http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96867:lulus-un-100-persen-lalu-apa&catid=78:umum&Itemid=131
Lulus UN 100 Persen, Lalu Apa??
Oleh : Surya S.S
Tingkat kelulusan UN tahun ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Kemungkinan, akan ada masanya ditahun-tahun akan datang kelulusan UN 100 persen diseluruh tanah air, jika kenaikan seperti ini terus ditingkatkan.
Sebuah prestasi yang membanggakan. Sekolah-sekolah yang berada di tingkat kecamatan, kota, kabupaten sampai propinsi boleh berbangga diri karena mengalami kenaikan prestasi yang menggembirakan, terlihat dari hasil UN yang meningkat dari tahun ke tahun. Jika indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah UN, maka sepantasnyalah kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional dan jajarannya, pejabat di dinas pendidikan propinsi sampai daerah, kepala sekolah, guru dan pengurus yayasan pendidikan yang telah sangat perduli dengan pelaksanaan UN, serta apresiasi besar untuk yang paling membanggakan dalam keberhasilan UN ini yaitu para murid sekolah peserta UN.
Mudah-mudahan sudah pernah ada yang memberikan apresiasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam keberhasilan UN ini. Jika belum, terlepas apakah UN itu dilakukan dengan jujur atau tidak, izinkan saya mengucapkan "selamat atas keberhasilan " ini.
Tapi tunggu dulu, ucapan selamat itu akan terasa syahdu jika memang indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah ujian nasional. Sayangnya tidak, indikator keberhasilan pendidikan nasional bukanlah ujian nasional. Kalaupun ada yang berkata bahwa indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah UN saya sendiri tidak sepakat untuk itu.
Menurut hematku, pendidikan nasional dikatakan berhasil apabila;
1. Tidak ada lagi siswa tamatan sekolah dasar yang tidak dapat membaca.
Pembaca yang terhormat, jangan menutup mata dengan kondisi ini. Siswa tamatan sekolah dasar yang kumaksud bukanlah siswa (berkebutuhan khusus) tamatan sekolah dasar, tapi benar-benar siswa yang sudah tamat sekolah. Mengapa bisa? Karena selama sekolah, mereka tidak pernah mendapat pendidikan yang memadai. Kebetulan sekolah yang kujumpai ini berada di sebuah kabupaten kepulauan yang baru terkena tsunami 2010 yang lalu. Sekolah dasar yang dikelola oleh dinas pendidikan ini dibimbing oleh beberapa orang guru honorer. Namun para guru honorer ini tidak pernah diperhatikan, bahkan honornya juga tidak tersalur dengan baik. Sehingga para guru honorer juga jadi acuh-tak acuh dalam mengajar. Ironisnya rata-rata daerah pedalaman yang saya ketahui kondisi sekolahnya sama dan kasusnya gurunya juga sama.
2. Tidak ada lagi guru honorer yang tidak mendapat honor.
Namanya juga guru honor, kalau gak dikasih honor ya bukan guru honor namanya. Mungkin lebih tepat dijuluki "guru bakti". Tapi layakkah jika guru hanya untuk berbakti? Di negara yang APBN nya hampir 1000 triliun dan 20 persennya untuk pendidikan. Layakkah untuk negara yang para pejabatnya buncit-buncit guru-guru di sekolah pedalaman di jadikan "guru bakti"? Faktanya dikota-kota juga banyak guru honorer yang nasibnya belum jelas.
3. Tidak ada lagi siswa yang putus sekolah.
Kedengaran seperti janji manis pejabat negara. Namun sampai sekarang janji-janji itu belum terwujud. Siswa putus sekolah masih mudah dijumpai di penjuru tanah air ini. Apa sebabnya? Sangat beragam, mulai dari karena tidak ada biaya sampai anggapan bahwa sekolah tidak penting. Alamak, tidak penting!! Sungguh ini merupakan kegagalan. Salah siapa?
4. Guru-guru mengetahui kalau profesinya bukan sekedar profesi tapi juga panggilan.
Inilah cita-cita luhur seorang guru. Namun apalah daya, terkadang sejengkal perut yang selalu lapar mendorong guru untuk melupakan panggilan. Jadilah guru mengajar setengah hati di kelas. Tidak punya persiapan khusus untuk mengajar karena waktu persiapan mengajar sudah habis untuk mengerjakan pekerjaan tambahan. Setelah ini semua, maka jadilah sekolah yang asal ada. Asal-lah punya siswa, asal-lah ada jam masuk dan jam pulang sekolah, asal-lah punya gedung sekolah dan perangkat sekolah lainnya. Melupakan bahwa pendidikan bertujuan memanu siakan manusia. Artinya ada peningkatan dari waktu-kewaktu. Bukan pengulangan rutinitas yang membosankan.
Lalu salah siapa? Mengapa banyak sekolah dijumpai seperti ini? Masuk sekolah pukul 09.00 wib, pulang pukul 11.00 wib. Sehari-hari sekolah kelihatan kosong, namun pada pelaksanaan ujian / UN bermunculan siswa-siswanya.
Hm. inikah keberhasilan UN? Atau, inikah keberhasilan pendidikan nasional??
Belum!
Sepertinya pemerintah melupakan ke-empat fakta diatas. Terlalu cepat standarisasi UN di terapkan di bumi pertiwi ini. Karena itu buat pemerintah;, plis-plis.. hentikan UN. Sudah banyak tulisan tentang buruknya UN ini dilaksanakan. Sudah ada juga korban jiwa karenanya. Buka mata, masih banyak permasalahan pendidikan di negeri ini.
Ini adalah PR buat kita pemerhati dan penggiat pendidikan. Tugas wajib untuk sang menteri pendidikan sampai dinas pendidikan; mendukung kegiatan pendidikan yang holistik, yang bisa membangun cita-cita pendidikan nasional. Menciptakan suasana pendidikan yang kontekstual adalah peran guru dan sekolah, biarkan mereka berkarya.
Hidup guru!!! ***
Penulis alumnus Universitas Negeri Medan, Anggota Lembaga Komunitas Air Mata Guru
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment