Pemuda dan Sihir Sektarian
Oleh: KH Said Aqiel Siroj
Sungguh kita rasakan keprihatinan yang mendalam tentang kisah anak muda
zaman sekarang. Ada penurunan tingkat kualitas generasi muda yang sudah
merambah baik dari aspek moralitas, keagamaan, sosial, spiritual, maupun
ideologis. Kasus-kasus perkelahian antarpelajar, maraknya penggunaan
narkoba, pergaulan bebas, konsumerisme, hilangnya rasa kesantunan anak muda,
kriminalitas remaja, dan sihir radikalisme terhadap anak muda.
Kalau dulu kita bangga dengan tampilnya tokoh-tokoh muda zaman pergerakan
seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, Syahrir, Wahid Hasyim, dan masih banyak
lainnya. Mereka inilah yang menjadi 'energi' kemerdekaan bangsa sekaligus
pembangun format bangsa yang berkarakter dan berkepribadian.
Kini, kita miris dengan fenomena makin menipisnya karakter yang dimiliki
khususnya anak muda kita. Tiba-tiba kita jadi tersentak tentang kisah M
Syarif, anak muda yang dengan kalapnya melakukan bom bunuh diri di Mapolsek
Cirebon di saat jamaah shalat Jumat. Akibat hipnosis sebuah kelompok
puritan-radikal, Syarif juga tega-teganya mengafirkan bapaknya hanya karena
perbedaan pandangan keislaman. Contoh kasus paling soft, fakta banyaknya
anak muda yang karena tersihir faham puritan, sontak kemudian suka
membidahkan keluarganya yang tidak sepaham. Ada pula, anak-anak muda yang
terdoktrin untuk tidak mau menghormati bendera merah-putih, karena bisa
membawa kesyirikan. Ini juga fakta yang mencemaskan akibat pengaruh
sektarian yang sekalipun masih tampak lunak, tetapi dikhawatirkan bisa
menjadi benih radikalisme.
Cobalah pula kita saksikan panorama lanjut yang lebih ekstrem, ternyata
'pengantin-pengantin' yang dijadikan tumbal teroris dalam melakukan aksi bom
bunuh dirinya selama ini juga dimainkan oleh anak muda. Begitu pun
terkuaknya jaringan NII yang juga beraksi memakan korban anak muda dengan
taktik bujuk rayu bahkan dengan penculikan. Banyaknya anak muda yang
terjerat faham puritan, radikal, dan sesat sepertinya bagai fenomena gunung
es. Perlu penelitian lebih saksama tentang keterpengaruhan anak muda
terhadap radikalisme.
Darurat karakter
Reformasi sepertinya bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, era ini sangat
menjanjikan perubahan berarti yang akan melahirkan tatanan baru yang lebih
baik. Di sisi lain, reformasi telah menjelma menjadi 'pil koplo', yang
membuat lupa daratan sehingga ada masalah yang tercecer dan terkatung akibat
lebih dahsyatnya impian pembangunan fisik demi kesejahteraan. Ya, kita jadi
lupa tentang pentingnya nation character building (pembangunan karakter
bangsa). Kita jadi siuman setelah sebagian generasi muda kita menghisap
dalam-dalam kepulan ajaran dan pandangan sesat tentang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Radikalisme menjadi tumbuh membiak yang membuat banyak anak
muda tercerabut paksa dari akar kearifan budaya lokal.
Akhirnya, para pengambil kebijakan negara menjadi sadar untuk mengupayakan
sebuah kebijakan demi memperkokoh kembali karakter bangsa. Menteri
Pendidikan Nasional Mohammad Nuh pun mencanangkan pentingnya pendidikan
karakter dengan kebijakan memulainya dari pendidikan anak usia dini hingga
perguruan tinggi. Implementasi ketetapan tersebut dimulai sejak tahun ajaran
baru 2011/2012, yang dimulai Agustus nanti. Kita memang mendesak butuh
lahirnya gerakan pendidikan karakter. Sebab, situasi bangsa ini sudah
menjurus pada tahap darurat karakter. Apa pun ikhtiar dan daya upaya untuk
memperkokoh karakter bangsa, akan kita sokong sepenuhnya. Dan, ini harus
dilakukan secara konsisten dan kontinyu.
Menurut Zakiah Daradjat dalam buku Ilmu Pendidikan Islam (2008), masa remaja
adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju
dewasa. Masa perpanjangan dari kanak-kanak sebelum mencapai dewasa.
Anak-anak jelas kedudukannya, yaitu yang belum dapat hidup sendiri; belum
matang dari segala segi; tubuh masih kecil; organ-organ belum dapat
menjalankan fungsinya secara sempurna; serta kecerdasan, emosi, dan hubungan
sosial belum selesai pertumbuhannya. Begitulah, masa remaja adalah masa yang
penuh keguncangan jiwa, masa berada dalam peralihan atau di atas jembatan
goyang, yang menghubungkan masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan dan
masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri.
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, masa remaja menduduki tahap
progresif. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, agama pada
para remaja pun turut dipengaruhi perkembangan, dengan penghayatan para
remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para
remaja. Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmaninya, yang antara lain disebabkan oleh
pertumbuhan pikiran dan mental, berkembangnya perasaan, pertimbangan sosial,
perkembangan moral, sikap dan minat, serta soal ibadah (W Starbuck dalam
Jalaluddin, Psikologi Agama, 2010).
Jelaslah, kondisi psikologis remaja masih labil. Malangnya, kondisi ini
diperuncing oleh suasana sosial yang retak. Tak heran, lakunya ajaran
radikal dan sesat di kalangan anak muda juga lantaran masyarakat kini
mengalami kondisi yang serba tidak menentu. Akibatnya, anak-anak muda
berusaha mencari seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat menerima
krisis identitas mereka. Dalam sosiologi agama, ada istilah yang disebut
harapan eskatologis. Dalam harapan ini, anak muda percaya bahwa pemimpin
mereka adalah juru penyelamat, Imam Mahdi, atau apa pun yang akan
menyelamatkan mereka. Harapan itu terbit karena pemahaman agama mereka belum
mempunyai dasar yang kuat. Mereka lalu mengalami misleading dalam pencarian.
Bila anak muda hanya mengikuti arus, sebagaimana mereka mengikuti tren dalam
musik, fashion, atau gaya hidup-gaya hidup modern lainnya tanpa bersikap
kritis-maka mereka akan mudah terjebak dalam arus pemikiran dan ajaran yang
menyimpang. Nah, budaya sikap kritis perlu diperkuat kembali. Dunia kampus
kita sekarang mengalami degradasi dalam hal membangun insan akademis yang
kritis. Kita sungguh kecolongan, bagaimana seorang Pepi Fernando yang
lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dikenal kampus modern dan
liberal, mau-maunya melakukan tindakan terorisme. Ya, ini di antaranya
akibat budaya diskusi dikalangan mahasiswa menipis. Guru dan dosen tidak
tampil menjadi sosok-sosok yang menggugah kesadaran kritis. Budaya pragmatis
rasanya telah menghanyutkan civitas akademika. Tak berlebihan bila banyak
yang menghubungkan radikalisme anak-anak muda juga akibat dari guru-guru
yang berpandangan radikal.
Pesantren bisa menjadi tumpuan untuk membendung pemikiran radikal.
Syaratnya, pesantren yang moderat dan akrab dengan lokalitas budaya.
Kiai-kiai kampung pun bisa menjadi acuan deradikalisasi, karena mereka
inilah yang dekat dengan grass root dan selalu menyampaikan ajaran Islam
yang teduh dan arif. []
KH Said Aqiel Siroj , Ketua Umum PBNU
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment