Advertising

Sunday 29 May 2011

[wanita-muslimah] Kang Said: Tasawuf dan Cara Pandang Interdisipliner

Tasawuf dan Cara Pandang Interdisipliner

Oleh: Dr. KH. Said Aqil Siraj

Saat ini, agaknya dirasakan baik dalam teoritis maupun praktis, membuncahnya
pola pemikiran yang cenderung bersifat sporadis, hiperspesialis, sektarian,
dan skismatis.

Akibatnya, kenyataan yang terpampang terlihat "miris" dan tak rentan dari
bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang afinitatif dan bahkan konfliktual.
Tentu saja, ini amat jauh dari kerinduan abadi (gharizah) bagi setiap
individu untuk mencitakan kehidupan yang harmonis, rukun-sejahtera, dan
penuh dengan cinta kasih.

Kondisi skismatis tersebut rasanya sudah merata dari hulu ke hilir. Dalam
dunia akademis pun, dirasakan belum terwujudnya suatu kerangka pikir yang
integratif-holistik. Betapa pun, banyak disiplin ilmu di dunia akademis yang
diajarkan, ternyata belum mampu membawa para terdidiknya untuk bisa memahami
indahnya berhubungan secara lintas disiplin ilmu (interdisipliner). Yang
terpampang adalah kenyataan saling merasa superior (istihqar) dengan
disiplin ilmunya.

Para filsuf muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu
Bajjah atau Ibnu Thufail adalah para 'generalis' yang menguasai berbagai
disiplin keilmuan. Mereka tekun dan berdedikasi tinggi terhadap ilmu dan
praksis kemasyarakatan. Pola pemikiran yang mereka bangun bersifat integral
dengan menyatukan berbagai ilmu. Usaha yang mereka lakukan itu akhirnya
membuahkan kesadaran bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kemanusiaan dan
ketuhanan.

Pada sisi lain, dalam soal perkembangannya, iptek dewasa ini telah
memunculkan berbagai reaksi keilmuan dengan ikhtiar melakukan upaya
integralisme. Ilmu pengetahuan dipandang telah berjalan sendiri-sendiri.
Munculnya gerakan Holisme yang dieksponeni oleh Fritjof Capra misalnya
membuktikan kenyataan saling silang antarilmu. Gerakan ini malah memasukkan
unsur-unsur pemikiran Timur dan hikmah kaum sufi dalam formulasi ilmu
pengetahuan.

Berkaca Pada Kaum Sufi

Kaum sufi telah mengungkapkan suatu pola pikir, sikap, dan perilaku yang
amat konstruktif bagi penataan dan pengembangan aspek kemanusiaan dan
keilahiaan. Kaum sufi senantiasa melakukan formulasi kedirian melalui
wilayah privat yang kemudian mampu memberikan dampak eksternal yang luar
biasa pada wilayah publik. Kehadiran tasawuf di tengah-tengah kehidupan
sosial dan kultural masyarakat senantiasa menampilkan sebagai suatu kekuatan
bagi "revolusi spiritual" (tsaurah al-ruhiyah). Suatu kekuatan yang sangat
eksplosif dalam meretas segala bentuk penyimpangan moral dan sosial,
sekaligus sebagai pemicu bagi ghirah kebangkitan pengetahuan.

Dalam tasawuf, pengolahan pengetahuan dihampiri secara esoteris (bathini).
Sebab, pengetahuan esoteris ini dipandang sebagai basis bagi pengembangan
keilmuan yang eksoteris (dzahiri). Dalam merengkuh pengetahuan diperlukan
suatu kejernihan batin, sehingga akan memancarkan cahaya bening dalam
menangkap berbagai pernik kenyataan. Apa yang diberikan dalam tasawuf
seperti latihan fisik (riyadhah) dan latihan batin (mujahadah) sesungguhnya
merupakan perangkat bagi pengembangan kedirian yang punya kebertautan dengan
aspek penataan moral dan pengembangan pengetahuan.

Para sufi tidaklah membedakan secara ekstrim antara metoda akal atau batin.
Para sufi hendak menunjukkan bahwa akal hanya mempunyai fungsi yang
terbatas, sehingga tidak bisa digunakan untuk menangkap kedalaman realitas.
Karena itu, hatilah yang layak digunakan dalam memahami realitas
tersembunyi. Bagi kaum sufi, realitas tidak hanya terpancang pada segala hal
yang bersifat empirik, melainkan yang metafisis dan spiritual. Dan justru
realitas spiritual inilah yang sesungguhnya merupakan hakikat dari kenyataan
itu sendiri yang akan menghasilkan pemahaman yang jernih, jauh hari distorsi
sosial dan moral.

Dalam kenyataannya kesufian telah menjadi sifat dan lelaku yang interen
dalam diri ilmuwan muslim. Jabir bin Hayyan, al-Farabi, Sufyan al-Tsauri,
al-Ghazali atau Ibnu Sina yang merupakan figur ilmuwan yang menguasai
berbagai bidang ilmu, ternyata juga menunjukkan diri sebagai sosok sufi.

Di sini, menunjukkan bahwa kesufian tidaklah menghalangi keinginan untuk
melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dalam wilayah keilmuan. Sebaliknya,
justru menyibakkan betapa basis kesufian ini telah menjadi pemicu bagi
keinginan yang menyala (sense of curiousity) dalam membangun formulasi ilmu
pengetahuan. Dan terlihat pula, para ilmuwan dan filsuf muslim pada akhir
perjalanan intelektualnya justru menjadikan taSawuf sebagai terminal
puncaknya.

Dalam sejarah peradaban Islam kita mengenal istilah zawiyah dan khanaqah
yang merupakan pusat pertemuan kaum sufi, tempat mereka melakukan berbagai
latihan spiritual. Lembaga sufi ini berfungsi sebagai pusat belajar untuk
mengkaji dan menginsyafi bentuk tertinggi ilmu (gnosis/ma'rifat) yang
pencapaiannya menuntut penyucian jiwa dan pikiran (tazkiyah al-nafs). Ia
adalah pengajaran sains dalam Islam yang bersifat esensial yang pegang
peranan signifikan sebagai satu dari lembaga utama yang bertanggung jawab
dalam pembinaan dan penyebaran sains dalam Islam.

Maka jelaslah bahwa tasawuf tidaklah sama sekali berlawanan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan upaya untuk
secara kontinyu melakukan penelitian (istiqra'). Sementara, upaya tersebut
memerlukan pula basis penataan diri untuk membangun sikap konsistensi. Dalam
tasawuf, sikap konsistensi (istiqamah) merupakan prasyarat fundamental dalam
melakukan perjalaan spiritual (rihlah al-ruhiyah).

TaSawuf sendiri sesungguhnya merupakan 'tajribah al-ruhiyah', yakni proses
eksperimentasi diri guna menghasilkan derajat kemanusiaan (martabat
insaniyah) yang memangku secara kokoh derajat ilahiyah (martabat ilahiyah).

Metode "tajribah al-ruhiyah" ini bisa dimaknai secara lebih luas, tidak
hanya terpaku pada pola-pola ritual kesufian, tetapi bertaut pula dengan
pemacuan ghirah keilmuan. Namun, yang harus diperhatikan bahwa pola
eksperimentasi kesufian ini harus ditempatkan dalam posisi sebagai basis
pelatihan kedirian. Di sini, mutlak diperlukan pemahaman bahwa apa pun
bentuk pengembangan keilmuan demi menggayuh kemajuan peradaban harus
berporos pada pelatihan jiwa-batini.

Dengan demikian, tidak saja berguna bagi eskalasi pengembangan keilmuan,
tetapi juga penataan moralitas. Saat ini, disadari kian pentingnya
pengembalian keilmuan dalam cagar etika. Dunia ilmu memerlukan arahan secara
etik, agar tidak melaju tanpa nilai. Sebab, bagaimanapun, kemajuan ilmu
pengetahuan adalah demi peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan material
dan spiritual bagi manusia. Tentu saja, diharapkan pengajaran ilmu
pengetahuan tidak akan membawa mentalitas dehumanisasi, yang memojokkan
manusia pada jaring-jaring otomatisasi yang bisa menghilangkan kesadaran
transendental.

*) Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Masyarakat TaSawuf Indonesia (MATIN)


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment