Dari file lama
Wassalam
HMNA
****************************************************
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
608. Ho Eng Djie
Pada halaman yang menjadi lembar persekutuan dengan halaman Kolom Serial ini termaktub artikel: "Mengenang Karya-Karya Hong Eng Djie." Saya merasa terpancing untuk menyambut artikel itu.
Waktu saya masih remaja biasa pergi ke rumah Ho Eng Djie bersama-sama kakak sepupu saya Rukuq Dg Mappataq (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu), biasanya berbincang-bincang tentang filsafat. Di rumah Ho Eng Djie terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap lembar bertuliskan Kelong Mangkasaraq hasil gubahannya dalam aksara Lontaraq. Menurut sejarah aksara Lontaraq ini dikarang oleh Sabannaraq Daeng Pammatte. Sabannaraq artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini adalah syahbandar Kerajaan Gowa dahulu. Suatu waktu tatkala kami berdua berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong leqbaq kupareq, apanne (hai anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasaraq seperti yang dikutip di bawah ini.
Kamma memangiq linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.
Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu
"Tena kussituruq kelongta Babaq, nasabaq tena nakamma ngaseng tauwa ri lino, sipaqgangji kammanjo. Napunna niyaq ancallaki iyareka nasere ati rikalenta, nia baca-bacana ilalang ri Koranga (saya tidak sependapat dengan isi kelong yang Baba gubah, sebab tidak semua orang dalam dunia demikian sikapnya, hanya sebagian saja yang demikian. Namun jikalau ada yang mencela ataupun dengki kepada kita ada baca-bacanya di dalam Al Quran)". "Ha, niya baca-bacana? Antekamma! (Oh ya, ada baca-bacanya? Bagaimana!). Maka saya bacakanlah S. Al Falaq:
Qul A'uwdzu bi Rabbi lFalaqi.
Min Syarri maa Khalaqa.
Wa min SYarri Ghasiqin Idzaa Waqaba.
Wamin SYarri nNafFa-tsa-ti fi l'Uqadi.
Wamin SYarri Haasidin idzaa Hasada.
Katakan, saya berlindung kepada Yang Maha Pengatur falak.
Dari kejahatan makhluk.
Dan dari kejahatan malam bila telah gelap.
Dan dari kejahatan penyihir yang meniup dengan air ludahnya pada buhul tali.
Dan dari kejahatan orang yang iri-hati bila ia melahirkan dengkinya.
Sejenak Ho Eng Djie tertegun, kemudian berkata: "Bajiq sikali antu baca-bacayya, mingka sitojeng-tojengna niyaq ilalanganna anjo kelonga (baik benar itu baca-baca, namun sebenarnya ada yang tersirat dalam syair itu)". Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipaqna, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepoloq (Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam usaha dagangnya mereka dicemburui.
Kemudian Ho Eng Djie melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipaqna Yahudiya ri Aropa, iyamintu naallei kalenna (seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa, adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu dibaurkan bersama. (Dikutip dari: Seri 328. Warga Keturunan Cina, 28 Juni 1998).
***
Dalam artikel "Mengenang Karya-Karya Hong Eng Djie" hanya gubahan Ho Eng Djie saja yang disebut, sedangkan lagu-lagu lain yang bukan gubahannya hanya disebutkan secara umum: lagu-lagu Makassar, Bugis, Mandar dan Selayar. Mestinya disebutkan pula lagu-lagu itu seperti misalnya: Mas Bangung, Mas Mera, Air Mawar, Rambang-Rambang dll. Walaupun bukan gubahan Ho Eng Djie, tetapi termasuk karya-karya Ho Eng Djie juga dalam hal aransemen (arrangement).
Saya pribadi mempunyai nostalgia lagu Rambang-Rambang. Ini pernah saya tulis. Malam Jumat, 4 Agustus 1994, di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu tatkala mendengarkan alunan suara budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq, menyanyikan "Minasa ri Boritta", saya bernostalgia, ingat tempo doeloe, ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri, tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Sebelum Perang Dunia kedua kalau ada Pasar Malam di Makassar, Parambang-Rambang Silayaraq tidak pernah absen. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu Rambang-Rambang. (dari Seri 139. Rambang-Rambang, Nostalgia Tempo Doeloe, 7 Agustus 1994).
Apa itu Rambang-Rambang? Aq-rambang-ang? Itu adalah istilah dalam kalangan pelaut, artinya berlayar beriring.
Pakabajiki boritta
Kimassing assamaturuq
Nakiqrambangang
Assombali mateqneya
Benahilah negeri kita
Masing-masing bersepakat
Berlayar beriring
Mencapai idaman manis
Mencapai idaman manis, kalau meminjam gaya Ambon: "Menuju Ambong manise". Karena judul seri ini nama orang, maka marilah pada awal tahun 2004 kita tutup perbincangan ringan ini, dengan tiga daur (siklus) nama orang: Bram Aceh orang Ambong, Ibrahim Ambong orang Bugis, Isa Bugis orang Aceh. Maaarikiiii. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 4 Januari 2004
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2004/01/608-ho-eng-djie.html
----- Original Message -----
From: "sunny" <ambon@tele2.se>
To: <Undisclosed-Recipient:;>
Sent: Friday, May 27, 2011 12:58 AM
Subject: [wanita-muslimah] ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA
http://www.indonesiamedia.com/2011/05/25/ulasan-mengenai-identitas-indonesia-etnis-tionghoa/
ULASAN MENGENAI IDENTITAS INDONESIA ETNIS TIONGHOA
Posted on May 25 2011 by Radio Netherland/IM
Tiga belas tahun pasca Tragedi Mei 1998. Tragedi yang menorehkan luka diskriminasi terhadap warga etnis Tionghoa. 13 tahun lalu, mereka jadi tumbal, sasaran kekerasan. Proses hukum mandek, tapi harapan akan keadilan terus tumbuh. Reporter KBR68H Johana Purba berbincang dengan etnis Tionghoa, 13 tahun setelah Reformasi, soal'menjadi Indonesia'.
"Diumumkan di Masjid, siapa yang anaknya tidak pada pulang, jangan diharap hidup, anaknya sudah pada mati." Tiga belas tahun lalu, Ruminah mendapatkan kabar kematian putranya, Gunawan, dari pengumuman di masjid. Anaknya tewas pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di sebuah pusat
perbelanjaan daerah Klender, Jakarta Timur. Ruminah tak lelah mencari. Mendatangi pusat perbelanjaan yang dibakar massa, kantor polisi, sampai ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di situ ia hanya bertemu baju, ikat pinggang dan cincin milik Gunawan. Tak ada jenazah. "Cincin, gespernya Gunawan, dan ukirannya itu ukiran dia. Pokoknya bawa pulang, mungkin ini kali (buktinya)."
Di kampung Ruminah, ada 7 anak yang jadi korban pembakaran pusat perbelanjaan tersebut. Ibu-
ibu kerap berkumpul dan lantas membuat paguyuban tahun 2001. Mereka juga membentuk Kampung
Kenangan Mei 1998 di kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di situ ada prasasti untuk mengenang mereka yang tewas dalam kerusuhan. Tingginya sekitar 2 meter, berupa tonggak dan sebuah wadah lingkaran berisi sebuah gambar jarum dan benang merah. Di situ tertulis: Untuk Mengenang Gunawan dan Korban Mei 98. "Karena kalau ibu-ibu kan hatinya masih luka, ada benangnya merah. Dan ada puteran, bunder. Nah itu, jarum untuk mengobati luka. Luka Mei 98 kan lebar, dalam. Tetapi dijahit sedikit-sedikit. "
Peristiwa Mei 1998 juga masih membekas di hati Ester Jusuf, aktivis HAM dan advokat etnis Tionghoa. Dia memang tak merasakan rumahnya dibakar massa, terluka atau diperkosa. Tapi ia tekun memberikan pendampingan kepada para korban Tragedi Mei 1998. "Yang menyerah banyak, sudahlah itu masa lalu, tidak mau membicarakan lagi. Bahkan ada yang begitu diperlihatkan satu buku Mei 98, tidak mau lihat. Banyak yang setelah 98, mereka bangkit lagi. Ada berbagai hal lah, ada yang makin gigih dan bangkit secara lebih baik. Ada juga yang memang hancur."
Esther kini tengah merancang konsep Rumah Kenangan Mei. Bukan museum, tetapi rumah pengharapan. Untuk itu, Ester dan kelompok Solidaritas Nusa Bangsa giat menggalang dana. Baik dengan cara menjual produk hasil kerajinan korban Mei 1998 atau mencari donatur. "Memang kita punya luka yang sama. Tetapi pijakan dari Rumah Kenangan Mei adalah harapan kita yang sama. Kita berharap masa depan yang lebih baik. Jadi Tragedi Mei 1998 itu biar jadi pelajaran yang tidak akan kita lupakan. Pesan yang terus menerus jangan terjadi lagi. Harapan, membangun bangsa yang lebih baik. Kalau 1998 ada kekerasan yang luar biasa, kita tidak tahu siapa dan masih dalam proses, tetapi jangan ada lagi."
Tan Swie Ling, bekas tahanan politik etnis Tionghoa. Dia dipenjara selama 13 tahun karena dituduh komunis. Sekeluarnya dari penjara dia aktif dalam pergerakan warga etnis untuk menghapus diskriminasi. Kata dia, sejarah diskriminasi sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda sampai era kemerdekaan. Penjajah Belanda berurusan politik dagang dengan orang Tionghoa. Kemudian dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, warga etnis Tionghoa masuk dalam kategori 'Timur Asing'bersama warga Arab dan India. Tan Swie Ling yakin, konflik antar etnis, termasuk dengan etnis
Tionghoa, adalah buatan penguasa. Motifnya: kekuasaan dan perdagangan, dengan mengorbankan
kelompok Tionghoa. "Jadi kerusuhan anti Tionghoa hanya pintu pembuka meledaknya instabilitas
plitik. Dia bukan sasaran pokok, dia hanya sebagai alat untuk bagaimana menyulut kebakaran di negeri ini. Ini sangat tergambar jelas pada saat mereka ingin menjatuhkan Soekarno pada tahun 1963, dan kemudian tahun 1965 juga lewat G30S, itu juga terjadi kerusuhan, semua itu lewat jalur sulut dulu Tionghoa. Termasuk tahun 98, karena posisi Tionghoa sebagai rumput kering."
Reformasi 1998 seharusnya jadi titik balik. Tak boleh lagi ada penyerangan dan diskriminasi terhadap etnis tertentu di negeri ini. Namun, tak mudah jadi Tionghoa di negeri ini, bahkan setelah tonggak Reformasi berdiri 13 tahun lalu. Agustinus Wibowo, lelaki 30 tahun etnis Tionghoa, menghabiskan separuh hidupnya di perantauan. Kuliah di Beijing, lantas bertualang di Afghanistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan lainnya. Perjalanan panjang ini membuat penulis buku "Garis Batas" dan "Selimut Debu" ini merefleksikan lagi identitasnya sebagai Tionghoa. Ia masih ingat ketika ia didatangi seorang warga lokal ketika kuliah di Beijing, Tiongkok.
KBR menanyakan sewaktu dia di Beijing ditanya "Kenapa orang orang membunuh bangsa Cina?",
Agustinus menjawab: "Kita dalam situasi apa, garis batas kita bergeser, identitas kita bergeser. Waktu aku kecil dalam kondisi hingar bingar diskriminasi, identitas yang mencuat adalah warna kulitku sebagai orang Tionghoa. Yang kemudian membuat aku sadar tentang sebuah identitas. Tetapi waktu aku ke Tiongkok, identitasku bergeser, aku bukan dianggap minoritas tetapi dianggap orang Indonesia dan ini mengaitkan dengan kejadian 98. Yang menurut orang Tiongkok itu sebuah tragedi terhadap ras mereka. Ya disini ada pergeseran identitas itu."
Ruminah yang lahir di Brebes, merasa harus menutup rapat identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Baru tahun lalu ia berani terbuka soal identitas ini. Sejak bertahun-tahun lalu pindah ke Jakarta bersama suaminya, ia sering mendapatkan perlakuan kasar. Anak-anaknya juga kena getahnya. Karenanya ia sering tak mengaku sebagai etnis Tionghoa kepada orang yang baru dikenal. "Dulu lagi muda saya baru punya anak, kok saya dimusuhin mulu di Jakarta. Katanya 'Saya Cina Loleng, makan babi sekaleng, tidak habis ditempeleng.' Kadang saya gregetan dikatain melulu. Anak-anak saya juga begitu, sering diludahin dari atas. Anak saya enggak ada kan yang matanya sipit. Kalau itu suka diludahin sama orang di atas."
Tan Swie Ling juga pernah merasakan kerasnya hidup sebagai Tionghoa di Indonesia. Ia menjadi saksi persidangan Sudisman, anggota polit biro PKI, di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1967. Akibatnya, ia dipenjara selama lebih 13 tahun. Lepas dari penjara, ia mengaku mengalami berbagai macam diskriminasi oleh pemerintah Orde Baru. Ia percaya, penguasa ada di belakang tindakan diskriminatif terhadap kelompok etnis Tionghoa. Ia menulis soal ini juga dalam bukunya 'G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme, Pemikiran Cina Jelata Korban Orba'.
"Isu mengenai anti Tionghoa sama sekali bukan karena komunitas pribumi yang anti, tidak suka kepada etnis tionghoa. Rasisme terjadi karena tindakan penguasa. Baik penguasa Belanda maupun Indonesia." Meski diskriminasi masih ada, Tan Swie Ling bangga menjadi bangsa Indonesia. "Kalau saya jelas, merasa anak Indonesia. Anak Indonesia yang terlahir sebagai etnis Tionghoa." Tionghoa, Jawa, Sunda,
Kalimantan, Padang, Makassar, Ambon, Papua, apalah bedanya? Begitu gugat Ruminah, ibu rumah
tangga, etnis Tionghoa. "Kenapa sih hidup jadi begini? Emang ada apa sih antara orang Tionghoa, sama orang Sunda, Jawa? Emang kenapa sih, kayaknya sama aja. Kita juga sudah hidup di Indonesia sudah bertahun tahun. Nenek, cucu, sampe punya sawah lebar di Brebes. Eh, kata saya, emang ini negara lo? Semua orang juga punya, bangsa Indonesia kan sudah bergaul. Ngapain musti takut."
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment