Advertising

Friday, 27 May 2011

[wanita-muslimah] Feminisme versus Multikulturalisme?

*Feminisme versus Multikulturalisme?*
Published on jurnalperempuan.com<http://jurnalperempuan.com/2011/05/feminisme-versus-multikulturalisme/>|
shared via
feedly <http://www.feedly.com>

Setelah lengsernya Suharto, kekuasaan (power) terdistribusi ke dalam
kelompok-kelompok masyarakat yang berpijak di atas lingkar-lingkar ideologi,
etnisitas dan golongan, dan semuanya sama-sama menyerbu permukaan politik.
Di antara kelompok ini adalah kelompok feminis yang memperjuangkan tempat
bagi perempuan dalam ruang publik.
Sejak awal posisi kaum perempuan selalu rentan, sebagai pihak yang
tersubordinasi dalam masyarakat patriarkhal. Maka lahirlah tudingantudingan
dan resistensi "kultural" terhadap gerakan feminis. Salah satu tudingan
tersebut adalah tuduhan "kebarat-baratan" akibat dari kesan
gerakan feminis (dianggap) mengkritik unsur-unsur tradisi atau agama.
Maka multikulturalisme, dalam praktik politik, sering digunakan untuk
menyerang para feminis secara politik. Resistensi dilontarkan sebagai
sinisme, bahwa gerakan feminis seakan-akan adalah "segerombolan orang dari
dunia pertama dan/atau antek-anteknya yang merasa benar sendiri dan mencoba
menyelamatkan perempuan tertindas dari dunia ketiga."

*Problem-problem Multikulturalisme dan Feminsime*
• Pilihan palsu (false choice)

Perdebatan antara multikulturalisme dan feminisme biasanya memaksa kaum
perempuan hanya memilih di antara dua: antara aturan sekuler liberal dan
kultural religi patriarkhal, antara "kesetaraan" dan "kultur", atau antara
"hak-hak" dan "agama." Problem ini tercermin pada banyak konteks produk
hukum dan kebijakan dimana perempuan hanya diberi pilihan "hak kebebasan
beragama (menurut pihak penguasa kebenaran dalam agama masingmasing)" atau
"kesetaraan dalam wilayah publik". Tapi perempuan
tidak diperkenankan memilih keduanya.

• Determinasi kultur

Istilah "kultur" dan "agama" telah menjadi kategori-kategori yang determinan
dan monolitik, yang tak hanya memperkuat stereotip, tapi juga gagal
menyikapi perebedaan dalam kelompok-kelompok masyarakat, dan menolak
perubahan.

• Agenda politik kelompok konservatif dan liberalis

Debat antara multikultural dan feminisme juga kadang ditunggangi kepentingan
politik tertentu, yang celakanya bukan untuk kepentingan perempuan ataupun
kultur. Pihak konsevatif menggunakan dasar-dasar argumen kultur dan tradisi
agama untuk menyerang apapun yang berbau pembaruan demi memperkuat posisi
dalam peta politik, dan sebaliknya, pihak yang berlawanan menggunakan
argumen-argumen dasar kesetaraan gender untuk menggugat sejumlah praktik
"kultural" yang dipertahankan oleh pihak konservatif.

• Melumpuhkan kemampuan dan kemandirian analisis

Karena adanya kepentingan-kepentingan politik di atas, biasanya banyak
orang tidak ingin jatuh ke dalam "jebakan" wacana yang ditebar kedua pihak.
Perbedaan kultur terlalu banyak terbebani oleh stereotip dan asumsi-asumsi
yang terdistorsi. Para feminis yang masuk dengan kritik terhadap praktek
kultural akan segera tertimpa oleh kesan, seakan-akan dirinya adalah
"seseorang yang tumbuh dalam suatu lingkungan yang superior dan datang
sebagai pahlawan kesiangan untuk menyelamatkan perempuan dari belenggu
lingkungan inferior, dengan membawa formula-formula tentang apa yang harus
atau tidak dilakukan."
Sebaliknya, mereka yang bertahan dari "imperialis" dan "kolonialisme" akan
menetapkan posisi yang seakan-akan tampak sebagai cultural relativism,
dengan berlindung di balik kultur mayoritas dan argumentasi-argumentasi
normatif. Diberikan dua proposisi yang menyudutkan ini, banyak kaum
progresif menarik diri dari debat mengenai isu ini, sehingga melahirkan
kelumpuhan analisis dan kritik.

*Memaknai Ulang Multikulturalisme dan Feminsme*
Ada sebuah kalimat yang kira-kira dapat menggambarkan cara untuk membebaskan
diri dari jebakan-jebakan wacana yang menyudutkan tersebut, yaitu "lepas
dari feminisme yang eksklusif dan multikulturalisme yang naif" seperti
kata-kata kunci yang dijelaskan berikut ini.

• Identitas
Definisi yang statis, determinatif, dan esensialis tentang "identitas" dapat
dihindari secara khusus dalam sangkut pautnya terhadap perempuan, komunitas
agama, dan kelompok etnik. Identitas seharusnya tidak pasif dan kaku dan
membutuhkan perspektif baru dalam cara pandangnya, sambil mengingat bahwa
identitas secara terus-menerus dibentuk oleh berbagai faktor dengan spektrum
yang sangat luas, yang di antaranya adalah sejarah, konteks politik,
struktur sosial, kebijakan negara, ekonomi, dan kultur pop.
• Kultur
Ide-ide yang statis, esensialis dan determinis terhadap kultur juga perlu
dihindari. Kultur seringkali digunakan dalam wacana yang menolak manusia
sebagai individu yang sadar dan punya pikiran sendiri, dengan selalu
mendefinisikan segala tindakan dan ucapan seseorang atas dasar kultur orang
tersebut.

Siapakah yang mendefinisikan kultur dan bagaimana kultur berlangsung? Hal
ini harus dikritisi secara serius. Cara-cara memandang suatu kultur atau
bagaimana suatu kepercayaan dan praktek-prakteknya ditunjukkan, cenderung
hanya mengikuti bagaimana kebutuhan seorang pengamat untuk membuat
kategorisasi, atau produk dari pergolakan internal di dalam lingkaran kultur
tersebut untuk meraih kekuasaan.
Misalnya, kelompok agama A, atau kelompok etnik B dikenal oleh pemerintah
dengan si A atau si B sebagai pemimpin, dan mengerjakan praktik-praktik
sosial atau ritual tertentu yang kemudian dianggap identitas kultur "resmi"
kelompok-kelompok tersebut, maka suara alternatif, praktik-praktik sosial
dan ritual yang minoritas di dalam kelompok tersebut atau kelompok minoritas
lain tidak terwakili dan dianggap tidak ada, dan apabila tampak akan segera
dianggap menyimpang, aliran sesat, dan sebagainya. Suara dan praktik
alternatif di dalam kelompok tersebut dengan demikian akan termarjinalisasi,
dan lebih jauh lagi, tertindas.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah praktek-praktek yang dominan
bisa dianggap "kultur." Apakah korupsi adalah kultur? Apakah jilbab adalah
kultur? Apakah TKW adalah kultur? Perhatian harus dicurahkan pada
implikasi-implikasi politik saat menyebut mana praktek yang merupakan kultur
dan mana yang bukan.
• Cara untuk menghindari ide esensialis tentang "kultur" adalah dengan
membongkar superstruktur dan infrastruktur piramida yang membangun dan
membentuk praktek-praktek kultural. Contoh, jilbab bukan hanya bentuk
praktek kultural atau kegamaan, tapi juga tindakan mandiri atas politik
fashion, pop kultur, dress-code, dan sebagainya.
• Harus juga ditekankan untuk memperhatikan perbedaan di dalam kelompok
kultur. Perbedaan bukanlah sekadar biner-biner sederhana seperti, liberal
atau nonliberal, barat atau bukan barat, dan bukan sekadar perempuan dan
laki-laki.

*Kritik terhadap Multikulturalisme*
Konsep dan pelaksanaan multikulturalisme dikritik dari beberapa dasar: 1)
teknik manajerial yang dipakai pemerintah, atau pemegang kekuasaan, untuk
memperdalam kohesi sosial dengan mengorbankan komunitas minoritas, 2)
asumsi-asumsi bahwa subyek bersifat statis dan "sudah dari sananya", yang
umumnya didefinisikan secara kultural, linguistik, atau perbedaan etik, 3)
komodifikasi perbedaan yang hanya sekadar properti, dan bukan proses-proses
dan praktek-prakteknya, 4) penguatan gagasan atau kesan bahwa seseorang yang
berkuasa secara uniter, yang membatasi orang lain, boleh mendapat toleransi.
Bahasa multikulturalisme sering dijadikan alat untuk memasung kelompok
minoritas di dalam suatu komunitas kultur, sehingga muncul alternatif
untuk menggunakan pluralisme daripada multikulturalisme. Pluralisme
memaknai diversitas dengan lebih baik, dibandingkan multikulturalisme
yang cenderung menganggap komunitas kultur tertentu bersifat homogen dan
cenderung melokalisir suatu set praktek tertentu yang dianggap otentik untuk
dicocokan dengan mainstream, sehingga muncul suatu kebutuhan untuk
mendefinisikan ulang multikulturalisme.

*Feminisme dan Multikulturalisme*
Hubungan feminisme dengan multikulturalisme perlu ditata ulang. Keduanya
harus dimengerti sebagai sinonim. Feminisme dapat mengubah fokus dan memberi
perhatian khusus pada ruang konsep yang mungkin terabaikan dalam bingkai
analisis. Permasalahannya adalah bagaimana perempuan dalam komunitas budaya
itu sendiri yang menyikapi dan merespon praktek-praktek kultural yang
membahayakan atau merugikan, dan menetapkan bagaimana perempuan dari luar
dapat memberikan dukungan dalam perjuangan mereka. Untuk mendefinisikan
hal-hal yang "berbahaya" dan "merugikan" tersebut, feminis harus memberi
perhatian pada perspektif perempuan di dalam kelompok kultur tersebut,
terutama terhadap teks-teks yang mengandung potensi otoritas terhadap
kehidupan mereka. Disinilah pentingnya untuk mengangkat dan melakukan
pendekatan terhadap literatur, tulisan dan karya perempuan dalam
kelompok-kelompok kultur.

*Feminisme Multikultural*
Cara memandang eksistensi perempuan dalam suatu universalitas berarti
mengundang kembali esensialisme yang hingga saat ini digugat oleh feminsme,
selain itu, juga merupakan cara pandang yang imperialistik terhadap dunia.
Kira-kira demikianlah argumen dasar feminisme multikultural. Para femins
multikultural umumnya lahir dari dunia ketiga, walaupun banyak juga yang
berasal dari dunia pertama, dan merupakan aliran pemikiran feminisme
gelombang ketiga. Mereka adalah para perempuan yang mengalami langsung
penindasan-penindasan kultural pada perempuan.
Karena kebetulan budaya literatur sangat kuat di barat, maka literatur
feminisme memang lebih banyak berasal dari barat. Tapi bukan berarti
feminisme tidak ada di timur, hanya saja—sebagaimana produk pemikiran timur
lainnya—mereka jarang berbentuk literatur, dan lebih banyak berupa
peninggalan-peninggalan sejarah yang tidak langsung mengutarakan
pikiran-pikiran feminisme. Di Indonesia sendiri, hitung saja Cut Nyak Dhien,
Kartini, Dewi Sartika, Nyi Kali Nyamat, Ratu Shima, dan lain-lain.
Baru beberapa dekade belakangan literatur feminis timur bermunculan. Mereka,
selain menuliskan pengalaman subyektif sebagai dasardasar argumennya, juga
mengutarakan kritik terhadap unsur-unsur universalitas dan generalisasi
yang—mungkin karena lahir dari pengalaman situasi dan kondisi menghadapi
opresi praktek kolonial dan nasionalis di barat—secara alamiah terkandung
dalam kritik-kritik feminis barat.
Di barat sendiri, terutama Amerika Serikat, yang memiliki diversitas
sosio-kultur seperti di Indonesia, mungkin karena menghadapi
persoalan-persoalan interaksi sosio-kultur serupa, feminis multikultural pun
bermunculan, terutama dari lingkaran-lingkaran komunitas kultur yang
minoritas atau marjinal, terutama kulit hitam (Afro-Amerika).
Mereka adalah, antara lain, Audre Lodre—perempuan kulit hitam yang juga
sastrawan, Patricia Hill Collins, Bell Hooks, Elisabeth Spellman, dan
lain-lain. Kritik dan ajuan feminis multikultural adalah perempuan tidaklah
homogen atau monolitik. Mereka mengalami kehidupan dan persoalan yang
berbeda-beda dalam lingkaran komunitas kulturnya masing-masing, sehingga
tidak mungkin melakukan generalisasi dalam memandang persoalan-persoalan
tersebut, karena mereka tidak homogen, sehingga solusi-solusinya tidaklah
sesederhana yang dibayangkan atau diajukan oleh banyak argumen-argumen
feminisme tradisional (feminsme global).

(Verdi Adhanta)

Dikutip dari: Jurnal Perempuan # 54 "Merayakan Keberagaman".

Sumber Bacaan:
· Workshop Report BEYOND "FEMINISM VERSUS MULTICULTURALISM":
Revisiting the relationship between power, beliefs, identity and values. The
School of Law, King's College London LSE Gender Institute. The AHRC Research
Centre for Law, Gender and Sexuality. London School of Economics, 17
November 2006. · Sarah Song, Majority Norms, Multiculturalism, and Gender
Equality, American Political Science, Massachusetts Institute of Technology
Review, Vol. 99, No. 4 November
2005.
· Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, edisi Indonesia, Yogyakarta,
Penerbit Jalasutra, 2004.
· Edi Hidayat dan Miftahus Surur, Perempuan Multikultural, Jakarta, Penerbit
Desantara, 2005.<http://jurnalperempuan.com/2011/05/feminisme-versus-multikulturalisme/multikultural/>

Feedly. Feed your mind. http://www.feedly.com <http://www.feedly.com/#mail>


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment