8 dari 9 Wali (Wali Songo) ternyata adalah keturunan Cina:
Sunan Ampel alias Bong Swie Ho
Sunan Drajat alias Bong Tak Keng
Sunan Bonang alias Bong Tak Ang
Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang
Sunan Gunung Jati alias Du Anbo - Toh A Bo
Sunan Kudus alias Zha Dexu - Ja Tik Su
Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho
Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat
Bahkan Raden Patah sultan pertama Demak yang terkenal itu pun keturunan Cina dengan nama asli Chen Jin Wen - Tan Jin Bun putera dari Cek Kopo di Palembang.
Wassalam
HMNA
Reference:
----- Original Message -----
From: "sally sety" <sally_sety@yahoo.com>(#)
To: <pengajian_kantor@yahoogroups.com>; <remaja-islam@yahoogroups.com>; <rezaervani@yahoogroups.com>; <sabili@yahoogroups.com>; <sufi-islam@yahoogroups.com>; <surau@yahoogroups.com>; <urangawak@yahoogroups.com>; <yisc_al-azhar@yahoogroups.com>; "myquran" <myquran@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, May 29, 2007 22:40
Subject: [Sabili] Walisongo berasal dari Cina
Entah kenapa banyak sekali sdr kita umat Muslim merasa gerah, apabila mendengar bahwa delapan dari Sunan Walisongo itu adalah orang Tionghoa, padahal Nabi Muhammad saw sendiri pernah bersabda "Tuntutlah ilmu walau
sampai negeri Cina" (Al Hadits) (##), nah pada saat itu orang Tionghoa nya sendirilah yg datang ke Indonesia, sehingga mereka tidak perlu repot2 harus pergi belajar untuk menuntut ilmu ke Tiongkok.
Prof Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tsb diatas dlm bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara", tetapi pada th 1968 dilarang beredar, karena masalah ini sangat peka sekali dan mereka menilai menyakut masalah SARA. Kenapa demikian?
Bayangkan saja yg mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, bahkan Sultan nya yg pertama pun adalah orang Tionghoa: Chen Jinwen alias Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu).
Walisongo atau Walisanga yg berarti sembilan (songo) Wali, tetapi ada juga yg berpendapat bahwa perkataan songo ini berasal dari kata "tsana" yg berarti mulia dlm bhs Arab sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa kata tsb berasal dari kata "sana" dlm bhs Jawa yg berarti "tempat"
Para wali tsb mendapatkan gelar Sunan, yg berarti guru agama atau ustadz, namum perkataan Sunan itu sebenarnya diambil dari perkataan "Suhu/Saihu" yg berarti guru dlm bhs dialek Hokkian, sebab para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab (sekte) Hanafi.
Perlu diketahui bahwa sebutan "Kyai" yg kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk guru agana Islam setidak-tidaknya hingga jaman pendudukan Jepang masih digunakan untuk panggilan bagi seorang lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan "Encek". Jadi bagi mereka yg merasa bahwa dirinya orang Tionghoa totok tulen silahkan menyandang gelar Kiyai.
Walisongo ini didirikan oleh Sunan Ampel pada th. 1474. Yg terdiri dari 9 wali yaitu:
Sunan Ampel alias Bong Swie Ho
Sunan Drajat alias Bong Tak Keng
Sunan Bonang alias Bong Tak Ang
Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang
Sunan Gunung Jati alias Du Anbo - Toh A Bo
Sunan Kudus alias Zha Dexu - Ja Tik Su
Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho
Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat
Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias raden Rahmat lahir pada th 1401 di Champa (Kamboja), ia tiba di Jawa pada th 1443. Pada saat itu di Champa banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim yg bermukim disana. Pada th 1479, ia mendirikan Mesjid Demak. Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah alias Chen Jinwen - Tan Jin Bun sebagai Sultan yang pertama, ia itu puteranya dari Cek Kopo di Palembang.
Orang Portugis menyebut Raden Patah "Pate Rodin Sr." sebagai "persona de grande syso" (orang yg sangat bijaksana) atau "cavaleiro" (bangsawan yg mulia), walaupun demikian orang Belanda sendiri tidak percaya moso sih sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Oleh sebab itulah Residen Poortman 1928 mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidikinya; apakah Raden Patah itu benar2 orang Tionghoa tulen?
Poortman diperintahkan untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa, dimana sebagian sudah berusia 400 tahun sebanyak tiga cikar/pedati. Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao, dan Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini.
Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini tercantum dlm Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun,dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti "orang kuat".
Cucunya dari Raden patah Sunan Prawata atau Chen Muming/Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, berambisi untuk meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya.
Sumber:
- Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin"
- B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang - Utrecht: Den Boer
- G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese
Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
- De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java" - "Islamic
states in Java 1500 -1700".
- Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia"
- Prof. Slamet Mulyana "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara
http://silmykaffah.blogspot.com/
Mang Ucup
Email: mangucup@xxxxxxxxxx
Homepage: www.mangucup.org
http://www.freelists.org/archives/list_indonesia/04-2005/msg00335.html
-------------------------
(#)
sally sety adalah puteri Muballighah Irena Handono, mantan biarawati, turunan Cina
(##)
Uthlubu l-'ilma wa law kaana bishshiini.
Catatan kaki dari HMNA
----- Original Message -----
From: "sunny" <ambon@tele2.se>
To: <Undisclosed-Recipient:;>
Sent: Friday, May 27, 2011 12:58 AM
Subject: [wanita-muslimah] ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA
http://www.indonesiamedia.com/2011/05/25/ulasan-mengenai-identitas-indonesia-etnis-tionghoa/
ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA
Posted on May 25 2011 by Radio Netherland/IM
Tiga belas tahun pasca Tragedi Mei 1998. Tragedi yang menorehkan luka diskriminasi terhadap warga etnis Tionghoa. 13 tahun lalu, mereka jadi tumbal, sasaran kekerasan. Proses hukum mandek, tapi harapan akan keadilan terus tumbuh. Reporter KBR68H Johana Purba berbincang dengan etnis Tionghoa, 13 tahun setelah Reformasi, soal'menjadi Indonesia'.
"Diumumkan di Masjid, siapa yang anaknya tidak pada pulang, jangan diharap hidup, anaknya sudah pada mati." Tiga belas tahun lalu, Ruminah mendapatkan kabar kematian putranya, Gunawan, dari pengumuman di masjid. Anaknya tewas pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di sebuah pusat
perbelanjaan daerah Klender, Jakarta Timur. Ruminah tak lelah mencari. Mendatangi pusat perbelanjaan yang dibakar massa, kantor polisi, sampai ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di situ ia hanya bertemu baju, ikat pinggang dan cincin milik Gunawan. Tak ada jenazah. "Cincin, gespernya Gunawan, dan ukirannya itu ukiran dia. Pokoknya bawa pulang, mungkin ini kali (buktinya)."
Di kampung Ruminah, ada 7 anak yang jadi korban pembakaran pusat perbelanjaan tersebut. Ibu-
ibu kerap berkumpul dan lantas membuat paguyuban tahun 2001. Mereka juga membentuk Kampung
Kenangan Mei 1998 di kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di situ ada prasasti untuk mengenang mereka yang tewas dalam kerusuhan. Tingginya sekitar 2 meter, berupa tonggak dan sebuah wadah lingkaran berisi sebuah gambar jarum dan benang merah. Di situ tertulis: Untuk Mengenang Gunawan dan Korban Mei 98. "Karena kalau ibu-ibu kan hatinya masih luka, ada benangnya merah. Dan ada puteran, bunder. Nah itu, jarum untuk mengobati luka. Luka Mei 98 kan lebar, dalam. Tetapi dijahit sedikit-sedikit. "
Peristiwa Mei 1998 juga masih membekas di hati Ester Jusuf, aktivis HAM dan advokat etnis Tionghoa. Dia memang tak merasakan rumahnya dibakar massa, terluka atau diperkosa. Tapi ia tekun memberikan pendampingan kepada para korban Tragedi Mei 1998. "Yang menyerah banyak, sudahlah itu masa lalu, tidak mau membicarakan lagi. Bahkan ada yang begitu diperlihatkan satu buku Mei 98, tidak mau lihat. Banyak yang setelah 98, mereka bangkit lagi. Ada berbagai hal lah, ada yang makin gigih dan bangkit secara lebih baik. Ada juga yang memang hancur."
Esther kini tengah merancang konsep Rumah Kenangan Mei. Bukan museum, tetapi rumah pengharapan. Untuk itu, Ester dan kelompok Solidaritas Nusa Bangsa giat menggalang dana. Baik dengan cara menjual produk hasil kerajinan korban Mei 1998 atau mencari donatur. "Memang kita punya luka yang sama. Tetapi pijakan dari Rumah Kenangan Mei adalah harapan kita yang sama. Kita berharap masa depan yang lebih baik. Jadi Tragedi Mei 1998 itu biar jadi pelajaran yang tidak akan kita lupakan. Pesan yang terus menerus jangan terjadi lagi. Harapan, membangun bangsa yang lebih baik. Kalau 1998 ada kekerasan yang luar biasa, kita tidak tahu siapa dan masih dalam proses, tetapi jangan ada lagi."
Tan Swie Ling, bekas tahanan politik etnis Tionghoa. Dia dipenjara selama 13 tahun karena dituduh komunis. Sekeluarnya dari penjara dia aktif dalam pergerakan warga etnis untuk menghapus diskriminasi. Kata dia, sejarah diskriminasi sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda sampai era kemerdekaan. Penjajah Belanda berurusan politik dagang dengan orang Tionghoa. Kemudian dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, warga etnis Tionghoa masuk dalam kategori 'Timur Asing'bersama warga Arab dan India. Tan Swie Ling yakin, konflik antar etnis, termasuk dengan etnis
Tionghoa, adalah buatan penguasa. Motifnya: kekuasaan dan perdagangan, dengan mengorbankan
kelompok Tionghoa. "Jadi kerusuhan anti Tionghoa hanya pintu pembuka meledaknya instabilitas
plitik. Dia bukan sasaran pokok, dia hanya sebagai alat untuk bagaimana menyulut kebakaran di negeri ini. Ini sangat tergambar jelas pada saat mereka ingin menjatuhkan Soekarno pada tahun 1963, dan kemudian tahun 1965 juga lewat G30S, itu juga terjadi kerusuhan, semua itu lewat jalur sulut dulu Tionghoa. Termasuk tahun 98, karena posisi Tionghoa sebagai rumput kering."
Reformasi 1998 seharusnya jadi titik balik. Tak boleh lagi ada penyerangan dan diskriminasi terhadap etnis tertentu di negeri ini. Namun, tak mudah jadi Tionghoa di negeri ini, bahkan setelah tonggak Reformasi berdiri 13 tahun lalu. Agustinus Wibowo, lelaki 30 tahun etnis Tionghoa, menghabiskan separuh hidupnya di perantauan. Kuliah di Beijing, lantas bertualang di Afghanistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan lainnya. Perjalanan panjang ini membuat penulis buku "Garis Batas" dan "Selimut Debu" ini merefleksikan lagi identitasnya sebagai Tionghoa. Ia masih ingat ketika ia didatangi seorang warga lokal ketika kuliah di Beijing, Tiongkok.
KBR menanyakan sewaktu dia di Beijing ditanya "Kenapa orang orang membunuh bangsa Cina?",
Agustinus menjawab: "Kita dalam situasi apa, garis batas kita bergeser, identitas kita bergeser. Waktu aku kecil dalam kondisi hingar bingar diskriminasi, identitas yang mencuat adalah warna kulitku sebagai orang Tionghoa. Yang kemudian membuat aku sadar tentang sebuah identitas. Tetapi waktu aku ke Tiongkok, identitasku bergeser, aku bukan dianggap minoritas tetapi dianggap orang Indonesia dan ini mengaitkan dengan kejadian 98. Yang menurut orang Tiongkok itu sebuah tragedi terhadap ras mereka. Ya disini ada pergeseran identitas itu."
Ruminah yang lahir di Brebes, merasa harus menutup rapat identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Baru tahun lalu ia berani terbuka soal identitas ini. Sejak bertahun-tahun lalu pindah ke Jakarta bersama suaminya, ia sering mendapatkan perlakuan kasar. Anak-anaknya juga kena getahnya. Karenanya ia sering tak mengaku sebagai etnis Tionghoa kepada orang yang baru dikenal. "Dulu lagi muda saya baru punya anak, kok saya dimusuhin mulu di Jakarta. Katanya 'Saya Cina Loleng, makan babi sekaleng, tidak habis ditempeleng.' Kadang saya gregetan dikatain melulu. Anak-anak saya juga begitu, sering diludahin dari atas. Anak saya enggak ada kan yang matanya sipit. Kalau itu suka diludahin sama orang di atas."
Tan Swie Ling juga pernah merasakan kerasnya hidup sebagai Tionghoa di Indonesia. Ia menjadi saksi persidangan Sudisman, anggota polit biro PKI, di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1967. Akibatnya, ia dipenjara selama lebih 13 tahun. Lepas dari penjara, ia mengaku mengalami berbagai macam diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Ia percaya, penguasa ada di belakang tindakan diskriminatif terhadap kelompok etnis Tionghoa. Ia menulis soal ini juga dalam bukunya 'G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme, Pemikiran Cina Jelata Korban Orba'.
"Isu mengenai anti Tionghoa sama sekali bukan karena komunitas pribumi yang anti, tidak suka kepada etnis tionghoa. Rasisme terjadi karena tindakan penguasa. Baik penguasa Belanda maupun Indonesia." Meski diskriminasi masih ada, Tan Swie Ling bangga menjadi bangsa Indonesia. "Kalau saya jelas, merasa anak Indonesia. Anak Indonesia yang terlahir sebagai etnis Tionghoa." Tionghoa, Jawa, Sunda,
Kalimantan, Padang, Makassar, Ambon, Papua, apalah bedanya? Begitu gugat Ruminah, ibu rumah
tangga, etnis Tionghoa. "Kenapa sih hidup jadi begini? Emang ada apa sih antara orang Tionghoa, sama orang Sunda, Jawa? Emang kenapa sih, kayaknya sama aja. Kita juga sudah hidup di Indonesia sudah bertahun tahun. Nenek, cucu, sampe punya sawah lebar di Brebes. Eh, kata saya, emang ini negara lo? Semua orang juga punya, bangsa Indonesia kan sudah bergaul. Ngapain musti takut."
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment