pronounced on the occation of the Last Pilgrimage, the Holy Prophet spoke of woman as lengths, and said in particular:
"Well then, people ! Verily there are rights in favour of your women which are incumbent upon you, and there are rights in favour of you which are incumbent upon them . As to what is incumbent upon them in your regard, is that they should not let your beds be trampled by others than you, should not allow those to enter your houses whom you do not like without your authorization and should not commit turpitude. And I command you to treat women well. Have therefore the fear of Allah with regards to women, and I order you to treat them well. Attention ! Have I comunicated? O Allah, be witness !"

3. Woman as a daughter
As regards to woman as a daughter, the Islamic attitude can guess from the reproaches which Al Quran makes against the pagan, pre-Islamic behaviour of the birth of daughters: "And they assign unto God daughters - be purified (from this) ! and unto themselves what they desire (i.e. sons) and when if one of them receiveth tidings of the birth of a female, his face remaineth darkened, and he is wroth inwardly. He hideth himelf from the folk because of the evil of that whereof he hath tidings, (asking himself): 'shall he keep it in contempt, or bury it beneath the dust?' Verily evil of the judgment" [16:57-9]. Al Quran reminds ceaselessly that Allah had created all thing in pair, and for pro-creation both the sexes are equally indispensable, each one havinf his particular function. And Al Quran peoclaims: "unto men a fortune from that which they have earned, unto women a fortune from that which they have earned" [4:32]

4. Woman as a Member of the Society
As a matter of fact, frankly speaking, from the Islamic point of view, the question of the equality of men and women is meaningless anyway. It is like discussing the equality of a rose and a jasmine. Each has its own perfume, colour, shape and beauty. Men and women are not the same. Each has particular features and characteristics. Women are not equal to men. But neither are men equal to women. Islam envisages their roles in society not as competing but as complimentary. Each has certain duties and functions in accordance with his or her nature and constitution.

Tell the believing men to lower their gaze and be chaste; that is purer for them: lo ! Allah is aware of what they do. And tell the believing women to lower their gaze and be chaste and to display of their adornment only that which apparent, and to draw their vails over their bosoms [24:30-1]. The life of a recluse is nowhere recommended. The only purpose of the veil is to diminish occations of attraction, and to protect women from the wickedness of men, as observed in Al Quran [33:59]. In every epoch of Islamic history, including the time of the Prophet, one sees Muslim women enggaged in every profession that suited them. They worked as nurses, teachers, and even a combatans by the side of men when necessary. Caliph 'Umar R.A. employed a woman as Marketing Inspector at the Capital (Madinah). The jurists admit the possibility of women being appointed as judges of tribunals, and there are several examples of the kind. In brief, far from becoming a parasite, a woman could collaborate with men in the society, to earn her livelihood and to develop her talents.

Wassalam
HMNA
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||

----- Original Message -----
From: "Dwi Soegardi" <soegardi@gmail.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Wednesday, June 01, 2011 5:25 AM
Subject: [wanita-muslimah] Paradigma Baru Feminisme

.... Tak ada alasan menjadikan seorang muslim tak bisa menyuarakan
feminisme atau menyatakan feminisme tak berkait dengan agama ....

SUARA MERDEKA

PEREMPUAN

01 Juni 2011
Paradigma Baru Feminisme
Oleh U'm Qomariyah

BICARA feminisme tak bisa dilepaskan dari upaya perempuan mencari
keadilan. Banyak hal membuat gerakan itu lahir. Namun satu yang
terasa, pemikiran feminisme berpangkal dari kritik terhadap konstruksi
patriarki yang mendominasi dan mengopresi perempuan.

Semua gerakan di lingkup wacana dan praktik itu bermuara dari
perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan
menyuarakan keadilan melalui cara tersendiri.

Kisah superioritas laki-laki bisa dikatakan bermula dari cerita
penciptaan manusia dalam Bibel yang sangat umum dikenal, yakni Adam
diciptakan lebih dahulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi Adam adalah
kreator dari Hawa, sedangkan Hawa diciptakan untuk membantu Adam.
Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah
penyebab mereka dikeluarkan dari surga - tempat yang secara hakiki
abadi.

Demikian pula ketika Phytagoras, seperti dikisahkan Aristoteles,
membuat tabel pengklasifikasian elemen-elemen yang berlawanan (oposisi
biner). Dari tabel Phytagoras terlihat, laki-laki dan perempuan tak
hanya "berbeda" tetapi juga "berlawanan". Bahkan dari mitologi Yunani
Dewa Osiris dan Dewi Isis sampai pada zaman serbamesin, laki-laki dan
perempuan tak hanya dianggap berbeda, tetapi juga sebagai seks yang
berlawanan.

Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai
"berlawanan" dan "tidak sama". Keduanya dianggap bertentangan sehingga
melahirkan ketidakadilan gender yang mendorong kemunculan gerakan
feminisme.

Bingkai Feminisme

Saya tak akan mengungkap seberapa jauh ketimpangan itu, meski
berhubungan, tetapi lebih mengemukakan ide feminisme yang banyak
dibicarakan, ditelaah, dan dijadikan referensi dalam berbagai disiplin
ilmu.
Pembicaraan soal feminisme biasanya melibatkan tiga aliran utama,
yakni feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis.
Feminisme liberal lebih memprioritaskan hak perempuan dalam berpolitik
di atas hak ekonomi. Kelompok itu dikritik karena secara umum hanya
menyentuh kalangan perempuan terdidik dan kelas menengah. Juga karena
lebih melihat pekerjaan perempuan di luar lebih baik ketimbang di
wilayah domestik (ibu rumah tangga) yang dianggap opresif.
Pertanyaannya, bagaimana jika perempuan memang memilih wilayah
domestik ketimbang publik?

Feminisme radikal dikritik karena dasar pemikiran yang radikal,
terutama melihat laki-laki dan perempuan harus sama secara seksual
(alami) dan gender. Mereka beranggapan reproduksi perempuan
merepotkan, bahkan sebagai kutukan. Dalam memperjuangkan hak
perempuan, seharusnya laki-laki dianggap "musuh" karena merekalah yang
menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan.

Feminisme marxis mendesak perempuan berkiprah di ranah publik dengan
tetap mengindahkan tugas domestik. Namun selain kampanye upah untuk
pekerjaan rumah tangga, kelompok itu dikritik dalam kaitan dengan
konsepsi simplistik mengenai sifat dan fungsi pekerjaan perempuan
sebagai satu-satunya alat, dan sebagai alat terbaik untuk memahami
opresi terhadap perempuan.

Ketiga pemikiran feminisme itu merupakan garis besar ide feminisme
yang melahirkan banyak pembicaraan yang memberikan celah untuk
menemukan konsep baru dengan memberikan batasan dan garis besar
sehingga melahirkan bentuk-bentuk feminisme baru. Itu antara lain,
seperti diungkap Putnam Tong (2008), adalah feminisme psikoanalisis,
feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme
multikultural, dan ekofeminisme.

Terlepas dari pemikiran feminisme yang bermula lahir dari Barat
sehingga barangkali secara kasatmata sangat berbeda dari budaya Timur,
tak ada yang salah dengan pemikiran besar feminisme. Sebab, semua
berangkat dari asumsi dan sudut pandang berbeda. Ibarat melihat subjek
dari bingkai berlainan, pencahayaan yang dihasilkan memantulkan fokus
berbeda pula.
Namun jadi terkait ketika dalam berbagai forum sepertinya pembicaraan
mengenai feminisme, mengenai hakikat perempuan, tak bisa dilepaskan
dari pemikiran-pemikiran Barat itu. Menjadi terkait ketika kita
terjebak dengan hakikat feminisme yang sepertinya sudah dikotak-kotak.
Lebih-lebih ketika seseorang yang beragama, seorang muslim misalnya,
membincang feminisme. Barangkali jika saya bicara mengenai budaya
jelas akan terbantahkan karena ide-ide feminisme lahir dari
ketimpangan gender yang berpangkal juga dari konstruksi budaya. Namun
jika saya sebagai muslim harus membincang perkara perempuan berkait
dengan feminisme, definisi seperti apa yang harus saya konstruksikan,
paradigma seperti apa yang harus saya gunakan?

Feminis Muslim?

Selalu ketika bicara mengenai feminisme, baik tataran praktik langsung
maupun wacana seperti teks sastra, akan dibenturkan dengan kenyataan
bahwa ide feminisme berbeda dari dogma agama dan budaya. Sepertinya
keduanya berbeda. Bahkan dalam berbagai referensi ditemukan
pembicaraan mengenai dekonstruksi dalam wacana agama, khususnya teks
kitab suci. Seolah-olah kitab suci (Alquran, misalnya) tak menyuarakan
hak perempuan dan lebih membela laki-laki. Barangkali jika melihat
pemikiran feminisme sebelumnya sangat dimungkinkan agama dan feminisme
tak berhubungan.
Dalam Alquran ada beberapa ayat yang mengungkapkan kekhususan
perempuan, yang tak dialami laki-laki. Begitu pula sebaliknya.

Namun kekhususan itu sering disalahpahami dan dijadikan alasan
memojokkan perempuan, sehingga menimbulkan bias gender. Memang
persoalan konseptual akan muncul bila ada benturan antara ketentuan
nash yang bersifat universal dan permanen serta nilai budaya yang
bersifat lokal dan temporer.

Tak ada alasan menjadikan seorang muslim tak bisa menyuarakan
feminisme atau menyatakan feminisme tak berkait dengan agama. Artinya,
untuk menyuarakan keadilan gender, perempuan tak perlu menanggalkan
agamanya. Atau sebaliknya ketika berbicara agama, feminisme selalu
bisa dilihat dari sana. Feminisme yang dibingkai dengan kacamata agama
akan melahirkan keadilan hakiki yang (lebih) tidak bias dan (lebih)
jelas. (51)

- U'um Qomariyah SPd MHum, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/06/01/148418/Paradigma-Baru-Feminisme

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment